DELAPAN BELAS

2136 Kata
Suatu malam, Adrian bermimpi didatangi oleh almarhum sang kakek yang sudah meninggal. Dalam mimpinya itu sang kakek memberikan sebuah totopong bermotif batik dengan kombinasi warna hitam dan coklat. Itu adalah totopong yang biasa digunakan oleh sang kakek semasa hidupnya. Totopong Beungkeut adalah salah satu ikat kepala tradisional khas sunda yang biasa digunakan oleh para pria di Jawa Barat pada acara budaya ataupun pemakaian sehari-hari. Totopong Beungkeut pertama kali diperkenalkan oleh Kabayan pada tahun 1900-an yang konon memiliki makna khusus. Dahulu Totopong Beungkeut digunakan untuk mengusir lelembut atau jurig. Menurut kepercayaan masyarakat Sunda, Leleumbut adalah roh halus, sama seperti Jurig atau hantu yang memiliki makna makhluk yang tak kasat mata. Ada beragam jenis makhluk tak kasat mata di dunia ini, entah Syaiton yg dibenci Tuhan, atau Jin yg senang mengganggu manusia, dan bisa juga manusia yg mampu menguasai alam di luar nalar kita. Namun seiring dengan perkembangan zaman, Totopong Beungkeut memiliki beragam fungsi, seperti sebagai ikat kepala yang dapat melindungi kepala, tempat membawa barang-barang kecil, atau digunakan sebagai sajadah untuk melaksanakan shalat ketika berada di luar rumah. Selain memiliki nilai filosofi budaya yang kuat, Totopong Beunkeut juga mencerminkan kelas sosial bagi para pria Sunda yang memakainya. Pria Sunda yang mengenakan Totopong biasanya memiliki kedudukan tertentu yang berpengaruh bagi masyarakat sekitar. Semasa hidupnya, Kakek Adrian memang menjadi tokoh masyarakat yang disegani oleh banyak orang. Beliau merupakan ahli agama yang sering memberikan ceramah dan menjadi imam di masjid. Terlebih saat orang-orang tahu bahwa beliau memiliki kemampuan luar biasa, banyak masyarakat yang meminta bantuannya untuk mengetahui urusan apa yang belum selesai dari keluarga mereka yang baru saja meninggal. Kakek Adrian selalu membantu orang-orang yang membutuhkan bantuannya. Berkat dirinya, banyak pesan almarhum/ almarhumah yang akhirnya bisa tersampaikan dengan baik kepada keluarga yang ditinggalkan.  Di dalam mimpi, sang Kakek berjalan menghampiri Adrian yang sedang tertidur di atas kasur kesayangannya. Beliau kemudian duduk di samping Adrian dan mengusap-usap kepalanya. Adrian terbangun, betapa terkejutnya dia ketika melihat kakeknya yang kini ada di sampingnya, sebab Adrian sadar betul jika beliau sudah meninggal tiga tahun yang lalu. "Abah...?" Ujar Adrian bingung. Itu adalah sapaan beliau dari cucu-cucunya. Adrian kemudian mengubah posisi tidurnya menjadi posisi duduk. Kini mereka berdua duduk berhadap-hadapan di atas kasur.  Sang kakek tersenyum hangat, dia terlihat bahagia sekali bisa bertemu dengan cucu kesayangannya. Ya, Adrian merupakan cucu pertama dan satu-satunya cucu lelaki yang beliau miliki saat itu. Dari keempat anaknya, hanya ayah Adrian lah yang berjenis kelamin lelaki, begitupun dengan Adrian yang merupakan cucu lelaki satu-satunya. "Ya kasep. Kumaha damang?" Ujarnya menayakan kabar Adrian dalam bahasa Sunda.  "Alhamdulillah sae, Abah. Abah gimana kabarnya? Adrian rindu sama Abah." Jawabnya.  "Alhamdulillah aya hibar pangdu’a ti semuanya." Rupanya beliau tetap menggunakan bahasa kebanggaannya bahkan setelah hidupnya berakhir. Abah berkata bahwa kabarnya baik berkat doa dari semuanya. Wajah Abah terlihat berseri-seri, dia seperti menikmati kehidupannya yang sekarang, meski sesekali merindukan anak-anak serta cucu-cucunya.  Adrian tersenyum, kedatangan kakeknya yang tiba-tiba membuat dirinya bingung harus berkata apa. Sang kakek lalu melepaskan Totopong Beungkeut yang sedang ia kenakan, lalu memberikannya pada Adrian, "Ieu, anjeun nampi ieu, Nak." Abah meminta sang cucu menerima Totopongnya.  "Ini kan punya Abah. Naha masihan ka Adrian?" Tanyanya bingung.  "Tolong jaga Totopong ieu. Anjeun nyimpen éta ogé. Insya Allah hiji dinten ieu Totopong tiasa masihan barokah sareng hikmah pikeun kahirupan anjeun." Ujarnya seraya meletakkan Totopong itu di atas tangan Adrian. Beliau meminta Adrian untuk menjaga Totopong miliknya. Ia juga berkeyakinan bahwa suatu saat Totopong itu akan memberikan berkah dan hikmah bagi hidup Adrian.  Setelah itu sang Kakek langsung berdiri dan berjalan pergi meninggalkan Adrian. Adrian berkali-kali memanggil kakeknya, tapi kala itu dia malah terbangun dari tidurnya. Betapa terkejutnya dia saat melihat Totopong berwarna coklat hitam dengan motif batik tergeletak di atas kasurnya. Itu adalah Totopong yang diberikan oleh kakeknya dalam mimpi tadi. "Apa itu benar-benar hanya mimpi? Atau Abah beneran datang ke kamarku tadi?" Ucapnya kala itu.  Ketika Adrian menyentuh Totopong tersebut, mendadak ia diperlihatkan dengan peristiwa saat pertama kali Kakeknya memperoleh Tetopong itu. Rupanya itu adalah Tetopong yang diberikan oleh ulama yang mengajar di tempat kakeknya menuntut ilmu. Saat itu usia kakeknya genap menginjak 11 tahun. Beliau memperoleh Totopong itu sebagai hadiah karena telah menjadi murid teladan selama bertahun-tahun. Adrian benar-benar diperlihatkan cuplikan-cuplikan dari peristiwa itu, persis seperti saat ia sedang menonton film. Dia pun tidak sengaja melempar Totopongnya karena terkejut. Karena terlalu takut, Adrian segera menyimpan Totopong itu di dalam lemari bajunya. Awalnya ia tidak berani menceritakan kejadian tersebut pada orang lain, selama berbulan-bulan ia menyimpan semuanya sendirian, hingga suatu ketika sang ayah menemukan Totopong tersebut di dalam lemari Adrian.  Ayah Adrian kemudian menceritakan semuanya. Totopong itu seperti sebuah amanah yang diberikan oleh seseorang untuk orang lain yang mereka percaya. Dimana amanahnya merupakan kemampuan luar biasa yang tidak dimiliki oleh manusia biasa. Dan entah mengapa, Totopong itu hanya diberikan kepada garis keturunan laki-laki. Totopong itu sempat menjadi milik ayah Adrian selama beberapa tahun, hingga kemudian kembali menjadi milik sang kakek karena dirasa ayah Adrian tidak kuat menerima amanah tersebut. Sang kakek percaya bahwa putranya sakit keras karena hal itu. Begitu Totopongnya ia ambil kembali, putranya menjadi sembuh total.  Sejujurnya ayah Adrian merasa khawatir kala itu, dia takut jika Adrian tidak bisa menerima amanah dan kemampuan tersebut, sama seperti dirinya. Ia pun terus menerus mengawasi putranya dan ternyata Adrian mampu mengendalikan kemampuannya dengan baik. Sejak saat itulah Adrian menyadari bahwa dia kini memiliki kelebihan yang tak dimiliki oleh orang lain. Dan yang menarik, Totopong itu tidak pernah hilang darinya. Pernah sesekali Adrian tak sengaja meninggalkan Totopong di bus setelah perjalanannya ke luar kota, tapi kemudian Totopong tersebut kembali muncul di atas kasurnya. Konon Totopong itu hanya bisa pergi atau hilang jika diambil langsung oleh pemilik sebelumnya. Dan selama Totopong itu masih dimiliki oleh Adrian, maka kemampuan itu akan tetap ada di dirinya.  Adrian menyandarkan tubuh sebagai tanda bahwa dia sudah selesai bercerita. Julie dan Baron seolah terhipnotis dengan cerita Adrian. Julie bahkan seperti tidak berkedip sedari tadi. Meski kemampuan Adrian tak masuk di akal, tapi dia bercerita pada dua orang yang juga memiliki kemampuan yang tak biasa. "Tak mengapa jika kalian tidak percaya dengan ceritaku. Aku hanya ingin menggunakan kemampuanku untuk menyelesaikan kasus ini. Dan ya, kalian bisa menghiraukan itu dan tetap menjalankan rencana yang logis."  Baron menoleh ke arah Julie, ia memberi isyarat kepada Julie untuk menatap mata Adrian agar tahu apakah pria itu sedang berkata jujur atau tidak. Untuk memancing Adrian, Julie lalu menatap mata Adrian seraya bertanya, "Siapa saja yang tahu mengenai kemampuanmu ini?"  Adrian menjawab, "Beberapa orang terdekatku, seperti keluarga dan teman-teman dekat. Tapi banyak dari mereka yang tidak percaya itu."  Julie melanjutkan, "Lalu, apakah menurutmu kami berdua akan percaya itu?" tatapan mata Julie semakin tajam. Ia ingin Adrian terpancing dan ikut menatapnya. Adrian sebenarnya tidak pernah berusaha keras agar orang-orang percaya denga kemampuannya, tapi entah mengapa ia ingin Julie percaya itu, dia pun menatap mata Julie lekat-lekat, beberapa detik sebelum bibirnya berbicara, Julie sudah mendengar isi pikiran Adrian dari sorot matanya. "Aku sungguh ingin kalian percaya, karena aku benar-benar berkata jujur. Aku tidak mungkin main-main di atas kasus kematian orang lain."  Ketika Adrian hendak membuka mulut untuk bicara, Julie berkata, “Cukup, kau tak perlu menjawabnya, aku percaya padamu.” Ujar Julie mantap. Dia kemudian menoleh ke Baron dan mengangguk pelan. Saat itu Baron langsung percaya pada cerita Adrian karena sudah dikonfrimasi oleh Julie. Ada satu hal yang sedikit berubah dalam diri Baron tanpa dia sadari, yakni kepercayaan. Biasanya sulit bagi Baron untuk langsung percaya pada orang yang baru saja dia kenal, maklum, dia seorang penyidik yang harus waspada terhadap siapapun. Tapi dengan Julie, itu berubah. Adrian kebingungan mengapa bisa semudah itu Julie percaya padanya. Dia pun melihat ke arah Baron karena berpikir bahwa Baron tidak akan seperti Julie. Tapi kemudian, Baron justru berkata, “Kita satu tim dan harus saling percaya. Maka buktikanlah perkataanmu dengan tindakan nyata.” Ujarnya seraya bangkit dari tempt duduknya. “Baik, akan ku buktikan.”  Mereka bertiga akhirnya kembali masuk ke dalam rumah Karisa, meminta izin kepada sang Ibunda untuk membawa barang-barang yang ada di dalam kardus. Adrian merasa lebih baik jika dia melakukannya di tempat lain, karena takut jika Ibunda Karisa khawatir berlebihan atas apa yang dilihat oleh Adrian. Sang Ibunda pun setuju. Dan Baron akan menunjukkan kemampuan yang sebenarnya saat mereka berada di ruang rahasia Baron.  ****** Demi berjalan menuju ruangan praktik seorang Psikolog. Pembicaraan empat mata dengan Julie tempo hari rupanya berlanjut ke arah yang lebih serius. Saat mengobrol dengan Demi, Julie merasa ada sesuatu yang “salah” dalam diri muridnya. Tapi Julie bukanlah ahlinya, dia tidak ingin menebak apalagi menghakimi orang lain tanpa bukti akurat. Dan karena rasa peduli yang begitu besar pada murid-muridnya, Julie langsung menghubungi kenalannya yang berprofesi sebagai Psikolog. Namanya Desi, seorang Psikolog berusia empat puluhan yang kemampuannya sudah tidak perlu diragukan lagi. Awalnya Julie bercerita sedikit pada Desi mengenai peritiwa yang terjadi di sekolahnya, dia juga bercerita bagaimana hubungan antara Demi dan Karisa. Kala itu Dewi diam sejenak, di lalu bicara pelan, “Ya, anak itu butuh bantuan.” Ucapnya lembut. Itu yang Julie suka dari Desi, dia selalu bijaksana dalam menanggapi semua hal. Tidak ada kesan menghakimi apalagi menganggap remeh permasalahan orang lain, dia tidak menganggap Demi sebagai anak remaja labil dan "menormalisasikan" kondisi mentalnya saat ini.  "Tapi kau juga harus berbicara pada anaknya. Kau tahu, kita tidak bisa memaksa seseorang untuk pergi ke Psikolog dan menyembuhkan dirinya sendiri." Ucap Desi kala itu. Julie sadar akan hal itu, di tengah-tengah kesibukan mengajar dan menyidiki kasus Karisa, Julie tetap menyempatkan diri untuk membantu muridnya yang lain. Dia pun kembali bicara empat mata dengan Demi. Namun saat itu Julie hanya berkata bahwa Demi bisa saja merasakan sedih yang berlarut-larut atas kepergian Karisa. "Jika kau tidak keberatan, seseorang akan membantu untuk setidaknya membuatmu merasa lebih baik. Dia adalah seorang ahli yang profesional dan tidak akan mengingkari kode etik profesinya." Ujar Julie pada Demi ketika mereka berdua sedang berada di taman sekolah. Julie kemudian menyodorkan sebuah kartu nama. Itu adalah kartu nama milik Desi dengan keterangan lengkap berserta nomor telephone alamat klinik tempatnya praktik. "Tapi ibu tidak memaksa, semua keputusan ada di tanganmu."  Setelah mempertimbangkan hal itu selama kurang lebih satu Minggu, Demi akhirnya memutuskan untuk menghubungi Desi dan membuat janji konsultasi dengannya. Tibalah dia di hari itu. Demi mengetuk pintu ruangan Desi dan langsung dipersilahkan untuk masuk. Kesan pertama yang dia dapati adalah ruangan yang nyaman serta sejuk, dengan seorang wanita yang sedang duduk di kursi kerjanya. Wanita yang usianya sudah tidak muda tapi tetap memancarkan aura keceriaan sekaligus kehangatan. Rambutnya panjang kecoklatan, namun dia memutuskan untuk mengikatnya menjadi satu. "Selamat siang..." Ucap Demi ragu dan pelan. "Selamat siang, Demi. Silahkan masuk."  Entah mengapa Demi merasa senang mendengar seseorang menyapanya dengan nama padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Itu membuktikan bahwa Desi benar-benar menghargai para pasien atau kliennya. Dia sudah tahu akan bertemu dengan siapa saja di hari itu, dan Desi akan membaca profile semua pasiennya. Tidak banyak yang mereka bicarakan di pertemuan pertama, Desi hanya meminta Demi untuk menceritakan tentang dirinya sendiri. Seperti apa hobinya, bagaimana cara ternyaman dia dalam berinteraksi dengan orang lain, hal-hal apa saja yang dia sukai dan tidak dia sukai, bahkan Desi bertanya apa genre film kesukaan Demi. Desi tidak ingin memaksa Demi untuk bercerita apapun dulu. Dia ingin membuat Demi merasa nyaman berbicara dengannya. Saat seseorang sudah nyaman, maka ia akan mengatakan sesuatu yang tidak bisa dia katakan kepada orang lain. Dan butuh waktu untuk itu. Dalam beberapa kasus, pasien Desi bahkan baru bisa menceritakan semuanya pada pertemuan ke-5. Selain itu, tidak semua orang bisa cocok dengan Psikolog manapun yang mereka temui. Beberapa orang harus berganti-ganti Psikolog karena merasa tidak cocok. Dan itu bukan suatu masalah, itu adalah hal wajar karena Psikolog juga manusia yang memiliki karakter, emosi, dan latar belakang yang berbeda-beda. Desi sering "kehilangan" beberapa pasien, juga mendapatkan beberapa pasien baru dan terus berlanjut. "Jika kamu masih berkenan untuk berbicara dengan saya, silahkan datang lagi. Saya dengan senang hati menyambut kedatanganmu. Tapi jika kamu merasa tidak nyaman saat berbicara dengan saya, tidak apa-apa, kamu tidak perlu memaksakan dirimu. Oh iya, dan yang harus kamu tahu, saya dan Julie memang saling kenal. Tapi kamu tidak perlu khawatir karena saya tidak akan melanggar kode etik saya sebagai seorang Psikolog. Saya berani jamin, setelah kamu keluar dari ruangan ini, tidak ada satu orang pun yang tahu tentang apa yang sudah kita bicarakan." Kini Desi benar-benar terdengar seperti seorang Psikolog bagi Demi, sebab sejak tadi ia hanya memposisikan diri sebagai seorang "teman baru" Demi. Demi mengangguk dan tersenyum. Setelah mengucapkan terima kasih dan izin pamit, dia pun berjalan keluar dari ruangan Desi dengan perasaan sedikit lega. Ya, setelah kematian Karisa, Demi selalu merasa dadanya begitu sesak. Seolah ada sesuatu entah apa yang mengganjal di sana. Berbicara dengan Julie pun tidak mampu mengurangi rasa sesak itu. Lantas mengapa Psikolog itu bisa membuatnya merasa nyaman? Apakah itu pertanda bahwa Demi harus membuat janji konsultasi berikutnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN