[Author Pov]
Hari ini OSPEK ATTAIR University resmi dimulai. Selama dua hari, OSPEK akan diselenggarakan untuk universitas. Seluruh kegiatan akan berkaitan dengan universitas. Panitia pun bergerak atas nama BEMU. Sedangkan pada hari ke tiga, seluruh peserta OSPEK alias mahasiswa baru akan dikembalikan ke fakultas masing-masing. Seluruh rangkaian kegiatan akan berhubungan dengan fakultas. Pada hari ke empat, OSPEK akan ditutup secara simbolik oleh Rektor.
Bagi mahasiswa baru sebagian fakultas, penutupan OSPEK adalah hari terakhir mereka menyandang status maba. Tapi tidak dengan dua fakultas teknik di ATTAIR. Yaitu FTSL dan FTI. Karena meskipun OSPEK sudah ditutup pada hari ke empat, OSPEK fakultas akan tetap berlanjut bagi mereka. Aneh memang, juga rasanya tidak adil. Tapi memang begitulah keadaannya. Bagi dua fakultas tersebut, hal ini sudah menjadi semacam tradisi, juga sebuah peraturan tidak tertulis. Mau protes? Protes saja. Tapi tidak akan membuahkan hasil apa-apa.
Karena ini adalah OSPEK universitas, maka Haras dan yang lain tidak begitu terlibat. Mereka hanya mengawasi dari jauh. Memastikan adik-adik mereka menjalankan kegiatan dengan baik. Untuk kegiatan universitas, mereka punya orang lain yang ditunjuk sebagai perwakilan fakultas. Sedangkan Haras dan yang lain akan mengambil alih semua kegiatan yang berhubungan dengan fakultas.
"Aman kan?"
"Hm."
"Kantin yuk," ajak Faro.
"Duluan aja," ujar Kayhan.
"Lo mau ke mana?" tanya Haras.
"Panggilan alam."
"Oh ok."
"Lo jangan melenceng hunting adik-adik gemes ya, Kay," celetuk Ogi. Kayhan mengacungkan tinjunya ke arah temannya itu. Ogi mencibir. Haras, Faro dan Ogi meninggalkan tempat itu menuju ke kantin. Sementara Kayhan berbelok menuju ke toilet Fakultas Ekonomi. Hall tempat kegiatan OSPEK diadakan memang dekat dengan Fakultas Ekonomi.
Kayhan mencuci tangannya. Ia mematut diri sebentar di depan cermin, menyisir asal rambutnya dengan jari. Kayhan berjalan melewati koridor menuju ke kantin FE sambil memainkan ponselnya. Ia tidak begitu memperhatikan sekeliling sampai ia mendengar teriakan. Laki-laki itu memutar kepala mencari sumber suara. Setelah menemukan ia langsung berlari menghampiri.
"Kenapa?" tanyanya langsung berjongkok. Kayhan terkejut. "Pelangi.."
"Dia tiba-tiba pingsan, Kak.." kata anak perempuan berseragam hitam putih dengan tanda pengenal maba itu.
"Kalian kenapa bisa di sini? Bukannya masih ada acara di dalam?"
Anak perempuan itu terlihat ketakutan dan juga cemas. "Tadi kami ke toilet, Kak.."
Kayhan menghela napas. "Ok. Kamu lapor ke pengawas, kakak bawa dia ke UKS.." Kayhan langsung menggendong Pelangi, sementara anak perempuan tadi kembali ke hall.
Kayhan baringkan Pelangi di kasur. Kemudian ia celingak-celinguk mencari dokter jaga atau petugas UKS.
"Dokter!"
Tak lama terdengar suara langkah kaki.
"Dia kenapa?" tanya dokter perempuan yang baru datang.
"Pingsan, Dok.." jawab Kayhan sekenanya. Dokter tersebut kemudian memeriksa. Ia manggut-manggut.
"Dia belum makan ini, magh nya kambuh." Dokter itu perhatikan Kayhan dari atas sampai bawah. "Kamu siapanya dia?"
Kening Kayhan mengerut. Menurutnya dokter ini sedikit rese. Pertanyaannya rasanya tidak nyambung dan cukup menyebalkan.
"Panitia OSPEK," jawab Kayhan akhirnya. Asal jawab.
"Kirain pacarnya," sahut sang dokter kemudian melangkah menuju mejanya. Kayhan hanya menghela napas, tidak begitu perduli. "Tunggu di sini sebentar ya.." kemudian dokter itu pergi lagi.
"Dokter beneran apa bukan sih?" gumam anak laki-laki Javier Gomez itu.
Kayhan melirik jam tangannya. Sudah tiga menit tapi dokter tadi belum kembali. Kayhan memutuskan untuk mengabari teman-temannya. Panitia OSPEK yang bertanggung jawab juga belum datang ke UKS. Tak lama kembali terdengar langkah kaki. Kayhan menghela napas lega. Tapi kemudian ia justru dikejutkan oleh orang yang baru datang.
"Lo..?!" itu bukan suara Kayhan. Tapi suara perempuan yang baru datang.
Kayhan melipat tangan di d**a, menatap perempuan di depannya tanpa minat. Ia perhatikan jubah putih yang dikenakkan si perempuan. Serta label nama yang terjahit rapi di bagian kanan atas jubah itu.
Vermilla Acindy. L
Jadi benar-benar Cindy, Kayhan membatin. Tidak perlu diberitahu, Kayhan sudah bisa menebak Cindy jurusan apa. Itulah kenapa ia bertemu Cindy di FK kemarin.
Cindy menghela napas entah karena apa. Ia kemudian menyerahkan plastik entah berisi apa pada Kayhan. Laki-laki itu menatap plastik itu sebentar.
"Buat apa?"
Cindy mendengus. "Ya buat pasiennya lah. Ini roti.." katanya ketus. "Tuh, kalau mau bikin teh panas airnya di sana.."
Kayhan sama sekali tak mau repot menerima plastik yang Cindy ulurkan. "Itu kan tugas lo sebagai dokter jaga di sini.."
Cindy melotot. "Gue belum jadi dokter!"
"Ya terserah. Tetap aja itu tugas lo." Kayhan kemudian arahkan pandangan ke Pelangi yang masih belum sadar. "Mending lo bangunin dia dulu. Terus bikin teh sama kasih dia makan."
Tangan Cindy mengepal. Ini hari pertamanya bertugas, tapi kenapa sudah ada saja yang membuat ubun-ubunnya panas. Ditambah lagi orang tersebut adalah orang yang paling menyebalkan setelah Haras.
"Buruan, ngapain malah bengong. Calon dokter apaan yang biarin pasiennya nunggu lama gitu?"
Cindy menatap Kayhan tajam. Dengan ubun-ubun panas dan hati yang kesal bukan main, Cindy akhirnya mengalah. Ia melangkah ke samping tempat tidur, kemudian mengambil minyak kayu putih untuk membangunkan Pelangi.
Tak lama, dua orang muncul hampir bersamaan di pintu UKS. Kayhan langsung berdiri dari duduknya begitu menyadari panitia yang bertanggung jawab sudah datang.
"Gimana?"
Cindy otomatis memutar kepala saat mendengar suara itu. Ia tidak salah. Cindy terlihat terkejut, pun orang yang barusan bertanya.
"Pingsan dia, magh nya kambuh," jawab Kayhan. Memberitahu panitia juga Haras yang barusan bertanya. Cindy menyadari satu hal. Kemarin ia memang melihat Haras bersama laki-laki yang beberapa hari ini selalu dijumpainya. Tapi Cindy tidak tau kalau mereka akrab.
Cindy memandangi dua laki-laki itu bergantian.
"Thanks ya atas bantuannya, Kay.." ujar si panitia.
"Santai aja."
"Yuk.." ajak Haras. Kayhan mengangguk. Kemudian keduanya meninggalkan UKS tanpa mengatakan sepatah katapun pada Cindy. Mereka pergi begitu saja.
Tak lama Pelangi akhirnya sadar.
"Bentar ya, aku bikinin teh," kata Cindy. Panitia itu mengangguk. Tak lama Cindy kembali dengan segelas teh hangat. Panitia tersebut bercakap-cakap dengan Pelangi. Perempuan itu terlihat enggan menjawab.
Sebenarnya Cindy tidak ingin perduli. Tapi entah kenapa dia rasanya ingin tahu siapa laki-laki yang bersama Haras tersebut.
"Sorry, mau tanya," Cindy tersenyum tipis. Panitia itu mengangguk. "Yang tadi itu siapa?"
"Yang mana?"
"Dua-duanya.." jawab Cindy. Ia tak ingin terkesan terfokus pada satu orang.
"Oh, itu anak FTSL. Panitia OSPEK juga."
Cindy menghela napas namun pelan. Yang dia butuhkan itu namanya.
"Yang baru datang tadi itu Haras, kalau yang satunya Kayhan.." tambah si panitia akhirnya.
Cindy termagu. "Siapa?"
"Kayhan.."
"Kayhan?" Cindy bergumam. "Oh iya, ini obatnya. Diminum ya. Kamu juga, udah tau punya magh, kenapa nggak sarapan? Kapan terakhir kamu makan?" kini Cindy fokuskan perhatian pada pasiennya.
Pelangi mengernyit.
Cindy menghela napas. "Ini terakhir kali ya. Lain kali jangan sampai lupa sarapan. Minimal minum teh hangat sama roti. Apalagi kalau bakal banyak kegiatan. Jaga kesehatan.."
Pelangi mengangguk.
"Ok, Anendya Pelangi." Cindy baca nama yang tertera di kartu pengenal Pelangi. "Kalau gitu aku tinggal dulu ya.."
"Makasih, Kak.." Cindy berlalu meninggalkan UKS.
...
"Lo udah ketemu sama Cindy?" tanya Kayhan akhirnya.
Haras mengangguk. "Kemarin ketemu di rumah." Kayhan memang tau banyak tentang keluarga Haras. Hampir semua bahkan. Keduanya memang dekat meski baru mulai berteman saat kelas 3 SMP. Itupun tidak sengaja karena sebenarnya mereka juga beda sekolah waktu itu. Keduanya terjebak di tengah tawuran dua SMA tanpa mereka kehendaki. Jadilah mereka berteman sejak saat itu. Seolah sudah ditakdirkan, tanpa direncanakan, keduanya bertemu lagi di SMA yang sama. Sejak saat itu, hubungan keduanya menjadi semakin dekat. Jadi, bisa dibilang Kayhan sudah berteman dekat dengan Haras sejak SMA. Dengan Baby juga, karena mereka berada di sekolah yang sama. Lalu ditambah dengan Darina yang tak lain adalah pacar Kayhan.
Selain itu, sepertinya mereka memang ditakdirkan untuk menjadi sahabat. Jonattan, Papi Haras adalah sahabat baik Javier, Papa Kayhan. Keluarga mereka berteman baik. Pun Ayura dan Risa. Saking dekatnya, mereka bahkan kadang bercanda akan menjodohkan Haras dengan Shapire, adik Kayhan. Tentu saja itu hanya gurauan. Siapa yang jaman sekarang masih menjodohkan anak-anak mereka? Yang jelas bukan Jonattan dan Javier.
Ah iya, kenapa Kayhan bisa tau banyak tentang Haras? Yang mana itu juga berlaku sebaliknya. Mungkin karena mereka sama-sama mengerti satu dan yang lain. Mungkin karena tanpa disadari mereka punya kisah yang sama tentang orang tua mereka. Kadang, tanpa sadar kita bisa mengerti seseorang bahkan tanpa mereka memberitahu. Seperti tengah bercermin dan menatap diri sendiri.
"Terus kenapa jutek gitu? Dia kan sodara lo..." celetuk Kayhan yang membuat Haras langsung menatapnya datar.
"Lo minta gue sun?"
Kayhan menyikut perut Haras membuat laki-laki itu mengernyit menahan sakit.
"Lebay, disikut dikit doang."
"Sini gue cobain kalau lo mau tau gimana rasanya..."
"Nggak! Eh setan! Sakit, Har. Ah taik. Sakit woy!!"
"Lebay. Lemah banget jadi cowok."
Kayhan bersiap menjambak rambut Haras, tapi tidak jadi. Kasihan rambut Haras sudah rapi. Lagipula rambut itu tidak salah apa-apa.
"Lo kayaknya nggak suka banget sama Cindy," celetuk Haras. Keduanya saling pandang.
"Lihat siapa yang ngomong. Kalau gue nggak suka ya wajar. Nah lo, dia sodara lo, anak bokap lo."
Haras tak membantah.
"Tapi btw, Har, dia kayaknya juga benci banget sama lo. Gue bisa lihat aura kebencian di mata dia pas mandang lo. Rasanya kayak ada kobaran api di belakang dia.."
Pletak. Sebuah jitakan hinggap sempurna di kepala Kayhan.
"Lebay banget ngomong lo.."
"Sakit, set!" Kayhan mengelus kepalanya. "Kalau IPK gue turun semester ini, itu semua gara-gara lo. Lo jitak lagi, gue perkosa lo di sini, Har," ancam Kayhan tepat sebelum Haras kembali mendzolimi kepalanya.
"Nggak ah, gue kan sayang sama lo.." Haras tersenyum sembari mengelus rambut belakang Kayhan. Untung saja tidak ada siapa-siapa di sana. Kalau tidak sudah pasti gosip mereka gay akan semakin memanas melihat bagaimana interaksi keduanya.
...
"Makan deh, Pe, ntar lo pingsan lagi.." gadis bernama Ika itu memaksa Pelangi untuk makan. Mereka sedang istirahat dan makan di kantin FE. Waktu istirahat hanya 30 menit dan kantin FE adalah yang paling dekat dengan hall. Kantin Fakultas Hukum juga tak jauh dari sana, tapi tidak sebesar kantin FE. Sebenarnya Pelangi malas makan. Dia sedang tidak mood.
"Untung tadi ada senior yang bantuin. Duh siapa namanya? Kayhan, iya Kak Kayhan."
Pelangi tak begitu perduli siapa yang tadi sudah menolongnya. Pikirannya sedang tidak di tempat.
Suasana kantin sangat ramai dan hampir dipenuhi oleh maba. Hanya ada beberapa senior di sana, terlihat dari pakaian bebas yang mereka gunakan. Lagipula kuliah belum mulai, jadi wajar jika tidak banyak mahasiswa lama yang ditemukan.
"Pe, malah ngelamun ah elah.." Ika menarik paksa Pelangi dari lamunan. Pelangi mengangguk saja, kemudian dengan terpaksa mulai disantapnya makanan di dalam piring.
Ika pun mulai makan. "Lo mending mulai cari teman deh, Pe. Gue ngomong gini bukan karena gue bosen temenan sama lo, tapi karena kita tuh beda fakultas. Mana fakultas kita jaraknya jauh banget lagi."
"Gue bisa kali sendiri, nggak musti ada temen juga."
Ika menghela napas. Pelangi memang keras kepala. Untungnya Ika sudah sangat mengenal Pelangi, jadi ia sudah hapal sifat Pelangi. Ika tau, tidak akan mudah bagi Pelangi untuk memulai sebuah pertemanan. Dia saja dulu butuh waktu yang cukup lama sampai dekat dengan Pelangi seperti ini. Pelangi itu galak, jutek. Jika orang tidak kenal pasti akan mengatainya kasar. Tapi Ika tau sebenarnya Pelangi tidak kasar, dia memang seperti itu, defensif. Masalah utama sebenarnya adalah Pelangi itu gampang emosi.
"Lagian buat apa gue punya temen? Gue aja nggak tau bakal sampai kapan di jurusan itu. bisa aja semester depan gue pindah, kan?"
"Jangan ngomong gitu dong, Pe." Ika jadi serba salah. Pelangi sudah kembali fokus pada makanannya. Ika tau kalau sebenarnya Pelangi sedang sangat tertekan. Kuliah di Jurusan Arsitek adalah keputusan yang Pelangi ambil secara sepihak mengandalkan peruntungan. Karena sesungguhnya orang tuanya tidak mengizinkan ia kuliah di jurusan itu. orang tuanya ingin ia kuliah di Jurusan Ekonomi atau Hukum. Tapi Pelangi sama sekali tidak punya minat pada dua jurusan itu.
Drttt.. drrtt.. Pelangi mengeluarkan ponselnya. Melihat layar sebentar, ia kemudian meletakkan ponsel itu begitu saja di atas meja. Ia sepertinya tak akan menerima panggilan yang masuk. Ika melirik ponsel itu sekilas.
"Kenapa nggak diangkat?"
"Males."
"Nyokap lo mungkin khawatir, Pe."
Pelangi tak menjawab.
"Gue tau lo marah sama orang tua lo. Tapi gimanapun mereka itu orang tua lo. Seenggaknya kasih kabar ke mereka kalau lo baik-baik aja."
"Mereka nelpon bukan mau nanya kabar gue kali, Ka. Mereka mau ceramahin gue."
Ika menghela napas. Ia kehabisan kata-kata. Ia ingin menasehati Pelangi, tapi Ika takut melewati batas. Ia tidak ingin terkesan ikut campur terlalu jauh. Apalagi ini urusannya dengan orang tua. Tapi Ika juga tidak bisa melihat Pelangi seperti ini. Ia seperti kehilangan arah. Kehilangan kendali diri sendiri.
Tiba-tiba ponsel Ika bergetar. Ia menatap layar ponselnya sesaat, kemudian pandangannya beralih pada Pelangi.
"Kak Senja nge WA gue nih." Ia perlihatkan layar ponselnya pada Pelangi. Tapi tak ada respon dari Pelangi. Dengan kepasrahan, Ika membalas pesan dari kakak sahabatnya itu. ia beritahu Senja kalau Pelangi baik-baik saja. Ia juga memberitahu bahwa Pelangi tinggal di asrama yang sama dengannya.
"Ayo adik-adik. Waktu istirahat tinggal 5 menit. Yang udah selesai langsung balik ke hall ya!" terdengar pemberitahuan dari panitia pengawas. Ika dan Pelangi selesai dengan makanan mereka. Keduanya kemudian meninggalkan kantin untuk kembali melanjutkan kegiatan OSPEK.
...
"By, habis ini ke BEMU ya, biar mereka mulai kumpulin nama-nama perwakilan Queen sama Kingnya."
"Oke, Kak."
Baby membereskan barang-barang di atas meja. Memilih-milih apa yang perlu ia bawa.
"Hai.."
"Hai Mil..."
"Mila.."
"Eh Queen dateng nih..."
Milani tersenyum. Kadang membalas sapaan dan candaan dari orang yang menyapanya. Milani menghampiri Baby.
"Masih banyak?" Milani mendaratkan pantatnya di atas meja.
"Udah hampir selesai. Lo kalau mau makan duluan aja, Mil. Gue masih harus ke BEMU.."
"Ih bareng aja. Gue temenin lo ke BEMU. Perginya sama siapa?"
"Azel."
"Zel, gue ikut ya sama lo berdua."
Laki-laki itu mengangkat jempolnya. Setelah pekerjaan beres, mereka segera meninggalkan markas panitia FoA.
Karena jarak BEMU dan markas FoA cukup jauh, mereka terpaksa menggunakan mobil.
"Oh iya, Mil, mumpung lo di sini gue mau ngasih tau nih," Azel melirik Milani melalui kaca. Milani yang duduk di kursi belakang mengangguk, siap mendengarkan.
"Kayaknya bakal ada partisipasi dari semua Queen sama King yang masih aktif. 16, 17, 18. Lo mau kan?"
"Gue sih oke oke aja. Partisipasinya gimana?"
"Masih dirundingin sih. Maunya sih semuanya tampil bareng gitu. Tapi lihat sikon. Soalnya kalau tampil bareng kan latihannya musti bareng. Susah. Soalnya beda jurusan juga kan. Yang 16 juga susah soalnya udah pada sibuk sama proposal dan lain-lain."
Milani manggut-manggut. "Atur aja. Gue sih ikut aja."
Azel tersenyum. "Nah satu lagi nih," Azel melirik dua perempuan itu bergantian. "Si Haras nih. Dia mau nggak partisipasi?"
Milani langsung melirik Baby.
"Kenapa emang?" tanya Milani.
"Ya gue denger-denger dia jadi Ketua OSPEK di FTSL. Pasti sibuk banget dong dia. Selain itu juga tau sendiri kan si Haras gimana. Susah dia kalau disuruh begituan.."
Milani dan Baby mengangguk menyetujui.
"Tapi SC pada pengen si Haras tuh ikut. Nggak mungkin kan Queen 17 ikut tapi Kingnya nggak ikut?"
"Terus gimana?"
Azel kembali melirik dua perempuan itu bergantian. "Ya kan kalian berdua deket nih sama si Haras. Tolong dong bujukin dia, ya. Lo kan panitia, By. Lo juga yang handle bagian ini.." Azel memohon.
Baby memutar bola mata. "Gue kan bagian ngurusin Duta aja, Zel.."
"Ya sekalian gitu, By. Siapa sih yang lebih deket ke Haras kalau bukan lo berdua. Ya ya...?"
"Kayhan noh, suruh dia bujukin Haras," celetuk Baby.
Azel mencibir. "Kayhan mah sama aja bohong. Gue ngomong sama dia aja nggak didenger sama dia. Gue aja inget waktu pemilihan Duta dari FTSL, dianya kabur."
Baby tergelak. Tentu saja ia tau cerita itu. Kalau saja Kayhan tidak kabur saat itu, bisa saja bukan Haras yang jadi perwakilan dari FTSL. Mereka berdua adalah kandidat terakhir yang akan dipilih untuk mewakili FTSL. Tapi saat pemilihan final Duta yang akan dikirimkan ke FoA, Kayhan malah kabur. Lebih tepatnya dia melarikan diri saat jam istirahat, tepat sebelum pemilihan. Alhasil Haras lah yang jadi korban dan mau tak mau dikirim jadi Duta FTSL.
"Nggak bakal mau dia bantu ngomong ke Haras. Yang ada gue yakin dia malah komporin Haras buat nggak ikut.."
"Ih lo seudzon aja.."
"Becanda.." Azel nyengir. Ia memperbaiki letak kaca matanya. "Ya, please, lo berdua bantuin. Pokoknya tugas ini gue serahin ke lo berdua. Sip. Ok. Thanks ya ciwi-ciwi cantik.."
Milani dan Baby geleng-geleng. Mereka bahkan belum mengatakan apa-apa.
...
Pekerjaan di BEMU sudah selesai. Mereka sudah bersiap untuk pulang. Tapi tiba-tiba Milani ingin melihat prosesi OSPEK. Alhasil mereka membiarkan Azel pergi lebih dulu. Kedua perempuan itu kemudian pergi ke hall untuk melihat bagaimana kegiatan OSPEK berlangsung.
Di saat mereka sampai, ternyata kegiatan sudah hampir selesai karena jam sudah menunjuk di angka 5. Ketua Pelaksana memberikan pengarahan sebelum menyudahi kegiatan hari ini. Kemudian satu persatu peserta bangkit dan meninggalkan hall.
"Kita balik asrama bareng Paris aja, By. Suruh Paris nganter..." ujar Milani teringat akan adiknya itu. Baby mengangguk saja karena merasa tak ada masalah dengan hal itu.
Butuh waktu yang lumayan lama untuk mereka bisa menemukan Paris. Sebab jumlah maba tahun ini tidaklah sedikit. Setelah beberapa menit, akhirnya mereka bisa menemukan Paris di antara kerumunan senior-senior yang entah sedang apa.
"Kayaknya adik lo famous deh, Mil," ujar Baby dibarengi senyuman.
Milani menarik Baby menghampiri adiknya itu.
"Misi, sorry.." Milani mengintrupsi. Orang-orang yang mengenal Milani menyapa perempuan itu. Mereka terlihat terkejut karena Milani mengenal Paris, salah satu maba hot BP 19.
"Gercep juga lo, Mil," goda salah satu dari mereka.
Milani geleng-geleng. "Adik gue nih," sahut Milani akhirnya membuat mereka semua makin tercengang. Mereka pandangi Milani dan Paris bergantian dengan takjub. Sungguh mereka terpesona pada gen yang Milani dan Paris miliki.
"Serius lo, Mil? Lo masih punya adik lain, Mil?"
Milani geleng-geleng. "Kenapa? Mau ngedata jumlah keluarga gue, lo?" candanya.
"Gen lo bikin gue merinding.."
Milani tak begitu perhatian pada kalimat-kalimat yang berikutnya orang-orang itu lontarkan. Perhatiannya tertuju pada tangan adiknya itu.
"Kenapa tangan kamu?" tanyanya.
"Oh ini, not a big deal. Cuma kena air panas tadi, nggak sengaja.."
"Iya, Mil. Tadi pas istirahat nggak sengaja Paris ketumpahan air panas. Kalau nggak ada Paris mungkin dua cewek tadi kenanya lebih parah. Paris penyelamat banget lah pokoknya..."
Paris hanya tersenyum pada senior-seniornya itu. sebagai wujud sopan santun. Kemudian senior tahun 3 itu pun pergi. Milani menarik tangan Paris.
"Merah gini, udah dikasih obat?"
Paris menggeleng. "Gampang lah.."
"Gampang, gampang. Ntar kalau parah kakak yang bakal di skak Mama.."
"Bawa ke UKS aja. Di sana pasti ada salep.." Baby memberi usulan. Paris menoleh pada seniornya itu. milani setuju. Paris akhirnya dengan pasrah mengikuti langkah sang kakak.
...
"Kayaknya dokternya lagi keluar. Apa udah pulang?"
Baby mengendikkan bahu.
"Gue cari keluar bentar ya. Kali aja di kantin," ujar Milani. Baby mengangguk. Tinggallah Baby dan Paris berdua di UKS. Baby edarkan pandangan ke penjuru UKS. sampai saat ini ia masih salut pada orang yang bekerja pada bidang ini. Baik dokter, perawat, ataupun bagian farmasi. Menurut Baby mereka orang-orang hebat yang punya jiwa besar. Sayangnya Baby penakut hingga tak punya keberanian untuk kuliah pada bidang tersebut.
"Kakak satu jurusan sama Kak Mila?" setelah sibuk dengan dunia masing-masing, akhirnya Paris buka suara. Baby menoleh, tersenyum, mengangguk.
"Iya. Kenapa?"
"Udah lama temenan sama Kak Mila?"
"Hm, lumayan."
"Berarti kakak hebat juga dong melukis.."
Baby tersenyum. "Nggak juga sih. Biasa aja, masih standar."
"Anak seni rupa skill melukisnya standar?" Paris tergelak. Seolah tak percaya dengan pengakuan Baby. Perempuan itu ikut tersenyum.
"Ya maksudnya masih banyak yang lebih hebat gitu. Kamu juga pasti jago menggambar.."
Paris kendikkan bahu. "Kalau bilang enggak nanti malah bohong."
Baby langsung tertawa mendengar jawaban Paris. Ia tidak menyangka kalau adik teman baiknya ini orang yang cukup menyenangkan untuk diajak mengobrol.
"Kayaknya emang udah gennya jago gambar kali ya?" terka Baby. Milani juga jago melukis. Jika Paris memang jago, sudah bisa dipastikan kalau keahlian itu memang ada dalam gen mereka.
Tiba-tiba saja Paris mengulurkan tangannya. "Kita belum kenalan secara resmi, kan? Berhubung nama asli aku panjang, panggilnya Paris aja.."
Baby yang awalnya bingung alhasil kembali tertawa. Ia kemudian menjawab uluran tangan Paris. "Hm, ok, Paris. Kamu bisa panggil kakak Baby.."
"Baby? Jadi nama kakak emang Baby?"
Baby mengangguk.
"Emang namanya Baby atau Cuma panggilannya aja Baby? Kayak aku sama Kak Mila.."
"Emang Baby," jawab Baby tanpa bisa hentikan tawanya. Paris bukan orang pertama yang bertanya begitu. Dulu Milani pun bertanya begitu. Kayhan saja yang cueknya level akut pun bertanya hal yang sama.
"Jadi nama kakak panjangnya gimana?"
"Kenapa kamu jadi kepo nama panjang kakak?"
"Kali aja nanti butuh buat ke KUA.."
Tawa Baby pecah seketika. Kalau saja Paris masih anak-anak, sudah pasti habis dicubitnya pipi laki-laki itu saking gemasnya.
"Tangan kamu nggak apa-apa?"
"Udah lumayan kok.."
Terdengar suara dari luar. Keduanya langsung mengalihkan pandangan ke arah datangnya suara. Milani kembali bersama seorang perempuan yang memakai jubah putih khas dokter.
"Siapa yang sakit?" tanyanya. Ia kemudian memeriksa tangan Paris. "Udah berapa lama kenanya?"
"Sekitar 3 jam.."
"Kenapa nggak langsung dibawa ke sini?" perempuan itu berlalu melewati Baby dan Milani. Kemudian ia kembali membawa kotak obat. Milani melirik Baby. Keduanya seolah berkomunikasi tanpa suara. Menurut mereka dokter itu terlalu muda untuk ukuran seorang dokter. Bahkan rasanya perempuan itu masih seumuran dengan mereka.
"Ini salepnya dipakai ya.." ia memberikan instruksi.
"By, Baby," panggil Milani. Baby menoleh. "Makan dulu ya, gue laper nih.."
Perempuan yang tengah fokus pada Paris itu sontak menoleh. Ia pandangi Baby dan Milani dengan wajah serius.
"Siapa?" tanyanya. "Baby?" ulangnya.
Baby dan Milani saling pandang. Kemudian Baby, si empunya nama mengangguk.
"Kamu Baby?" ulangnya lagi.
"Iya. Kita kenal?" tanya Baby menatap perempuan dengan jubah putih itu bingung. Tiba-tiba saja perempuan itu menyeringai. Tiba-tiba perhatian Baby tertuju pada nama yang tercetak pada jubah putih itu. Baby tertegun.
"Vermilla A..Cin..dy. Cindy?" Baby terkejut.
Cindy mendengus. Baru tadi ia bertemu Haras di tempat ini. Sekarang ia juga bertemu dengan Baby. Milani yang tidak tau apa-apa hanya bisa menyaksikan dengan wajah bingung. Paris pun sama. heran.
"Jadi lo kuliah di sini juga?" Cindy kehilangan sopan santunnya. Ia lipat tangan di d**a. Cindy ingat bahwa perempuan di depannya ini adalah perempuan yang kemarin ia lihat bersama Haras dan Kayhan. Jadi memang Baby. Jadi sampai saat ini Baby masih bersama dengan Haras?
"Haras pasti udah kasih tau lo kan gue di sini? Nggak usah pasang muka kaget gitu.." ujar Cindy ketus.
Baby terlihat tenang. Meski terkejut tapi Baby masih bisa bersikap biasa. Baby memang sudah tau dari Haras, tapi ia tak menyangka akan bertemu langsung dengan Cindy dalam waktu dekat.
Milani melirik Paris seolah meminta agar dua perempuan itu dipisahkan. Ia merasakan aura mencekam tengah mengelilingi. Meski tidak tau ada apa, Milani bisa rasakan bahwa ada sesuatu di antara keduanya dan itu bukan hal yang baik.
"Lo tau kan kalau gue benci banget sama lo?" tanya Cindy tanpa sungkan sedikitpun.
Baby mengangguk. "Tenang aja, gue juga nggak suka kok sama lo."
Kembali, peperangan antara keduanya dimulai setelah sekian lama jeda.
***