Usai menginterogasi Yudi, Baron sebenarnya ingin melanjutkan ke tahap berikutnya yaitu menginterogasi Jaedi, sang petugas kebersihan. Tapi Adiwiyata keburu menemuinya dan mengajaknya untuk berbincang di ruangan. Begitu mendengar berita duka tersebut dari Wira, Adiwiyata segera bergegas menuju sekolah, dia bahkan tidak sempat pulang ke rumah untuk sekedar berganti pakaian atau menaruh barang-barang. Meski panik karena telah terjadi kasus kematian di sekolahnya tapi Adiwiyata tetap bersikap tenang, entah sudah berapa banyak panggilan masuk di ponselnya, dari rekan sesama kepala sekolah, rekan-rekan guru dari sekolah lain, hingga orangtua murid. Adiwiyata dengan tenang dan sabar menjawab pertanyaan dari mereka semua.
Kini hanya ada Baron dan Adiwiyata di ruangan kepala sekolah. Baron memperhatikan sekeliling ruangan, begitu rapi dan bersih, semua barang-barang tertata sesuai dengan tempat dan fungsinya. Adiwiyata mempersilahkan Baron untuk duduk, itu bukan pertama kalinya dia harus berhadapan dengan seorang penyidik dari kepolisian. Tanpa Baron tanya, Adiwiyata sudah memberitahukan bahwa dia sedang tidak ada di Cipatat saat kejadian berlangsung, sudah tiga hari ini dia pergi ke Jakarta untuk menjalani kegiatan Pendidikan dan Pelatihan yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan. Baron mengangguk, dia sudah tahu hal itu dari Wira. Tapi Baron tetap perlu menginterogasi Adiwiyata untuk menanyakan beberapa hal, terutama tentang latar belakang Karisa juga lingkungan sekolah. Baron tidak ingin melewati petunjuk apapun itu meski hanya seujung kuku, sebab dalam beberapa kasus hal sepele justru menjadi petunjuk kunci. Penyidik itu mulai mengajukan pertanyaan untuk Adiwiyata, Baron bertanya apakah Adiwiyata pernah berbincang dengan Karisa atau orangtuanya secara langsung atau tidak. Adiwiyata mengaku bahwa dia tidak pernah bertemu dengan orangtua Karisa, di SMA Cendikiawan III orangtua yang biasanya dipanggil untuk datang ke sekolah adalah orangtua dari siswa-siswi yang melanggar peraturan sekolah tingkat berat, sementara Karisa hanya tidak mengerjakan tugas dan tertidur di dalam kelas yang mana itu adalah pelanggaran tingkat ringan. Adiwiyata juga mengaku sesekali dia pernah berkomunikasi dengan Karisa secara langsung karena saat kelas sepuluh Karisa pernah mengikuti olimpiadi Geografi.
“Olimpiade Geografi?” Tanya Baron bingung.
“Iya, olimpiade Geografi tingkat kabupaten.”
“Menurut informasi yang saya dapatkan Karisa adalah anak yang tidak aktif di kelas, barusan anda katakan juga kalau dia pernah tidak mengerjakan tugas dan tertidur di kelas, bagaimana bisa anak seperti itu ikutan olimpiade tingkat kabupaten?” Baron bertanya sedetail mungkin, itu adalah informasi yang belum dia dapatkan dari siapapun.
Adiwiyata kemudian menceritakan bahwa sebenarnya ketika kelas sepuluh Karisa adalah anak yang cerdas dan aktif di kelas, anak itu sendiri bahkan yang mengajukan diri untuk ikut olimpiade tingkat kabupaten. Dan setelah mengikuti seleksi di sekolah—melawan siswa-siswi dari kelas IPS lainnya—Karisa berhasil memperoleh skor tertinggi, jadilah dia yang mewakili SMA Cendikiawan III untuk Olimpiade Geografi tingkat Kabupaten. Sejak saat itulah Adiwiyata sempat beberapa kali berbincang dengan Karisa untuk mempersiapkan olimpiade. Namun sayangnya, Karisa tidak berhasil memenangkan olimpiade tersebut. Pasca olimpiade itu Karisa terlihat tidak seaktif sebelumnya, nilai-nilai mata pelajarannya pun banyak yang turun, jadilah Karisa seperti sekarang, siswi yang pendiam, tertutup dan tidak aktif di kelas. Olimpiade itu diadakan saat dia kelas sepuluh semester satu sehingga belum banyak yang mengenalnya kala itu, pun sampai sekarang, tidak banyak siswa-siswi yang mengenal Karisa.
Baron mendengarkan cerita Adiwiyata dengan seksama, dia juga mencatat beberapa hal penting dalam buku catatannya. “Dari keterangan yang anda berikan, sepertinya anda menyimpulkan kalau Karisa berubah karena dia tidak bisa memenangkan olimpiade tersebut. Apa Karisa adalah siswi yang cukup ambisius?” Tanyanya penasaran. Masih banyak hal yang perlu digali mengenai latar belakang Karisa di sekolah ini.
“Saya pikir demikian, banyak yang ingin memenangkan olimpiade tersebut karena hadiahnya adalah beasiswa pendidikan selama mereka berkuliah nanti.”
“Apa Karisa berasal dari keluarga yang tidak mampu?”
Adiwiyata menggeleng, “Saya kurang tahu.”
Baron menggerak-gerakkan kakinya, seperti pemain drum yang sedang menginjak pedal drum, salah satu ciri khas yang dia lakukan ketika sedang berpikir, “Kemudian ada hal lain yang ingin saya tanyakan mengenai sistem kerja petugas keamanan dan kebersihan di sekolah ini pada pagi hari, bisa anda jelaskan?”
Adiwiyata membetulkan posisi duduknya agar lebih santai dalam menjawab pertanyaan Baron, dia benar-benar terlihat seperti seorang kepala sekolah yang professional. Sebagai seorang kepala sekolah yang sudah memimpin SMA Cendikiawan III selama puluhan tahun, dia tentu sudah tahu betul bagaimana sistem kerja petugas keamanan dan kebersihan di sekolah ini. Adiwiyata menjelaskan bahwa setiap hari sejak pukul lima pagi, petugas kebersihan wajib untuk membersihkan bagian ruang kelas agar tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar, sementara untuk toilet, lab, atau perpustakaan, bisa dibersihkan ketika anak-anak sedang belajar di ruang kelas. Sedangkan terkait keamanan, setiap harinya ada dua orang satpam atau petugas keamanan yang menginap di sekolah, namun pada hari itu satpam lain yang bernama Pak Joko sedang sakit sehingga tidak bertugas. Jadilah hanya Yudi saja yang menginap di sekolah. Seperti biasanya, patroli dilakukan setiap pukul sebelas malam dan lima pagi. “Jadi kemungkinan Yudi menemukan jenazah Karisa saat dia sedang berpatroli di pagi hari.” Ujarnya.
Baron mengangguk paham. Kini fokusnya tidak hanya pada Karisa dan sistem keamanan di sekolah, tetapi pada Yudi dan Jaedi. “Selama Yudi dan Jaedi bekerja di sini, bagaimana kinerja mereka? Apakah mereka pernah terlibat dengan masalah tertentu?”
Adiwiyata tampak berpikir sejenak, “Menurut saya kinerja mereka cukup baik, hanya saja Yudi sering tertidur selama bertugas. Untuk perihal jaga malam dan patroli Pak Joko lah yang paling andal.”
“Bagaimana dengan Jaedi?”
“Saya belum begitu mengenalnya, dia baru bekerja di sekolah ini selama enam bulan terakhir.”
Jika mengarah pada jawaban Adiwiyata, Baron menyimpulkan bahwa ada kemungkinan kejadian tersebut terjadi ketika Yudi sedang tertidur, sehingga dia tidak mengetahui dan mendengar suara apapun. Andai saja hari itu Joko masuk mungkin Baron bisa mendapat informasi lebih, atau mungkin juga tidak akan terjadi peristiwa mengenaskan itu.
Baron merasa interogasi dengan sang kepala sekolah sudah cukup, dia pun bergegas pergi karena Taka baru saja menghubungi dan memintanya untuk segera datang ke RS Bhayangkara Bandung Barat, dokter forensik hendak menyampaikan fakta-fakta yang mereka temukan di tubuh jenazah.
Tanpa menunggu lama Baron langsung bergegas menuju parkiran sekolah untuk mengambil mobilnya, saat itulah dia bertemu dengan Julie. Guru muda itu menagih janji Baron untuk membantunya mengambil langkah, Baron lalu menarik lengan Julie, bersembunyi di balik jejeran mobil-mobil agar tidak dilihat oleh siapapun. Baron meminta Julie untuk tidak gegabah dan menunggu hingga dia menemukan petunjuk berikutnya, “Kau akan diinterogasi sore ini di kantor polisi, jadi bersiaplah.” Ujar Baron seraya pergi meninggalkan Julie.
Dari tatapan mata Baron, Julie dapat mendengar kalau saat ini dia tidak bisa mempercayai siapapun karena semua orang berpotensi untuk menjadi tersangka. Tentu itu adalah hal wajar mengingat insting seorang detektif pasti berbeda dengan orang biasa. Sudah banyak kasus yang Baron tangani, mulai dari pelaku amatiran, pelaku professional, hingga pelaku manipulatif. Yang sulit adalah ketika pelaku atau tersangka masuk dalam kategori manipulatif, dan untuk kasus kematian Karisa dia tidak tahu pelaku termasuk jenis yang mana. Berbeda dengan Julie, ini adalah pertama kali muridnya meninggal dunia secara misterius. Julie tidak tahu apa yang harus dia lakukan, tapi yang pasti dia ingin mengawal kasus ini hingga selesai.
April sadar betul kalau sejak tadi Julie terlihat cemas dan khawatir, bahkan jika berada di posisi Julie mungkin April sudah tidak sadarkan diri karena shock, bagaimana tidak, salah satu murid kelasnya ada yang mati di sekolah dan belum diketahui apa penyebabnya. April harus mengakui kalau Julie masih cukup baik dalam mengendalikan emosinya. Karena kejadian itu, siswa-siswi dipulangkan lebih awal, jam pulang sekolah yang biasanya pukul empat sore dipercepat menjadi pukul dua siang, sementara para guru diminta untuk tidak pulang hingga pukul enam sore, mereka harus mengadakan rapat dadakan mengenai kasus itu. April yang baru saja kembali dari kelas setelah bel pulang sekolah datang menghampiri Julie, dia ingin menenangkan rekan kerjanya. Wanita berlesung pipi itu memberikan segelas hot cappuccino untuk Julie, meletakkan di atas meja kerja Julie lalu menarik bangku dan duduk di samping Julie. “Aku benar-benar berduka dengan apa yang menimpa murid kelasmu. Meski aku tidak pernah mengajar Karisa, tapi aku mengenalnya karena tahun lalu dia mengikuti olimpiade Geografi sebagai perwakilan dari sekolah kita.” Ujarnya penuh rasa prihatin.
Julie meneguk hot cappuccino yang April beli dari kantin sekolah, kehangatan menyelimuti tenggorokannya, Julie seperti terpikirkan sesuatu, “Saat seorang siswi mengikuti olimpiade, bukankah dia pasti melakukan persiapan extra dengn guru bidangnya? Kau guru bidang Geografi, kan?”
April mengangguk membenarkan perkataan Julie, “Iya, setiap pulang sekolah Karisa harus lanjut berlatih mengerjakan soal-soal Geografi, tapi bukan denganku melainkan dengan Pak Wira.”
“Pak Wira wakil kepala sekolah?”
Julie kemudian menceritakan kalau tahun lalu Pak Wira memang mengajar Geografi untuk kelas sepuluh, tapi mulai tahun ini beliau hanya fokus menjadi wakil kepala sekolah dan bagian kesiswaan. April sendiri hanya pernah membimbing Karisa berlatih satu kali saat Pak Wira tidak bisa datang ke sekolah karena sakit. Menurut April kala itu Karisa adalah anak yang ceria dan memiliki semangat tinggi dalam belajar. Dia bahkan sangat optimis akan menang dalam olimpade tersebut. “Tapi sayangnya Karisa tidak berhasil memenangkan olimpiade Geografi itu.” Ujarnya. Saat itu di ruang guru hanya ada sedikit guru, guru-guru yang lain sedang makan siang di kantin khusus guru, jadwal istirahat mereka terpaksa harus mundur karena tragedi itu.
Dari tatapan mata April, Julie tahu bahwa rekan kerjanya itu benar-benar menceritakan semuanya secara jujur, tidak ada yang dikurangi atau dilebih-lebihkan. Julie sendiri tidak terlalu dekat dengan Pak Wira, dia mungkin akan kesulitan menggali informasi darinya. Pihak lain yang bisa dimintai informasi tentang Karisa selama di sekolah adalah wali kelas saat dia kelas sepuluh. April hanya memalingkan wajah dan melirik ke arah Mei ketika Julie bertanya siapa wali kelas Karisa dulu. Julie ikut melihat Mei yang sedang mengenakan earphone sambil memeriksa buku tulis para siswa. Satu lagi ciri khas Mei, dia tidak pernah makan di kantin sekolah karena selalu membawa bekal dari rumah, wanita itu seperti menghindari interaksi dengan para guru lainnya. Julie menyandarkan tubuh seraya menghela napas, akan tambah sulit baginya untuk mengorek informasi dari Mei. Bahkan sejak dia resmi menjadi guru di SMA Cendikiawan III mereka tidak pernah mengobrol sekalipun. Julie pernah bertegur sapa sekali namun hanya dibalas dengan senyuman kecil, dia tidak pernah bisa menatap mata Mei. April lalu memberi sedikit tips pada Julie agar dia bisa mendekati Mei, “Dia sering pergi ke Perpustakaan Daerah Bandung Barat saat hari libur untuk mencari referensi bahan ajar. Kalian mungkin bisa dekat jika memiliki hobi yang sama.” Bisiknya. Maksud April adalah Julie bisa bersikap seolah-olah dia juga suka pergi ke Perpustakaan Daerah Bandung Barat. Julie mengangguk paham.
Perbincangan mereka harus berakhir karena Pak Wira meminta para guru untuk berkumpul di ruang rapat. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore, Julie hanya bisa mengikuti rapat hingga pukul empat sore karena setelah itu dia harus datang ke kantor polisi untuk diinterogasi, dan pihak sekolah sudah tahu itu. Para guru lainnya menyemangati Julie dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Bagaimana bisa semua akan baik-baik saja di saat ada seorang siswi yang mati secara misterius? Dia benar-benar tidak habis pikir.
Adiwiyata sendiri yang memimpin rapat hari itu. Dia meminta para guru untuk tetap tenang, terutama dalam menjawab pertanyaan dari para orangtua murid. Dia juga meminta agar para guru bisa bekerjasama dengan pihak kepolisian untuk menuntaskan kasus tersebut. Dan yang terpenting adalah para guru harus lebih memperhatikan dan mengawasi murid-murid. Semua guru mendengarkan instruksi dari Adiwiyata dengan seksama meski sebagian dari mereka sejujurnya mengalami kesulitan dalam menghadapi orang tua murid. Wira yang duduk di serong Adiwiyata akhirnya angkat suara, dia berkata bahwa beberaapa orangtua murid yang bergabung dalam komite sekolah akan mengadakan rapat internal untuk membahas tragedi hari itu. Sebagian dari mereka menduga kalau Karisa bunuh diri karena tekanan pelajaran dan tugas-tugas sekolah yang mungkin terlalu banyak sehingga Karisa menjadi depresi. Mereka khawatir tindakan Karisa akan menginspirasi murid lain yang merasakan hal sama. Julie menyipitkan mata mendengar perkataan Wira, dia heran mengapa para orangtua murid bisa menyimpulkan seperti itu, bukannya berduka, mereka hanya memikirkan tentang anak-anak mereka. Dimana orangtua yang bergabung dalam komite sekolah adalah mereka yang berasal dari keluarga kelas atas. Mereka seolah hanya peduli dengan nasib anak-anak berkelas dan tidak peduli dengan anak yang berasal dari status sosial biasa. Bagi mereka, Karisa hanyalah seorang anak yang tidak penting karena dilahirkan oleh orangtua yang tidak kaya raya sehingga tidak bisa memelihara dan merawat kesehatan mentalnya.
Ketika Julie sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, saat itulah dia menerima panggilan dari pihak kepolisian yang memintanya untuk datang ke kantor polisi sekarang juga. Julie lalu bergegas pamit meninggalkan ruang rapat, dan saat itu matanya sempat bertatapan dengan mata Mei, tidak lama, hanya lima detik sebelum akhirnya Mei mengalihkan pandangannya karena tertangkap basah sedang memperhatikan Julie secara diam-diam.