1. Memulai Zona Tidak Nyaman

1097 Kata
'Selalu ada alasan dibalik semua hal yang terjadi dalam hidup ini, pada dasarnya semuanya untuk membentuk manusia menjadi kuat.' Back to Normal With Me ~Thierogiara *** "Lo, 'kan, baru hijrah, lo yakin nggak mau balik rumah?" tanya Nasya—sahabat Avasa—yang kini rumahnya sedang Avasa tumpangi, gadis itu berjanji akan pergi dalam tiga hari karena memang Avasa bertekad mencari pekerjaan. "Kadang tuh gue mikir mau lepas hijab lagi karena ya, gue berusaha untuk jadi baik pun kehidupan gue masih gini-gini aja, keluarga gue tetap berantakan, tapi balik lagi bukan kuasa gue nilai takdir yang udah Allah kasih. Sebagai hamba, gue hanya perlu menjalani dan mensyukuri semuanya," jelas Avasa, sekeras apa pun dia menyalahkan Tuhan, Tuhan tak akan pernah salah, dia manusia biasa, dunia adalah tempat manusia melalui ujian, dia hanya sedang diuji, setiap hari Avasa harus bisa memahami konsep ini. "Nggak akan mudah buat lo dapet kerjaan Sa, kalau lo pertahanin hijab lo," ujar Nasya, dia bukan bertindak sebagai setan penggoda iman, dia hanya berbicara fakta, Jakarta keras! Avasa terdiam. "Setan lo!" "Ya mungkin dapet tapi nggak bakal yang bagus," lanjut Nasya masih berusaha mematahkan keyakinan Avasa. Avasa lagi-lagi terdiam, dia memang tak akan menyangkal apa yang Nasya katakan karena memang sahabatnya itu sepenuhnya benar. "Nggak! Gue harus tetep berusaha untuk jadi good person, kenapa? Hidup gue berantakan banget, gue percaya ketika gue berusaha untuk baik, hal-hal baik akan menghampiri hidup gue." Avasa berusaha terus perpikir positif, Nasya bebas berpendapat dan Avasa juga memiliki hak untuk bertahan dengan keinginannya. Nasya mengangguk-angguk, memang bukan main sahabatnya ini, Nasya cukup kagum, mereka pernah mewarnai rambut bersama, memakai kutek bersama, bahkan berbelanja baju kurang bahan bersama. Nasya kagum karena demi memakai sehelai kain di kepalanya, Avasa sampai rela melepas seluruh kenikmatan dunia yang ia miliki. "Jadi apa rencana lo selanjutnya?" tanya Nasya, kadang dia prihatin juga, Avasa bukan terlahir dari keluarga tidak mampu, orang tuanya bahkan sangat-sangat mampu untuk mengkuliahkannya, namun gadis itu memutuskan menjalani kesulitan seperti sekarang ini. "Ya cari kerjaan," jawab Avasa. "Ya maksudnya mau ngelamar di mana gitu?" tanya Nasya, sembari bercerita Nasya memutuskan melanjutkan mengerjakan tugasnya. "Ya palingan di toko-toko dulu, gue juga nggak ada jaringan mau lamar di perusahaan, lagian gue, 'kan butuhnya cepet," tutur Avasa. Nasya mengangguk. "Gue nggak tau sih mau bilang apalagi, pokoknya lo kuat selalu ya, kalau lo nggak punya tempat untuk pulang, ada gue, rumah gue selalu terbuka lebar buat lo." Mendengar itu Avasa malah merasa sesak, gadis itu menghapus genangan kecil di sudut matanya. Keluarga terasa seperti orang lain dan orang lain terasa seperti keluarga, kadang dunia sebercanda itu. "Gue nggak apa-apa kok Sya, lo sama Raqilla nggak ninggalin gue aja rasanya gue bersyukur banget," ujar Avasa, dirinya, Nasya dan juga Raqilla sudah bersahabat kurang lebih enam tahun, sejak pertamakali duduk di bangku sekolah menengah pertama, kedua orang itu yang selalu paham dengan keadaan Avasa, bahkan sudah tak ada lagi yang Avasa tutupi dari keduanya. Nasya mengangguk, gadis itu turun dari kursi belajarnya untuk memeluk Avasa yang duduk lesehan. "Lo kuat banget gue nggak tau lagi sih." "Kalau gue nggak kuat, siapa yang nguatin mama? Kalau gue lemah, keadaan justru akan bertambah berantakan," kata Avasa. Keduanya malah berakhir dengan menangis sesenggukan, Nasya menangis karena sedih sahabatnya harus menjalani kehidupan yang seperti ini, sementara Avasa menangisi hidupnya sendiri. *** Pagi ini karena Nasya kuliah maka Avasa memutuskan untuk membantu para pekerja di rumah sahabatnya itu, mulai dari membersihkan rumah, merapikan taman, sampai terakhir memasak untuk makan siang. "Non Avasa mending nonton TV aja sana," ujar mbok Siti. "Apaan sih Mbok, saya bukan majikan Mbok, panggil Avasa aja," ujar Avasa tak mengindahkan perintah mbok Siti. "Iya Avasa, mending kamu ke depan aja, dapur urusan saya sama Mbok Siti." Kali ini mbak Mila yang menegurnya. "Nggak apa-apa kok Mbak, lagian Avasa bukan nyonya di sini, Avasa cuma numpang, ini adalah hal kecil yang bisa Avasa lakukan buat keluarga Nasya yang udah baik sama aku," jelas Avasa masih melanjutkan kegiatannya mengiris paprika. Mbak Mila dan mbok Siti kemudian hanya menghela napas, anak itu sangat keras kepala, tak ada gunanya berdebat. Kini Avasa malah mencuci semua sayuran membawanya ke hadapannya setelah itu mengiris-irisnya. "Avasa mau kerja, Mbak sama Mbok tau nggak sih lowongan kerja gitu?" tanya Avasa. "Kalau Mbok ya nggak tau, lah wong mainnya aja cuma rumah sama pasar," jawab mbok Siti. "Jangan nanya sama kita Sa, soalnya kerjaan kita aja kayak gini, kalaupun ada kerjaan ya gini-gini juga," ujar mbak Mila. Avasa terdiam, selama ini dia lumayan mahir membersihkan rumah, memasak bahkan mengangkat-ngangkat beban berat, apa dia harus mencoba? "Ya nggak apa-apa Mbak, itung-itung belajar jadi ibu rumah tangga," kata Avasa. "Jangan bercanda Sa, kamu juga belum tentu jadi ibu rumah tangga suatu saat." Mila berkata sangsi, teman-teman majikannya pasti setara dengan majikannya, Mila tak yakin kalau Avasa terlahir dari keluarga kurang mampu seperti dirinya. "Aku nggak lagi bercanda Mbak ini serius, aku kan kabur dari rumah, cuma minta waktu tiga hari sama Nasya, setelah ini aku harus bener-bener keluar dari sini, aku butuh banget kerjaan Mbak." Nada bicara Avasa menjadi sedikit memelas dan memohon. "Ini Mbak langsung kirim kontak temen Mbak yang kerja di sana ya, ada lowongan di rumah majikannya," ujar mbak Mila yang langsung saat itu juga mengirimkan kontak milik temannya. *** Hari ini juga Avasa langsung mendatangi rumah yang sedang mencari pembantu, dia bertemu dengan mbak Jila. "Beneran kan Mbak lagi butuh saya?" tanya Avasa. "Iya, si nyonya udah cerewet banget, soalnya lantai dua rumahnya nggak ada yang beresin," jelas mbak Jila. Avasa mengangguk-angguk, kakinya terus melangkah mengikuti mbak Jila, rumah calon majikannya sangat besar, sebelas dua belas dengan rumah milik keluarga Nasya juga rumahnya dulu. Avasa hanya menghela napas, dulu dia yang selalu dilayani kebutuhannya, sekarang dia yang akan menjadi pelayan orang lain, secepat itu keadaan berbalik. Jila terus membawa Avasa bahkan sampai naik ke lantai dua. "Silakan." Jila mempersilakan Avasa masuk ke sebuah ruangan. "Nggak apa-apa nih Mbak?" tanya Avasa. "Iya nggak apa-apa, nyonya sudah tunggu kamu di dalam," ujar Jila. Avasa lantas mengangguk kemudian melangkah masuk. Dia mendapati seseorang duduk membelakanginya. Avasa hanya berdiri diam di tempatnya. "Jadi kamu yang melamar bekerja di sini?" tanya wanita yang dari suaranya seperti berumur pertengahan 50. "I..iya," jawab Avasa sedikit gugup. "Tidak usah takut, tugas kamu adalah membereskan seluruh ruangan yang ada di lantai dua rumah ini, kalau hasil kerja kamu bagus, kamu boleh bekerja di sini selamanya." Wanita itu memutar duduknya dan kini menghadap Avasa. Nyonya besar itu tersenyum. "Silakan mulai bekerja, semua kebingungan bisa kamu tanyakan dengan Jila." Avasa mengangguk dan langsung buru-buru keluar dari ruangan, aura orang kaya benar-benar mampu mengintimidasinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN