Adrian mulai membuka lembaran demi lembaran dari buku harian Karisa. Dia lalu memejamkan mata seraya menyentuh tulisan Karisa dengan jari-jarinya. Kening Adrian berkerut, kepalanya menggeleng-geleng kecil. Baron dan Julie saling tatap, mereka tidak tahu apa yang sedang Adrian lakukan. Sementara reporter itu tetap fokus menjalankan tugasnya. Ya, Adrian memiliki kemampuan yang juga tak kalah luar biasa dari Julie dan Baron. Dia bisa "melihat" peristiwa-peristiwa yang pernah dialami oleh seseorang yang sudah meninggal hanya dengan menyentuh barang-barang pribadinya. Namun, peristiwa yang bisa dia lihat hanyalah peristiwa yang berhubungan dengan barang-barang tersebut. Seperti saat Adrian menyentuh halaman 5 dari buku harian Karisa, dimana Karisa menuliskan tentang betapa senangnya dia karena bisa pergi ke luar kota bersama ibu dan adiknya, saat itulah Adrian mendapat cuplikan moment yang dilalui oleh Karisa dan keluarganya dalam perjalanan kereta menuju Kota Yogyakarta. Keluarga kecil itu tampak bahagia. Karisa duduk di dekat jendela dengan adik dan ibunya yang duduk di depannya, saling berhadap-hadapan. Mereka tertawa bersama, tak sabar untuk sampai di Yogyakarta, menikmati liburan sederhana yang tidak setiap waktu bisa mereka dapatkan.
Adrian lalu membuka matanya, bukan itu peristiwa yang ingin dia ketahui. Dia kemudian membaca lembar demi lembar lagi, namun tampaknya Karisa juga tidak "terbuka" ketika menulis di buku harian. Hanya pengalaman-pengalaman bahagia yang dia tuliskan di sana. Selesai dengan buku diary, Adrian lalu mencari barang-barang lain milik Karisa yang kemungkinan merekam moment-moment pada hari kejadian. "Kau sebenarnya sedang apa?" tanya Julie.
"Mencari barang pribadi Karisa yang berhubungan dengan hari kejadiaan saat dia meninggal dunia." Ucap Adrian.
"Untuk apa?" Kali ini Baron yang bertanya.
Dan tiba-tiba Julie teringat akan suatu hal. Julie kemudian memberitahu Baron dan Adrian bahwa barang-barang yang Karisa kenakan pada hari kejadian sudah dikembalikan oleh pihak kepolisian. Julie menyebutkan ciri-ciri polisi itu dan dengan mantap Baron berkata, "Dia adalah Pak Bambang, pimpinan kami." Ujarnya pelan tapi tegas. Saat mengucapkan itu otak Baron terus berpikir apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mengapa pimpinannya itu mau repot-repot turun tangan mengembalikan barang-barang milik korban kepada keluarganya. Itu adalah hal yang tidak pernah beliau lakukan sejak menjadi pimpinan. Biasanya itu adalah tugas Taka, atau sesekali dilakukan oleh Baron ketika kasus sudah selesai ditangani dengan baik. Kini kecurigaan Baron kepada pimpinannya menjadi semakin besar.
Adrian segera bergegas menghampiri Ibunda Karisa yang sedang berada di dapur, Baron dan Julie mengikuti dari belakang. Ibunda Karisa menyimpan barang-barang tersebut di sebuah ruangan kosong yang ada di rumahnya. Dibawanya kardus berwarna putih polos berukuran sedang, lalu ia berikan pada Adrian, "Ini adalah barang-barang yang diberikan oleh pihak kepolisian."
Ketika kotak itu dibuka, terdapat semua barang yang Karisa kenakan pada hari kejadian, seperti sepatu berwarna abu-abu bagian kiri, jam tangan yang sudah pecah, nametag bertuliskan "Karisa", seragam sekolah almarhumah, serta sepasang kaos kaki berwarna putih. Tidak seperti Baron yang sudah pernah menyentuh barang-barang tersebut, Adrian dan Julie baru pertama kali melihatnya. Adrian lalu meminta izin pada Ibunda Karisa untuk membawa kotak tersebut, tapi segera dicegah oleh Baron, "Tidak bisa, ini adalah barang bukti yang harus tetap dijaga." Ujar Baron.
Adrian menatap Baron dengan sedikit kesal, "Lalu apa yang sudah dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap barang bukti ini?"
Julie menghela napas, lagi-lagi dia harus menyaksikan perdebatan kedua pria itu.
"Sebenarnya apa yang akan kau lakukan dengan barang-barang ini?"
Adrian melangkah maju, kali ini tubuhnya sangat dekat dengan tubuh Baron, mereka berdua kemudian beradu tatap, tatapan penuh emosi, "Untuk melihat detik-detik terakhir pada saat kejadian. Sebenarnya aku tidak membutuhkan barang-barang ini jika kau mengizinkan aku melihat jenazah Karisa di ruang autopsi. Akan lebih mudah jika aku "berhadapan" langsung dengan tubuh jenazah." Jelas Adrian.
Baron sedikit membentak Adrian, "Omong kosong apa yang sedang kau katakan?"
Mendengar percakapan yang semakin serius namun belum jelas mengarah kemana, Julie kemudian membawa Ibunda Karisa menuju ke kamarnya agar tak mendengar percakapan itu. Sejak tadi beliau terlihat kebingungan, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di detik-detik terakhir kematian putrinya. Usai mengantar Ibunda Karisa, Julie kembali menghampiri dua rekannya, "Cukup!" Julie berteriak. Dia melihat Baron dan Adrian secara bergantian, "Dari kemarin aku sudah mencoba untuk sabar menghadapi sikap kalian yang seperti anak kecil." Julie menoleh pada Adrian, "Adrian, kau seharusnya memberitahu kami secara detail rencana apa yang sedang kau lakukan." Kini dia menatap Baron, "Dan kau Baron, kau tidak seharusnya mendebatkan segala sesuatu, apalagi di depan Ibunda Karisa." Julie menghela napas untuk yang kesekian kalinya, "Kita ini sekarang rekan satu tim. Kita sudah sepakat untuk bersama-sama menyelesaikan kasus kematian Karisa. Jika kalian bertengkar setiap detik, bagaimana mungkin kita menemukan jawaban atas kasus ini?"
Untunglah saat itu Adrian mau mengalah, ia tidak ingin membuat keributan di rumah orang yang sedang berduka. Adrian akhirnya meminta maaf dan menjelaskan apa maksud tindakan dan ucapannya tadi. Mereka bertiga kini sudah duduk di teras depan rumah Karisa agar pembicaraan itu tidak terdengar oleh Ibunda Karisa. "Aku tahu kalian pasti akan menganggap aku sebagai orang gila, orang yang tidak waras, atau orang yang sedang berhalusinasi. Tapi aku hanya mengatakan apa yang benar-benar terjadi pada diriku. Aku tidak memaksa kalian untuk percaya, karena awalnya aku sendiri pun sulit untuk mempercayainya." Ucapnya sebagai permulaan.
Adrian akhirnya cerita bahwa dia bisa melihat atau menyaksikan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh seseorang semasa hidupnya. Jika dia menyentuh tubuh dari seorang mayat atau jenazah sambil memejamkan mata, maka dia akan diperlihatkan detik-detik terakhir sebelum orang itu meningggal, seperti tempat, waktu, suasana, dan jika beruntung, Adrian bisa melihat siapa saja orang-orang yang ada di detik-detik terakhir itu. Selain itu, jika Adrian menyentuh barang-barang pribadi almarhum/ almarhumah, dia juga akan diperlihatkan peristiwa yang berhubungan dengan barang-barang tersebut. Di tengah-tengah ceritanya, Adrian sesekali tersenyum kecil, ia merasa seperti sedang mendongeng, dan dia tahu, setelah ini Julie dan Baron pasti akan menganggapnya sebagai orang gila. Ini sudah abad ke 21, orang bodoh mana yang akan mempercayai hal-hal yang tak masuk di akal? Apalagi Julie dan Baron adalah orang-orang berpendidikan, begitu pikir Adrian.
"Awalnya aku menganggap ini sebagai kutukan, tapi kemudian kakekku memberitahuku bahwa ini adalah anugerah dari Tuhan yang harus disyukuri. Ya, ternyata itu adalah kemampuan yang diturunkan dari kakekku."
Saat itu sejujurnya Baron ingin mencela omongan Baron karena apa yang diceritakan oleh pria yang ada di hadapannya sangat-sangat tidak masuk akal. Tapi kemudian dia sadar bahwa dia--dan Julie--juga memiliki kemampuan yang tak biasa. Akhirnya Baron tetap diam, mendengarkan Adrian bercerita hingga akhir, begitupun dengan Julie.
Adrian melanjutkan ceritanya, walau itu merupakan kemampuan turunan dari sang kakek, namun tidak semua anak atau cucu menuruni kemampuan itu. Dari keempat anak sang kakek, hanya ayah Adrian yang memiliki kemampuan tersebut. Tapi ayah Adrian kehilangan kemampuannya pasca sakit keras yang beliau alami ketika duduk di bangku SMA. Sejak saat itulah mereka mengira bahwa kemampuan tersebut berhenti di ayah Adrian dan sudah benar-benar hilang. Tapi ternyata mereka salah, rupanya darah sang kakek yang mengalir di tubuh ayah Adrian sangatlah deras. Dua tahun setelah menikah dengan wanita pujaannya, mereka berdua dikaruniai seorang anak pertama berjenis kelamin laki-laki yang diberi nama Adrian Gunawan. Kehidupan Adrian berjalan normal seperti anak-anak seusianya. Rupanya kemampuan itu sedikit terlambat datang ke kehidupan Adrian. Jika sang ayah kehilangan kemampuannya saat SMA, Adrian justru mendapatkan kemampuan itu saat dia menginjak kelas 2 SMA.
Begini ceritanya...