SEPULUH

4390 Kata
Baron Kembali ke rumah Mayang yang saat ini sudah menjadi TKP. Para warga dan reporter semakin memadati TKP, mereka penasaran dengan apa yang terjadi. Beberapa reporter yang pernah bertemu dengan Baron di kasus-kasus sebelumnya bertemu lagi hari itu. Namun mereka seperti reporter pada umumnya yang datang bersamaan dengan juru kamera dan menjadi perwakilan dari salah satu stasiun televisi. Berbeda dengan Adrian, reporter pekerja lepas yang sudah tidak lagi bekerja untuk stasiun televisi mana pun. Meskipun demikian, Adrian tidak pernah ketinggalan informasi tentang kasus kriminal yang baru saja terjadi. Begitu mendengar ada seorang wanita muda yang tewas di rumahnya sendiri, Adrian langsung mencari informasi dan mendatangi TKP. Menjadi reporter pekerja lepas tak membuat Adrian patah semangat. Justru itulah yang dia inginkan, meliput dan menulis berita-berita yang berkualitas tanpa ada tuntutan untuk berhadapan dengan berita sampah terkait hubungan selebritis yang sudah disetting, atau bahkan perkelahian yang sudah diatur sedemikian rupa. Walau dengan begitu Adrian akan kehilangan gaji bulanannya, namun dia yakin dan percaya diri bahwa kerja kerasnya akan memberikan hasil yang maksimal. Adrian memiliki beberapa kenalan dari stasiun tv dan reporter, nantinya dia bisa menjual hasil liputan dan artikelnya kepada mereka. Jika itu berupa berita eksklusif, mereka pasti akan membayar mahal. Baron melihat semua reporter yang kini sudah berdiri di depannya ssecara menyodorkan mic dan alat perekam serta kamera. Mereka menunggu Baron untuk memberikan klarifikasi terkait kasus kematian yang baru saja terjadi. Baron dan Adrian ssaling tatap. Mereka sama-sama sadar jika sebelumnya mereka sudah pernah bertemu dalam kasus kematian misterius di SMA Cendikiawan. "Kami baru saja menemukan seorang mayat wanita berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Korban merupakan seorang karyawan di sebuah steam mobil atau tempat pencucian mobil, dia bekerja sebagai kasir. Jenazah pertama kali ditemukan oleh adik laki-lakinya pada tanggal 22 Agustus pagi hari. Setelah dilakukan autopsi, kami menetapkan jika korban meninggal akibat racun sianida yang ada di dalam cangkit tehnya. Kami memperkirakan jika korban meminum teh tersebut sebanyak kurang lebih dua sendok makan. Kondisi korban semakin parah karena tidak mendapat tindakan medis apapun setelah mengkonsumsi racun sianida tersebut. Berdasarkan analisis kami, racun sianida masuk ke tubuh korban sekitar pukul 11 malam malam atau pukul 1 dini hari. Dan beberapa jam kemudian, korban meninggal dunia." Seorang reporter bertubuh gemuk sudah tidak sabar untuk mengajukan pertanyaan, "Apakah korban sengaja meminum racun itu? Atau ada orang lain yang memasukkan racun ke minuman korban?" "Kami masih menyelidiki kasus ini untuk mengumpulkan bukti-bukti lainnya, sebab di lingkungan tempat tinggal korban tidak ada satupun CCTV yang terpasang." Baron kemudian mengubah pandangannya, dia tidak lagi melihat ke arah sang reporter yang mengajukan pertanyaan itu, namun dia melihat ke arah kamera, banyak stasiun tv yang lagi siaran langsung untuk meliput kasus tersebut. Baron menatapnya lekat-lekat dan berkata, "Tapi kami pastikan kalau kami akan mengumpulkan semua bukti yang berkaitan dan kasus ini, dan mengungkap fakta yang sebenarnya." Ucapnya tegas. Kalimat itu seperti dilontarkan untuk seseorang. Sesi wawancara pun berakhir, beberapa reporter masih berada di sana untuk meliput TKP, dan beberapa lagi pergi ke tempat-tempat yang berhubungan dengan Mayang, seperti steam mobil tempat Mayang bekerja, rumah sakit tempat Mayang di autopsi, bahkan bergegas mencari keberadaan dari orang-orang terdekat Mayang seperti Juna dan Iman. Ketika Baron ingin pergi meninggalkan TKP, Adrian menghadang pintu mobil Baron, membuatnya bertanya-tanya kenapa reporter itu selalu mencari gara-gara dengannya. "Anda masih ingat saya, bukan? Saya Adrian, reporter pekerja lepas yang beberapa hari lalu meliput kasus kematian seorang siswi di SMA Cendikiawan." Ujarnya. Baron mengangguk sekali, tentu dia tahu itu, ingatannya begitu tajam. Dia tidak berkata apapun, menunggu Adrian untuk mengatakan kalimat selanjutnya. Pria itu pasti memiliki maksud tujuan tertentu mengapa ia selalu ingin berkontakan langsung dengannya. "Ini kasus bunuh diri, kan?" tanyanya tanpa basa-basi. Ekspresi Baron langsung berubah, perkataan Adrian dapat membuat geger jika terdengar oleh orang lain. "Tolong hati-hati dalam menyimpulkan sebuah kasus kriminal, ini bukan kasus sepele terkait selebritis yang biasa anda liput." Baron mulai kehilangan kesabaran. Perkataan Adrian cenderung lebih berani dibanding reporter lainnya. Baron masih ingat betul bagaimana Adrian mengajukan pertanyaan spesifik di hari kematian Karisa. Adrian mengendikkan bahu dengan santai, sama sekali tidak takut dengan sikap tegas Baron, "Aku hanya mengungkap fakta yang sebenarnya, karena kalian, para polisi selalu terlambat untuk itu." Dia benar-benar berhasil memancing emosi Baron. "Apa yang sebenarnya Anda inginkan?" Tanya Baron. Adrian melirik ke arah mobil Baron, sebagai isyarat kalau dia tidak ingin berbicara di sana dan ingin pergi ke suatu tempat. Baron mempertimbangkan sejenak, instingnya sebagai seorang penyidik mulai bekerja, selalu waspada pada semua orang kapanpun dan dimanapun. Ia kemudian menyuruh Adrian masuk ke dalam mobil, duduk di samping kursi pengemudi. Hanya ada mereka berdua di dalam mobil. Namun mobil penyidik selalu dilengkapi dengan kamera dashboard dan alat perekam tersembunyi. Adrian tahu itu, dia punya kenalan beberapa penyidik di Bandung kota. Adrian melihat Baron dan berkata, "Bisa kita bicara di satu tempat?" "Saya sedang sibuk, kita bicara di sini saja." Jawab Baron cepat, matanya tetap fokus pada jalan raya yang saat itu sedang ramai lancar. Adrian tersenyum penuh makna, "Fakta bahwa ada beberapa orang yang Anda curigai sebagai pembunuh Karisa, itu sungguh mengganggu Anda, bukan?" Baron menoleh, menatap Adrian, curiga mengapa tiba-tiba Adrian membahas kasus kematian Karisa. "Apa sebenarnya mau Anda?" Kini giliran Adrian yang menatap jalan di depannya, "Simpel, izinkan saya bergabung untuk menyidiki kasus kematian Karisa dan Mayang, sebab saya dapat membantu Anda memecahkan misteri kasus ini." Baron setengah tertawa, seperti sedang meledek perkataan Adrian, "Anda bisa apa? Anda hanya seorang reporter yang kehilangan pekerjaan, dan sekarang sudah tidak ada lagi stasiun tv yang ingin menampung anda." Itu adalah kalimat balas dendam karena Adrian telah meremehkan kemampuan pihak kepolisian dalam menangani kasus. "Akan saya tunjukkan kemampuan saya, namun izinkan saya pergi ke ruang autopsi untuk melihat jenazah Karisa dan Mayang. Kedua kasus itu kini menjadi wewenang anda, bukan?" Baron tidak bisa langsung memutuskan saat itu juga, dia harus mencari tahu lebih dalam mengenai latar belakang Adrian, dia tidak ingin ada sembarang orang yang ikut campur dengan kasusnya. Ia menepikan mobilnya tepat di persimpangan jalan, lalu berkata, "Saat ini aku sedang sibuk, aku harus bergegas ke kantor polisi untuk mengurus beberapa berkas. Aku akan mempertimbangkan lagi penawaranmu, dan menghubungimu sesegera mungkin." Secara tidak langsung Baron meminta Adrian untuk turun dari mobilnya. Adrian mengangguk paham, Baron memang tidak mungkin langsung memberinya jawaban saat itu juga. "Baiklah, saya mengerti." Tangan kanannya membuka pintu mobil, "Tolong kabari saya secepatnya, Anda tentu tidak ingin dianggap tidak berkompeten karena tidak bisa menyelesaikan kasus ini, bukan?" Ucapnya tanpa melihat Baron. Baron menoleh, lagi-lagi Adrian terdengar seperti sedang meremehkan sekaligus mengancamnya. Tapi Baron tidak berkata apapun, dia membiarkan pria yang lebih muda darinya itu turun dari mobilnya. ******* Adrian berjalan memutar balik, dia meninggalkan motornya di TKP hanya untuk berbicara dengan Baron secara empat mata. Tugasnya hari ini belum selesai, dia harus pergi ke SMA Cendikiawan untuk mendapat informasi tambahan mengenai Karisa. Satu jam lagi adalah jam pulang sekolah, itu adalah waktu yang tepat baginya untuk menemui siswa-siwi SMA Cendikiawan. Sesampainya di gerbang sekolah, ia mengaku sebagai seorang wali murid yang harus bertemu dengan guru. Jika satpam sekolah tahu bahwa dia adalah seorang reporter, ia pasti akan dilarang masuk. Pihak sekolah tidak akan membiarkan seseorang di luar pihak kepolisian menyelidiki kasus tersebut. Mereka tidak ingin kasus kematian Karisa mencoreng nama baik sekolah. Mereka akan berusaha untuk menutupi kasus tersebut dari publik, dan membiarkan pihak kepolisian menyelidiki secara tenang. Para orangtua yang tergabung dalam jajaran komite sekolah pasti sudah menyiapkan semuanya. Adrian tahu itu sebab orang terdekatnya pernah mengalaminya. Dia memarkirkan motor di parkiran khusus tamu. Sekolah tersebut memang memisahkan parkiran untuk para murid, guru, tamu, dan petugas sekolah sekaligus pedagang kantin. Tepat saat itu juga bel pulang sekolah berbunyi. Para murid berhamburan keluar kelas, sebagian langsung menuju gerbang sekolah karena tidak sabar ingin pulang ke rumah, sebagian menuju tempat ekstrakulikuler masing-masing, sebagian lagi menuju kantin karena masih ingin bercengkrama dengan teman-teman. Semua murid bersikap biasa, seolah tidak pernah ada kejadian serius di sekolah ini. Padahal baru beberapa hari yang lalu teman mereka ditemukan tewas di atas aspal yang mereka injak saat ini. Apakah itu benar-benar sikap dari remaja berusia belasan tahun? Atau mereka hanya mengikuti arahan dari orang dewasa yang tak berhati nurani? Adrian berlari menuju ruang kelas Karisa dengan modal bertanya-tanya kepada para murid. Sampailah dia di depan ruang kelas yang nyaris sepi, hanya ada beberapa orang yang tersisa di sana. Dia menyapa seorang anak perempuan dengan nametag bertuliskan "Tia Indah Lestari". "Selamat siang, apa benar ini kelasnya almarhumah Karisa?" Tanya Adrian. Ekspresi Tia mendadak berubah, dari ceria karena dia akan pergi makan dengan lelaki yang dia sukai, menjadi wajah ketakutan dan panik. "I...iya benar. Anda siapa ya?" "Bisa kita bicara berdua sebentar? Tapi sepertinya tidak di sini." Ucapnya pelan. Tia sungguh takut, tapi dia tidak ingin dicurigai oleh siapapun. Jika dia menghindar, orang-orang akan berpikir dia berhubungan dengan kasus kematian Karisa. Tia pun mengiyakan ajakan Adrian untuk berbicara empat mata. Sementara itu tanpa disadari, Demi dan Fadli diam-diam memperhatikan mereka berdua dari kejauhan. Fadli kemudian menoleh ke arah Demi, mata mereka berdua saling beradu tatap, tatapan penuh makna yang entah apa. Mereka berdua memutuskan untuk berbicara di sebuah cafe kecil yang terletak di dekat sekolah. Adrian mentraktir Tia segelas bubble tea, sementara dia memesan segelas ice Americano. Berbeda dengan sebelumnya, ketika dia sedang menemui narasumber atau informan, dia seringkali menunjukkan ID card perusahaan sebagai tanda pengenal bahwa dia merupakan seorang reporter dari salah satu stasiun tv. Kali ini dia hanya menunjukkan KTP sekaligus salah satu artikel buatannya untuk menunjukkan siapa dirinya. Fakta tersebut tidak membuat Tia merasa lega, gadis itu justru merasa sudah mengambil keputusan yang salah. Dalam hati dia mengutuk dirinya karena tidak berhati-hati, dia tahu jika reporter yang ada di depannya pastilah sedang menyelidiki kasus kematian Karisa. Tapi nasi sudah menjadi bubur, ia tidak mungkin melarikan diri dari cafe itu, yang bisa dia lakukan hanya menjawab pertanyaan Adrian dengan hati-hati agar tidak menjadi boomering bagi dirinya sendiri. Jika reporter itu tahu bahwa dia pernah merundung Karisa, Adrian pasti akan mempublikasikan tentang perundungan yang terjadi di SMA Cendikiawan. Tia tidak ingin menjadi tersangka. Pertanyaan yang Adrian ajukan tidak jauh berbeda dari pertanyaan Baron tempo hari. Tia masih ingat betul apa saja yang penyidik tanyakan pada dirinya. Namun, ada satu pertanyaan yang tidak Baron tanyakan, "Siapakah guru yang paling dekat dengan Karisa?" Tia berpikir sejenak, waktu kelas sepuluh Karisa hampir dekat dengan semua guru sebab dia adalah siswi yang cerdas, namun semenjak olimpiade Geografi, ia seperti menjauh dari semua orang, para guru juga kecewa karena nilai pelajaran Karisa terus mengalami penurunan. Meski begitu, saat kelas sepuluh Karisa paling dekat dengan Bu Mei, walikelas mereka kala itu. Walau belakangan, setelah dia ingat-ingat, Karisa dan Bu Mei juga sudah tidak pernah lagi terlihat bersama. "Bu Mei?" Ucapnya memastikan, Tia mengangguk. "Apa kamu punya nomor telpone Bu Mei?" Tia bingung, dia tentu punya, tapi dia takut untuk memberikan nomor tersebut. Namun lagi-lagi Adrian memastikan bahwa dia bukanlah orang jahat, dia hanya ingin mengungkap fakta di balik kematian Karisa. Akhirnya dengan kemampuan negosiasi yang dia miliki, Adrian berhasil membuat Tia memberikan nomor Mei untuknya. Target informan pun semakin meluas. Snowball atau bola salju adalah teknik wawancara yang paling sering ia gunakan. Dimana ketika di lapangan Adrian mendapat petunjuk seseorang yang dapat dijadikan informan-informan tambahan, sehingga data yang tadinya sedikit lama-lama menjadi besar. Saat dia merasa bahwa informasi yang dia dapatkan belum memuaskan, maka dia menambah informan yang akan diwawancarai, seperti bola salju yang menggelinding dan lama-lama semakin besar. Adrian lalu membayar minuman mereka berdua di kasir, dan berterima kasih sekaligus meminta maaf karena telah mengganggu waktu luang Tia. Sementara Tia berjalan keluar cafe sambil memikirkan banyak hal, seperti penyesalan karena telah memberikan nomor sang guru tanpa izin. Sementara itu, Mei yang sedang mengambil minuman kemasan di kulkas minimarket dibingungkan dengan panggilan masuk yang berasal dari nomor yang tak dia kenal. Mei berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab panggilan tersebut, "Halo," Ucap Mei. "Halo, apa benar ini dengan Bu Mei dari SMA Cendikiawan III?" tanya Adrian. "Iya, benar. Maaf, ini dengan siapa ya?" "Selamat sore, Bu, saya Adrian, seorang reporter pekerja lepas yang saat ini sedang mengumpulkan informasi tentang kasus kematian Karisa--" DEG. Minuman jus buah yang sejak tadi dipegangnya jatuh ke lantai, menggelinding menuju kolong rak cemilan. Ekspresi wajah Mei berubah. Semua orang seolah enggan membahas kasus kematian Karisa. Tanpa membiarkan Adrian melanjutkan kalimatnya, Mei cepat-cepat berkata, "Maaf, saya sedang sibuk. Saya tidak tahu Anda mendapat nomor saya darimana, tapi yang jelas, tolong jangan hubungi saya lagi." Mei lalu memutuskan panggilan tersebut secara sepihak. Dia mengatur napas untuk menenangkan diri, wajahnya mendadak pucat. Melupakan minuman jus buah yang hendak dibeli untuk menemani sarapannya besok. Mei buru-buru keluar dari minimarket tanpa membeli apapun, kemudian berjalan cepat menuju rumahnya. Minimarket itu memang hanya berjarak kurang lebih 200 meter dari rumahnya. Ia berjalan tergesa-gesa seraya memperhatikan sekitar. Menengok ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa tidak ada orang mencurigakan di sekitarnya. Mei sungguh ketakutan, seperti sedang dikejar-kejar hantu. Hingga akhirnya dia tiba di rumah sederhana peninggalan orangtuanya. Saat ini ia hanya tinggal bersama kakak perempuan yang tidak pernah peduli dengannya. Mereka hidup satu atap tapi bertingkah seperti orang asing yang tak saling kenal. Ada kejadian di masa lalu mengapa hubungan mereka berdua menjadi seperti itu. Mei membanting pintu masuk dengan keras. Kemudian menyandarkan tubuh dibalik pintu, menghela napas lega. Sang kakak yang sedang berjalan menuju dapur berhenti sejenak melihat tingkah aneh adiknya, namun seperti biasa, ia tidak mengatakan apapun. Ia tidak bertanya pada sang adik apa yang sedang terjadi, atau mengapa adiknya terlihat begitu ketakutan. Ia memilih untuk menutup mata dan melanjutkan aktivitasnya. Di luar dugaan, reporter itu masih mencoba menghubungi Mei. Ponselnya kembali berdering, namun kali ini dia segera menonaktifkan ponselnya dan buru-buru masuk kamar. Ia perlu menenangkan diri, sebab membahas kasus kematian Karisa hanya menimbulkan trauma bagi dirinya. Ia berniat untuk tutup mulut dan menyimpan semua rahasia yang dia tahu hingga akhir hayat, sebab dia tidak ingin apa yang terjadi pada Karisa terjadi pula pada dirinya. Adrian merasa ada yang tidak beres, seorang guru yang pernah sangat dekat dengan muridnya justru bertingkah seperti orang asing saat murid tersebut meninggal dunia. Rasa ingin tahu yang ada dalam diri Adrian begitu besar, itulah mengapa ia selalu berpikir jika dia memang diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi seorang reporter. Mendapat penolakan dari seorang informan tidak sekali dua kali dia alami, itu sudah menjadi bagian dari pekerjaannya. Ia tidak menyerah meski Mei menghindarinya ketika di telepone. Hari ini dia kembali datang ke SMA Cendikiawan III untuk menemui Mei. Ia berjalan menuju ruang guru, kemudian berpapasan dengan Adiwiyata yang baru saja keluar dari sana. Adiwiyata meminta para guru untuk tetap konsentrasi dalam mengajar meski sekolah mereka baru saja mengalami peristiwa duka, hal itu demi kebaikan siswa-siswi, begitu katanya. Beliau tersenyum ramah pada Adrian, "Anda siapa, ya?" Tanyanya. Melihat seragam yang dikenakan oleh Adiwiyata, Adrian tahu bahwa pria itu adalah kepala sekolah di sekolah ini. Karena dia masih berhati-hati, Adrian hanya berkata, "Saya Adrian, temannya Bu Mei. Apa beliau ada di dalam?" "Oh, ada. Silahkan masuk." Jawab Adiwiyata. Dia lalu berjalan pergi menuju ruangannya, meninggalkan Adrian. Setelah tujuh langkah, dia menoleh ke belakang dan melihat Adrian sudah memasuki ruang guru. Adrian masuk dengan wajah sedikit kebingungan, ada banyak dewan guru yang terlihat sangat sibuk. Beberapa dari mereka masih menyiapkan materi untuk pembelajaran, beberapa menginput data siswa di komputer kerjanya, beberapa menjawab panggilan telepone dari wali murid dan pihak-pihak tertentu yang masih ingin tahu tentang kasus kematian Karisa, dan beberapa lagi sudah bangun dari kursinya untuk bergegas menuju ruang kelas, termasuk Mei. Secara tidak sengaja, orang yang pertama kali Adrian sapa adalah Mei, padahal dia tidak tahu wajah Mei seperti apa, niatnya hanya ingin bertanya, "Selamat siang, saya Adrian. Maaf saya ingin tanya, apa Bu Mei ada?" Tanyanya polos, tidak tahu bahwa wanita yang berdiri di hadapannya adalah orang yang dia cari. Mei langsung tahu kalau Adrian adalah orang yang menghubunginya kemarin sore, dia langsung berjalan cepat seraya berkata, "Maaf saya sedang sibuk karena harus mengajar." Adrian mencoba menahan Mei, "Kalau begitu apa kita bisa bicara setelah jam pulang sekolah?" ia tak pantang menyerah. Pemandangan itu cukup mengalihkan perhatian Julie, dia tidak tahu siapa pria yang sedang berbicara dengan Mei, serta bagaimana hubungan keduanya, tapi yang dia lihat Mei tampak risih berbicara dengan pria tersebut. Saat dia ingin menghampiri keduanya, April justru datang ke meja kerjanya, "Bu Julie, ini data-data yang kamu minta kemarin." Itu adalah file mengenai metode pembelajaran yang digunakan di SMA Cendikiawan III. "Oh iya, Bu April terima kasih banyak ya." Meski seumuran, mereka tetap menggunakan bahasa formal dan panggilan 'Bu' saat sedang jam pelajaran. Namun jika sedang berdua saja, mereka tidak sungkan untuk memanggil nama dan menggunakan bahasa informal. Julie beranjak dari kursinya, ingin mengejar Mei dan pria asing yang sudah keluar dari ruang guru. Namun terhalang karena April memintanya untuk memeriksa file tersebut, dia ingin Julie langsung bertanya jika ada hal yang tidak dimengerti. "Coba cek dulu ya, kita bisa diskusiin itu. Jam mengajarmu masih beberapa jam lagi kan?" April benar, sebagai walikelas baru di SMA tersebut, banyak hal yang belum dia ketahui, harus bertanya pada rekan-rekan kerja yang lain. Berbeda dengan Adrian yang masih berjalan cepat mengikuti langkah kaki Mei. Dia tidak menyangka seorang wanita yang mengenakan heels bisa berjalan secepat itu. Mei seperti sudah terbiasa menghindari kejaran orang. Sadar jika sang reporter masih mengikuti, Mei menghentikan langkahnya sebelum masuk ke ruang kelas, hanya tinggal beberapa langkah lagi hingga dia dapat melihat wajah murid-muridnya. "Apa mau Anda?" Tanya Mei dengan suara gemetar. Adrian bingung, mengapa Mei terlihat begitu ketakutan. Padahal penampilannya kala itu tidak seperti orang jahat yang patut dicurigai, lagi pula mereka kini berada di sekolah, jadi tidak mungkin jika dirinya berbuat macam-macam pada Mei. Namun entah mengapa Adrian merasa seperti ada seseorang yang sedang mengawasi mereka. Ia melihat sekeliling untuk memastikan, tapi tak melihat siapapun. Lorong sekolah dalam keadaan sepi, semua murid berada di dalam kelas karena jam pelajaran sedang berlangsung, pun tidak nampak petugas kebersihan di sekitar mereka. Sebagai seorang reporter, Adrian juga mencari tahu pendapat publik mengenai kematian Karisa di sekolah ini. Secara diam-diam, dia mengobrol dengan masyarakat yang tinggal di dekat sekolah. Mereka berkata bahwa setelah kejadian itu entah mengapa suasana menjadi sedikit berbeda. Di hari kejadian para murid dipulangkan lebih awal, namun sekolah masih dipenuhi dengan petugas kepolisian, reporter, dan warga yang penasaran, tapi tiga hari kemudian, perbedaan itu mulai dirasakan. Pihak sekolah memutuskan untuk meniadakan kegiatan ekstrakulikuler selama satu minggu. Selain karena permintaan orangtua murid, sekolah juga memilih untuk mengutamakan keselamatan murid-murid. Selama satu minggu, sekolah sudah sepi sejak pukul tiga sore. Tidak ada lagi murid-murid yang berlatih paskibraka, bermain basket, atau berkumpul di lab bagi mereka yang bergabung dalam Karya Ilmiah Remaja. Bahkan, warung Ceu Unun yang biasa dijadikan tempat nongkrong oleh siswa laki-laki pun ikutan tutup lebih awal. "Jujur saya teh merinding 'A, biasanya saya tutup jam sepuluh malam, tapi sekarang mah jam lima sore aja saya sudah beres-beres." Ujar Ceu Unun seraya menyajikan segelas kopi hitam untuk Adrian. Demi mendapatkan informasi yang akurat, Adrian sering menjadi "Bunglon" saat berada di lapangan. Dia bisa menjadi siapa saja, bukan Adrian si reporter yang sedang mencari data. Seperti saat itu, dia berlagak menjadi orang biasa yang tidak sengaja lewat SMA Cendikiawan III dan berteduh di warung Ceu Unun karena turun hujan. Dia yakin bisa mendapatkan banyak informasi di warung sederhana itu, sebab cara paling mudah untuk mentransfer data adalah melalui mulu ke mulut. Dan benar saja, setibanya di sana, Ceu Unun sedang membahas kematian Karisa bersama dua akang-akang pekerja bangunan yang sedang merenovasi sebuah ruko di depan sekolah. Jadilah Adrian bergabung dalam percakapan mereka. "Tapi Eceu kenal sama almarhumah? Maksud saya, siapa tau dia pernah beli sesuatu di toko ini." Ceu Unun menggeleng sekaligus mengangguk, Adrian mengerutkan kening, tidak mengerti. "Saya gak kenal sama orangnya, tapi pas saya lihat fotonya, saya ingat kalau almarhum pernah beli pembalut di sini." Suara petir terdengar begitu kencang tepat saat Ceu Unun menyelesaikan kalimatnya, seolah langit--dan mungkin Karisa--mendengar percakapan mereka. Sontak semua orang yang ada di warung menutup telinga. Selain Adrian, Ceu Unun, dan dua pekerja bangunan, saat itu juga ada seorang wanita pekerja pabrik yang sedang makan mie instan. Dia baru pulang bekerja karena masih mengenakan seragam pabrik. Satu jam lagi warung Ceu Unun akan segera tutup, Adrian tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang tersisa. Ia lanjut bertanya, "Kejadian itu sudah setahun lalu tapi Eceu masih ingat?" Perempuan asli Sunda berusia empat puluh tahun itu mengangguk cepat, tangan kanannya tetap fokus menaburkan bawang goreng. Dua pekerja bangunan itu akhirnya memesan mie instan rebus, hujan-hujan begini memang paling nikmat menyantap semangkok mie instan rebus merek tertentu dengan slogan "Seleraku~". "Masih ingat saya teh, anaknya cantik dan sopan. Kebetulan dia punya mata yang sama kayak anak saya, jadi serasa melihat anak sendiri. Tapi kayaknya orangnya gak banyak bicara, saya teh kan biasa ajak obrol para pembeli ya, pas saya tanya-tanya dia cuma jawab seadanya. Habis itu dia gak pernah beli apa-apa lagi di warung saya. Tapi saya tahu kalau namanya Karisa, makanya pas kejadian kemarin saya teh kaget banget. Pas saya pastiin orangnya dengan melihat foto almarhumah, ternyata benar, itu Karisa yang setahun lalu beli pembalut di warung saya." Adrian harus mengakui bahwa daya ingat Ceu Unun sangat baik. Dia penasaran dengan orang yang menunjukkan foto Karisa kepada Ceu Unun, "Oh, itu teh si Fadli, anak yang sesekali nongkrong di sini." "Fadli? Dia dekat dengan Karisa?" Ceu Unun mengangguk, "Ih, udah atuhlah jangan ngomongin itu lagi, saya teh langsung merinding nih. Tah liat tah bulu-bulu saya..." Ujarnya seraya memperlihatkan bulu tangannya yang sudah berdiri. Dua pekerja bangunan itu sontak tertawa melihat tingkah Ceu Unun, "Entong siga kitu, Ceu. Orang yang sudah meninggal teh sudah gak ada lagi di dunia, aya di akherat sana." Pria berkulit hitam legam mencoba menasihati Ceu Unun. Entah atas dasar apa, tiba-tiba Adrian menanggapi ucapan pria tersebut, "Tapi bagaimana jika urusannya di dunia belum selesai?" Ucapnya seraya menatap mata pria itu, untuk sepersekian detik Adrian terlihat bukan seperti dirinya sendiri. Suasana mendadak hening, pertanyaan dari Adrian terdengar begitu menakutkan, ditambah dengan tatapan dan ekpresi wajahnya. Petir dan kilat kembali hadir. Kini bukan hanya Ceu Unun saja yang merinding, kedua pekerja bangunan pun merinding. Mereka buru-buru menghabiskan mie instan, membayarnya, serta bergegas pergi. Wanita pekerja pabrik juga sudah pergi lima menit yang lalu. Kini hanya ada Adrian dan Ceu Unun di sana. Ceu Unun buru-buru menutup warungnya. Sementara Adrian diam beberapa detik, sadar bahwa yang berbica beberapa menit lalu bukanlah dirinya. Kini giliran Mei yang sedikit bingung karena Adrian tiba-tiba saja melamun, pikirannya entah kemana. "Maaf saya tidak ada waktu untuk Anda." Ucap Mei seraya membalik badan. Dengan cepat Adrian tersadar, menahan lengan Mei agar tidak pergi. Dan reaksi Mei sedikit berlebihan, dia langsung ketakutan saat tangan Adrian menyentuh lengannya, keringat bercucuran dari pelipisnya, "Maaf..." Ujar Adrian, lalu cepat-cepat melepaskan tangannya. "Maaf, saya benar-benar tidak ada niat buruk, saya hanya ingin bertanya mengenai almarhumah Karisa, sebab saya dengar Anda cukup dekaat dengannya." Lagi-lagi Adrian merasa seperti ada yang mengawasinya. "Saya tidak tahu apapun tentang Karisa." Jawab Mei tegas, namun pelan, khawatir jika ucapannya terdengar orang lain. Di saat itulah muncul Julie dari balik tangga, selesai berdiskusi dengan April, dia buru-buru menuju kelas tempat Mei akan mengajar. Dan benar saja, Mei masih bersama dengan pria asing itu. Khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan pada rekan kerjanya, Julie menghampiri Mei dan Adrian, lalu berkata, "Selamat siang, Bu Mei. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Julie, ia sengaja mengeraskan volume suaranya. Mata Mei beradu tatap dengan mata Julie, Julie bisa mendengar isi pikiran Mei, "Tolong bantu saya, pria ini membuat saya takut." Julie berdeham kemudian melirik ke arah Adrian, memperhatikan pria yang sedikit lebih tinggi darinya dengan setelan kemeja polos serta celana jeans. Meskipun baru pindahan, namun Julie yakin jika pria itu bukan bagian dari SMA Cendikiawan III. Julie beralih lagi pada Mei, "Bu Mei, sepertinya Anda harus masuk kelas sekarang, jam pelajaran sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu." Julie dapat melihat rasa lega dari ekspresi wajah Mei, wanita itu hanya mengangguk sekali pada Julie kemudian segera masuk ke kelas. Kini hanya ada Julie dan Adrian di sana. Penasaran, ia lantas bertanya, "Maaf, saya tidak bermaksud untuk ikut campur, tapi sepertinya Bu Mei tidak nyaman berbicara dengan Anda." Ucap Julie pada Adrian. Karena Julie langsung to the point, Adrian pun merasa tidak ada gunanya jika ia basa-basi, "Apa Anda kenal dengan Karisa? Siswi yang beberapa saat lalu ditemukan tewas di sekolah ini." Mata Julie terbelalak, tidak menyangka bahwa pria itu akan membahas almarhumah Karisa. "Apa hubungan Anda dengan Karisa?" Julie tidak menjawab pertanyaan Adrian, sebaliknya, dia justru bertanya pada Adrian. Adrian menyipitkan mata, meski reaksi Julie tidak seperti Mei ketika ditanyai tentang Karisa, tapi itu cukup membuatnya penasaran, "Saya Adrian, reporter pekerja lepas yang sedang menyelidiki kasus kematian Karisa. Boleh saya minta kontak Anda? Saya rasa kita harus berbicara empat mata, tapi tidak di sini." Ujarnya. Julie menatap mata Adrian, mata mereka beradu tatap selama beberapa detik hingga Julie bisa mendengar pikiran Adrian, "Aku harap kita bisa bekerja sama, aku ingin mengungkap fakta di balik kasus kematian Karisa." Itu cukup bagi Julie untuk menganggap bahwa Adrian bukan orang jahat yang memiliki niat buruk. Julie kemudian menyebutkan nomor ponselnya. Adrian mengangguk, mengucapkan terima kasih kemudian pamit meninggalkan Julie. Mereka sepakat untuk membicarakan pertemuan melalui panggilan telpone, karena entah mengapa Adrian merasa tidak aman berada di sekolah itu lama-lama. Julie menatap punggung Adrian yang semakin menjauh darinya. Ada banyak hal yang dia pikirkan saat berbicara dengan reporter itu. Julie tahu seorang reporter akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan informasi apapun agar mereka bisa menulis artikel atau menyiarkan berita dengan kasus-kasus yang dapat menarik perhatian publik. Salah seorang teman lamanya yang juga berprofesi sebagai reporter bahkan harus tidur di mobil saat sedang menyelidiki kasus perselingkuhan artis papan atas dengan seorang pejabat politik, atau hanya makan roti saat sedang mengawal kasus sidang perceraian seorang pengusaha kaya raya. Namun yang membuatnya bingung adalah, mengapa Adrian begitu tertarik dengan kasus kematian Karisa? Apa hubungannya dengan Karisa? Atau apa hubungan dia dengan kasus itu? Pada hari kejadian memang ada banyak reporter dan stasiun tv yang meliput kasus kematian Karisa, tapi seiring berjalannya waktu, seiring munculnya kasus-kasus kriminal lain, para reporter itu beralih menuju kasus lain, publik pun mulai kasus Karisa. Bagi orang lain, Karisa mungkin hanya seorang gadis remaja yang ditemukan mati di sekolahnya sendiri, tapi bagi orang lain, Karisa adalah dunianya. Setidaknya bagi seorang wanita berusia empat puluh lima tahun yang kini hanya bisa terbaring lemah di atas tempat tidurnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN