SEBELAS

4999 Kata
Selaku walikelas Karisa, Julie menjalankan perannya dengan sangat baik. Pada hari kejadian, ketika urusan di sekolah dan di kantor polisi sudah selesai, Julie pergi ke rumah Karisa. Di sana sudah banyak sanak saudara dan tetangga yang menyampaikan rasa duka cita atas kematian gadis remaja itu. Di beberapa titik terpasang bendera kuning untuk menandakan bahwa ada seseorang yang meninggal di lingkungan tersebut. Tenda sederhana terpasang di depan rumah almarhumah, tidak lupa jajaran kursi yang disiapkan untuk para pelayat. Jika ada manusia yang bilang bahwa dia bisa hidup sendiri dan tidak membutuhkan atau bergantung pada orang lain, maka itu bohong adanya. Sejak manusia di lahirkan, kita sudah membutuhkan bantuan dokter, perawat, bidan, atau mungkin saja dukun beranak untuk keluar perut wanita yang sudah menyediakan kita tempat untuk tumbuh dan berkembang selama sembilan bulan. Atau bahkan pada beberapa peristiwa, atau wanita yang melahirkan seorang diri, tetap saja kita membutuhkan bantuan dari wanita yang kita panggil Ibu. Ibu harus mengeden agar untuk mengeluarkan seorang bayi yang ada di dalam perutnya. Mengeden adalah proses dimana ibu menggunakan tekanan dari dalam tubuh untuk mendorong bayi keluar menuju jalan lahir. Pun saat kita meninggal, kita membutuhkan bantuan orang lain untuk mengurus tubuh kita yang sudah tak mampu berbuat apa-apa. Sebagai contoh bagi seorang muslim, ketika dia meninggal maka dia membutuhkan bantuan orang lain untuk mengajikan, memandikan, menshalatkan, hingga menguburnya di liang lahat. Tubuh yang sudah tidak bernyawa itu tidak bisa lagi mandi sendiri, atau berjalan seorang diri menuju kuburan. Kita butuh bantuan keluarga, sanak saudara, hingga tetangga. Sebab pada sejatinya manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain, sampai kapanpun tidak akan bisa hidup seorang diri. Lantas masih pantaskah manusia untuk bersikap sombong dan tinggi hati? Karena pada hakikatnya manusia sama-sama berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Karisa adalah anak sulung dari orangtua tunggal. Ayahnya sudah meninggal saat dia duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar. Sejak ayahnya meninggal, ibunya lah yang mencari nafkah untuk menghidupi kedua anaknya, Karisa dan sang adik yang saat ini berusia sepuluh tahun. Ibunya memiliki toko yang menjual perlengkapan bayi, seperti baju bayi, mainan, aneka s**u, dan barang-barang yang biasa digunakan oleh bayi. Tokonya tidak terlalu besar, namun penghasilannya cukup untuk menghidupi mereka bertiga karena sudah memiliki beberapa pelanggan tetap. Setibanya di rumah almarhumah Karisa, Julie langsung disambut oleh tantenya Karisa, atau adik dari sang ibu. Sayup-sayup terdengar suara bisik-bisik tetangga yang membicarakan tentang kematian Karisa yang misterius. Mereka membicarakan hal-hal yang belum tentu kebenarannya, menduga-duga sesuka hati mereka. Satu di antaranya bahkan tidak ragu mengatakan jika Karisa bunuh diri karena depresi. Selain para tetangga, ada banyak reporter yang berdatangan ke rumah Karisa pada hari kejadian. Mereka mengulik latar belakang keluarga Karisa, bertanya kepada para tetangga mengenai kepribadian Karisa sehari-hari di lingkungan rumah. Dan para tetangga menjawab seperti mereka adalah orang yang paling tahu tentang Karisa. "Karisa adalah anak yang pendiam", "Karisa adalah anak yang tertutup", "Karisa adalah anak yang penurut", dan pendapat-pendapat subjektif lainnya. Para reporter juga seperti lebih tertarik dengan kepribadian dan kehidupan sehari-hari Karisa. Mereka seperti tidak ingin mencari tahu tentang penyebab kematian Karisa, kenapa Karisa bisa ditemukan mati di sekolahnya sendiri, atau hal-hal penting lainnya yang berhubungan dengan kasus kematian Karisa. Julie bahkan terkejut ketika tahu bahwa ada salah satu reporter beserta juru kamera dari stasiun tv swasta yang bersikeras untuk bertemu dengan ibunda Karisa. Di saat ibunda Karisa sedang terbaling lemah di atas tempat tidurnya, reporter itu justru ingin mewawancarai beliau. Jangankan untuk menjawab beragam pertanyaan yang diajukan oleh para reporter, untuk bernafas pun rasanya sulit sekali. Siapa yang tidak terkejut mendengar kabar bahwa putri sulung kebanggaannya, harapannya, cinta kasihnya, ditemukan terkapar dengan literan darah yang keluar dari kepalanya sendiri. Naasnya, peristiwa tersebut terjadi di sekolah, tempat dia menggantungkan cita-cita dan impian. Tante Karisa yang memperkenalkan diri sebagai Fenti membawa Julie menuju kamar Ibunda Karisa. Terlihat ada seorang wanita yang penampilannya begitu kusut, lemah dan tak berdaya. Entah sudah berapa liter air mata yang keluar dari mata sayunya. Banyak kerutan terlihat di bagian wajah, menjadi saksi bisu perjuangannya dalam menghadapi kehidupan yang keras ini. Rambutnya diikat seadanya dengan karet gelang yang mungkin ia temukan di depan mata. Juga baju tadi pagi yang belum sempat dia ganti. Julie memeluk tubuh wanita itu, memeluknya dengan sangat erat tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ia yakin bahwa saat itu tidak ada satupun kalimat yang dapat menghibur beliau, yang dia butuhkan hanyalah kehadiran Karisa di sampingnya. Julie mengelus-elus punggung ibunda Karisa dengan lembut, berusaha untuk memberi kehangatan dan ketenangan. Terkadang tanpa kita sadari, saat kita mendengar kabar duka, kita justru melakukan hal yang seharusnya tidak kita lakukan. Ketika mendengar kabar seseorang baru saja menjemput ajalnya, kita cenderung bertanya "Kenapa bisa meninggal?", "Bagaimana kronologis kejadiannya?", "Apa sebelumnya sudah ada tanda-tanda yang janggal?" tanpa memperdulikan bagaimana perasaan dari keluarga mendiang. Memang sulit menahan rasa penasaran yang ada dalam diri kita, apalagi jika kita baru saja bertemu dengan mendiang. Namun kita tidak seharusnya bertindak demikian. Selama beberapa menit Julie tidak berkata apapun, di awal dia hanya memperkenalkan diri sebagai walikelas Karisa, sang Ibunda mengangguk, lalu kembali menitikan air mata. Butuh waktu baginya untuk menenangkan diri hingga dia bisa memulai percakapan. "Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk datang ke sini." Ucapnya lirih, hampir tak terdengar. Kini hanya ada Julie dan Ibunda Karisa di dalam kamar, Fenti sengaja meninggalkan mereka berdua dan kembali menemui pelayat yang masih berdatangan. Julie merangkul pundak beliau dengan lembut, "Sama-sama, Ibu. Saya secara pribadi dan mewakili sekolah ingin menyampaikan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya ya, Bu." Ya, di hari kejadian hanya Julie perwakilan dari SMA Cendikiawan yang datang ke rumah duka. Kepala sekolah dan guru-guru lainnya sibuk menghadapi para orangtua murid, pihak kepolisian, dan media yang menggali informasi tentang kematian Karisa, lupa bahwa ada seseorang di luar sana yang paling terpukul dengan kepergian Karisa. Ibunda Karisa hanya sanggup berkata "Terima ka-sih, Bu..." dengan terpatah-patah, tidak sanggup mengatakan kalimat lain. Julie mengangguk, "Ibu sudah makan?" Beliau menggeleng, "Saya tidak lapar..." Julie tahu, jangankan rasa lapar, bahkan jika saat ini beliau terluka secara fisik pun rasa sakitnya tidak mampu mengalahkan kesedihan yang sedang dia alami saat itu. Tapi bagaimanapun juga tubuhnya tetap butuh nutrisi. Julie melihat sekeliling, Ia melihat ada piring berisi nasi dan lauk pauk yang tak tersentuh sedikitpun, entah sudah berapa lama piring itu terletak di sana, juga beberapa roti dan kue kering yang mungkin disiapkan oleh Fenti, namun lagi-lagi tak mampu membangkitkan nafsu makan Ibunda Karisa. Julie berinisiatif untuk mengambil sepotong kue dan segelas air mineral, "Ibu, dimakan dulu ya kuenya, upaya perutnya tidak kosong. Ibu harus makan agar tetap sehat.” Julie berkata selembut mungkin. Sang Ibunda mengambil kue yang diberikan oleh Julie, itu adalah kali pertama ia mengunyah makanan setelah berjam-jam hanya minum air mineral. Namun setelah itu terjadi hal yang tak terduga oleh Julie. Tiba-tiba saja Ibunda Karisa menatap mata Julie lekat-lekat, kedua mata mereka saling bertatapan selama dua menit. Saat itulah sang ibu menyampaikan pesan yang tak terucap namun mampu terdengar oleh Julie. “Tolong bantu Karisa menemukan cahaya terangnya. Saya percaya bahwa kematian anak saya tidak seperti yang mereka bicarakan, anak saya tidak mungkin bunuh diri. Saya adalah orang yang paling mengenal dirinya, tak ada seorang pun yang bisa memahami Karisa sebagaimana saya memahaminya. Tolong cari tahu penyebab kematian Karisa, bahkan jika ada orang lain yang terlibat dengan kasus kematian Karisa, saya mohon segera temukan orang itu. Saya tidak bisa mempercayai siapapun, saat ini saya hanya bisa berharap kepada Tuhan dan Anda agar misteri dari kasus ini bisa terungkap. Saya ingin Karisa beristirahat dengan tenang. Mohon bantu saya. Saya sangat mengandalkan Anda.” Ibunda Karisa seolah tahu bahwa Julie mampu mendengar pesan yang tak bersuara. Dia ingin hanya Tuhan dan Julie yang mendengar pesan tersebut, bahkan dinding kamarnya pun tak dia izinkan untuk mendengar pesan tersembunyi itu. Julie terkejut selama beberapa saat, tidak menyangka bahwa Ibunda Karisa akan menyampaikan pesan sesakral itu. Kalimat bahwa beliau akan mengandalkan Julie membuatnya merasa sedikit terbebani. Tapi saat itu juga Julie sadar bahwa tanpa dimintapun dirinya akan berusaha untuk mengungkap fakta di balik kasus kematian Karisa. Julie menggenggam tangan Ibunda Karisa dengan erat seraya mengangguk dan berkata, "Pasti, Bu. Saya akan memastikan Karisa bisa beristirahat dengan tenang di sana." Tanpa terasa air mata Julie pun menetes. ****** Seseorang menyadarkan Julie dari lamunannya, "Bu Julie?" ucapnya "Eh?" jawabnya terkejut karena tiba-tiba sang kepala sekolah sudah berada di depannya. Adiwiyata tertawa kecil melihat respon Julie yang terlihat kebingungan, "Apa ada masalah, Bu?" Tanyanya. Julie memilih untuk tidak membahas hal itu, dia lalu menggeleng dan tersenyum, "Tidak ada, Pak. Ngomong-ngomong, bapak mau kemana?" Adiwiyata mengangguk pelan, "Syukurlah, saya memang ingin menemui Anda, ada yang ingin saya bicarakan. Bisa ke ruangan saya sebentar?" Tanyanya. Pembahasan yang ingin dibicarakan oleh kepala sekolah pasti bukan hal sepele, ia lalu mengiyakan dan mengikuti Adiwiyata yang mulai berjalan menyusuri koridor sekolah menuju ruangannya. Angin sepoy-sepoy dan suara gemuruh mulai terdengar. Beberapa hari terakhir daerah Cipatat memang sering dilanda hujan lebat. Perubahan iklim membuat bumi mengalami perubahan cuaca yang ekstream dan sulit ditebak. Suasana sekolah menjadi semakin sepi dan dingin. Semua murid dan guru-guru sudah berada di dalam kelas, memulai kegiatan belajar mengajar. Kini Julie berjalan beriringan dengan Adiwiyata, untuk memecah keheningan yang ada, Adiwiyata lalu memulai percakapan, namun matanya tetap fokus ke depan, memandangi koridor sekolahan yang sudah di kelolanya selama bertahun-tahun, "Sejujurnya saya merasa tidak enak dengan Anda, peristiwa mengenaskan justru terjadi saat Anda baru bekerja di sekolah ini. Kematian Karisa sungguh di luar dugaan siapapun. Kita tidak pernah membayangkan akan ada seorang murid yang tewas di sekolah ini. Itu menjadi pukulan telak bagi kami untuk lebih memperhatikan kesehatan mental para murid-murid..." Perkataan Adiwiyata sedikit mengganggu Julie, "Maaf, apa Bapak juga menganggap bahwa Karisa tewas karena bunuh diri?" Langkah Adiwiyata ikut terhenti agar tetap berdiri sejajar dengan Julie, menoleh ke arahnya sebelum kemudian lanjut melangkah, "Sikapnya dalam keseharian menunjukkan jika Almarhumah sedang tidak baik-baik saja. Para remaja memiliki mental yang belum stabil, mereka seringkali tidak berhati-hati saat mengambil keputusan, tidak berpikir panjang." Kini mereka berdua sudah tiba di depan ruangan Adiwiyata, "Tapi polisi belum menetapkan kasus ini sebagai kasus bunuh diri, pak." Ujar Julie sedikit lantang, ia tidak terima jika sang kepala sekolah ikut-ikutan menganggap bahwa Karisa mengakhiri hidupnya sendiri. Adiwiyata sedikit terkejut dengan suara Karisa yang terdengar lantang, ia kemudian melihat sekeliling, "Mari kita bicarakan hal ini di ruangan saya." Seperti biasa, Julie segera duduk di sofa tamu sementara Adiwiyata mengambil air mineral botol sebagai suguhan untuk Julie. Sekali lagi, Julie mengulang ucapannya yang belum ditanggapi oleh Adiwiyata, "Tapi pihak kepolisian belum menetapkan kasus kematian Karisa sebagai kasus bunuh diri, Pak. Bagaimana bisa pihak sekolah membuat kesimpulan seperti itu?" Adiwiyata mengela napas dengan berat, dia pasti mendapat tekanan dari banyak pihak sejak terjadi kasus kematian di sekolah yang dipimpinnya, menghadapi para awak media, orangtua murid, Dinas Pendidikan, Pihak Kepolisian, dan para donatur sekolah. "Saya tahu, Bu Julie, tapi untuk saat ini saya pikir lebih baik bagi kita untuk menjaga situasi dan kondisi agar tetap tenang. Kegiatan belajar mengajar harus tetap berlangsung normal demi kebaikan murid-murid. Kita tidak bisa mengorbankan ratusan murid hanya karena masalah ini." Ujarnya seraya menatap ke luar jendela. Pemandangan luar jendela yang ada di ruangannya saat itu hanya menampakkan ribuan tetes air hujan yang turun ke bumi. Mata Julie terbelalak, "Hanya karena masalah ini? Seorang siswi mati di sekolahnya sendiri bukanlah masalah sepele, Pak. Kita harus menyelidiki kasus ini, kita harus tahu penyebab kematian Karisa. Jika ada orang lain yang terlibat dalam kematian Karisa, maka kita harus menemukan orang itu. Dan...jika Karisa...benar-benar mengakhiri hidupnya seperti yang semua orang bicarakan, kita juga harus tahu motif dibalik tindakannya. Jangan sampai hal yang menimpa Karisa terjadi juga pada murid-murid yang lain. Adiwiyata mengangguk setuju sekaligus berupaya untuk menenangkan Julie yang terlihat sangat emosional, "Saya setuju, saya juga ingin menyelesaikan masalah ini sampai tuntas, hanya saja para orangtua murid dan Dinas Pendidikan meminta agar tidak membesar-besarkan masalah ini. Juga, kita harus bertindak hati-hati karena para donatur sedang mengawasi masalah ini." "Dinas Pendidikan???" Tanyanya heran. Adiwiyata menyandarkan tubuhnya di sofa, "Ya, petugas dari Dinas Pendidikan ingin kita tidak terlalu membesar-besarkan kasus ini ke media. Sebab mereka juga pas bisa kena sanksi dari Kementerian karena dianggap tidak becus mengawasi sekolah-sekolah yang ada di wilayahnya. Jika kasus ini terus di perpanjang, seluruh masyarakat Indonesia akan menyoroti sekolah ini. Akan ada banyak pihak yang dirugikan nantinya." Jelasnya panjang lebar. Julie menggeleng tak habis pikir. "Lalu bagaimana dengan orangtua Karisa, Pak? Ibunya menunggu kejelasan atas kasus yang terjadi pada anaknya. Juga Karisa, apa menurut Bapak, Karisa bisa beristirahat dengan tenang di sana jika fakta di balik kematiannya tak terungkap?" "Bu Julie, saya paham jika Anda adalah walikelas Karisa, meski akan belum lama mengenalnya tapi tampaknya Anda sudah memiliki ikatan emosional dengannya. Anda sungguh sudah menjalankan peran sebagai walikelas dengan baik. Dan untuk masalah Ibunda Karisa, pihak sekolah akan memberikan kompensasi sejumlah uang, juga kita akan menyewakan Psikolog untuk mendampingi beliau selama masa pemulihan. Kita semua tahu betul kalau Karisa adalah anak sulung harapan sang Ibu." "Bapak mengenal keluarga Karisa?" Adiwiyata membenarkan kacamata bacanya yang turun dari tulang hidung, "Tidak secara langsung, hanya saja saya selalu membaca biodata para murid-murid agar mengetahui latarbelakang mereka, karena saya rasa itu bisa membantu saya mengenal mereka secara personal. Ya, saya kan kepala sekolah, tidak seperti walikelas atau guru-guru mata pelajaran khusus yang berkontakan langsung dengan murid-murid." Adiwiyata memang seseorang yang teliti dan detail, tidak heran jika dia mendapat penghargaan sebagai Kepala Sekolah terbaik. Dia menjalankan peran dan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Tapi khusus kasus ini, sepertinya Adiwiyata memilih untuk sedikit mengendur karena banyak pihak yang "ikut campur". Berbeda dengan Julie, meski pimpinannya meminta dia untuk tak membesar-besarkan kasus Karisa, tapi Julie tetap bertekad untuk menyelidiki kasus ini dengan caranya. Awalnya dia juga berniat untuk memberitahu Adiwiyata jika dia akan bertemu dengan seorang reporter yang meliput kasus kematian Karisa, tapi mendengar perkataan Adiwiyata barusan, ia jadi mengurungkan niatnya. "Saya harap Bu Julie bisa bekerja sama dengan pihak sekolah. Semua ini kami lakukan demi kebaikan bersama, demi nama baik sekolah serta ketenangan murid-murid." Ujar Addiwiyata untuk terakhir kali sebelum mereka mengakhir perbincangan siang itu. Julie tidak menanggapi ucapan pimpinannya, dia langsung izin pergi meninggalkan ruangan, "Saya permisi dulu Pak, sebentar lagi kelas saya akan dimulai." Adiwiyata mengiyakan, Julie lalu berjalan meninggalkan ruangan seraya berkata pelan, "Persetan dengan nama baik sekolah, aku akan mengungkap fakta di balik kasus tak wajar ini." ****** Tempat berpindah ke Polres Bandung Barat yang sore itu cukup dipenuhi oleh banyak orang. Ya, sudah seminggu terakhir ini banyak masyarakat Bandung Barat yang membuat laporan, mereka adalah korban dari investasi bodong yang dilakukan oleh oknum tertentu. Korbannya bukan hanya satu atau dua orang, tapi ratusan orang. Total kerugian yang timbulkan pun tak main-main, yakni mencapai 10 milyar rupiah. Baron memang tak menangani kasus itu, tapi salah satu rekan dekatnya adalah petugas yang pemimpin kasus penipuan investasi bodong tersebut. Rekannya itu bercerita bahwa pelaku investasi bodong itu dilakukan oleh satu orang, pelaku memulai dari teman-teman terdekat untuk mengikuti investasi tersebut. Awalnya investasi berjalan dengan lancar, peserta mendapatkan keuntungan dari modal yang mereka tanam. Itulah mengapa semakin banyak orang yang ikut berinvestasi karena menganggap pemilik adalah orang yang amanah dan terpercaya. Mulai dari belasan peserta hingga ratusan peserta, mulai dari ratusan ribu hingga ratusan juta. Tidak sedikit korban yang berinvestasi pada pelaku hingga ratusan juta rupiah, itulah mengapa total kerugian bisa mencapai 5 milyar rupiah. Namun begitu lah sifat manusia, tidak pernah merasa puas terhadap apa yang telah mereka dapatkan. Selalu ingin bertambah lebih dan lebih. Sang pelaku yang awalnya hanya ingin mendapat keuntungan dari biaya admin, perlahan mulai merasa kurang dan menggunakan uang anggota untuk memenuhi gaya hidupnya. Pun dengan para korban yang awalnya berharap bisa menambah uang mereka dengan cara "mudah". Para korban menggunakan semua tabungan yang mereka miliki dengan harapan bahwa uang tersebut akan bertambah banyak jika mereka investasikan. Namun naas, mereka memilih tempat yang salah untuk berinvestasi. Andai saja kedua pihak--baik pelaku maupun korban--tidak serakah dan lebih berhati-hati dalam mengelola uang, kasus seperti itu pasti bisa dihindari. Kasus seperti itu biasanya masuk dalam hukum perdata, namun tak jarang korban memilih untuk memasukkannya dalam hukum pidana. Apalagi jika pelaku dirasa tidak jera dengan efek hukum perdata, korban pasti ingin memasukkan pelaku ke hotel prodeo. Saat ini, seluruh korban sudah membuat laporan di Polres Bandung Barat, itulah mengapa kantor polisi dipenuhi oleh para korban. Baron sampai geleng-geleng kepala ketika melewati ruangan divisi tersebut, hingga tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya, "Kau pasti merasa bersyukur karena tak pernah menangani kasus investasi bodong." Itu adalah Sutan, petugas yang pemimpin kasus tersebut. Tangan kanannya memegang sekelas kopi hitam, sudah tiga hari ini dia kurang tidur. Mereka berdua jalan beriringan, Baron menuju ruangan divisinya, sementara Sutan menuju toilet. Baron tertawa kecil melihat ekpresi rekan kerjanya yang terlihat begitu frustasi. Menangani kasus investasi bodong memang susah-susah gampang, korban terus berdangan membuat laporan layaknya semut yang berdatangan ketika melihat gula. Baron merangkul pundak Sutan, "Aku yakin kau pasti bisa menangani kasus ini." Ujarnya dengan senyuman kecil. Sutan menghela napas, "Entahlah, setiap hari korban selalu berdatangan membuat laporan. Aku cuma heran mengapa di zaman seperti ini masih banyak orang yang tertipu dengan iming-iming keuntungan dari investasi yang tak masuk akal. Pemilik hanya perorangan, tidak ada laporan resmi mengenai pengelolaan modal yang anggota simpan, tidak ada kesepakatan resmi di atas materai, benar-benar hanya mengandalkan kepercayaan." Jelasnya. Dia memang sering bertukar cerita dengan Baron mengenai kasus yang sedang dia tangani, beberapa kali Baron memberikan saran yang berguna. "Hemmm...korbannya adalah teman-teman dekat ya, tapi siapa sangka, orang yang paling dekat dengan kita justru orang yang bisa menimbulkan malapetaka bagi diri kita sendiri. Sebab ya...orang itu sudah terlalu mengenal kita, terlalu banyak yang dia tahu tentang diri kita. Ngomong-ngomong, kau sudah melacak ponsel pelaku?" "Itu adalah hal pertama yang aku lakukan. Korban yang pertama kali membuat laporan penipuan atas kasus ini adalah anggota yang berinvestasi sebanyak 300 juta rupiah, bukan nilai yang sedikit, bukan? Jadi ya, aku segera menangani kasus ini dengan cepat. Korban memberikan nomor ponsel pelaku yang tentunya sudah tidak aktif. Tapi itu bukan masalah besar, kita kemudian menghubungi pihak provider untuk meminta data dari simcard tersebut. Setelah kita menemukan Device ID atau nomor ID perangkat yang pernah dipasangi simcard itu, kita akhirnya melacak lokasi dari perangkat tersebut..." "Lalu?" Tanya Baron tidak sabar. "Lokasi ponsel terakhir kali dideteksi berada di daerah Bogor. Tapi sayang, pelaku ternyata sudah menjual ponsel itu ke sebuah konter handphone yang terletak tidak jauh dari sebuah apartemen. Ya, kami ternyata kalah cepat dari pelaku. Jelas pelaku bukanlah seorang amatiran, dia tahu betul bagaimana cara melarikan diri, tapi aku yakin dia tidak secerdas itu untuk menghilangkan semua jejak." Sutan kemudian melanjutkan ceritanya jika selama melarikan diri, pelaku melakukan semua transaksi dengan menggunakan uang tunai, termasuk membayar sewa apartemen harian, membayar transport, dan membeli makan. Dia sama sekali tidak menggunakan kartu debit atau kartu kreditnya. Transaksi menggunakan tunai memang sulit dilacak, tidak seperti kartu debit atau kartu kredit dimana kepolisian bisa meminta akses data kepada pihak bank terkait transaksi yang dilakukan. Dengan begitu, tempat-tempat yang pelaku kunjungi bisa terlacak. Selain itu, saat ini pelaku sepertinya sedang tidak menggunakan ponsel sama sekali. Sutan harus memutar otak bagaimana cara menemukannya. Dia juga sudah menghubungi semua keluarga dan orang terdekat dari pelaku, tapi mereka semua menggeleng, tidak tahu. Sutan nyaris frustasi, hingga akhirnya Sutan memberikan secercah harapan berupa saran. "Apakah kau yakin dia benar-benar bekerja sendirian dalam kasus ini?" "Maksudmu?" Tanya Sutan tak mengerti. "Tadi kau bilang pelakunya adalah seorang wanita berusia dua puluh tiga tahun, bukan?" Sutan mengangguk, membenarkan. "Apa kau yakin dia benar-benar mengurus bisnis investasi bodong ini sendirian? Kemudian menggelapkan uang sebesar 10 milyar rupiah, dan melarikan diri secara terencana serta rapi?" Kalimat Baron mungkin terdengar seperti pertanyaan, tapi sesungguhnya dia sedang memberitahu "clue" tertentu. Dan tentu saja Abidin langsung paham apa maksud Baron. Mereka berdua adalah teman seangkatan di akademi kepolisian. Kemampuan dan keahlian Abidin dalam memecahkan suatu kasus memang tak sehebat Baron, namun dia selalu bisa "melahap umpan" yang diberikan kepadanya. Sutan menggerak-gerakkan jari telunjuknya, "Kau memang benar-benar cerdas." Ia lalu berjalan mundur seraya berkata, "Terima kasih, aku akan membuat petisi pada pimpinan untuk menaikkan pangkatmu." Lalu berlari meninggalkan Baron menuju ruangannya. Sementara Baron hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Selain Taka, Sutan adalah rekan kerja yang paling dekat dekatnya di kantor. Kepribadian Baron yang tegas dan selalu serius membuat beberapa rekan kerja lainnya merasa sungkan untuk mendekatinya. Sangat sulit untuk berteman dekat dengan Baron. Pria itu kemudian berjalan menuju ruangan pimpinannya, Bambang. Baron iingin berbicara dengan pimpinan terkait kasus kematian Mayang. Saat ini ada dua kasus yang sedang dia tangani dan harus mendapat perhatian lebih. Kasus kematian dua orang wanita yang menurutnya terasa janggal, di saat semua orang menganggap Karisa bunuh diri dengan meloncat dari gedung sekolah dan Mayang bunuh diri dengan meminum teh yang mengandung racun sianida, namun Baron merasa bahwa Karisa dan Mayang bukanlah pribadi yang dapat melakukan tindakan seperti itu. Ketika Baron memasuki ruangan Bambang, pria itu tampak sedang berbicara dengan seseorang di balik telpone yang entah siapa. Bambang mempersilahkan Baron untuk duduk melalui isyarat tangan, dia pun mengangguk dan duduk di sofa tamu. "Baik, Pak, nanti kita bicarakan hal ini lagi. Terima kasih banyak telah menyempatkan diri untuk menghubungi saya." Ucap Bambang kepada lawan bicaranya. Baron menoleh, itu pasti bukan orang sembarangan. Derajat orang itu pasti lebih tinggi dari Bambang hingga pimpinannya itu bicara dengan sangat sopan. Bambang lalu memasukkan ponselnya ke saku celana dan berjalan menghampiri Baron, kemudian duduk di depannya. "Jadi bagaimana?" tanya Bambang dengan suara berat khas bapak-bapak. "Terkait kasus kematian Karisa, saya masih terus mengumpulkan bukti-bukti yang ada. Sementara untuk kasus kematian Mayang, saya beserta tim sudah dapat menyimpulkan penyebab kematiannya. Mayang positif meninggal karena keracunan sianida. Besar kemungkinan ada seseorang yang sengaja memasukkan racun sianida ke dalam teh yang Mayang minum. Hanya saja kita belum menemukan siapa saja yang datang ke rumah Mayang pada hari kejadian. Tidak ada CCTV, tidak ada kamera dashboard, atau apapun itu yang dapat merekam kedatangan seseorang ke rumah Mayang." Bambang membaca berkas yang telah Baron siapkan, berkas ratusan lembar yang berisi temuan serta laporan penyidikan kasus kematian Mayang, dia lalu bertanya, "Apakah tidak ada saksi mata?" Baron menggeleng, itu juga yang dia sesalkan. Pelaku kemungkinan datang ke lokasi saat malam hari, ketika semua orang sudah berada di dalam rumah. Apalagi mengingat jika rumah Mayang berada di komplek kelas menengah yang penduduknya cenderung individualis. Yang Baron harapkan saat ini adalah ada jejak pelaku yang tertinggal di lokasi, atau mungkin tertinggal di....tubuh korban. "Apa kau yakin sama sekali tidak ada CCTV atau kamera dashboard di sekitar sana? Kau bilang rata-rata penduduknya adalah kelas menengah?" "Ya, keluarga kelas menengah adalah keluarga pas-pasan yang tidak bisa dibilang kaya tapi tidak juga miskin. Mereka memang bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari tapi memasang CCTV bukanlah sesuatu yang mereka pikirkan." Bambang mengangguk paham, dia jelas tahu ada tipe keluarga seperti itu masyarakat. Tapi dia tidak terlalu memberikan banyak kata-kata karena dia tahu cepat atau lambat Baron akan menemukan apa yang dicari. Dia tidak perlu mengkhawatirkan Baron karena anak buahnya itu selalu bisa diandalkan. Hanya perlu mengatakan satu kalimat hingga Baron bisa memecahkan teka-teki itu, "Itu komplek perumahan yang memungkin setiap orang untuk masuk, bukan? Maksud saya, bukan hanya penduduk di sana, juga ada…” Belum selesai Bambang bicara tapi Baron sudah menangkap apa maksudnya. “Saya mengerti, Pak! Maaf karena tidak teliti dan cermat. Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak.” Ujarnya kemudian pergi meninggalkan ruangan. Bambang hanya geleng-geleng kepala seraya tersenyum. “Tidak heran mengapa kau menjadi lulusan terbaik saat lulus dari Akademi Kepolisian.” Ucapnya, jelas dia sedang bicara sendiri. Ketika berjalan menuju parkiran, Baron berpapasan dengan Taka yang baru datang ke kantor setelah pulang ke rumah hanya untuk mandi dan berganti pakaian. Taka sudah mulai terbiasa menghabiskan lebih banyak waktu di kantor di banding di rumahnya sendiri. Bahkan untuk beberapa kasus yang sangat rumit, dia juga harus makan, mandi, dan tidur di kantor. Tapi dia belum mencapai level Baron yang tak pulang ke rumah selama tujuh hari berturut-turut. Namun entah mengapa perasaannya sangat tidak enak untuk dua kasus yang saat ini sedang mereka tangani. Taka memberi hormat pada Baron. “Apa ada yang perlu saya bantu, Bang?” Tanyanya sigap. Dilihat dari cara jalannya, Taka tahu kalau Baron pasti sedang ingin menjalankan tugas. “Coba kau cari tahu apakah ada kurir dari jasa pengiriman yang masuk ke komplek rumah Mayang pada malam kejadian.” Ucapnya sambil sibuk mencari kunci mobil di saku celana. Taka membelalakkan mata, kemudian bicara dengan penuh semangat, “Apakah ada kemungkinan bahwa pelaku menyamar jadi kurir dari jasa pengiriman untuk masuk ke rumah Mayang?” Baron menatap mata juniornya itu, sementara Taka senyum-senyum sendiri, dia percaya diri bahwa Baron pasti akan memujinya karena ia sudah cepat tanggap. Tapi harapan itu buru-buru Baron patahkan, “Pikiranmu terlalu dangkal, kau tahu bahwa pelaku sangat detail dan terencana, bukan? Dia tidak mungkin melakukan penyamaran macam itu.” “Lalu untuk apa aku memeriksa kurir jasa pengiriman?” tanyanya polos. “Apakah kau benar-benar lulusan dari Akademi Kepolisian? Kau punya orang dalam di sana?” Taka cemberut. Tapi Baron tak punya banyak waktu untuk menjelaskan banyak hal, “Kau periksa kamera dashboard dari mobil-mobil jasa pengiriman yang datang di malam kejadian. Jika kita beruntung, kita bisa mendapat jejak si pelaku.” Ucapnya jelas. "AH! Tidak heran mengapa pangkatmu cepat sekali naik. Dan sekarang, kau mau ke mana?" "Aku bosan mendengar kalimat itu. Ke TKP, ada hal lain yang ingin aku kerjakan, jadi harap lakukan tugasmu dengan baik." Dia lalu menaiki mobilnya dan menyalakan mesin, Taka memberi hormat sebagai tanda dia siap menjalankan tugasnya dengan baik. Mobil Baron kemudian melaju pergi meninggalkan parkiran Polres Bandung Barat. Sebelum menuju TKP, Baron menyempatkan diri untuk mampir di minimarket. Dia tahu kalau penyidikannya hari ini membutuhkan waktu dan tenaga, mungkin juga malam ini dia akan tidur di dalam mobil, seperti sebelum-sebelumnya. Baron membeli dua botol air mineral berukuran 300ml, dua bungkus roti sobok, 1 permen karet berisi 6pcs, serta tidak lupa 5pcs onigiri. Itu sudah cukup untuk makan malamnya nanti, meski tentu saja rasanya tidak senikmat nasi padang. Satu-satunya hal yang Baron sesalkan setelah menjadi penyidik dengan pangkat tinggi adalah dia tidak punya cukup waktu untuk menikmati makanan-makanan lezat. Baron memarkirkan mobilnya dengan jarak kurang lebih 150 meter dari TKP. Ia melihat arlogi di tangan kirinya, waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Pria itu mulai mengamati siapa saja pihak yang kemungkinan datang secara rutin ke komplek tersebut. Terpantau pukul tujuh malam ada tukang roti keliling dengan sepeda motornya yang berhenti di rumah-rumah tertentu, sepertinya dia sudah memiliki pelanggan tetap. Baron tahu di motor tersebut tidak terpasang kamera dashboard. Dia pun hanya membiarkan tukang roti itu lewat, pelaku tidak mungkin datang ke lokasi pukul tujuh malam, itu masih terlalu "sore" untuk memulai rencana busuknya. Di saat seperti ini waktu terasa berjalan dengan sangat lama. Tidak ada teman mengobrol dan tidak ada yang bisa dia lakukan selain mengamati lokasi sekitar TKP. Baron mengunyah permen karet untuk menghilangkan rasa kantuk. Dia mengucek matanya yang mulai terasa sepat. Sama seperti Sutan, dia juga sudah beberapa hari kurang tidur. Jalanan sudah sangat sepi, semua warga sudah berada di dalam rumah, masuk ke kamar masing-masing, menarik selimut, dan siap tidur setelah seharian bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Entah sudah berapa lama Baron tidak merasakan nikmatnya tidur di atas kasur empuk selama berjam-jam. Namun begitulah hidup, selalu ada hal yang harus kita korbankan ketika kita mendapat sesuatu yang diinginkan. Menjadi seorang detektif atau penyidik adalah cita-cita Baron dari dulu. Banyak hal yang harus dia lalui hingga bisa sampai di posisi yang sekarang. Air mata, darah, tangis, tawa, sepi, hingga kehilangan seseorang yang dia sayangi selama ia mengejar impiannya. Baron tidak mungkin menyerah begitu saja, setiap sedang menangani suatu kasus, ia selalu berjanji pada dirinya sendiri untuk menyelesaikan kasus tersebut hingga titik darah penghabisan. Baron tidak suka melakukan sesuatu setengah-setengah, harus sampai akhir, atau jangan dimulai sama sekali. Setelah berjam-jam menunggu, Baron mendapat jawaban atas usahanya hari itu. Dia melihat dari kaca spion bahwa ada seorang pria yang sedang naik sepeda menuju ke arahnya, tentu saja sepeda itu juga akan melewati rumah Mayang. Tanpa menunggu lama, Baron segera turun dari mobil, menunggu pria itu datang ke arahnya. Baron memintanya untuk berhenti, pria yang mengenakan celana dan baju olahraga itu kemudian berhenti, melepas earphone bluetooth tanpa kabel berwarna putih yang sejak tadi terpasang di kedua telinganya. Pria itu nampak kebingungan sekaligus sedikit takut karena ada orang asing yang tiba-tiba menghentikannya. Terlebih penampilan Baron saat sedang melakukan penyelidikan terlihat seperti "orang jahat". Tidak ingin membuang-buang waktu, dia langsung memperkenalkan diri sebagai seorang penyidik dan menyampaikan maksud tujuannya. "Apakah Anda merupakan warga yang tinggal di komplek ini?" Pria bermata sipit itu mengangguk, "Ya, rumah saya ada di gang sebelah." Jawabnya ragu. "Apa Anda selalu olahraga malam dengan sepedaan setiap harinya?" "Hemm...tidak rutin setiap hari, tapi cukup sering. Ya, sekitar 4-5 kali dalam seminggu. Tapi karena saya sudah lelah bekerja, jadi biasanya saya hanya sepedaan di sekitar komplek saja, ya kurang lebih sekitar 30-45 menit." "Anda tahu kan kalau dua minggu yang lalu, ada seorang wanita yang ditemukan tewas di rumahnya? Ia tinggal di sebelah sana, rumah bercat coklat." Tanyanya seraya menunjuk ke arah rumah Mayang. Pria itu mengangguk ketakutan. Meski tidak tinggal satu gang dengan Mayang, tapi berita kematian Mayang sudah terdengar oleh semua warga. Dan sejujurnya, itu adalah kali pertama dia kembali sepedaan di malam hari setelah kematian tetangganya itu. Dia sempat takut melewati rumah Mayang karena banyak desas desus yang mengatakan bahwa arwah Mayang masih gentayangan di sekitar rumahnya. Dan hari ini dia mencoba untuk memberanikan diri, tapi bukannya melupakan kejadian menyeramkan itu, dia justru bertemu dengan Baron yang memaksanya untuk membahas tentang Mayang. "Jadi sebelumnya, kapan terakhir kali Anda sepedaan di sekitar komplek?" Tanya Baron. "Pada malam kejadian...ya, saya ingat betul betapa terkejutnya saya mendengar kabar bahwa ada seorang tetangga yang ditemukan tewas pada pagi hari. Dan seketika saya langsung merinding karena pada malam harinya saya melewati rumah wanita itu...." "Pukul berapa Anda melewati rumah Mayang?" Baron langsung mengajukan pertanyaan pamungkas. "Kurang lebih sekitar pukul sebelas malam...." Baron menatap mata pria itu, "Di sepeda Anda terpasang kamera dashboard, kan?" Dia mengangguk, dan seketika udara terasa begitu dingin karena hembusan angin yang tiba-tiba.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN