TUJUH

1199 Kata
Baron berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang autopsi. Siang itu cuaca sangat gelap dan mendung, air hujan tampak siap untuk membasahi wilayah Cipatat dan sekitarnya. Rumah Sakit Bhayangkara Bandung Barat termasuk dalam bangunan tua karena rumah sakit itu sudah didirikan sejak zaman Belanda. Baru kemudian pada tahun 2005 dijadikan sebagai rumah sakit milik Polri oleh pemerintah setelah sebelumnya dikelola pihak swasta. Beberapa bagian sudah mendapat sentuhan renovasi karena kondisinya yang rusak sedang hingga parah, sementara ada juga bagian yang disengaja tidak direnovasi untuk mempertahankan unsur aslinya, seperti gapura di depan rumah sakit juga taman-taman yang ada di dalamnya. Dulunya, rumah sakit itu di bangun oleh salah satu tokoh pahlawan Indonesia yang berprofesi sebagai seorang dokter asal Bandung Barat. Beliau mendirikan rumah sakit itu dengan tujuan agar masyarakat Bandung Barat yang kurang mampu bisa berobat di rumah sakit tersebut, selain itu juga digunakan untuk merawat dan mengobati masyarakat yang terluka karena ikut berperang melawan Belanda. Kini, rumah sakit itu menjadi rumah sakit milik Kepolisian Republik Indonesia dengan pasien-pasien korban atau pelaku pelanggar hukum. Namun tidak jarang juga menerima pasien umum jika lokasinya berdekatan. Bertahun-tahun menjadi seorang detektif di Polres Bandung Barat membuat Baron sudah hafal sekali dengan seluk beluk rumah sakit itu. Baron lalu berpapasan dengan beberapa petugas kepolisian dan beberapa perawat yang sedang mendorong kasur, mereka keluar dari ruang jenazah. Yang sedang terbaring di atas kasur tersebut adalah seorang teroris yang ditembak mati oleh Polisi karena melakukan perlawanan saat hendak ditangkap. Sekarang jenazahnya akan diserahkan kepada pihak keluarga untuk dimakamkan, tentunya dengan pendampingan dari pihak Kepolisian. Petugas kepolisian itu memberi hormat pada Baron, mereka lanjut berjalan saat Baron juga membalas hormatan tersebut. Sejak awal berkarir, Baron lebih tertarik dengan tindak kriminal khusunya kasus-kasus pembunuhan atau kematian tak wajah, dia sama sekali tidak tertarik berurusan dengan orang-orang yang berkhianat pada NKRI. Baginya mereka tidak lebih dari seorang sampah masyarakat dengan topeng ajaran tertentu. Di ruang autopsi sudah ada Taka dan dua orang dokter Forensik bernama Dokter Syamsir dan Dokter Desiree. Tim Baron lebih sering bekerjasama dengan Desiree, dokter muda berusia tiga puluh dua tahun itu memiliki pola pikir yang sama dengan Baron, cerdas, teliti, dan gesit dalam bertindak. Dia selalu bisa mengindentifikasi jenazah bahkan hingga ke hal-hal detail. Itulah mengapa selama dua tahun terakhir mereka selalu bekerjasama. Desiree merupakan lulusan dari Universitas Indonesia berdarah Pontianak. Matanya sipit, kulitnya putih, rambutnya berwarna kecoklatan hasil zat kimia. Meski sering ceplas-ceplos ketika berbicara, tapi dia adalah seseorang yang sangat ramah. Taka dan Desiree sedang berdiri di samping jenazah Karisa yang hanya dilapisi oleh kain putih. Untuk keperluan autopsi, Desiree harus melucuti semua pakaian yang jenazah kenakan dan menyimpannya sebagai bahan bukti. Baron berjalan menghampiri mereka, melihat jenazah Karisa yang sudah terbujur kaku karena sudah tidak bernyawa ditambah suhu yang begitu dingin. Ruang autopsi memang sengaja di atur dingin agar jenazah tidak membusuk selama proses pembedahan. Di ruang itu juga terdapat tiga tempat tidur untuk membaringkan jenazah, lemari yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan autopsi, hingga meja kerja Desiree dan Syamsir dengan masing-masing komputer. Baron bahkan tidak habis pikir kala melihat Desiree makan di meja itu, bagaimana bisa dia makan di hadapan jenazah korban pembunuhan atau kematian tidak wajar? Desiree menganggukkan kepala pada Baron sementara Taka memberi hormat untuk menyambut kedatangan atasannya itu. Taka memperhatikan wajah Karisa yang tidak terluka sedikitpun, saat itu hanya bagian wajah dan kepalanya saja yang tidak ditutupi kain putih. Desiree kemudian menjelaskan hasil autopsinya pada Baron, “Korban positif meninggal karena pendarahan di batok kepala. Melihat kondisi wajah korban yang mulus tanpa luka, dipastikan korban jatuh dalam keadaan terlentang…” Baron mengangguk setuju, saat pertama kali ditemukan tubuh Karisa memang dalam keadaan terlentang. Dokter muda itu kembali melanjutkan diagnosa-nya, dia mulai membuka kain putih itu hingga pusar. Menampilkan tubuh langsing Karisa, namun seorang penyidik dan dokter forensik tidak pernah berpikiran atau bertindak seronoh pada jenazah. Lagi pula, siapa juga yang nafsu dengan jenazah? Jika ada, maka dapat dipastikan orang itu pastilah sakit jiwa. “Bagian belakang tangan kanan dan kaki kanan korban juga mengalami patah tulang karena kerasnya benturan yang terjadi. Dan ada satu hal yang sepertinya luput dari perhatian kalian,” Desiree menunjuk kedua lengan bagian atas, “Terdapat luka lebam yang sudah membiru, sepertinya hasil cengkraman tangan orang dewasa.” Desiree mengarahkan senter kecil ke bagian luka itu, sementara Baron mendekatkan kepalanya agar bisa melihat lebih jelas. Desiree benar, ada jeplakan ibu jari manusia, dapat dipastikan cengkramannya begitu keras hingga meninggalkan bekas luka. Baron mengela napas, tidak percaya jika dirinya melewatkan petunjuk sepenting itu. Taka mulai ikut dalam diskusi serius itu, “Apa mungkin sebelum melompat dari gedung sekolah, korban sempat bertengkar dengan seseorang?” Tanyanya seraya melihat ke arah Baron dan Desiree secara bergantian. Kini giliran Baron yang menatap juniornya, “Kau sungguh berpikiran ini adalah kasus bunuh diri?” “Eh?” Ekspresi wajahnya terlihat kebingungan. Desiree tersenyum kecil melihat momen itu, seperti biasa, Baron pastilah memiliki analisa yang berbeda dari kebanyakan orang, dan Taka adalah korban yang selalu gagal menebak apa yang ada di pikiran Baron. Desiree kembali menyelimuti tubuh Karisa dengan kain putih, lalu membuka kain putih bagian bawah, menampakkan kaki jenazah hingga betis. Jika diperhatikan, Karisa memiliki kaki yang jenjang, kulit kakinya juga mulus tanpa bulu. “Saat di TKP, Karisa hanya mengenakan sepatu bagian kiri, bukan? Dan kaki kanannya hanya mengenakan kaus kaki, jelas sekali kalau dia secara sengaja atau tidak sengaja melepaskan sepatunya.” Desiree menunjukkan kaus kaki yang sudah dia lepas dan simpan di kotak barang bukti yang nantinya akan dibawa oleh pihak kepolisian. Dia memperlihatkan kaus kaki sebelah kanan yang robek di bagian tumit kaki, “Bila dilihat dari bentuknya, aku menduga kalau robekan ini disebabkan oleh sesuatu yang runcing dan tajam, sebab benda itu nyaris saja mengenai tumit kaki korban.” “Sesuatu yang runcing dan tajam yang ada pada benda di sekitar sekolah?” Tanya Baron memastikan, seraya berpikir benda apa itu. Desiree mangangguk mantap. Dengan polosnya Taka berkata, “Aku jadi teringat kejadian saat SMA dulu. Ketika sedang bercanda, salah seorang teman tidak sengaja mendorongku ke arah meja sekolah hingga menyebabakan bagian bawah bajuku robek. Rupanya ada paku yang menacap di meja dengan arah yang tidak biasa sebab ada bagian kayu yang lepas. Ya, semacam itulah, meja rusak yang seharusnya sudah disimpan di gudang sekolah.” Ucapnya. Baron dan Desiree saling bertatapan. Mereka memikirkan hal yang sama berdasarkan cerita Taka. Paku adalah salah satu benda runcing dan tajam yang ada di sekolah. Jika baju seragam Taka saja bisa robek karena paku tersebut, apalagi kaus kaki yang lebih tipis, tentu itu bukan hal yang mustahil. Mereka berdua mengangguk. Itu artinya sejauh ini mereka memiliki dugaan yang sama terhadap penyebab kematian Karisa. Pada akhirnya dengan penuh keyakinan Baron membuat kesimpulan bahwa Karisa bukan bunuh diri melainkan dibunuh. Desiree setuju dengan kesimpulan itu, sementara Taka sedikit terkejut karena awalnya dia berpikir itu adalah kasus bunuh diri. Tapi dia tidak akan pernah meragukan keyakinan Baron karena sejauh ini dugaan seniornya itu tidak pernah melenceng. “Aku akan membuat laporan kepada Kapolres bahwa ini adalah kasus pembunuhan agar kita bisa menetapkan tersangka sesegera mungkin.” Ujar Baron. Desiree mengangguk setuju. Dia selalu suka bekerjasama dengan Baron karena pria itu gesit, cepat tanggap, dan tidak pernah ragu-ragu dalam bertindak. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN