Adrian berjalan tergesa-gesa menuju ruang kepala redaksi. Dia baru saja menerima telephone untuk menemui atasannya itu. Pria itu tahu apa yang akan terjadi. Adrian merupakan seorang reporter di perusahaan media swasta berusia dua puluh delapan tahun. Dia sudah bekerja di sana selama kurang lebih empat tahun. Hanya saja akhir-akhir ini dia sering mendapat masalah karena dianggap tidak professional dalam bekerja. Tubuh kurus Adrian melangkah masuk ke ruangan kepala redaksi, mata sipitnya terlihat lelah karena semalam dia baru saja bergadang untuk mencari informasi tentang suatu kasus. Sang kepala redaksi melihat Adrian dengan tatapan kesal, dia melempar berkas-berkas yang ada di atas meja kerja ke wajah Adrian. Pria itu hanya terdiam sambil menahan amarah. Belasan kertas tercecer begitu saja di lantai, berkas-berkas yang telah dia siapkan sedemikian rupa seolah tidak ada harganya.
Sang kepala redaksi berdecak pinggang, dia sungguh lelah karena permasalahan itu tak kunjung selesai, “Harus berapa kali saya bilang kalau kau itu bukan reporter khusus kasus kriminal, hah?” Bentaknya tajam, karyawan lain yang berada di ruangan bahkan mendengar cacian itu. Masalah yang sama, selalu seperti itu. Sudah setahun terakhir Adrian hanya menulis artikel tentang kasus-kasus pembunuhan yang terjadi. Sementara atasannya ingin dia menulis artikel-artikel dengan tema yang diminati masyarakat, seperti perceraian artis atau kegiatan sehari-hari pemain sinetron yang sedang booming. Sebenarnya itu bukan masalah, menulis artikel seperti itu sungguh lebih mudah daripada menulis artikel kasus pembunuhan yang memerlukan banyak riset. Tapi peristiwa yang menimpa adiknya satu tahun lalu membuat Adrian melakukan itu. Sekarang dia hanya tertarik untuk menulis artikel kasus pembunuhan sampai kasus itu benar-benar tuntas.
“Tapi kasus kematian itu benar-benar janggal.” Ucapnya pelan.
“Saya tidak perduli! Kasus-kasus seperti itu tidak mendatangkan banyak keuntungan bagi perusahaan. Ayolah, Adrian, sampai kapan kau mau seperti ini terus? Ikhlaskan lah saja adikmu, mungkin memang jalan hidupnya harus seperti itu.”
Adrian yang awalnya diam saja kini mulai berdelik, dia bisa terima kalau dicaci maki seperti apapun oleh atasannya jika hal itu menyangkut pekerjaan, tapi dia tidak bisa terima jika ada seseorang yang mencampuri urusan pribadinya. “Anda tidak seharusnya membahas adik saya.” Ucapnya tegas. Dia kecewa dengan atasannya.
“Tapi kau jadi seperti ini sejak kematian adikmu. Sudah setahun lebih kau bertindak seperti orang gila, mengumpulkan bukti-bukti yang tidak jelas, menulis artikel tentang kasus pembunuhan, mewawancarai orang-orang yang kau anggap berkaitan dengan kasus itu, mau sampai kapan, Adrian? Mau sampai kapan kau bertindak seperti orang gila?” Sang kepala redaksi tidak menyadari kalau ucapannya menyakiti Adrian, kita memang tidak boleh menganggap remeh suatu hal, persoalan yang tidak berarti bagi kita mungkin saja sangat penting untuk orang lain.
Adrian melepas tali id card yang tergantung di lehernya, itu adalah tanda pengenal dan bukti kalau Adrian merupakan reporter di perusahaan media itu. Dia lalu meletakkan id card di atas meja kerja atasannya dengan kasar, “Anda tidak perlu repot-repot memikirkan itu, mulai hari ini saya mengundurkan diri dari perusahaan.” Sudah tidak ada lagi rasa hormat untuk atasannya, Adrian merasa harga diri mendiang adiknya sudah dihina olehnya. Dan Adrian tidak akan pernah bisa memaafkan itu, dia lebih baik kehilangan pekerjaan daripada membiarkan seseorang melukai harga diri adiknya.
Sang kepala redaksi juga tidak terima diperlakukan seperti itu oleh bawahannya, “Lihat saja, kau pasti akan menyesali tindakanmu hari ini dan memohon-mohon padaku di kemudian hari.”
Adrian menatap kasar mata atasannya, “Akan kupastikan kalau hal itu tidak akan pernah terjadi.” Mulai hari itu Adrian resmi berhenti sebagai reporter di perusahaan media swasta dan menjadi reporter harian lepas yang hanya meliput dan menulis artikel-artikel mengenai kasus kriminal.
Sehari setelah bertengkar dengan atasannya, Adrian harus kembali ke kantor untuk mengemasi barang-barang yang belum sempat dia bawa pulang. Dia sudah menyiapkan kotak kosong berukuran besar, mengisinya dengan barang-barang pribadi yang tersimpan di meja kerjanya, jurnal-jurnal berisi catatan riset, kalender pribadi yang telah ditandai dengan deadline-deadline tertentu, juga sebuah bingkai yang menampilkan foto dirinya dan sang adik. Foto itu selalu terpajang di meja kerjanya, tidak pernah tergantikan oleh foto siapapun. Karyawan lainnya memberi salam perpisahan juga berharap agar Adrian tetap sukses dimana pun dia berada. Nina, rekan sesama reporternya menghampiri Adrian dengan wajah kusut, dia sudah lama memendam perasaan pada Adrian. Tidak terbayangkan kalau mulai hari itu dia sudah tidak bisa bertemu dengan Adrian lagi di kantor. “Kau yakin dengan keputusan ini?” tanyanya untuk yang kesekian kalinya. Nina adalah orang yang paling sedih kehilangan Adrian di kantor ini.
Adrian tersenyum, “Kau tahu kan sebesar apa rasa sayangku untuk pada almarhumah adikku?”
Nina mengangguk pelan, dia menundukkan wajahnya, tidak mampu menatap wajah Adrian. Akan sangat memalukan baginya jika dia tiba-tiba menangis di depan pria itu. Selama ini Adrian tidak tahu tentang perasaannya. Nina menjalani cinta dalam diam. “Tapi kita harus tetap berkomunikasi, ya?” Rengeknya seperti anak kecil yang ingin naik wahana tapi dilarang oleh orangtuanya.
Tingkah Nina membuat Adrian tidak bisa menahan tawa, “Hei, kita tetap bisa berteman kok meski gak satu kantor lagi.”
Berteman, bukan itu yang Nina mau.
Usai berpamitan dengan seluruh rekan kerjanya, Adrian bergegas pergi mengendarai satu-satunya motor yang dia punya. Menyusuri jalanan cipatat yang sedang tidak terlalu ramai. Tujuan selanjutnya tentu saja rumahnya. Rumah yang sudah dia sewa selama dua tahun itu terlihat kotor dan berantakan, jika ada kasus kematian yang sedang diselidiki Adrian biasanya tidak sempat membersihkan rumahnya. Maklum, dia hanya tinggal sendiri di rumah itu. Segala sesuatunya dia kerjakan sendiri, mulai dari mencuci baju, menyetrika, memasak, hingga membersihkan kamar mandi. Orangtua Adrian sendiri tinggal di Buah Batu, Bandung. Dia sudah lama tinggal terpisah dengan orangtuanya karena ingin hidup mandiri.
Adrian meletakkan kotak besar berisi barang-barangnya di atas meja, dia masih terlalu lelah untuk merapikan barang-barang tersebut. Ditambah lagi dengan perutnya yang sejak tadi keroncongan. Cacing-cacing di perut sudah berteriak meminta makan pada sang pemilik yang tengah gundah karena baru saja menjadi “pengangguran.” Adrian berjalan menuju dapur, mencari apa saja yang bisa dia makan. Namun naas, tidak akan makanan yang tersisa. Dia menepuk dahi, baru ingat kalau hari itu adalah waktunya untuk belanja bulanan. Adrian tidak ingin terlihat menyedihkan, jangan sampai nanti muncul berita tentang dirinya, “Seorang reporter yang baru saja kehilangan pekerjaan mati kelaparan di rumah kontrakan.” Diapun melangkah malas mengambil kunci motor, berangkat menuju supermarket tempat biasanya dia belanja bulanan.
Naluri seorang reporter dalam diri Adrian memang begitu besar, dia melihat kerumunan di depan sekolah SMA Cendikiawan III, banyak sekali orang yang berkumpul di sana seperti sedang mengantre sembako. Adrian menghentikan laju motornya, penasaran dengan apa yang terjadi. Banyaknya mobil polisi yang terparkir semakin menguatkan Adrian kalau itu pasti bukan kasus biasa. Beberapa orang terdengar berbisik membicarakan betapa mengerikannya kondisi jenazah. Adrian juga melihat beberapa reporter dan juru kamera, tapi dia tidak melihat adanya perwakilan dari media tempat dia bekerja sebelumnya. Mereka pasti lebih tertarik datang ke pengadilan agama untuk meliput kasus perceraian artis, batin Adrian. Kegesitannya menjadi seorang reporter selama empat tahun sudah tidak perlu diragukan lagi, begitu dia melihat penyidik keluar dari gedung sekolah, lalu berdiri di depan gerbang sekolah, Adrian langsung menghampirinya. Dengan bermodalkan buku catatan dan ponsel sebagai perekam suara, dia bertransformasi menjadi Adrian Si Reporter Gigih.
Penyidik itu adalah Baron, dia berjalan ke kerumunan warga dan reporter yang sudah berkumpul sejak tadi. Baron langsung ditembak sejuta pertanyaan dari para reporter, dan reporter yang paling aktif bertanya adalah Adrian.
“Terkait identitas jenazah, bisakah anda menyampaikannya kepada publik?” Tany Adrian.
“Apa penyebab kematiannya?” Tanya reporter dari stasiun televisi milik pemerintah.
Baron mengangkat tangan, meminta agar para reporter bisa tetap tenang, “Sejauh ini kami baru hanya bisa menginformasikan tentang identitas jenazah. Dia adalah seorang siswi kelas XI IPS bernama Karisa, usianya enam belas tahun.” Terang Baron.
“Lalu, apa penyebab kematian korban?” Pertanyaan itu diulangi oleh reporter muda yang baru enam bulan terjun ke lapangan.
“Untuk hal itu kita masih perlu penyidikan lebih lanjut, saat ini jenazah sudah dibawa ke RS Bhayangkara Bandung Barat untuk dilakukan autopsi. Teman-teman media bisa ke sana, biar tim humas kami yang menyampaikan.” Bertahun-tahun menjadi seorang penyidik, hal yang Baron tidak sukai adalah ketika harus menjawab ceceran pertanyaan reporter. Para reporter seolah tidak pernah berhenti mengorek informasi hingga ke akar-akarnya, padahal terkadang pihak kepolisian masih harus melakukan rangkaian penyidikan dan penelitian untuk memastikan keakuratan dari informasi tersebut. Tapi Baron juga tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya, mereka dituntut oleh atasannya agar terus mendapatkan informasi penting dan berita terkini untuk disampaikan kepada publik.
Adrian kembali mengajukan pertanyaan, “Siapa orang yang pertama kali menemukan jenazah dan pukul berapa jenazah ditemukan?” Beberapa reporter lainnya mengangguk setuju dengan pertanyaan Adrian, mereka juga ingin tahu hal itu.
“Nanti semuanya akan disampaikan oleh Humas kami ya, sekali lagi terima—“
Tidak puas dengan jawaban Baron, pria gigih itu lagi-lagi bertanya, kali ini pertanyaannya sangat mencolok dan sedikit sensitif, membuat dirinya jadi pusat perhatian. “Menurut anda, ini adalah kasus bunuh diri atau justru pembunuhan?” Ujarnya lantang. Suasana yang tadinya tidak kondusif dan bising, kini mendadak hening. Tidak ada satupun orang yang berpikiran kalau kasus kematian itu adalah pembunuhan, hanya Adrian yang berpikir demikian.
Baron yang tadinya hendak meninggalkan kerumunan reporter dan kembali ke gedung sekolah, kini menghentikan langkahnya, dia melihat wajah Adrian dengan seksama, mencermati setiap detail wajah dan tubuhnya, reporter di depannya itu tampak berbeda dari reporter lainnya. Dia tidak mengenakan tanda pengenal atau bersama dengan rekan kerjanya, dia hanya datang sendiri untuk meliput kasus tersebut. Tapi Baron berusaha untuk mengendalikan diri, manjawab pertanyaan Adrian sama saja seperti memancing publik untuk menduga-duga, masih terlalu dini untuk itu. Baron hanya diam, memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Adrian lalu berjalan masuk ke gedung sekolah.
Selesai bicara empat mata dengan Julie dan menemui awak media, Baron bergegas menemui Yudi di ruang Bimbingan Konseling, petugas keamanan itu sudah siap untuk diinterogasi. “Baik Pak Yudi, anda adalah salah satu petugas keamana di sekolah ini ya?” tanyanya memulai pembicaraan.
“Iya betul, Pak, saya sudah lima tahun menjadi petugas keamanan di SMA Cendikiawan III.” Ujarnya membenarkan.
“Coba ceritakan pada saya bagaimana anda menemukan jenazah siswi tersebut.”
Yudi sedikit gemeteran mengingat kejadian pagi tadi, saat cahaya pagi belum sepenuhnya muncul dan hanya ada dia di lingkungan sekolah. Masih terasa bagaimana hembusan angin pagi menerpa tubuh kurusnya, terasa dingin juga menakutkan. Awalnya Yudi juga bingung mengapa tiba-tiba bulu kuduknya merinding, bertahun-tahun menjalani kegiatan itu tidak pernah sekalipun dia merasakan aura berbeda. “Jadi pertamanya saya teh kan sedang keliling sekolah ya Pak untuk berpatroli, nah sebelum saya menuju halaman sekolah, dari kejauhan saya sudah melihat kalau ada sesuatu di atas aspal. Awalnya saya pikir itu adalah kantong sampah atau apa gitu, semakin berjalan mendekati saya malah melihat kaki manusia tanpa sepatu yang lengkap. Saat itu pikiran saya mungkin ada orang yang pingsan, tapi pas disamperin saya terkejut sekali Pak karena darah sudah mengalir di aspal. Melihat kondisinya yang sudah parah begitu entah mengapa saya yakin kalo almarhumah sudah tidak tertolong, makanya saya segera mencari bantuan dengan meneriakkan ‘Ada mayat, ada mayat’, begitu Pak.” Dia seperti sedang melakukan reka adegan kejadian pagi tadi.
“Jadi sejak pertama kali ditemukan, kondisi jenazah hanya mengenakan satu sapatu?” Tanya Baron memastikan.
“Ya, betul pak. Seragamnya sudah penuh dengan darah, wajahnya juga sudah pucat, saya benar-benar tidak kuat lihatnya. Langsung saja saya menelpone Jaedi karena saya bingung harus berbuat apa pak.” Ujarnya polos.
“Jaedi? Siapa Jaedi?”
“Jaedi itu petugas kebersihan di sekolah ini, Pak, kebetulan hari ini jadwal dia piket dari pagi.”
“Dan setelah itu Jaedi langsung datang ke TKP? Apa yang dia lakukan begitu tiba di TKP?”
“Iya, dia datang dari arah gedung sebelah Barat pak. Jaedi langsung berlari ke luar sekolah untuk meminta bantuan masyarakat yang lewat.”
“Kenapa kelian berdua tidak ada yang langsung menghubungi pihak kepolisan?”
“Aduh, kalau saya sih tidak kepikiran sama sekali pak, saya benar-benar panik, jadi yang ada di pikiran saya saat itu hanya meminta bantuan dari orang-orang terdekat.”
Baron mengangguk paham, “Apa anda sempat menyentuh jenazah atau apapun itu yang ada di TKP?”
Yudi menggeleng cepat, “Saya sih enggak, Pak, gak berani! Tapi Jaedi sempat lihat denyut nadi siswi itu untuk untuk memastikan apa dia masih hidup atau tidak.”
Baron tampak membuat catatan kecil dalam buku catatannya, “Baik, kemudian, apa anda mengenali siswi itu?”
“Tidak pak, saya teh kurang pamiliar dengan mukanya. Saya memang mengenal banyak siswa-siswi tapi itupun mereka yang aktif berkegiatan di sekolah, seperti misalnya anggota osis atau anggota ekstrakulikuler yang sering latihan sepulang sekolah.”
“Berarti menurut anda siswi ini kurang aktif selama di sekolah?”
“Kayaknya sih begitu pak…” Jawabnya tak yakin.
Ada satu pertanyaan kunci yang belum sempat Baron tanyakan pada Yudi, “Saat anda menghampiri TKP, apa anda sempat melihat ke atas ke arah balkon sekolah tempat dimana Karisa terjatuh?” Tanyanya pelan tapi tegas.
Yudi tampak terkejut mendapat pertanyaan seperti itu, dia tahu makna dari pertanyaan Baron, “Tidak, Pak, saya pikir neng Karisa teh sengaja mengakhiri hidupnya, makanya saya bilang ke Jaedi ada siswa yang bunuh diri.”
Jadi Yudi adalah orang yang pertama kali menyimpulkan kalau kejadian yang Karisa alami adalah bunuh diri, sehingga orang lain berpikiran demikian. Tapi tidak dengan Baron, Julie, dan Adrian, mereka memiliki pemikiran lain.