Prolog

525 Kata
Avasa mengemasi seluruh barang-barangnya, tekadnya sudah bulat, dia akan memberontak kemudian membuktikan pada papanya kalau dia bukan lagi anak kecil, dia bisa hidup dengan jerih payah dan kerja kerasnya sendiri, Avasa sudah terlalu lelah berada di rumah ini, berada di neraka dunia yang dia sendiri tidak tahu kapan penderitaannya akan berakhir. Dia sudah muak tinggal di rumahnya dan menyaksikan mamanya tersiksa juga papanya yang selalu bertingkah sesukanya. Selalu mendengar suara barang dibanting, benda pecah, jerit tangis dan jeritan bentakan. Avasa sudah tidak tahan lagi, dia sudah cukup merasa bahwa mentalnya harus diselamatkan sekarang ini. Mamanya adalah wanita lemah yang tak pernah memiliki keberanian untuk meninggalkan manusia tak berhati seperti papanya. Avasa akan membuktikan bahwa dia bisa hidup sendiri, dia akan membuka mata mamanya kalau mereka akan baik-baik saja meski tak bergantung pada laki-laki seperti papanya. Gadis itu menggeret kopernya keluar dari kamar. "Avasa!!" Citra, mama Avasa. Berjalan cepat mendekati anaknya itu. "Avasa mau pergi, Avasa udah nggak sanggup tinggal di rumah ini!!" ujar Avasa, iya dia tidak sanggup menyaksikan mamanya hanya diam saat ditindas. Bramono, papa Avasa. Muncul. Laki-laki paruh baya yang seharusnya menjadi cinta pertama Avasa itu tertawa. "Tau apa kamu soal kehidupan? memangnya kamu bisa hidup sendiri?" tanya Bram meremehkan, Avasa sudah lulus sekolah dia tahun, tapu hanya menghabiskan waktu di rumah selama ini. Bram menyuruhnya melanjutkan kuliah namun gadis itu menolak mentah-mentah, alasannya karena Avasa tak mau lagi memakan uang papanya. Avasa balas tertawa meremehkan. "Paling nggak keluar dari rumah ini aku akan merasa menjadi manusia, aku bebas dengan hidupku, yang pasti aku nggak akan lagi ngelihat betapa jahatnya Papa." Avasa membenci papanya, dia benci karena papanya selalu membawa perempuan lain ke rumah mereka, dia benci karena papanya selalu menyakiti mamanya, dia benci karena keluarga mereka tak pernah terlihat seperti keluarga pada umumnya. Mamanya selalu takut Avasa dan Cleo, adiknya. Tak bisa sekolah, tak bisa makan, tak memiliki tempat tinggal hanya karena dirinya lulusan SMP dan tak pernah bekerja selama ini. Avasa sudah berusaha meyakinkannya kalau dia bisa bekerja, mereka harus keluar dari rumah Bram, namun tetap saja Citra takut. "Kamu hanya akan jadi sampah!" Bram mulai terpancing emosi. "Sampah teriak sampah!!" Bram mengangkat tangannya berniat menampar Avasa. "Cukup Mas! Cukup kamu kasar sama aku aja, sama anak-anak jangan!" Citra lantas menangis tersedu-sedu. Inilah yang Avasa sangat tidak suka, mamanya sangat lemah jadi wanita. "Aku lebih baik keluar dari rumah daripada tinggal sama manusia nggak berotak kayak papa." Dan Avasa masih belum selesai dengan segala ungkapan hatinya. "Hanya karena sudah lulus sekolah kamu pikir kamu tau apa? Kamu pikir kamu bisa hidup tanpa saya? Kamu pikir kamu hebat? Menyesal saya membelikan s**u untukmu sewaktu bayi, dasar anak tak berguna!" Avasa terkekeh, sekali lagi gadis itu meremehkan. "Dan asal anda tau penyesalan terbesar saya adalah terlahir menjadi anak anda." "Mulai hari ini kamu bukan anak saya lagi! Jangan pernah kembali ke sini." "Dan mulai hari ini juga anda bukan papa saya lagi!" Avasa lantas melangkah meninggalkan kedua orang tuanya, meninggalkan rumah yang selama ini menjadi saksi segala luka yang Avasa terima. Begitu keluar dari pagar, gadis itu mengelap sudut matanya, dia tak sekuat itu untuk tetap tegar dengan segala yang sudah terjadi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN