Julie menghentikan motornya di sebuah warung makan atau restoran sederhana yang menjual beragam masakan sunda. Dia sudah ada janji "makan malam" di sana bersama seorang pria yang dia temui tadi siang.
Adrian terlihat sudah duduk di saung kecil, dia memilih untuk makan di luar ruangan karena merasa terlalu pengap jika makan di dalam. Apalagi pertemuan mereka kali ini tidak hanya sekedar makan malam, mereka ingin membicarakan kasus penting yang sebenarnya tidak boleh didengar oleh sembarang orang. Tidak banyak pengunjung yang memilih makan di saung-saung, selain karena lagi musim hujan yang menyebabkan banyaknya nyamuk, udara malam itu juga terasa cukup dingin. Sayup-sayup terdengar suara jangkrik meski waktu masih menunjukkan pukul tujuh malam.
Adrian tidak tahu makanan yang Julie sukai dan makanan apa yang tidak boleh dimakan oleh wanita itu, ia mencari aman dengan lebih dulu memesan dua es kelapa muda yang disajikan langsung di batok kelapanya, seporsi singkong goreng, serta bakar. Makanan utama bisa dipesan nanti, pikirnya. Julie tidak terlambat, hanya Adrian yang datang lebih awal sebab tidak ada lagi yang harus dia kerjakan. Fokusnya saat ini adalah mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang kematian Karisa, dan karena seorang penyidik yang dia kenal--Baron--belum juga memberinya jawaban, jadi hanya Julie harapan satu-satunya saat ini.
"Selamat malam." Ucap Julie ketika tiba di depan saung sederhana itu.
"Malam, silahkan duduk." Jawab Adrian. Menjadi seorang reporter membuat Adrian tidak canggung ketika bertemu dengan orang baru. Bagi seorang reporter, siapapun orang yang bisa memberikan informasi, maka orang itu adalah "teman" yang harus mereka dekati. Tidak ada rasa takut apalagi canggung. Adrian tidak pernah membatasi ruang lingkup pergaulannya seperti hanya ingin bertemu dengan beberapa pihak atau menghindari golongan tertentu. Dia bergaul dan berteman dengan siapa saja. Saat sedang meliput kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang pejabat BUMN, Adrian jadi mendapat banyak kenalan pejabat yang duduk di pemerintahan. Ketika sedang meliput kasus perselingkuhan artis, Adrian jadi berteman dekat dengan pegawai salon mewah yang lebih suka dipanggil "Sista" daripada "Mas". Atau, dia juga jadi akrab dengan penjual bakso keliling yang setiap hari berdagang di depan rumah-rumah kontrakan, dan satu diantara penyewa merupakan seorang bandar narkoba. Dan kali ini, Andrian berkenalan dengan seorang guru muda terkait dengan kasus kematian muridnya.
Julie kemudian duduk di depan Adrian, mereka berdua terhalang oleh meja kayu berukuran sedang. Julie memandang sekeliling, itu adalah kali pertama ia berkunjung ke sana. "Aku tidak menyangka kau memilih tempat ini. Apakah tidak ada tempat lain?" Sejujurnya Julie merasa sedikit takut, saung-saung tersebut tidak terlalu dekat dengan bagian outdoor dan dapur warung makan. Terlebih hanya mereka berdua yang saat itu makan di saung-saung.
Adrian tersenyum, "Ini adalah tempat terbaik untuk membicarakan kasus itu." Ujar Adrian.
Benar, tujuan mereka bertemu adalah untuk membicarakan kasus kematian Karisa, Julie tidak seharusnya berfokus pada hal lain. "Kita belum berkenalan dengan layak sebelumnya. Saya Julie, guru baru di SMA Cendikiawan III yang menjadi walikelas Karisa."
"Jadi Anda baru mengajar di SMA Cendikiawan III?"
Julie mengangguk, "Ya, baru satu bulan. Dan dua minggu kemudian ada salah satu murid kelasku yang mengalami musibah itu. Aku bahkan belum mengenalnya dengan cukup baik."
Pada awalnya Adrian menaruh harapan besar pada Julie, ia berharap bahwa Julie sangat mengenal Karisa dan bisa memberinya banyak informasi. Kobaran semangat yang tadinya seratus persen mendadak jadi turun. Namun Adrian tak lantas menyerah begitu saja. Dia yakin pasti ada satu dua hal yang bisa Julie beritahukan padanya. Saat ini, informasi sekecil apapun akan sangat berguna. Tak ingin membuang waktu, Adrian lalu bertanya, "Selama dua minggu mengajar Karisa, apakah kau melihat keanehan pada tingkah lakunya?"
Julie berdesah penuh sesal, "Itulah yang aku sesalkan, aku bahkan tidak memperhatikan murid-muridku satu persatu karena masih beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Jadi aku melihat Karisa seperti murid-murid lainnya. Hanya saja, Karisa sempat tidur di dalam kelas saat jam pelajaran berlangsung dan tidak mengerjakan tugas."
"Berapa kali dia tertidur? Apakah sering?" Tanpa disadari, Adrian sudah membawa Julie masuk ke dalam wawancaranya.
Julie menggeleng, "Tidak sering, dan sepertinya dia kapok karena aku tegur." Adrian mengangguk, itu sepertinya bukan hal besar karena sesekali seorang murid bisa saja tertidur saat jam pelajaran berlangsung, sama seperti dirinya dulu. Bisa karena begadang mengerjakann tugas, atau begadang akibat bermain games.
"Apa Karisa pernah berkonsultasi dengan guru Bimbingan Konseling di sekolah terkait dengan masalah yang sedang dia hadapi?" Tanya Adrian.
Itu juga hal utama yang Julie periksa, jika Karisa memiliki masalah dengan teman-temannya di sekolah, mungkin saja dia berkonsultasi dengan guru Bimbingan Konseling. Julie pun bertanya pada guru BK yang bertugas menangani murid-murid kelas XI. "Tidak, dia tidak pernah sekalipun berkonsultasi dengan guru BK di sekolah." Jawab Julie.
Adrian mengusap dagu, salah satu kebiasaan yang selalu dia lakukan ketika sedang berpikir. "Tapi bukankah kau merasa aneh?" Julie belum menjawab namun Adrian buru-buru memperjelas pertanyaannya, "Maksudku, Karisa tidak menunjukkan tanda-tanda depresi berat hingga mampu mengakhiri hidupnya sendiri, bukan?"
Julie sedikit terkejut, tidak menyangka bahwa ada orang lain selain dirinya yang percaya bahwa Karisa tidak bunuh diri. Julie menatap Adrian lamat-lamat selama beberapa detik hingga ia mampu mendengar isi pikiran pria itu, "Jelas ada yang tidak beres dengan kasus kematian Karisa." Begitu isi pikiran Adrian.
"Mengapa kau begitu yakin bahwa ada yang janggal dengan kematian muridku?"
Pertanyaan Julie yang begitu tiba-tiba sontak membuat Adrian begitu terkejut, "Eh?" Itu respon pertamanya.
"Iya, kau berpikir bahwa kasus ini tidak beres dan perlu menyelidiki kasus ini, kan?" Julie memperjelas kalimat sebelumnya.
"Ng...pertanyaanku sejak tadi terlalu menjurus ya sampai kau bisa tahu pola pikirku."
Julie hanya mengendikkan bahu. Padahal bukan karena itu, tapi karena Julie mampu mendengar isi pikiran manusia hanya dengan menatap matanya selama beberapa detik. Tapi biarlah Adrian berpikir demikian, ia tidak ingin buang-buang tenaga untuk menjelaskan kemampuan istimewanya itu pada orang lain. Apalagi jika ia belum yakin dengan orang tersebut.
"Aku benar-benar ingin menyelidiki dan mengungkap fakta di balik kasus kematian Karisa yang tak biasa ini. Tapi aku sadar kalau aku tak bisa melakukannya sendiri. Aku sungguh-sungguh membutuhkan bantuanmu. Apa...kau bersedia?" Tanya Adrian.
Lagi-lagi Julie menatap mata Adrian, kali ini dia tak mendengar suara apapun, tapi dia dapat melihat ada perasaan yang begitu tulus dari tatapan mata Adrian. Tulus sekali, seolah dia benar-benar ingin membantu Karisa.
"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, bolehkah aku mengajukan pertanyaan?"
Adrian mengangguk cepat.
"Mengapa kau sangat ingin melakukan ini? Kau tidak mengenal Karisa, dan bahkan saat ini kau tidak bergabung dengan stasiun tv manapun, bukan? Artinya tak ada pihak yang menekan atau memaksamu untuk menyelidiki kasus ini. Mengapa kau sangat ingin mengungkap fakta di balik kasus kematian gadis remaja yang tak ada hubungannya dengan hidupmu? Bahkan tidak akan membuat karirmu menjadi lebih cemerlang."
Adrian menatap Julie, "Kau salah" itu isi pikirannya. "Aku memang tidak mengenal Karisa, bahkan jika aku bisa mengungkap fakta yang tak terungkapkan pada kasus kematian Karisa, itu tidak akan membuat karirku sebagai seorang reporter menjadi melesat. Aku tetap menjadi seorang reporter pekerja lepas yang tak bernaung di perusahaan manapun. Tapi jenis kasus kematian seperti ini sangat erat dengan kehidupan pribadiku." Suasana mendadak menjadi sunyi senyap, jangkrik-jangkrik yang sejak tadi bersautan kini mendadak terdiam, seolah ingin mendengarkan ucapan Adriian. Pun dengan udara malam yang terasa semakin dingin.
Julie tidak berkata apapun, dia membiarkan Adrian untuk terus berbicara. "Aku memiliki seorang adik perempuan, dia meninggal dua tahun lalu, Mia namanya. Mia ditemukan meninggal di dalam sungai besar. Polisi lalu melakukan penyelidikan mulai dari menyusuri TKP hingga mewawancarai teman-teman Mia di kampus. Penyelidikan itu dilakukan selama kurang lebih satu bulan. Mia diperkirakan meloncat dari jembatan ada yang di atas sungai itu, dia jatuh dari ketinggian lima puluh lima meter, kemudian tenggelam di sungai tersebut. Mia tidak bisa berenang, dia kehabisan napas hingga akhirnya tidak bisa bertahan hidup. Tubuhnya pertama kali ditemukan oleh seorang warga yang sedang memancing. Masyarakat sekitar sudah lama mempercayai bahwa jembatan dan sungai itu dikelilingi oleh hal-hal gaib. Ada banyak kasus bunuh diri yang dilakukan di jembatan dan sungai itu sejak puluhan tahun silam. Masyarakat juga percaya bahwa di dalam sungai besar itu ada banyak buaya, tidak hanya buaya hewan reptil pada umumnya, tapi ada juga buaya putih yang memiliki kerajaan di bawah sungai. Ya, kepercayaan mistis yang dianut oleh masyarakat sekitar. Konon, jika ada orang yang tenggelam di sungai tersebut dan mayatnya tidak pernah ditemukan, itu pasti karena sudah dibawa oleh buaya putih menuju kerajaannya."
Adrian kemudian tersenyum kecut, seperti sedang menertawakan dirinya sendiri mengapa dia bisa menceritakan hal bodoh seperti itu. Dia lalu melanjutkan, "Pihak kepolisian kemudian memutuskan kematian Mia sebagai kasus bunuh diri." Dan kau tahu desas desus apa yang beredar di warga sekitar?" Itu bukan pertanyaan yang bisa Julie jawab karena Adrian jelas tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, "Banyak warga yang berkata, ya ampun mengapa gadis semuda itu memilih untuk bunuh diri? Dia pasti biasa hidup enak, jadi mentalnya tidak kuat saat diterpa masalah. Uh untung saja tubuhnya masih ditemukan, tidak dibawa oleh buaya putih." Kali ini matanya memerah, terlihat sekali jika kejadian itu sangat-sangat menyakiti dirinya. Adrian menceritakannya dengan penuh emosional, dia lalu menggeleng, "Tapi aku tidak pernah mempercayai hal itu. Sampai detik ini aku tidak pernah menerima keputusan dari pihak kepolisian yang menyatakan bahwa adikku bunuh diri. Aku tahu betul seperti apa Mia. Itu adalah tahun pertamanya menjadi seorang mahasiswa. Usianya masih delapan belas tahun. Aku bahkan masih ingat betul betapa semangatnya dia ketika pertama kali menginjakkan kaki di kampus impiannya. Dia akhirnya menjadi mahasiswi keguruan dan ilmu pendidikan, cita-citanya sejak kecil adalah menjadi seorang guru. Mia mengambil jurusan Pendidikan Matematika. Di saat teman-temannya memusuhi mata pelajaran tersebut, Mia justru sangat jatuh cinta dengan Matematika. Menghafal rumus dan memecahkan misteri di balik jajaran angka adalah kegemarannya."
"Kami tidak berasal dari keluarga kaya raya, aku harus bekerja paruh waktu ketika kuliah jurusan jurnalistik, sementara Mia sudah belajar dengan giat sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama hingga dia bisa mendapat beasiswa kuliah gratis di kampus impiannya. Mia adalah gadis polos yang hanya tahu tentang Matematika, menjadi sukarelawan untuk mengajar anak-anak jalanan, juga berteman baik dengan semua orang. Dia tak memiliki musuh, juga tidak terlibat percintaan dengan pria manapun. Hidupnya selama ini selalu damai dan tentram karena Mia selalu menghindari konflik dengan siapapun dan dalam hal apapun. Jika ada sesuatu yang mengganjal di hati, atau ketika ada masalah yang melanda, dia sering kali bercerita pada ibu kami, juga sesekali padaku. Mia tidak punya alasan untuk bunuh diri. Dia begitu menyukai hidupnya. Pernah suatu ketika kita sekeluarga liburan bersama ke kebun raya, pada saat itu Mia berkata bahwa dia merasa beruntung karena Tuhan telah memberinya kesempatan untuk hidup menikmati dunia yang indah ini." Adrian menirukan suara sang adik, "Aku ingin hidup selama seribu tahun, Kak! Ucapnya kala itu. Tapi sayamg, hidupnya berakhir di usia delapan belas tahun. Usia yang masih sangat begitu muda. Dia bahkan belum sempat menikmati indahnya masa-masa kuliah, belajar bersama teman-teman kelompok, makan siang di kantin kampus saat jeda jadwal mata kuliah, mengikuti organisasi kampus, menghadiri acara seminar, atau sesekali hangout dengan teman-teman ketika mulai suntuk dengan tugas-tugas kuliah." Adrian tersenyum kecil, pikirannya kembali ke masa lalu, saat dimana Mia masih hidup. Senyuman manis dari bibir kecilnya selalu tersimpan di memorinya.
Adrian sudah selesai bercerita. Dia memandang langit-langit seolah bisa melihat Mia di sana. "Maaf, entah mengapa aku malah menceritakan hal pribadi padamu. Aku hanya tidak suka memendam sesuatu, dan merasa lebih tenang ketika aku sudah menyampaikan perasaanku atau hal yang sedang aku pikirkan." Meski itu adalah kenangan buruk, tapi Adrian tidak pernah menghindari pembahasan mengenai kematian adiknya. Dia justru ingin semua orang lebih memperhatikan kematian sang adik.
Julie menggeleng cepat, "Tidak apa-apa, aku mengerti perasaanmu. Bagaimanapun juga aku ingin menyampaikan turut berduka cita atas kematian adikmu. Saat kita kehilangan orang yang kita cintai, kita merasa seperti kehilangan dunia kita. Seringkali kita berpikir untuk kembali bertemu mereka entah bagaimana caranya. Tapi kemudian kita sadar bahwa seseorang itu justru ingin kita tetap berada di sini untuk menyelesaikan urusan yang belum selesai. Dan aku yakin Mia sangat bangga denganmu karena kau sudah menjalani hidup dengan baik hingga di titik ini." Tidak banyak yang bisa Julie katakan, ini adalah pertemuan pertama mereka tapi mereka sudah membahas hal yang sangat serius. Adrian benar-benar sangat terbuka dengan orang lain.
Adrian mengangguk setuju, pada beberapa kesempatan, di saat dirinya sedang merasa down dia terkadang berpikir untuk menyusul Mia sebab mereka adalah kakak adik yang begitu dekat. Tapi kemudian dia sadar bahwa masih ada hal yang belum dia selesaikan di dunia ini, yaitu mengungkap fakta di balik kasus kematian sang adik. "Itulah alasan mengapa aku sangat ingin menyelidiki kasus ini, aku melihat Mayang seperti adikku Mia, aku tidak ingin apa yang terjadi pada Mia terjadi juga pada orang lain, yaitu dianggap sebagai gadis remaja yang mengakhiri hidup karena depresi. Bahkan jika aku tak akan pernah mampu menyelesaikan kasus Mia, setidaknya aku harus mengungkap fakta di balik kasus kematian Karisa." Ujarnya penuh tekat.
Kini pernyataan Julie terjawab sudah, alasan mengapa Adrian begitu tertarik dengan kasus kematian Karisa. Dan alasan itu sudah cukup bagi Julie untuk mengiyakan permintaan Adrian, "Aku tidak hanya akan membantumu, tapi aku akan bergabung denganmu untuk menyelidiki kasus kematian muridku." Ucapnya.
******
Bel pulang sekolah berdering. Seluruh siswa-siswi SMA Cendikiawan III berhamburan keluar kelas. Setiap hari Jumat jam pulang sekolah menjadi lebih awal dari biasanya, yakni pukul dua siang. Tia berjalan melewati Demi bersama teman dekatnya hendak keluar kelas, "Ha? Ada reporter yang ngewawancarain lo tentang kematian Karisa????" Ujar temannya Tia dengan suara keras, anak itu memang terkenal cempreng dan bawel.
Tia buru-buru menutup mulut temannya itu, "Sssttt....jangan keras-keras ngomongnya." Dia kemudian menoleh ke kanan, kiri, dan belakang, matanya sempat bertatapan dengan mata Demi, "Nanti gue ceritain semuanya di rumah gue." Lalu kedua gadis genit itu keluar kelas.
Sementara itu, Fadli rupanya juga mendengar percapakan mereka. Fadli masih ada di kursi belakang, baru selesai merapikan buku-bukunya. Kini hanya ada Fadli dan Demi di dalam kelas. Fadli lalu berjalan menuju pintu keluar, "Gue gak nyangka lo bisa hidup setenang ini bahkan setelah kematian Karisa." Ucap Demi. Tentu saja kalimat itu ditujukan untuk Fadli.
Fadli menoleh ke arah Demi, dia memperhatikan gadis yang sejak tadi masih berdiri di samping tempat duduknya, "Bukannya gue yang seharusnya bicara kayak gitu ke lo?" Fadli berjalan selangkah demi langkah menuju Demi, kini posisinya mereka berdua hanya berjarak beberapa sentimeter, ujung sepatu Fadli nyaris bersentuhan dengan ujung sepatu Demi, "Bagaimana bisa kau bertingkah seolah tidak ada hal apapun terjadi padahal sebulan yang lalu sahabatmu baru saja meninggal? Bukankah itu aneh?" Tanya Fadli tak kalah sinis.
Ekspresi Demi berubah, ia seperti sedang menyembunyikan rasa takutnya, "Kau! Jangan macam-macam denganku." Ujar Demi.
Fadli tersenyum sinis, bukannya menjauh dari Demi, dia justru semakin mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Demi. Lelaki itu kemudian berbisik tepat di telinga Demi, "Jika kau terlihat begitu ketakutan seperti ini, polisi pasti tidak perlu bersusah payah untuk menyelesaikan kasus kematian Karisa." Fadli lalu menjauhkan bibirnya dari telinga Demi, mundur selangkah dan menupuk-nepuk pundak Demi seraya berkata, "Tapi kau tidak perlu khawatir, penyidik juga manusia, mereka bisa saja melewatkan sedikit celah." Demi langsung menepis tangan Fadli hingga lepas dari pundaknya.
"Fadli, Demi!" Panggil seseorang dari pintu kelas.
Sontak mereka berdua melihat ke arah sumber suara. Rupanya itu adalah walikelas mereka, Julie. Julie berniat untuk berbicara dengan Demi dan Fadli saat jam pulang sekolah. Dia belum sempat berbicara empat mata dengan Demi dan Fadli sebagai syarat agar dia diizinkan oleh Baron untuk ikut menyelidiki kasus Karisa. "Fadli, Demi, apa ibu bisa berbicara dengan kalian di ruang Bimbingan Konseling?" Tanya Julie seraya menghampiri kedua muridnya.
"Maaf, ada apa ya, Bu?" Ucap Demi.
"Tidak ada apa-apa, ibu hanya ingin bertanya mengenai beberapa hal pada kalian."
Namun Fadli langsung melihat jam tangannya, "Bu, maaf, hari ini saya ada bimbel jam, dan harus datang lebih awal karena ada jadwal konsultasi sebelum bimbel dimulai." Ujarnya.
"Oh, iya. Tidak apa-apa, kita bisa bicara lain waktu." Julie tidak ingin membuat muridnya merasa tidak nyaman, dia juga tidak boleh bertindak gegabah karena tindakan yang dia lakukan bukan hal sepele. Dia yakin masih ada sedikit waktu untuk menjadwalkan ulang bicara dengan Fadli. Julie kini beralih pada demi, "Demi, kau bisa, kan?" Dibanding pertanyaan, itu lebih terdengar seperti permohonan.
Demi mengangguk, "Saya bisa, Bu."
Mereka berdua akhirnya berjalan menuju ruang Bimbingan Konseling. Tempat paling nyaman untuk bicara empat mata antara murid dan guru. Ruangan itu dibuat senyaman mungkin agar siapapun yang sedang melakukan konseling bisa menyampaikan isi hati dan pikirannya dengan tenang. Selain ada pendingin ruangan dan sofa, ruangan tersebut juga kedap suara serta dilengkapi dengan diffusers dan lilin aroma terapi berbagai aroma. Diffusers selalu terpasang setiap saat, sementara lilin terapi dipasang sesuai kemauan orang yang ingin konseling. Para siswa bisa memilih sendiri ingin menyalakan lilin beraroma apa, mulai dari mint, green tea, lavender, bunga mawar, ramia candle, atau sandalwood.
Julie mempersilahkan Demi untuk duduk di depannya. Meminta Demi untuk jujur namun tetap santai. "Ibu sama sekali tidak ada niat apapun, ibu hanya ingin mengkonfrimasi beberapa hal, kamu bersedia, kan?"
"Apa ini terkait dengan kematian Karisa?" Tanyanya takut-takut. Sikap Demi saat ini sangat berbeda dari sikapnnya saat di wawancara dengan Baron. Jika kala itu dia terlihat begitu santai, dingin, dan berani dalam menjawab semua pertanyaan Baron, kali ini dia terlihat begitu ketakutan. Demi seperti memiliki dua kepribadian yang berbeda.
Julie mengangguk, "Kau sangat dekat dengan Karisa, bukan?" itu adalah pertanyaan pertama yang Julie ajukan.
"Iya, Bu. Kita adalah teman sejak Sekolah Menengah Pertama." Tidak banyak kalimat yang keluar dari bibir Demi.
"Ibu boleh tahu mengapa belakangan ini hubunganmu dan Karisa terlihat merenggang?"
Dari ekpresinya, terlihat betul jika Karisa terkejut karena walikelasnya itu tahu tentang perselisihan dia dan Karisa. Gosip pasti sudah menyebar di lingkungan sekolah. "Kami terlibat perselisihan, Bu."
Julie lalu meminta Demi untuk menceritakan semuanya secara jujur. Dengan tangan sedikit gemetar, Demi pun bercerita mengenai perselisihan antara dirinya dengan Karisa.
Hal itu bermula ketika Karisa menjadi lebih dekat dengan Fadli dibanding dengan dirinya. Mereka bertiga memang hampir selalu bersama, kerja kelompok bersama, makan bareng di kantin, atau sesekali pergi ke mall di hari libur. Namun belakangan ini terlihat jelas sekali jika Fadli lebih mendekati Karisa. Ia selalu mencuri-curi kesempatan untuk berduaan dengan Karisa. Seperti ketika Demi tidak masuk sekolah karena sakit, pulang sekolah Fadli justru mengajak Karisa untuk menonton film di bioskop. Atau ketika Demi dipanggil oleh guru Kesenian saat jam istirahat--kebetulan dia adalah penanggungjawab untuk mata pelajaran itu--Fadli dengan sigap langsung mengajak Karisa untuk pergi ke kantin berdua.
Lambat laun hubungan antara Fadli dan Karisa menjadi lebih dekat, Demi juga mengetahui rencana Fadli yang ingin menyatakan perasaannya pada Karisa. Awalnya Demi merasa jika dia cemburu karena dirinya menyukai Fadli, tapi ternyata Demi salah. Ia justru merasa cemburu karena saat ini Karisa seolah lebih dekat dengan Fadli daripada dirinya. Mereka sudah bersahabat sejak SMP, melakukan banyak hal secara bersama-sama, serta melewati suka dan duka. Pikirannya pun membayangkan jika Karisa dan Fadli berpacaran, Karisa pasti akan melupakannya. Demi memang memiliki banyak teman, tapi entah mengapa yang paling membuatnya nyaman adalah Karisa. Hingga akhirnya Demi tidak mampu lagi menahan rasa cemburunya. Sebulan sebelum kejadian naas itu, Demi berbicara empat mata dengan Karisa. Dia meminta Karisa untuk menjauhi Fadli.
Karisa lantas bertanya, "Kamu suka sama Fadli?"
Tidak, Demi tidak menyukai Fadli sebagai seorang lelaki spesial, dia justru melihat Fadli sebagai teman yang ingin mengambil Karisa dari hidupnya. Namun Demi terlalu ngengsi untuk mengakui itu, dia juga khawatir jika Karisa menganggap dirinya aneh dan tidak normal. Akhirnya kalimat yang keluar dari bibir Demi adalah, "Aku hanya ingin melindungimu dari lelaki jahat." Hanya satu kalimat itu. Tapi siapa sangka jika kalimat tersebut benar-benar menusuk hingga ke lubuk hati Karisa yang terdalam. Mendadak tubuhnya terasa lemas, dia mundur selangkah, matanya berkaca-kaca seperti teringat sesuatu.
"Karisa...kamu gak apa-apa?" Tanya Demi kebingungan. Namun Karisa tidak menjawab pertanyaan sahabatnya, dia justru lari meninggalkan Demi. Dan sejak saat itu, hubungan mereka berdua tidak baik-baik saja. Awalnya Demi masih berusaha untuk bertanya pada Karisa, namun Karisa tidak memberi respon apapun. Hingga akhirnya mereka seperti dua orang yang sedang melakukan perang dingin. Mereka tidak berkomunikasi selama kurang lebih satu bulan.
Demi lalu mengusap air matanya, "Saya benar-benar tidak tahu apa-apa tentang kematian Karisa." Ujar Demi sebagai penutup dari ceritanya.
Julie menatap mata Demi lekat-lekat seraya berdoa dalam hati agar Demi tidak mengalihkan pandangan hingga dia mendengar isi pikirannya. "Aku sangat menyayangi Karisa. Aku tidak mungkin melakukan hal buruk padanya."
Julie mengangguk pada dirinya sendiri, itu sudah cukup, pikirnya. Ya, itu sudah cukup membuktikan bahwa Demi bukan "pelaku" yang dia cari. Julie tahu ada sesuatu yang janggal dalam diri Demi, namun saat ini dia akan fokus pada kasus Karisa terlebih dahulu. Dia akan meminta bantuan pihak lain yang lebih ahli di bidangnya untuk menangani Demi. Julie lalu mengelus punggung tangan muridnya, "Kamu tidak perlu khawatir, ibu sedang berusaha untuk mengungkap fakta di balik kasus kematian Karisa. Tapi ibu juga meminta bantuanmu, jika ada petunjuk yang kamu miliki, tolong kasih tahu ibu."
Demi diam sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Apa ada hal lain yang ingin kamu bicarakan?" Tanya Julie penasaran.
Demi buru-buru menggeleng, dia mengenakan tasnya dan siap meninggalkan ruangan, "Apa saya boleh keluar sekarang, Bu?"
Julie mengangguk, "Terima kasih banyak atas waktunya ya, Demi. Ibu harap...." Kalimat Julie sempat terputus, ia lalu melanjutkan, "Ibu harap kamu bisa bekerjasama dengan ibu dalam mengungkap fakta di balik kasus kematian Karisa." Demi hanya tersenyum kecil, kemudian pergi meninggalkan Julie di ruang BK.
Julie lalu menghubungi kenalannya yang merupakan seorang Psikolog, ada hal lain yang harus dia bicarakan di luar kasus kematian Karisa....