EMPAT PULUH

3036 Kata
Suasana tenang masih terasa dalam interogasi yang dilakukan Baron pada Syamsudin. Dia belum juga menjawab pertanyaan Baron. Dia seperti sedang memikirkan harus menjawab apa, agar tidak salah bicara. “Sampai kapan Anda mau diam seperti ini?” Tegur Baron. “Semakin Anda mengulur-ulur waktu untuk menjawab, semakin lama pula interogasi ini berakhir. Semua pilihan ada di tangan Anda. Jika Anda memilih untuk bersikap kooperatif, maka saya akan membantu Anda melewati semua prosesnya sesuai dengan SOP normal yang ada. Tapi jika Anda tidak bersikap koorperatif, maka segalanya akan lebih sulit dan rumit.” Jelas Baron. Rupanya “ancaman” itu tidak terlalu digubris oleh Syamsudin, dia mencoba untuk mengelak, “Mengapa Anda bisa bertanya demikian? Saya tidak ke rumah Mayang pada hari kejadian.” Jawabnya. Baron tertawa, tentu saja Syamsudin akan berbohong. Justru aneh rasanya ketika target yang diinterogasi tidak mengelak sama sekali. Jarang sekali kasus si target langsung berkata jujur dengan setulus hati. Tidak ingin membuang-buang waktu, Baron langsung mengacungkan ponsel Syamsudin, Anda pikir untuk apa aku meminjam ponselmu? Untuk berfoto selfie?” Baron tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. “Aku sudah menyalin semua riwayat perjalananmu dalam tiga bulan terakhir. Jadi jangan coba-coba untuk mengelak apalagi berbohong. Lebih baik Anda jujur dalam hal ini daripada aku menelusuri kegiatan apa yang Anda lakukan di tempat karaoke hingga Anda rajin sekali pergi ke sana. Dalam seminggu, Anda pergi ke sana bisa tiga kali, bukan?” Ekpresi wajah Syamsudin terlihat ketakutan. “Apa ada bukti akurat yang menujukkan bahwa hari itu saya berkunjung kerumah Mayang?” Ia masih berusaha untuk membantah. “Tadi pertanyaan saya adalah mengapa Anda datang ke daerah rumah Mayang pada hari kejadian? Bukan, mengapa Anda berkunjung ke rumah Mayang. Oh, jadi Anda datang ke daerah komplek perumahan itu untuk berkunjung ke rumah Mayang? Pada pukul sepuluh malam?” Ucap Baron. Itu adalah pertanyaan menjebak. Mata Syamsudin terbelalak, apa yang dikatakan Baron adalah benar. Pada hari kejadian, Syamsudin ternyata berkunjung ke rumah Mayang. Dalam riwayat perjalanan di aplikasi maps yang ada di ponselnya, tercatat bahwa dia tiba di komplek perumahan tempat Mayang tinggal pukul 22.03 WIB. Sebelumnya Syamsudin seharian berada di tempat steam mobil. Itu berarti begitu Mayang selesai makan nasi goreng dengan Imam, dan pamit pulang, tidak lama kemudian Syamsudin mengikuti Mayang hingga ke rumahnya. Ya, timeline keduanya begitu pas. Mengenai apakah Syamsudin adalah pria yang terekam dalam kamera dashboard salah satu warga, Baron masih harus memeriksanya. “Saya…saya hanya datang sebentar ke rumah Mayang untuk menemuinya karena ada yang harus saya bicarakan…” Pria paruh baya itu akhirnya tidak bisa lagi mengelak. “Mengapa harus di rumah Mayang? Padahal seharian itu kan anda berada di tempat yang sama dengannya. Anda berada di tempat steam mobil sejak pagi, bukan?” “Itu…itu karena saya tidak ingin ada orang lain yang mendengar percakapan kami. Saya tidak mungkin bicara empat mata dengan Mayang di tempat steam mobil karena satu dan lain hal.” Baron tahu apa yang dimaksud dengan satu dan lain hal oleh Syamsudin. Itu pasti masalah dirinya yang pernah ketahuan menggoda Mayang. Sejak saat itu, istri Syamsudin selalu berpesan kepada seluruh karyawan steam untuk melaporkan kepada dirinya jika mereka melihat Syamsudin sedang bersama Mayang atau mencoba mendekati Mayang. Para karyawan tentu saja nurut, karena pada hakikatnya yang menggaji mereka adalah istri Syamsudin, bukan Syamsudin. Sehingga, lelaki buaya darat itu sama sekali tidak berani untuk mengajak Mayang mengobrol. Jangankan mengobrol, senyum kepada Mayang pun sudah tidak pernah. “Pukul berapa Anda masuk ke dalam rumah Mayang?” Tanyanya tegas. Syamsudin menggeleng, “Tidak, saya tidak masuk ke dalam rumah Mayang. Kami hanya mengobrol di depan rumah. Begitu tiba di depan rumah Mayang, saya langsung mengetuk pintu pagar rumahnya. Mayang lalu keluar, tidak mengizinkan saya untuk masuk. Dia bahkan mengancam saya, katanya, jika saya tetap memaksanya, dia akan melaporkan saya kepada istri saya.” “Tolong jangan berbohong dan jawab dengan jujur!!!” bentak Baron. Dia sudah lelah bersikap baik pada para pembual. Orang-orang seperti Syamsudin yang kerap kali membuat pekerjaannya menjadi lebih lama selesai. “Benar, Pak. Saya tidak masuk ke rumah Mayang. Kami berbicara di depan rumah Mayang. Saya berani bersumpah, Pak.” “Lantas, apa yang kalian bicarakan malam itu?” Tanya Baron lagi. Ketika Syamsudin hendak menjawabnya, tiba-tiba datang seorang pria berpenampilan rapi dengan mengenakan setelan jas berwarna abu-abu. Pria itu datang menghampiri meja Baron. Dia lalu memperkenalkan diri sebagai pengacara pribadi Syamsudin. Rupanya, saat dijemput oleh Baron di steam mobil, Syamsudin memerintahkan salah satu karyawannya untuk menghubungi sang istri. Dia meminta untuk dicarikan pengacara karena terlalu takut berada di kantor polisi sendirian. Mendengar hal itu, sang istri yang memiliki banyak kenalan lantas segera menyewakan pengacara untuk suaminya. Sebobrok apapun suaminya, ia pasti akan berusaha untuk melindunginya. Rawut wajah Syamsudin terlihat lebih lega dari sebelumnya. Mungkin dia berpikir jika dia memiliki seorang pengacara maka semua urusan akan berjalan dengan lancar dan dia bisa segera pulang ke rumah. Baron kemudian mempersilakan pengacara itu untuk duduk di samping Syamsudin. Orang kaya memang beda, belum apa-apa saja sudah menyewa pengacara pribadi untuk mendampinginya, pantas saja hukum menjadi sangat tumpul ketika berhadapan dengan orang-orang berduit, itu yang ada di benak Baron kala itu. Setelah memperkenalkan diri lengkap dengan gelar dan profesinya saat ini, pengacara itu lantas bertanya dengan nada sedikit angkuh, “Apakah Anda punya surat perintah untuk menginterogasi serta memeriksa ponsel dari klien saya?” Ia seperti meremehkan Baron. Baron lalu mengambil lembar surat perintah di dalam laci meja kerjanya, sebelumnya surat itu sudah dia tunjukkan pada saat menjemput Syamsudin di steam mobil. Baron menyerahkan surat perintah tersebut, sang pengacara pun membacanya dengan seksama. “Tapi mengapa Anda melakukan interogasi saat saudara Syamsudin belum didampingi oleh pengacara?” “Saya tidak menetapkannya sebagai tersangka, saya hanya memintanya untuk diwawancarai sebagai saksi atas kasus kematian Mayang yang mana mendiang merupakan salah satu karyawan dari Bapak Syamsudin.” Syamsudin kini bisa duduk dengan rileks, membiarkan pengacaranya yang berbicara dengan Baron. Sang pengacara itu lalu berkata, “Bisa saya meminta waktu sebentar? Saya ingin bicara empat mata dengan klien saya.” Ujarnya. Baron terpaksa mengizinkannya karena memang mereka memiliki hak untuk itu. Ia lalu mengantarkan dua orang itu ke ruang tunggu dan memberikan waktu untuk mereka bicara selama lima belas menit. Dia menunggu di mejanya sambil menyiapkan pertanyaan selanjutnya yang akan ia ajukan. Jangan sampai dia kehilangan kesempatan untuk mendapat informasi sebanyak-banyaknya, apalagi sekarang Syamsudin sudah didampingi oleh pengacara, mereka pasti akan lebih cerdik dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang Baron ajukan. Saat sedang menunggu, Taka kemudian tiba, dia baru saja selesai rapat dengan para anggota yang lain. Mejanya dan meja Baron bersebelahan. Taka memberi hormat pada Baron dan bertanya, “Kau sudah selesai menginterogasi target ketiga kita? Bagaimana hasilnya?” Tanyanya penasaran.  “Masih proses, maksudku sedang jeda sebelum sesi interogasi selanjutnya.” Jawab Baron seraya membuka botol air mineral, mendadak tenggorokannya terasa sangat haus setelah melihat wajah pengacara itu.  “Jeda?” Tanya Taka tak mengerti. “Ya, tiba-tiba pengacaranya datang dan meminta waktu untuk bicara empat mata.” Taka tersenyum penuh arti, “Wow, sudah pakai pengacara?” Baron mengangguk. “Kenapa begitu ketakutan kalau memang tidak salah?” Lanjut Taka, itu seperti pertanyaan yang tidak perlu dijawab.  Taka lalu duduk di kursinya, bersiap untuk melihat interogasi selanjutnya. Dia selalu senang melihat Baron menginterogasi para saksi atau tersangka, banyak ilmu yang bisa dipelajari darinya. Tentang bagaimana mengajukan pertanyaan-pertanyaan mematikan, kapan harus memotong ucapan lawan bicara jika sudah terlalu melenceng, serta membaca bahasa tubuh atau gerak-gerik dari lawan bicara. Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba, Syamsudin dan pengacaranya kembali ke meja Baron.  “Jadi, apa bisa kita mulai interogasinya sekarang?” ujar Baron. Sang pengacara mempersilakan Baron untuk mulai. Baron mengajukan ulang pertanyaan yang tadi belum sempat terjawab oleh Syamsudin, yakni hal apa yang dibicarakan olehnya dan Mayang pada malam itu. Si pengacara yang bernama Ronald itu berkata, “Terima kasih Pak Baron atas pertanyaannya, saya yang akan menjawab pertanyaan itu.” Baron mengerutkan kening kebingungan. Tapi Ronald tetap melanjutkan, “Seperti yang kita ketahui, Mayang adalah salah satu karyawan dari steam mobil milik Pak Syamsudin. Tujuan dia datang menemui Mayang adalah tidak lain dan tidak bukan untuk membicarakan tentang pekerjaan, sebab seperti yang bapak tahu, Pak Syamsudin sudah tidak bisa dekat-dekat dengan Mayang di tempat kerja.”  Taka tertawa kecil mendengar jawaban yang terdengar seperti mengarang bebas itu. Dia hanya geleng-geleng kepala, membayangkan bagaimana kesalnya Baron saat itu. Dalam hatinya Baron pasti ingin sekali menyumpal mulut Ronald dan Syamsudin. “Bisa Anda mengucapkan ulang kalimat yang Anda sampaikan pada Mayang malam itu?” Baron hanya melihat ke arah Syamsudin agar pertanyaan itu tidak dijawab oleh Ronald.  “Eh…ya, hanya soal kerjaan biasa…” jawabnya tampak tidak yakin. Syamsudin tidak akan bisa menghindari Baron sepenuhnya. Penyidik seperti Baron memiliki seribu satu cara untuk menauklukan orang-orang sepertinya.  “Ya seperti apa? Saya perlu tahu kalimat apa saja yang Anda ucapkan pada Mayang di malam itu. Agar saya bisa menilai seberapa pentingnya pembahasan tersebut hingga Anda harus menyampaikannya malam itu juga, seperti tidak ada hari besok saja.” Intonasi Baron mulai meninggi. Ronald langsung buru-buru berkata, “Maaf, Anda tidak bisa menekan klien saya seperti itu. Klien saya punya hak untuk menjawab pertanyaan itu atau tidak.” Belanya. Dia memang ada di sana untuk membela Syamsudin, dia tidak akan dibayar kalau tidak melakukan apapun. “Kalau begitu, tolong beritahu saya alasan mengapa Anda tidak ingin menjawab pertanyaan tersebut.” Lagi-lagi Baron hanya menatap Syamsudin.  Setelah menghindari beberapa pertanyaan dari Baron dengan mengandalkan pembelaan dari Ronald, pasangan pengacara-klien itu akhirnya terjebak dalam perangkap Baron dan menyerah. Syamsudin menceritakan pada Baron jika malam itu awalnya dia membicarakan tentang kinerja Mayang yang terus menurun dalam beberapa bulan terakhir. Syamsudin berpikir bahwa itu disebabkan oleh permasalahan yang pernah ternyata di antara mereka berdua sehingga menganggu konsentrasi dan kenyamanan Mayang dalam bekerja. Tapi Mayang berkata bahwa itu tidak ada hubungannya. Dia justru sekarang merasa lebih aman karena semua orang di steam mobil mengawasi gerak-gerik Syamsudin terhadapnya. Selain itu, sekarang Mayang juga punya back-up an yang begitu kuat, yakni istri dari Syamsudin. Memang dasar lelaki buaya darat, selesai membicarakan pekerjaan, rupanya Syamsudin mencuri-curi kesempatan malam itu. Dia sempat bertanya bagaimana persiapan pernikahan antara Mayang dan Imam. Mayang menjawab semuanya berjalan lancar. Syamsudin dengan lancangnya berkata, “Memangnya kau sudah yakin mau nikah sama Imam? Masa depan dia biasa-bisa aja loh. Pekerjaannya juga cuma kepala steam, kapan saja saya menurunkan jabatannya atau bahkan memecatnya, dia tidak akan jadi siapa-siapa. Kau pasti tetap hidup pas-pasan jika menikah dengannya. Bagaimana jika kau menikah denganku saja, jadi istri kedua. Mau, ya?” Rupanya Syamsudin belum juga menyerah untuk mendekati Mayang. Kemarin-kemarin dia hanya mengambil jeda, begitu keadaan kembali kondusif, dia memulai aksinya lagi.  Mayang benar-benar tak habis pikir. Dia hanya geleng-geleng kepala mendengar ucapan atasannya itu. Syamsudin mungkin tidak memikirkan etikanya sebagai seorang atasan, tapi Mayang masih menjaga etikanya sebagai seorang karyawan. Dia menahan diri untuk tidak menampar Syamsudin, walau sebenernya ia ingin sekali meninju pria itu. Mayang hanya merespon, “Maaf pak, jika urusan pekerjaan sudah selesai, saya izin masuk ke dalam karena hari sudah malam dan saya ingin istirahat. Jadi sebaiknya bapak juga pulang sekarang.” Syamsudin kesal karena Mayang mengabaikannya. “Berani-beraninya ya kau mengabaikan saya? Kau pikir kau siapa? Kau hanya karyawan rendahan biasa. Harusnya kau bersyukur karena saya memberimu kesempatan untuk bisa hidup enak. Kalau kau jadi istri kedua saya, kau tidak perlu lagi capek-capek kerja jadi kasir dengan gaji yang tidak seberapa. Hanya perlu duduk manis di rumah, melayani saya setiap malam, lalu nerima uang nilai bilai fantastis setiap bulannya.” Gaya Syamsudin sudah seperti dia adalah saudagar kaya raya, padahal semua harta benda yang dia gunakan saat ini adalah milik istrinya. Karena tidak ingin terpancing emosi, Mayang memutuskan untuk langsung masuk ke dalam rumah, sebab jika terus-terusan diladeni, Syamsudin pasti tidak akan pergi. Namun ketika Mayang berbalik badan, pria itu menahan tangan Mayang, “Kau benar-benar tidak mempersilakan saya untuk masuk dulu? Dan sepertinya di rumahmu sepi sekali, apa saya boleh menginap malam ini?” Ucapnya lancang, tidak memikirkan bagaimana perasaan Mayang ketika itu. Kali ini Mayang sudah tidak bisa menahan emosinya. Dengan spontan dia menampar pipi Syamsudin cukup keras hingga pria itu mengaduh kesakitan dan mengusap-usap pipinya. Mayang menggunakan kesempatan itu untuk cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Syamsudin akhirnya hanya mengucap sumpah serapah untuk Mayang dan mengancam akan memecat Mayang serta melaporkannya ke kantor polisi dengan tuntutan kekerasan fisik. Namun Mayang sama sekali tidak menghiraukan Syamsudin, dia terus masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, Mayang sempat mengintip dari jendela untuk melihat apakah masih Syamsudin masih ada di depan rumahnya atau tidak. Tapi menurut pengakuan Syamsudin, dia langsung pergi dari sana begitu Mayang masuk ke dalam rumah, sebab hari sudah gelap dan suasana di sana begitu sepi. Ketika Baron bertanya pukul berapa Syamsudin pergi dari rumah Mayang, pria itu menjawab sekitar pulul setengah sebelas lewat. Mereka tidak terlalu lama bicara di depan rumah Mayang. Baron pun menyocokkan keterangan yang diberikan oleh Syamsudin dengan riwayat perjalanan yang ada di ponselnya. Benar saja, tepat pukul 22.40 WIB, Syamsudin meninggalkan komplek rumah Mayang menuju sebuah cafe. Dia pasti ingin nongkrong-nongkrong di cafe bersama para wanita.  Jika apa yang dikatakan Syamsudin benar, itu berarti pria yang masuk ke rumah Mayang adalah orang lain, bukan Syamsudin. Dan pria itu datang kurang lebih lima belas sampai dua puluh menit setelah kepergian Syamsudin. Syamsudin kembali bicara, kali ini tanpa ditanya, “Sejujurnya saya pun begitu terkejut ketika mendengar kabar kematian Mayang keesokan harinya. Saya bahkan tidak berani keluar rumah selama seharian karena terlalu shock. Bagaimana tidak, semalam saya baru saja bertemu dan mengibrol dengannya, beberapa jam kemudian, dia ditemukan tidak bernyawa dan kabarnya dia bunuh diri. Saya sempat berpikir bahwa dia bunuh diri karena diganggu oleh saya. Tapi kemudian banyak desas-desus lain yang beredar, jadinya saya tidak lagi berpikir demikian dan tidak perlu merasa bersalah.” Jelas Syamsudin.  “Desas-desus apa?” Tanya Baron cepat. Sementara dari jarak beberapa meter, Taka semakin serius memperhatikan proses interogasi tersebut.  “Seperti Mayang bunuh diri karena stress memikirkan persiapan pernikahannya dengan Imam, atau Mayang bunuh diri karena dia sebenarnya tidak ingin menikah dengan Imam, dan ya, beberapa lainnya.” Jawab Syamsudin. Baron tersenyum kecut, “Omong kosong. Kasus kematian Mayang kemungkinan besar bukanlah kasus bunuh diri.” Mata Syamsudin terbelalak, “Jadi maksudnya Mayang dibunuh? Ada seseorang yang membunuh Mayang? Jadi…jadi saya diinterogasi sebagai pembunuh Mayang??” Tanyanya gugup.  “Kita masih terus mengumpulkan informasi agar bisa menyelesaikan kasus ini dengan baik.” Jawab Baron. Ronald akhirnya kembali mengambil alih. Setelah itu, ada beberapa pertanyaan yang dijawab dengan diwakilkan oleh Ronald, ada juga pertanyaan yang langsung dijawab oleh Syamsudin. Namun Baron cukup puas dengan informasi yang dia dapatkan hari itu. Walaupun itu membuatnya semakin berpikir keras untuk menemukan siapa pembunuh Mayang. ****** Setelah kejadian Julie “menantang” Mami Tia, babak barupun dimulai. Keesokan harinya Adiwiyata mengumpulkan seluruh dewan guru untuk mengadakan rapat internal. Dalam rapat tersebut beliau membahas tentang kasus yang terjadi pada Tia dan Arifin. Dia lalu seperti memberi pemahaman kepada para guru mengenai bagaimana cara menangani kasus yang terjadi pada murid-murid agar tidak merugikan pihak manapun. Julie merasa bahwa Adiwiyata seperti sedang menyindir dirinya. Dia dianggap tidak benar dalam menangani masalah para murid. Namun Julie paham, secara tidak langsung, Adiwiyata memerintah para guru untuk bersikap subjektif, bukan objektif. Bagaimana cara menyelesaikan masalah tergantung dari siapa saja murid yang terlibat dan seperti apa latar belakang orangtua mereka. Adiwiyata memang tidak mengatakannya secara tersurat, tapi secara tersirat tujuannya adalah jelas, membela anak-anak yang orangtuanya memiliki pengaruh atau kontribusi bagi SMA Cendikiawan III. Beberapa para guru yang sudah berumur mengangguk setuju. Mereka sepertinya sudah terbisa dengan budaya dari sekolah ini, atau mungkin, mereka sering menerim “bingkisan” dari para orangtua murid. Ya, tidak bisa dipungkiri, hal-hal seperti itu masih ada di dunia pendidikan. Sementara April dan Mei hanya mendengarkan sang kepala sekolah bicara, pengalaman mereka belum sebanyak guru-guru lainnya.  Di tengah-tengah pelaksanaan rapat, Adiwiyata tiba-tiba saja menyebut nama Julie, dia lalu berkata, “Dan untuk Bu Julie, saya harap Anda bisa segera minta maaf kepada Tia dan orangtuanya agar kasus ini tidak menjadi lebih rumit. Meski sudah agak terlambat, tapi tidak ada salahnya bagi Anda untuk minta maaf. Walau saya tidak yakin apakah orangtuanya Tia akan memaafkan Anda atau tidak. Tapi setidaknya, dengan permintaan maaf Anda, saya berharap ibunda Tia membatalkan niatnya untuk berhenti menjadi donatur utama sekolah ini. Jadi saya meminta kesediaan hati bu Julie untuk segera mengakui kesalahan dan minta maaf. Bahkan….” Adiwiyata sempat memberi jeda pada kalimatnya, “Bahkan sekalipun beliau meminta Bu Julie untuk berlutut, lakukanlah. Lakukanlah demi sekolah kita tercinta.”  Jangan ditanya seperti apa perasaan Julie saat itu. Ia tidak hanya kaget, marah, malu, tapi juga kecewa. Semakin ke sini Julie semakin merasa bahwa Adiwiyata tidak sebijaksana seperti kabar yang dia dengar selama ini. Tidak hanya Julie, April dan Mei pun tampak terkejut dengan ucapan pimpinannya. April bahkan beberapa kali menoleh ke arah Julie, dia khawatir jika Julie kenapa-napa. “Tapi pak, apa yang saya lakukan itu adalah sikap paling objektif dan netral yang bisa dilakukan oleh seorang guru. Saya tidak melakukan kesalahan apapun. Kenapa saya harus meminta maaf bahkan berlutut pada orang yang jelas-jelas melakukan kesalahan?” Julie masih terus mempertahankan prinsipnya. Beberapa guru senior melihat Julie dengan tatapan merendahkan sekaligus kesal. Seorang guru Kimia berusia 48 tahun yang tidak pernah senyum padanya sejak hari pertama dia masuk, bahkan berkata, “Aduh, sudah deh Bu Julie, kita buat masalah ini jadi gampang saja. Saya tahu kau guru muda yang masih sok perfeksionis dan berpegang teguh pada prinsip. Tapi hidup itu harus fleksibel, Bu Julie, tidak bisa kau samakan dunia kerja dengan dunia saat kau masih kuliah. Sudah, kau hanya perlu minta maaf, maka masalah tidak akan semakin buruk.” Jantung Julie rasanya seperti dipanah oleh anak panah beracun yang mematikan. Kata-kata itu sungguh menyakiti hatinya. Benar jika orang bilang lidah bisa lebih tajam daripada pedang. Lidah tidak bertulang, dia bisa bebas meliuk-liuk berkata apapun tanpa memperdulikan bagaimana perasaan orang yang mendengar ucapannya.  Namun sejak itu Julie jadi paham mengapa kasus Karisa bisa terjadi, sebab pihak-pihak yang ada di sekolah itu tidak pernah peduli dengan anak-anak seperti Karisa. Sempat terlintas di benak Julie alasan mengapa Tuhan cepat sekali mengambil Karisa. Tuhan tidak ingin Karisa berlama-lama di dunia yang diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki hati nurani.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN