EMPAT PULUH DUA

2637 Kata
Baron menutup panggilan begitu Julie selesai bicara. Dari nada bicaranya, terdengar sekali jika Julie menghubunginya dalam keadaan bersembunyi dan terburu-buru. Informasi yang Julie minta untuk Baron gali pastilah belum diketahui oleh banyak orang. Mereka harus tetap menyembunyikan masalah itu hingga fakta yang sebenarnya diketahui. Kala itu Baron sedang berada di ruang rahasianya, menyusun timeline tentang kedatangan Syamsudin ke rumah Mayang serta tersangka pembunuhan Mayang. Tidak perlu waktu lama, Baron segera beralih konsentrasi dari kasus Mayang ke kasus Karisa. Di bukanya situs rahasia yang hanya bisa diakses oleh pihak kepolisian, ia kemudian mengetik nama Tommy Iskandar. Kurang dari satu menit ratusan informasi mengenai Tommy Iskandar pun keluar. Mulai dari biodata diri hingga kegiatan yang sedang dia lakukan sekarang. Tommy Iskandar merupakan pria asal Jawa Tengah yang kini berusia 45 tahun. Pada usia 35 tahun dia resmi bergabung dengan salah satu partai politik sebagai pengurus dari partai tersebut. Karena kinerjanya yang baik, Tommy mulai dilirik oleh banyak partai pesaing. Ide-ide dan gagasannya terbukti selalu berhasil mendapat simpati dari masyarakat. Hingga akhirnya, 5 tahun kemudian dia dicalonkan oleh partainya untuk menjadi anggota DPRD di Bandung Barat. Periode pertama berjalan lancar. Ia pun kembali menjadi anggota DPRD untuk periode kedua. Bila dilihat dari resume kerjanya, Tommy Iskandar selalu aktif dalam mewakilkan partai politiknya di berbagai kesempatan. Mulai dari acara internal antar lingkup pemerintahan, hingga acara eksternal yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dia rutin mengadakan acara amal dan sosial sehingga citranya sangat baik di mata publik. Namun Tommy sepertinya bukan tipe orang yang suka mengumbar kehidupan pribadinya. Setiap kali wartawan bertanya tentang keluarganya, Tommy hanya berkata bahwa saat ini ia dan istrinya hidup rukun dan tentram bersama putra sematawayangnya. Ia selalu menolak jika ada wartawan yang ingin meliput keluarganya. “Saya ingin publik tetap fokus pada kinerja saya di bidang politik dan pemerintahan. Selain itu, saya juga tidak ingin privacy istri dan anak saya terganggu.” Ucapnya dalam salah satu wawancara yang dilaksanakan setelah acara buka puasa bersama di rumah Bupati Bandung Barat tahun lalu. Baron menyandarkan tubuh di kursi kerjanya, tangan kanan yang sejak tadi aktif mengulir mouse kini berubah posisi menjadi mengusap-usap dagu, tanda bahwa dia sedang berpikir. Putra yang dimaksud oleh Tommy pastilah Fadli. Rupanya dia hanya memiliki satu anak dan tidak pernah mengungkap identitas dari anaknya itu. Jika benar bahwa alasannya adalah karena tidak ingin privacy sang anak terganggu, Baron sungguh merasa salut padanya. Sebab di era ini, banyak sekali tokoh politik yang menjual keharmonisan rumah tangga demi mendapat simpati publik. Namun Baron tidak bisa percaya begitu saja, dia harus terus menyelidiki hingga menemukan petunjuk yang berguna. Baron terus menelusuri informasi tentang Tommy Iskandar hingga dua jam lamanya. Saat ia hendak beristirahat karena tak kunjung menemukan sesuatu yang janggal, ketika itulah dia menemukan informasi yang sudah dikubur dalam-dalam. Tiga tahun lalu, nama Tommy Iskandar pernah terseret dalam kasus korupsi pembangunan ulang Gedung Olahraga (GOR) di pusat Kabupaten Bandung Barat. Korupsi Pemberantasan Korupsi menemukan fakta bahwa proyek itu rugi hingga 2 milyar karena dikorupsi yang dilakukan oleh beberapa pihak. Tommy Iskandar pun dipanggil oleh KPK untuk mengikuti proses interogasi. Namun hasilnya, Tommy dinyatakan tidak bersalah dan dia pun hanya ditetapkan sebagai saksi. Sejujurnya Baron memang jarang memperhatikan kasus korupsi karena itu bukan bagiannya. Tapi Baron tahu, hasil penyidikan kasus korupsi tidak selalu benar. Orang yang tidak bersalah seringkali dijadikan tumbal sementara orang yang bersalah bisa lolos begitu saja. Tak ingin menerka-nerka dan hanya ingin mendapat informasi yang akurat, Baron pun segera menghubungi rekan kerjanya yang bertugas bagian menangani kasus korupsi. “Oh ya, kasus tiga tahun yang lalu. Kasus yang sulit disentuh karena Tommy Iskandar memiliki kekuatan dan kekuasan yang luar biasa.” Ujarnya, itu semakin meyakinkan Baron bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Baron melihat jam dindingnya, waktu menunjukkan pukul 11 siang. Setelah bertanya apakah rekannya itu punya waktu luang untuk bertemu dengannya siang ini, Baron pun langsung bersiap-siap. Mereka sepakat untuk bertemu di Pengadilan Negeri Bandung Barat saat jam makan siang nanti. Rupanya beliau sedang mengawal persidangan kasus penggelapan dana yang melibatkan kepala camat dan kepala desa. Suasana pengadilan hari itu cukup ramai. Dipenuhi oleh reporter yang ingin meliput berbagai macam kasus persidangan. Begitu tiba di parkiran dan turun dari mobil, Baron memeriksa pesan masuk di ponselnya. Rekan kerjanya berkata bahwa dia sudah menunggu Baron di kantin khusus. Ada dua kantin di dalam lingkungan pengadilan, yakni kantin umum yang bisa digunakan oleh semua orang, serta kantin khusus yang hanya bisa digunakan oleh pihak-pihak tertentu, seperti pegawai pengadilan, anggota kepolisian, hakim, jaksa, dan lainnya. Sebelum masuk ke sana, Baron harus menunjukkan kartu tanda pengenalnya terlebih dahulu. Ia pun menemukan rekannya tengah asik menikmati makan siang seorang diri. Gado-gado lontong adalah menu yang dipilihnya. Setelah memesan menu yang sama, keduanya kini mulai berbincang. “Setelah beberapa hari tidak masuk kantor, kenapa kini kau tiba-tiba bertanya tentang Tommy Iskandar?” Tanyanya. Meski tidak berada di divisi yang sama, namun kabar Baron yang sedang bersitegang dengan Kepala Polres sudah terdengar hingga lintas divisi. Baron menggigit kerupuk renyah yang ada di piringnya. Gado-gado itu entah mengapa terasa begitu nikmat. “Aku hanya perlu memeriksa beberapa hal, ini terkait dengan putra tunggalnya.” Jawab Baron. Dia tidak bisa sepenuhnya merahasiakan tujuan dari tindakannya itu, rekan kerjanya pun tidak akan memberi informasi untuk keperluan yang mencurigakan. “Putranya Tommy Iskandar?” Ucapnya memastikan. Baron mengangguk, “Apa kau tahu bahwa selama ini Tommy Iskandar menjadi donatur utama di sekolah putranya?” “Tidak tahu. Tapi bukankah itu hal yang wajar? Maksudku, banyak pejabat dan pengusaha yang menjadi donatur di sekolah anak-anak mereka. Tentu saja tujuannya untuk mendapat simpati dan pengakuan dari publik. Itu benar. Bagi seorang pejabat dan pengusaha, menjadi donatur di sekolah adalah hal yang wajar. Rekan kerjanya itu melanjutkan, “Meski kita tidak tahu uang sebesar itu berasal darimana.” Baron menaikkan satu alis. Respon atas perkataan rekannya yang sangat ambigu. Ia lalu menunjukkan sebuah dokumen pada Baron yang dia simpan di ponselnya. Dalam dokumen tersebut terdapat daftar perusahaan, Lembaga, dan organisasi yang berhubungan dengan Tommy Iskandar. Salah satunya adalah SMA Cendikiawan III. Tentu saja itu adalah dokumen yang hanya dimiliki oleh beberapa orang. Setelah memohon dan berjanji akan membalas kebaikan rekannya di kemudian hari, Baron akhirnya memperoleh dokumen tersebut. Selain aktif menjadi donatur di beberapa tempat seperti panti asuhan, sekolah, universitas, dan lembaga penelitian, diam-diam Tommy Iskandar juga menjadi investor di beberapa perusahaan. Mulai dari perusahaan media hingga kuliner. Baron melihat sekeliling kantin, hendak mengatakan sesuatu tapi perlu memastikan bahwa itu adalah tempat yang aman. “Bagaimana dengan kasus korupsi yang melibatkan Tommy Iskandar tiga tahun lalu?” Tanya Baron pelan. Tubuhnya sedikit mendekat pada rekan kerjanya itu. “Dia tidak bisa disentuh. Semua bukti yang menunjukkan jika dia terlibat dalam kasus tersebut hilang begitu saja. Lenyap. Seperti ditelan bumi.” Baron menatap rekan kerjanya tajam, “Mungkinkah….money laundering?” bisiknya. Yang ditanya mengangguk. Money laundering atau pencucian uang adalah tindakan untuk menyembunyikan asal usul uang atau harta hasil dari tindak pindana lewat berbagai transaksi keuangan. Tujuan dari kegiatan itu adalah agar uang atau harta tersebut seolah-olah berasal dari usaha yang legal. Dengan begitu maka uang dari hasil tindak pidana tersebut tidak bisa ditelusuri oleh aparat penegak hukum. Sejauh ini Baron sudah dapat menyimpulkan hal tersebut. Rekan kerjanya tidak perlu menjelaskan secara rinci karena Baron akan memeriksanya sendiri. Ia pun segera membuat janji bertemu dengan Julie dan Adrian. Semakin cepat mereka bertemu, maka semakin cepat kasus itu terselesaikan. Baron melihat Julie datang bersama Adrian. Saat ingin mengeluarkan sepeda motornya dari parkiran guru, Julie terkejut karena tiba-tiba ban motornya bocor. Mendadak, entah karena apa. Padahal ia baru melakukan perawatan rutin untuk motornya seminggu yang lalu. Jadilah dia pergi ke rumah Baron bersama Adrian yang menawarkan tumpangan untuknya. Julie dan Adrian duduk di sofa dalam ruang rahasia. Memperhatikan Baron yang masih sibuk dengan beberapa lembar dokumen di meja kerjanya. “Kau benar.” Ujar Baron tiba-tiba saja. Tidak tahu kalimat itu ditujukan untuk siapa. “Apa?” Ucap Julie dan Adrian berbarengan. Baron menatap heran, bagaimana bisa dua orang itu begitu kompak, pikirnya. Baron ikut duduk di sofa, berhadap-hadapan dengan mereka. Ia lalu memberitahu bahwa yang saat ini sedang dilakukan oleh Tommy Iskandar adalah tindak pencucian uang. Tommy Iskandar sebenarnya terlibat dengan beberapa kasus korupsi, hanya saja dia selalu berhasil menghilangkan bukti-bukti yang ada. Dia juga pintar menyamarkan uang hasil korupsinya melalui investasi. Uang-uang tersebut ia investasikan di perusahaan media, restoran, bahkan untuk brand produk kecantikan. Jadi saat dia korupsi lagi di lain waktu, uang dalam jumlah besar tersebut akan dianggap sebagai keuntungan dari bisnis yang dijalankannya. Hal tersebut tentu bertujuan untuk mengecoh para penegak hukum. Harta kekayaan miliknya tidak akan diusut tuntas karena dia terlibat aktif sebagai investor untuk banyak bisnis. Padahal, untung dari bisnis tersebut mungkin tak seberapa, yang besar adalah dari hasil korupsinya. Baron melanjutkan, Tommy Iskandar juga menjalankan perannya dengan begitu baik. Selain berinvestasi, dia juga rutin berdonasi dengan menjadi donatur tetap. Dan ya, salah satunya adalah dengan menjadi donatur utama di SMA Cendikiawan III. Sejauh ini Baron sendiri tidak tahu mengapa peran Tommy sebagai donatur utama disembunyikan oleh banyak pihak. Mendengar informasi tersebut, perasaan Julie sedikit tak terkendali. Di satu sisi dia terkejut karena Fadli sama sekali tidak terlihat sebagai anak dari donatur utama, namun di lain sisi Julie sudah menerka-nerka hal itu karena dial ah yang memberitahu Baron sebelumnya. Tapi siapa sangka jika uang yang digunakan oleh Tommy untuk berdonasi adalah hasil korupsi. Fakta-fakta yang Baron dan Julie ungkapkan berkaitan dengan kecurigaan dari senior Adrian. Jika ternyata Fadli berhubungan dengan kematian Karisa, bukan tidak mungkin sang ayah akan turun tangan dalam menyembunyikan kejahatan yang dilakukan putranya. Bila benar seperti itu, maka pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya adalah benar. Ayah dan anak, keduanya sama-sama melakukan tindak kejahatan. “Aku sungguh berterima kasih karena kalian benar-benar aktif dalam menyelidiki kasus Karisa. Karena sejujurnya, saat ini aku tengah disibukkan dengan kasus Mayang. Kasus itu…sama-sama complicated seperti kasus Karisa.” Ungkap Baron. Adrian memajukan tubuhnya, “Seorang wanita yang ditemukan meninggal di rumahnya sendiri karena racun sianida?” Adrian tahu kasus itu, sebab di awal dia sempat meliput kasus tersebut. Namun tanpa sadar dia seperti melupakannya karena teralihkan dengan kasus Karisa. Baron mengangguk, “Ya, saat ini kepolisian masih mengumpulkan barang bukti untuk menentukan siapa tersangkanya.” Lagi-lagi secara tidak langsung Baron harus mengakui di depan Adrian bahwa pihak kepolisian tidak bisa menangani kasus dengan cepat. “Racun sianida? Tersangka? Maksudmu seseorang sengaja memberinya racun sianida?” Tanya Julie. Adrian menjawabnya lebih dulu, “Ya…” kini dia beralih pada Baron, “Pihak kepolisian tidak menganggap itu sebagai kasus bunuh diri, bukan?” Na’as, Baron tidak bisa mengelak sindirian Adrian mengingat sikap Bambang belakangan ini. “Perlu bantuanku?” Baron menatap Adrian. Dengan kemampuan Adrian ia mungkin bisa tahu siapa saja orang yang berada di detik-detik terakhir hidup Mayang. Haruskah ia menerima tawaran Adrian? Haruskah ia mengakui bahwa dirinya tidak bisa menangani kasus ini? Ia sungguh ingin kasus Mayang cepat menemukan titik terang, tapi dirinya terlalu naif untuk meminta bantuan Adrian. “Benar, siapa tahu Adrian dapat menemukan petunjuk dari barang-barang almarhumah.” Timpal Julie. Demi terungkapnya kasus Mayang, Baron kali ini rela “meminta” pertolongan pada Adrian. Mereka akan membahas kasus itu setelah selesai dengan perbincangan kasus Karisa hari ini. Kini semuanya kembali fokus pada Tommy Iskandar dan Fadli Iskandar. Mereka tentu tidak akan membahas tentang korupsi atau pencucian uang yang dilakukan oleh Tommy. Melainkan mencari tahu peran Tommy yang berkaitan dengan putranya dan SMA Cendikiawan III. Julie mencoba menelusuri jejak digital Tommy Iskandar di internet. Segala bentuk donasi yang dilakukan oleh Tommy selalu didokumentasikan dan dipublikasikan oleh tim Public Relation-nya. Namun tidak satupun ia temukan foto-foto yang menunjukkan keterlibatan Tommy dengan SMA Cendikiawan III. Padahal setiap 6 bulan sekali, para donatur rutin mengadakan rapat dengan para dewan guru. Dan acara itu selalu didokumentasikan serta dipublikasikan di website SMA Cendikiawan III. Itu jelas membuktikan bahwa Tommy tidak ingin ada orang yang tahu akan hal tersebut. Julie mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Hari itu memang dia sedang membawa laptop ke sekolah. “Aku baru ingat, setiap kali aku ingin mengobrol berdua dengan Fadli untuk menanyakan kasus Karisa, anak itu selalu menghindar dengan sejuta alasan. Dan ketika aku melaporkannya pada kepala sekolah, Adiwiyata hanya memintaku untuk tidak memaksa para murid serta tetap menghargai keputusan mereka. Secara tidak langsung dia melindungi Fadli, bukan?” Adrian melihat ke arah Julie “Ya, karena Fadli adalah “anak emas” yang disembunyikan. Jika Tommy Iskandar sulit disentuh, bukan tidak mungkin putranya pun demikian.” “Benar, hanya Fadli yang belum kau baca pikirannya.” Tambah Baron. “Baca pikiran?” tanya Adrian bingung. Dia memang belum tahu jika Julie dan Baron juga memiliki kemampuan unik. Jika Baron tidak ada niat untuk memberitahu kemampuannya, berbeda dengan Julie yang niatnya ingin memberitahu Adrian nanti. Tapi karena Baron sudah terlanjur bicara demikian, Julie pun mau tidak mau menceritakannya. “Pantas saja kau langsung percaya saat aku mengatakan kemampuanku yang tak masuk akal itu.” Ujar Adrian ketika Julie selesai bercerita. “Kalau begitu, pasti ada cara agar kau bisa bicara empat mata dengan Fadli. Pakai alasan lain, seperti misalnya ingin membahas nilai-nilainya, bagaimana?” Usulnya. Julie mengangguk, dia akan mencoba saran Adrian besok. Mereka akhirnya sepakat untuk berfokus pada Fadli. Menggali segala informasi terkait hubungan Fadli dengan Karisa. Juga latar belakang keluarga Fadli. Adrian lalu meminta file yang sejak tadi dipegang Baron. Ia ingin melihat daftar perusahaan yang menjadi tempat investasi Tommy. Betapa terkejutnya ia saat melihat nama perusahaan media tempatnya bekerja dulu. Tommy memiliki saham sebesar 30% di perusahaan tersebut. Jelas itu adalah jumlah yang sangat besar. Sementara investor lainnya memegang saham sekitar 10-25%. Adrian kini mengerti mengapa perusahannya lebih senang meliput kasus-kasus tidak penting seperti perceraian artis, dan hanya meliput hal-hal baik dari partai politik tempat Tommy bernaung. Ternyata Tommy juga memiliki peran besar dalam mengendalikan perusahaan media itu. Malam itu juga Adrian memutuskan untuk langsung menemui Nina. Ia pun menawarkan diri untuk mengantar Julie pulang lebih dulu baru kemudian bertemu dengan Nina. Julie menolak. Tidak perlu, ucapnya. Saat ini bertemu dengan Nina untuk mencari informasi lebih penting daripada mengantarnya pulang. “Aku bisa pulang naik ojek online atau angkutan umum. Kau tidak perlu khawatir.” Adrian menatap Julie lamat-lamat. Baron melihatnya, itu jelas bukan tatapan biasa. Adrian lalu pamit pulang sementara Julie masih bersama Baron. Menelusuri mesin pencarian Google untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya tentang Tommy Iskandar. Bagaimanapun juga beliau adalah tokoh politik yang selalu mendapat perhatian publik serta sorotan media. Jejak digitalnya pasti bertebaran dimana-mana. Satu jam berlalu sejak keduanya fokus dengan layar laptop dan komputer. Suara perut Julie memecah keheningan malam itu. Bunyi keroncongan. Perutnya merengek minta diisi. Hari ini Julie terlalu sibuk hingga tidak memperhatikan asupan gizinya. Terakhir kali dia makan saat siang tadi, makan nasi pecel ayam bersama April di kantin. Baron melihat ke arah Julie, padahal sebelumnya ia sama sekali tidak memalingkan wajah dari layar komputernya. Julie malu bukan kepalang. Ia menyengir pada Baron. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Baron sontak tertawa kecil melihat tingkah Julie. Oh, rasanya baru kali ini Julie melihat Baron “seramah” itu. “Kau lapar?” Tanya Baron. Julie memegang perut seraya mengangguk, “Aku baru makan sedikit hari ini.” Ia seperti memberi klarifikasi. Baron lalu mematikan layar komputernya. Beranjak dari kursi kerjanya kemudian berjalan menuju pintu keluar. Julie bertanya pria itu hendak kemana. “Makan, bukankah kau lapar?” Jawab Baron pada Julie yang masuk duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya. “Memangnya kau punya makanan?” Baron menggeleng, “Hanya ada bahan makanan. Maksudku, kita bisa beli makan di luar.” Kali ini giliran Julie yang tertawa kecil. Baginya, tingkah Baron hari itu juga sangat menggemaskan. Pria itu berniat untuk mengajak Julie makan bersama, tapi sepertinya ia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Julie mematikan dan menutup laptopnya. Meletakkan di atas meja yang ada di depannya. “Biar aku saja yang masak. Tidak apa-apa, kan?” “Tentu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN