EMPAT PULUH SATU

3277 Kata
Adrian ada janji bertemu dengan reporter senior di sebuah coffe shop. Dia adalah reporter yang memberitahu Adrian tentang akun Blog milik Karisa. Demi menjalin hubungan yang baik dengan rekan-rekan kerjanya, Adrian janji untuk mentraktirnya karena dia telah memberinya informasi. Tapi selain itu, Adrian memang selalu senang bertemu, mengobrol, dan membangun relasi dengan banyak orang. Sebab dia selalu mendapat ilmu atau informasi yang sebelumnya tidak dia ketahui setelah berdiskusi atau sharing dengan orang lain. Reporter senior yang bernama Dani itu sudah menunggunya sejak sepuluh menit lalu. “Aduh, maaf Bang aku terlambat.” Ujar Adrian yang lebih muda sepuluh tahun darinya. Dani sudah berkecimpung di dunia reporter sejak lima belas tahun lalu. Saat kuliah dulu, Dani aktif menjadi aktivis di kampus. Ia selalu tertarik dengan isu-isu sosial. Sekarang, dia sudah menjadi karyawan tetap di salah satu media cetak terkenal di Bandung. Pertama kali Adrian mengenal Dani, saat keduanya bertemu di acara perayaan hari Reporter Se-Indonesia. Sejak saat itulah Adrian dan Dani jadi berteman baik. Dani sangat membantu Adrian dalam memahami dunia reporter. Ketika pertama kali mendengar keputusan Adrian yang ingin resign dari perusahaan sebelumnya, Dani tidak banyak bicara. Dia hanya berkata bahwa dia akan mendukung keputusan Adrian. Menurutnya, Adrian pasti sudah mempertimbangkan matang-matang jalan yang dia pilih. “Santai, santai. Aku juga baru tiba, kok.” Ucapnya. Dani terkenal ramah dan santai kepada semua orang, meskipun pada juniornya sekalipun. “Jadi gimana nih kabarnya? Baik? Gimana rasanya sudah tidak jadi b***k kooporat?” tanyanya sambil tertawa. Adrian ikut tertawa, “Ya begini-begini saja, Bang, merasa bebas. Saking bebasnya terkadang suka hilang arah.” Jawabnya santai. Guyonan-guyonan seperti itu lah yang dia rindukan. “Kita pesan minum dulu ya, abang mau apa?” Tanyanya. “Biasa, Ice Americano aja. Umur sudah tua, gak berani lagi minum kopi yang manis-manis.” Pembawaan Dani benar-benar asyik, ia bisa membuat obrolan menjadi lebih santai. “Siap, Aku pesenin dulu ya, Bang. Adrian lalu menghampiri tempat pesan kopi sekaligus membayarnya di kasir. Berbeda dengan Adrian yang hari ini mau minum hot Caramel Caffe Latte, salah satu rasa yang sedang digemarinya akhir-akhir ini. Adrian kembali ke meja sementara kopinya sedang dibuatkan oleh sang barista. Mereka berdua lalu berbincang tentang kegiatan sehari-hari, jokes-jokes receh ala pria yang biasa dibahas saat sedang kumpul, peningkatan karier Dani di kantor, serta perasaan Adrian setelah menjadi reporter pekerja lepas. Hingga tiba-tiba, Dani bertanya tentang perkembangan kasus kematian Karisa. “Jadi bagaimana, sudah ada perkembangan tentang kasus kematian anak SMA yang kita bicarakan waktu itu?” Tanya Dani. Baron mengaduk-aduk kopinya dengan sendok kecil seraya menggerutkan dagu, “Belum ada perkembangan yang signifikan, Bang. Apalagi kasus ini sebenarnya sudah ditutup oleh pihak kepolisian, jadi lebih sulit untuk menyelidikinya.” Ungkap Adrian. Dia tidak ragu membahas kasus Karisa dengan Dani karena dia tahu bahwa seniornya itu tidak memiliki kepentingan apapun. Dani berada di pihak yang netral. “Ya, itu juga jadi salah satu alasan mengapa aku berhenti meliput kasus ini. Saat pihak kepolisian sudah menutup suatu kasus, publik akan menganggap bahwa kasusnya sudah benar-benar selesai. Dan media juga tidak akan meliputnya karena tidak menarik perhatian publik. Jadi yasudah, kasus akan hilang dan terlupakan dengan sendirinya. Padahal ada seorang ibu yang kehilangan putri kesayangannya, tapi bagi orang lain yang tidak berada di posisinya, itu seperti angin lalu yang lewat begitu saja. Kau kan tahu, jika aku tetap kekeuh untuk meliput kasus ini, perusahaan pasti akan mengabaikan hasil kerjaku dan memintaku untuk meliput kasus lain yang sedang viral.” Adrian mengangguk paham, dia tahu betul seperti apa posisi Dani sebab dia juga pernah ada di posisi itu. Hanya saja, Adrian yang masih sendiri bebas menentukan kariernya tanpa mempertimbangkan hal lain. Sementara Dani, dia sudah berkeluarga. Punya seorang istri dan dua orang anak yang harus dikasih makan dengan gaji bulanannya. Dani tetap harus menjalankan pekerjaannya meski terkadang dia merasa muak dengan fakta yang ada di lapangan. Itulah mengapa kita tidak bisa menilai orang lain hanya dengan melihat satu faktor. Ada banyak faktor-faktor yang mempengaruhi mengapa seseoran melakukan tindakan A, B, C, sampai Z. “Sepatu” kita berbeda dengan sepatu orang lain. Kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk mengenakan sepatu kita, pun kita tidak bisa memaksakan kehendak untuk mengenakan sepatu orang lain. Jika dipaksakan, maka aka nada seseorang yang terluka. Sebab setiap orang memiliki ukuran sepatu masing-masing. “Ya, media tidak akan mengangkat isu yang tidak menarik perhatian publik, aku paham betul itu. Tapi aku yakin, begitu fakta dari kasus ini terungkap, media pasti berbondong-bondong ingin meliput kasus ini lagi. Terlebih, mereka pasti akan “menuntut” pihak kepolisian tentang mengapa kasus ini ditutup padahal belum terselesaikan.” Dani mengangguk setuju. “Itu adalah hal yang menjadi pertanyaan utamaku saat ini. Aku sama sepertimu, menganggap ada kejanggalan dalam kasus ini. Saat pertama kali meliput kasus ini, pihak sekolah begitu terbuka memberikan informasi, mereka bersedia untuk bekerja sama dengan media dan berjanji akan transparan dalam mangawal kasus yang menimpa muridnya. Pun dengan pihak kepolisian, yang pada awalnya menyelediki kasus ini dengan baik. Tapi tiba-tiba saja, pihak sekolah menutup gerbang rapat-rapat, berkata bahwa mereka sudah menyerahkan kasus ini sepenuhnya kepada pihak kepolisian. Sang kepala sekolah, wakil kepala sekolah, serta bagian kesiswaan sulit sekali untuk ditemui. Mereka mengutus satpam sekolah untuk menghadapi para awak media. Karena tidak lagi mendapatkan informasi dari pihak sekolah, kami akhirnya bergegas ke kepolisian untuk meliput perkembangan penyidikan. Dan kau tahu apa yang terjadi? Salah satu perwakilan Humas dari Polres Bandung Barat menemui media dan memberi pernyataan bahwa mereka menyimpulkan kematian Karisa sebagai kasus bunuh diri dan memutuskan untuk menutup kasus ini. Yang membuatku tambah heran adalah bukan ketua penyidik yang menangani kasus itu yang membuat pernyataan. Aku sempat bertanya-tanya kemana penyidik yang menangani kasus ini? Kenapa bukan dia yang menghadapi media dan membuat pernyataan atas kasus yang sedang ditanganinya? Jadi, ya, ada banyak sekali hal yang aneh menurutku.” Yang sedang Dani bicarakan tentulah Baron. Baron adalah ketua penyidik yang menangani kasus Karisa. Dan alasan mengapa bukan Baron yang menemui media adalah karena sejak awal dia tidak tahu kalau kasus ini ditutup. Sejauh ini Dani tidak tahu kalau Adrian bergabung dalam tim mandiri yang diketuai oleh Baron untuk menyidiki kasus ini. Dia hanya tahu jika Adrian masih ingin meliput kasus Karisa. “Aku sendiri tidak tahu alasan pihak kepolisian menutup kasus ini, kalau pihak sekolah pastilah karena mereka tidak ingin citra sekolah di mata publik menjadi buruk. Jika kasus ini terlalu disorot oleh media apalagi hingga lingkup nasional karena kasus kematian yang tidak wajar, pastilah sulit bagi mereka untuk mendapat banyak murid baru ketika penerimaan siswa-siswi pada tahun ajaran baru nanti.” Dani menyeruput cangkir kopi yang isinya tinggal setengah, “Tapi, apa hanya itu alasannya? Citra sekolah? Mengapa bisa kebetulan sekali dengan keputusan yang diambil oleh pihak kepolisian? Apa hubungan antara SMA Cendikiawan III dengan Polres Bandung Barat? Tidakkah kau merasa aneh? Bertahun-tahun aku menjadi reporter, sering sekali aku menemukan penanganan kasus yang membuatku geleng-geleng kepala. Ini seperti sudah terencana dan dikendalikan oleh seseorang. Dibuat serapi mungkin agar tidak menimbulkan kehebohan di mata publik. Dari akun Blog dan sosial media milik Karisa, aku melihat ada perubahan sikap bahkan karakter dalam diri anak itu. Menurutmu, masalah apa yang bisa mengganggu mental anak remaja seusianya? Percintaan? Perundungan? Akademik? Sudahkah kau memeriksa semuanya?” Kata-kata Dani membuat Adrian berpikir keras. Apalagi mengenai hubungan SMA Cendikiawan III dengan Polres Bandung Barat. Jika kasus kematian Karisa berhubungan dengan orang-orang yang memiliki kuasa, memang tidak sulit bagi mereka untuk menutup kasus ini rapat-rapat. Tapi siapa orang-orang itu? Kepala Adrian rasanya begitu pening karena terus-menerus berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan yang ada. “Aku sudah menyelidiki masalah perundungan, Karisa memang sempat dirundung oleh seorang siswi yang merupakan anak dari donatur utama di SMA Cendikiawan III, tapi sepertinya rundungan itu tidak pernah dihiraukan oleh Karisa. Jadi aku yakin, itu tidak berhubungan dengan masalah perundungan.” “Anak dari donatur utama SMA Cendikiawan III?” Tanya Dani seperti sedang melupakan sesuatu, “Oh iya, aku hampir lupa kalau SMA Cendikiawan III adalah sekolah swasta yang menerima donasi dari para donatur yang tidak lain adalah para orangtua murid.” Adrian mengangguk membenarkan. “Ya, itulah mengapa aku berpikir jika mereka tidak ingin membangun citra yang buruk di mata para donatur.” Ucap Adrian. “Lantas, sudah kah kau menyelidiki siswi itu? Maksudku, siswi yang merundung Karisa dan merupakan anak dari donatur utama.” “Sudah, namanya Tia dan bukan dia pelakunya. Tia murni hanya berhubungan dengan kasus perundungan.” Jawab Adrian. “Bagaimana dengan murid-murid yang lain? Murid yang juga merupakan anak dari para donatur sekolah. Apakah ada di antara mereka yang memiliki hubungan dengan Karisa?” “Aku belum memeriksanya sampai situ. Tapi memangnya kenapa?” Tanyanya tak mengerti. “Kembali ke analisisku tadi. Aku sempat berpikir bahwa kasus ini berhubungan dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan. Siswa-siswi yang orangtuanya merupakan donatur sekolah adalah anak-anak yang memiliki kekuasaan. Jika kematian Karisa berhubungan dengan anak-anak itu, maka orangtua mereka pasti akan turut andil dalam “penyelesaian” kasus ini. Orangtua mana yang ingin anaknya masuk penjara karena kasus pembunuhan? Mereka pasti akan melakukan berbagai cara untuk menutupi kesalahan anak mereka. Tidak peduli meskipun ada anak lain yang menjadi korban. Selagi korbannya bukan anak mereka, mereka pasti akan tutup mata dan telinga.” Adrian membelalakkan mata, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Mengapa dia, Julie, dan Baron tidak kepikiran sampai ke sana? Padahal kemungkinan itu juga ada. “Kau benar, Bang. Aku bahkan tidak berpikir jauh hingga ke sana. Baik, setalah ini aku akan memeriksa siapa saja murid-murid yang merupakan anak dari para donatur sekolah, serta hubungan mereka dengan Karisa.” “Kita harus membiasakan diri untuk berpikir out of the box, Adrian.” Ujarnya menasihati juniornya itu. Ia kembali menyeruput kopi untuk yang terakhir kalinya. “Tapi, apa kau punya akses untuk memeriksa hal itu?” Tanya Dani. Adrian tidak menjawab, hanya mengucapkan terima kasih pada sang senior karena selalu membantunya. Habisnya kopi Dani bersamaan dengan berakhirnya perbincangan mereka siang itu. Sepulang dari pertemuannya dengan Dani, Adrian langsung menghubungi Julie untuk menyampaikan hal tersebut. Melalui panggilan telephone, Adrian meminta Julie untuk mencari tahu siapa-siapa saja murid yang orangtuanya menjadi donatur sekolah, serta mencari tahu latar belakang hubungan mereka dengan Karisa. “Julie, maaf jika kau yang paling banyak direpotkan kali ini, sebab hanya kau yang bisa mengakses informasi tersebut.” Ujar Adrian, dia merasa tidak enak karena takut terlalu merepotkan Julie. Kesibukan Julie pasti bukan hanya mengurusi kasus Karisa saja. “Kau tidak perlu berpikir seperti itu, Adrian. Justru aku ingin mengucapkan terima kasih karena kau begitu tulus menyelidiki kasus Karisa. Aku mungkin tidak akan bisa melanjutkan penyelidikan kasus ini jika tidak bersama dengan kau dan Baron.” Ujarnya pelan. Ya, hari ini Julie merasa begitu lelah. Ada banyak hal yang sudah dia lewati belakangan ini. Dan itu sangat-sangat menguras energinya. Adrian yang amat sangat peka dengan lingkungan dan orang-orang yang ada di sekitarnya langsung menyadari kondisi Julie saat itu, “Julie…kau sedang ada masalah?” tanya tampak khawatir. “Tidak, aku hanya sedikit kelelahan. Setelah istirahat sebentar, tubuhku pasti akan baik-baik saja.” Jawab Julie, dia tidak ingin membuat Adrian khawatir. Cukuplah Adrian fokus dengan kasus Karisa. Jika Julie cerita, pria itu pasti akan mencoba untuk membantunya. Dan dia tidak ingin merepotkan orang lain. “Kau yakin?” Tanya Adrian lagi. “Yakin, yasudah, aku istirahat dulu, ya. Besok akan ku cari tahu informasi yang kau sebutkan tadi.” Ujarnya kemudian mengakhiri telephone. Malam ini Julie hanya ingin beristirahat dengan tenang sebelum besok kembali menghadapi dunia yang kejam. ****** Keesokan harinya, Julie datang lebih pagi ke sekolah untuk menemui petugas bagian kesiswaan dan Tata Usaha. Untungnya hari itu, Adiwiyata tidak datang ke sekolah karena ada dinas di luar kota, entah apa. Tapi yang jelas Julie merasa bersyukur karena setidaknya hari itu dia bisa fokus pada masalah Karisa, tidak dicecar untuk minta maaf pada Tia dan orangtuanya. Julie mengetuk pintu bagian Tata Usaha, lalu masuk dan tersenyum kepada satu pegawai yang sudah datang. Itu yang menjadi alasan mengapa dia datang lebih pagi, sebab belum banyak pegawai yang datang dan dia akan lebih mudah mencari informasi. Maksudnya, tindakan Julie tidak akan dipertanyakan oleh banyak orang. Julie berjalan menuju meja pegawai yang terkenal ramah itu. Seorang wanita berusia tiga puluh lima tahun yang sedang mengandung anak kedua. “Selamat pagi, Mbak…” Sapa Julie hangat. “Selamat pagi, Mbak Julie. Tumben ke sini, ada apa?” Tanyanya seraya menutup botol minum yang dia bawa dari rumah. Julie menyengir dan tertawa kecil, “Hehehe, aku gak pernah ke sini ya, Mbak, maaf ya. Aku mau ketemu sama Mbak Yani dong. Nih, aku juga bawa sarapan sehat untuk Mbak dan si dedek.” Ucap Julie. Dia kemudian mengeluarkan kantong plastik berisi roti dan kue yang dia beli di toko roti dalam perjalanan ke sekolah. Julie tahu betul bagaimana dia harus bersikap. Sebelumnya, Julie hanya pernah mengobrol sekali dengan Yani saat acara perkenalannya. Setelah itu, karena tidak pernah ada urusan dengan Tata Usaha dan beda ruang kerja, mereka jadi tidak pernah berbincang lagi. Jadi, Julie harus membuat Yani merasa nyaman mengobrol dengannya agar bisa memberikan informasi yang Julie butuhkan. “Waduh, Mbak Julie tahu aja kalau saya belum sarapan. Terima kasih, saya terima ya, Mbak.” Yani kemudian mengambil kantong plastik itu, meletakkannya di atas meja kerjanya. Tidak seperti guru-guru senior lain yang saat ini memperlakukan Julie agak sinis karena dia belum juga minta maaf pada orangtua Tia. Yani, yang memang hanya berkecimpung di urusan Tata Usaha sekolah sepertinya tidak ingin ikut-ikutan dengan kasus yang sedang terjadi. Dia tetap memperlakukan Julie seperti biasa. Sehingga Julie tidak perlu merasa canggung. “Sama-sama, Mbak. Ngomong-ngomong, si dedek sudah berapa bulan, Mbak? Gimana kondisinya, sehat?” Tanya Julie seraya mengelus-elus perut Yani yang semakin membesar. “Alhamdulillah sehat, sudah masuk minggu kedua puluh, nih. Doain ya semoga lancar sampai lahiran.” Jawabnya. “Aamiin, sehat-sehat terus ya, Mbak.” Ketika Yani sudah merasa nyaman mengobrol dengan Julie, wanita itu lalu mulai dengan pertanyaan tipis-tipis yang mengarah ke informasi yang dia butuhkan. “Mbak Yani, Mbak kan tahu ya kalau saat ini aku sedang berurusan dengan orangtua murid yang mana dia adalah donatur utama dari SMA Cendikiawan III…” Ujarnya membuka topik. “Oh iya, aku sudah dengar kabar itu. Ya ampun, aku turut prihatin ya atas masalah yang menimpamu. Pokoknya didoain supaya masalahnya cepat selesai.” Dari jawabannya saja terlihat sekali jika beliau netral atau tidak berpihak pada siapapun. “Terima kasih, Mbak. Setidaknya sekarang aku tidak terlalu khawatir karena tidak semua orang di sekolah ini terkesan seperti “memusuhi” ku. Ada Mbak Yani, juga April dan sepertinya Mei yang tetap bersikap baik padaku.” Yani seperti langsung paham dengan maksud ucapan Julie. Dia memajukan kepalanya agar bisa berbisik pada Julie yang sedang duduk di depannya. “Oh, para guru senior ya?” Ucapnya pelan, “Mereka memang seperti itu, udah, biarkan saja. Lakukan apa yang menurutmu benar.” Lanjutnya. Julie mengangguk, “Ngomong-ngomong, Mbak, Aku sendiri awalnya tidak tahu kalau Tia adalah anak dari donatur utama sekolah ini, memangnya ada berapa murid sih yang orangtuanya jadi donatur? Dan, total donatur di sekolah ini jumlahnya berapa?” Julie sudah masuk ke pertanyaan inti. “Aku pengen tahu aja, Mbak, jadi ke depannya aku mungkin bisa berhati-hati dalam memutuskan sesuatu.” Tambahnya agar tidak terlalui dicurigai oleh Yani. “Duh, aku lupa ada berapa ya, dan siapa-siapa saja murid yang orangtuanya donatur di sekolah ini. Tapi kalau gak salah, aku punya sih datanya di komputer.” Jawab Yani, sepertinya dia tidak menaruh rasa curiga apapun pada Julie. Dia berpikir jika Julie murni ingin tahu agar tidak salah langkah lagi. “Maaf, Mbak, aku boleh lihat datanya gak ya? Itupun kalau Mbak Yani mengizinkan.” Ucap Julie pelan. “Hemmm…sebenarnya data ini tidak boleh disebarluaskan ke publik karena kepentingan privasi. Tapi berhubung Mbak Julie bagian dari internal sekolah ini, jadi gak apa-apa deh aku tunjukin. Julie tersenyum senang. Dia lalu menunggu Yani menyalakan komputernya dan mencari data yang dibutuhkan. Dengan pesan tidak untuk disebarluaskan ke publik, Yani akhirnya mengirim file berbentuk excel tersebut ke email pribadi Julie. Karena kebetulan belum ada pegawai Tata Usaha lain yang datang, Julie akhirnya langsung membuka file tersebut di depan Yani. Betapa terkejutnya Julie ketika melihat nama paling atas dari donatur sekolah. "Fadli Iskandar dengan orangtua Tommy Iskandar dan Ine Iskandar?" Ucap Julie. "Ini Fadli Iskandar yanga anak 11 IPS 1?????" Tanya Julie pada Yani. Yani mengangguk, "Kau pasti terkejut, kan? Fakta bahwa orangtua Tia bukanlah donatur utama dari sekolah ini dan fakta bahwa anak kelasmu yang tidak disangka-sangka adalah anak dari seorang anggota DPRD yang menjadi donatur utama di sekolah ini. Bukan hanya kau saja yang tidak tahu, seluruh murid di sekolah ini tidak ada yang tahu itu, dan hanya kepala sekolah, wakil kepala sekolah, serta petugas Tata Usaha dan bagian kesiswaan yang mengetahui hal itu. Orangtua Fadli sudah menjadi donatur utama di sekolah ini sejak pertama kali Fadli masuk SMA Cendikiawan III. Mereka menyumbang uang dua puluh juta setiap bulannya, juga belum termasuk donasi tahunan." Jelas Yani pelan, ia sedikit berhati-hati memberitahu informasi itu, takut terdengar oleh orang lain padahal di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Julie masih saja menganga, otaknya belum selesai memproses informasi tersebut. Setelah beberapa menit kemudian, dia baru kembali bertanya, "Tapi...tapi kenapa fakta tersebut disembunyikan? Maksudku, bukankah biasanya semua murid dan para orangtua selalu ingin menunjukkan jika mereka jadi donatur sekolah, terlebih donatur utama. Sebab, semakin banyak yang tahu, mereka akan dapat banyak keuntungan, bukan? Seperti misalnya Fadli akan diperlakukan seperti raja oleh para guru. Tapi kenapa justru ditutup-tutupi dan mempublish bahwa orangtua Tia lah yang menjadi donatur utama dari sekolah ini?" Tanyanya panjang lebar. Julie benar-benar tidak mengerti dengan informasi yang baru saja dia dapatkan. "Kalau itu jujur aku tidak tahu alasan mengapa disembunyikan. Satu setengah tahun lalu, Pak Adiwiyata hanya meminta kami--para pegawai tata usaha--untuk tidak memberitahu informasi tersebut kepada siapapun, termasuk guru-guru yang ada di SMA Cendikiawan III. Kami sebagai pegawai tata usaha ya hanya nurut-nurut saja tanpa banyak bertanya. Awalnya aku juga sangat penasaran, tapi semakin ke sini aku berpikir bahwa mungkin keluarga Fadli tidak ingin riya dan sombong, jadilah mereka "sedekah" secara diam-diam. Ya, setidaknya itu hal positif yang terpikirkan olehku sih, walau kenyataannya tidak tahu seperti apa." Ujar Yani. Tapi entah mengapa Julie sama sekali tidak ada pikiran positif seperti yang Yani pikirkan. Ia justru merasa ada sesuatu yang membuat orangtua Fadli harus menyembunyikan fakta tersebut. Tapi apa itu? Mengapa dengan bertambahnya informasi yang ia dapatkan, semakin rumit pula kasus ini? Apa benar Fadli terlibat dalam kasus kematian Karisa, dan orangtuanya berperan untuk menutupi dan mengakhiri kasus itu? Tidak ingin membuang-buang waktu, begitu keluar dari ruang Tata Usaha, Julie langsung menuju ke toilet wanita khusus para guru, membuka setiap bilik kamar mandi bahwa sedang tidak ada orang di sana. Julie lalu mengambil ponsel di saku celananya, mencarin nomor telpone Baron dan menghubunginya. Pada dering ke lima, Baron menjawab panggilan itu, tanpa basa-basi Julie langsung berkata, "Baron, aku punya tugas untukmu. Tolong cari tahu latar belakang dari keluarga Tommy Iskandar, salah satu anggota DPRD Kabupaten Bandung Barat yang merupakan ayah dari Fadli Iskandar, siswa yang dekat dengan Karisa. Dan sebagai informasi tambahan yang harus kau tahu, orangtua Fadli adalah donatur utama di sekolah ini. Posisinya saat ini membuat dia memiliki kekuatan dan pengaruh, baik di lingkup SMA Cendikiawan III, maupun di lingkup Kabupaten Bandung Barat. Kau tahu maksudku, bukan?" Jelas Julie. Ia memberi penekanan pada kalimat terakhirnya. Dan tanpa Julie sadari, itu adalah kali pertamanya dia memerintah Baron. Baron yang awalnya kebingungan dengan sikap Julie yang tergesa-gesa kemudian paham tentang apa yang harus dia lakukan saat ini. Dengan sigap, Baron langsung membuka komputernya, mencari data di tempat yang hanya bisa diakses oleh pihak kepolisian. Dan Baron pun menemukan fakta yang sangat mengejutkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN