Nina merapikan meja kerjanya sebelum bersiap untuk pulang. Hari ini dia terpaksa harus pulang lebih telat karena ada beberapa artikel yang harus direvisi sebelum dipublish besok pagi. Beberapa rekan kerjanya sudah pulang sejak pukul lima sore. Nina melihat jam yang terpasang di tangan kirinya, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Di ruangan itu hanya tersisa dirinya dan karyawan yang baru bekerja selama dua Minggu. Nina tidak terlalu akrab dengannya karena beda divisi, hanya tahu namanya saja, Poppy kalau tidak salah. Entah apa yang sedang dikerjakan oleh anak baru itu hingga dia harus lembur begini. Sebab yang Nina tahu, dalam satu bulan pertama setiap karyawan baru hanya perlu mengerjakan hal-hal dasar, belum dilimpahkan project apapun.
Suasana kantor sudah sangat sepi, hanya terdengar suara ketikan dari keyboard yang sedang digunakan oleh Poppy. Beberapa ruangan di sebelah Nina juga sudah dimatikan lampunya. Nina sebenarnya paling malas lembur sendirian atau tidak dengan rekan satu tim. Dulu, saat Adrian masih kerja di sana, pria itu senantiasa menemani Nina setiap kali dia harus lembur. Dia biasanya ikut mengerjakan pekerjaan yang belum selesai, bermain games, atau bahkan tidur di sana, yang terpenting Nina tidak sendirian di ruang kerja. Saat Nina bertanya kenapa Adrian mau melakukan itu, dia hanya menjawab agar Nina tidak kesepian. Jawaban yang membuatnya tambah jatuh cinta dengan Adrian. Tapi kali ini Nina tidak punya pilihan lain selain lembur sendiri. Adrian sudah tidak lagi ada di sana, entah apa yang sedang Adrian lakukan di luar sana tanpa pekerjaan tetap. Diam-diam Nina sering memikirkan Adrian setiap saat, seperti apakah Adrian baik-baik saja, apakah anak itu makan dengan teratur, pekerjaan apa yang sedang dia lakukan, atau apakah Adrian masih terus memikirkan tentang kematian Mia atau tidak.
Nina menggeleng-gelengkan kepala, sadar bahwa dia sudah terlalu jauh merenung. Setelah semua berkas dan barang-barang yang ada di meja kerjanya terlihat rapi, hal terakhir yang Nina lakukan adalah mematikan komputernya. Kini dia sudah siap untuk pulang ke rumah. Nina pun hendak berjalan menuju pintu keluar, tapi kemudian dia merasa jika sepertinya dia harus berpamitan dengan Poppy, juga bertanya kapan dia akan pulang sebab sudah tidak ada lagi orang di kantor. Ya, Nina tahu itu karena saat ini bukan musim lembur, hanya ada petugas keamanan yang berkeliling untuk melakukan patroli. Sementara jika musim lembur tiba--bisanya pada akhir tahun--ada banyak karyawan dari berbagai divisi yang menginap di kantor. Maklum, mereka harus kejar target.
Nina berjalan perlahan menuju meja Poppy, wanita itu sedikit menunjuk ke arah keyboardnya, sama sekali melihat layar komputer.
Suasana yang semakin hening membuat Nina ingin buru-buru pulang, dia pun memegang pundak Poppy dari arah belakang dengan ragu, "Poppy..." Ucapnya. Awalnya tidak ada tanggapan apapun. Nina kembali memanggilnya, "Pop..." Kali ini dia memberi sedikit tekanan pada pundak Poppy, maksudnya agar wanita itu sadar bahwa ada Nina di belakangnya. Nina berpikiran positif, siapa tahu Poppy tidak mendengar panggilannya karena dia sedang mengenakan earphone.
Karena Poppy tak kunjung menoleh ke belakang, Nina pun berjalan ke samping Poppy, dari samping wajah Poppy tidak terlihat karena tertutup dengan rambutnya. Dia memang memiliki rambut sedikit panjang, kurang lebih sepuluh senti dari bahu. “Pop…Poppy?” Panggilnya sekali lagi.
Akhirnya Poppy menoleh ke Nina, “Poppy, kau tidak apa-apa?” Nina kaget melihat wajah Poppy yang begitu pucat. Beberapa detik kemudian, keluar darah dari hidung Wanita itu. “Poppy, kau mimisan, sepertinya kau terlalu lelah bekerja.” Ujarnya panik, seraya mencari tisu di dalam tasnya. Nina kemudian berusaha untuk membantu mengelap darah tersebut.
Namun Poppy menahan tangan Nina, dia mengambil tisu tersebut lalu mengelap darahnya sendiri. “Apa tidak sebaiknya kau pulang sekarang? Lagi pula ini sudah hampir jam setengah Sembilan malam, kau bisa melanjutkan pekerjaanmu besok.”
Poppy menggeleng, “Tidak apa.” Jawabnya singkat.
“Kau yakin? Kau tidak terlihat baik-baik saja. Kau nanti pulang naik apa? Inginku antar?” Nina benar-benar panik karena wajah Poppy begitu pucat. Belum pernah dia melihat orang sepucat itu.
“Tidak apa.” Jawab Poppy lagi, mengulang perkataan sebelumnya. Poppy lalu kembali bekerja, mengetik huruf demi huruf di keyboard-nya.
Nina bingung harus berbuat apa, di satu sisi dia tidak tega meninggalkan Poppy sendirian, tapi di sisi lain dia juga ingin cepat-cepat pulang agar bisa beristirahat. Akhirnya Nina memutuskan untuk pulang setelah memberikan Poppy minya angin yang ada di meja kerjanya. Tidak ada respon apapun dari Poppy kala itu, jadi Nina hanya berjalan keluar ruangan. Dan entah mengapa Nina merasa bahwa malam itu ruangan terasa lebih dingin dari biasanya. Padahal begitu jam pulang kantor tiba, hampir semua unit AC central dimatikan oleh Office Boy.
Pada malam itu Nina tiba di rumah dengan selamat tepat pukul setengah sepuluh malam. Benar-benar hari yang melelahkan sebagai b***k koorporat. Selesai mandi dan bersih-bersih, Nina tidak lupa menggunakan rangkaian skin care malam hari. Meski lelah, namun wajah harus tetap glowing, begitu prinsipnya. Ketika hendak mematikan lampu kamar dan bersiap untuk tidur, ponsel Nina berdering. Awalnya dia mau marah-marah pada seseorang yang menelpone-nya pukul sebelas malam, seolah tidak ada hari esok. Tapi begitu melihat nama yang tertera di layer ponselnya, Nina langsung tersenyum sumringah.
“Malem b***k koorporat…” Sapa orang itu.
“Malam b***k freelance.” Balasan dari Nina berhasil membuat Adrian tertawa terbahak-bahak. Dia memang tidak pernah menang melawan Nina, definisi wanita selalu benar.
“Tumben sekali kau menelpone malam-malam begini, ada apa?” Tanya Nina.
“Ya! Perasaan dulu aku tidak butuh alasan untuk menghubungimu, mengapa kini perlu?”
“Itu karena dulu kita masih kerja bersama, kau sendiri kan yang memutuskan untuk tidak bekerja denganku lagi.”
Adrian cemberut kecil setiap kali Nina membahas tentang pengunduran dirinya. Wanita itu seolah tidak bisa membohongi diri sendiri kalau jauh di lubuk hati yang terdalam, dia belum siap berpisah dengan Adrian. “Hemm…mulai lagi deh. Aku tuh telpone cuma mau pastiin kau sudah tidur atau belum.”
“Aku baru saja mau tidur setelah melewati satu hari yang begitu melelahkan.”
“Pasti karena revisian artikel yang diminta sama pak bos?” Adrian paham betul tentang kondisi itu.
“Yup, sampai-sampai aku harus lembur di kantor sampai jam delapan malam.” Rasa kantuk dan lelah yang sebelumnya Nina rasakan, kini mendadak hilang begitu saja ketika dia berbincang dengan Adrian. Seolah dia mendapat suntikan vitamin dari quality time itu walau tidak bertemu langsung. Selagi dia bisa mendengar suara Adrian dan tahu bahwa kondisinya baik-baik saja, maka itu sudah cukup bagi Nina.
“Kau habis lembur di kantor dengan siapa? Mbak Dewi?” Mbak Dewi adalah reporter senior yang juga cukup dekat dengan mereka berdua.
Nina menggeleng seolah Adrian bisa melihatnya, “Tidak, Mbak Dewi sedang liputan ke luar kota. Aku lembur sendiri.”
Adrian yang tadinya sedang tiduran di atas kasur kesayangan langsung bangun terduduk, “Kau lembur sendiri?” Tanyanya memastikan.
“Hemm…gak benar-benar sendiri sih, ada karyawan baru yang juga lembur, Poppy namanya. Tapi menurutku dia terlalu lelah bekerja hari ini. Mukanya pucat sekali, dia bahkan mimisan karena tidak berhenti bekerja.” Ekpresi wajah Adrian berubah, dia menelan ludah, lalu diam selama beberapa saat. “Hallo…kau masih di sana?” ucap Nina.
“Ya. Um…Nina, jadi tadi kau hanya berduaan dengan karyawan baru itu di dalam ruangan?”
“Iya, semua karyawan sudah pulang sejak pukul lima sore.”
“Apa kau yakin itu Poppy si anak baru? Maksudku, apa kalian sempat mengobrol atau nyemil bersama? Ya, biasanya kan orang-orang yang sedang lembur suka nyemil atau makan bareng di kantor.”
Nina heran mengapa tiba-tiba Adrian menanyakan hal seperti itu. “Tidak, aku hanya sempat makan roti dan minum s**u yang aku beli di minimarket saat jam istirahat. Lagi pula kita tidak terlalu dekat. Aku hanya berniat untuk pamit pulang, saat itulah aku tahu kalau dia sepertinya sedang sakit. Mukanya pucaaat sekali, belum pernah aku lihat orang sepucat itu.”
Adrian berdeham, “Um…Nina, sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan, tapi sepertinya tidak malam ini.” Tapi justru, karena Adrian bicara begitu, Nina semakin penasaran dengan ceritanya. “Tidak, tidak mala mini. Aku takut kau tidak bisa tidur. Besok kan hari Sabtu, bagaimana jika kita makan di luar?”
Nina akhirnya mengiyakan ajakan Adrian, padahal sebelumnya dia berencana untuk hanya berada di kosan selama dua hari. Nina ingin istirahat full sebelum Senin-nya kembali mecari pundi-pundi rezeki. Tapi bertemu dengan Adrian jauh lebih penting dari pada rebahan sembari menjelajahi media sosial. Setelah sepakat ingin bertemu dimana dan jam berapa. telpone pun berakhir, dan Nina tidur dengan perasaan bahagia pada malam itu.
Pukul setengah tujuh malam, Adrian sudah tiba lebih dulu di salah satu rumah makan seafood yang terletak di jalan besar Cipatat. Semalam tiba-tiba saja Nina berkata bahwa dia ingin makan kepiting karena habis gajian katanya. Adrian pun setuju, dia tahu salah satu tempat makan seafood terenak di Cipatat, maka begitulah mereka menentukan tempat bertemu. Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya Nina datang dengan kondisi dahi yang dipenuhi keringat. Sambil menarik kursi dan duduk di depan Adrian, dia berkata “Aduh, maaf-maaf gue telat. Gue ketiduran tadi. Terus juga pas jalan ke sini agak macet gitu.”
Adrian mengambil beberapa lembar tisu yang disediakan oleh sang pemilik rumah makan, ia lalu memberikannya kepada Nina. Adrian melakukan itu secara spontan, seperti reaksi alami dari dalam dirinya. “Santai aja kali, kayak mau makan malam sama siapa aja. Dulu bahkan kau lebih parah dari ini kan? Kita janjian untuk nonton premier film karena dapat undangan dari sutradaranya. Jadwal filmnya tayang pukul empat sore dan kau baru datang pukul tujuh malam karena apa? Ya karena ketiduran juga.” Ungkap Adrian. Dia masih ingat betul bagaimana mereka gagal mengikuti premier salah satu film terbaik di Indonesia karya Sutradara terbaik pula. Adrian dan Nina mengenal sutradara itu karena mereka pernah melakukan interview terkait dengan karya beliau yang lain. Padahal, itu adalah kesempatan emas bagi Adrian untuk bertemu dengan para aktor papan atas. Tapi ya mau bagaimana lagi, dia tidak bisa masuk ke tempat acara karena tiketnya dipegang oleh Nina. Dan entah mengapa, Adrian pun tidak bisa marah pada Nina. Bagi Adrian, persahabatan keduanya jauh lebih penting dibanding apapun.
Nina tertawa mendengar kenangan yang Adrian ceritakan, selama bertahun-tahun bersahabat dengan Adrian, entah sudah berapa banyak suka duka yang telah mereka lalui. Nina lalu langsung menagih cerita yang Adrian janjian semalam, “Hemm…nanti aja deh ceritanya, nanti kau jadi gak nafsu makan lagi.” Nina mengiyakan. Dia tidak rela jika uang ratusan ribu yang digunakan untuk membeli kepiting tidak benar-benar dinikmati. Mereka berdua lalu memesan satu porsi paket seafood varian 1 yang terdiri dari dua kepiting, jagung manis, kerang dara dan kerang hijau dengan bumbu saos padang.
Penikmat seafood memang tidak pernah habis. Malam itu hampir semua meja dipenuhi dengan para pengunjung. Ketika mereka sedang bercerita kejadian lucu yang mereka alami saat liputan di lapangan, pandangan Nina tiba-tiba fokus ke seseorang yang baru saja memasuki rumah makan. Orang itu masuk dari arah belakang Adrian, “Kau lihat apa sih?” tanya Adrian seraya ikut menoleh ke belakan, namun baginya tidak ada sesuatu yang aneh, hanya beberapa pengunjung yang baru saja datang.
“Itu kayaknya Poppy deh, karyawan baru yang semalam aku ceritakan. Sebentar ya,” Ujarnya pada Adrian, Nina lalu setengah berdiri, melambaikan tangan seraya memanggil, “Poppy!” sapanya seolah mereka adalah dua orang yang sedang janjian untuk makan bersama. Yang dipanggil menoleh, tersenyum, kemudian berjalan menghampiri Nina. “Eh, Mbak Nina ya?” tanyanya memastikan.
“Iya, aku Nina. Kamu Poppy anak tim media sosial, kan? Gimana, udah mendingan? Aku semalam khawatir sekali karena kamu kelihatan begitu pucat.”
“Iya, Mbak benar aku anak media sosial. Hem…tapi maksud Mbak Nina apa ya?” tanyanya tak mengerti. Saat itulah ekspresi wajah Adrian berubah, ia seperti tahu apa yang akan terjadi. Namun ia hanya mendengarkan kedua wanita itu berbicara.
“Itu loh, semalam kan kita lembur berdua di kantor dan aku lihat kayaknya kamu kecapekan banget semalam, sampe mimisian gitu kan. Emangnya si Rika udah kasih banyak kerjaan ya?” Rika adalah ketua dari tim media sosial.
Saat itu juga ekpresi wajah Poppy ikut berubah antara kebingungan, sedikit cemas serta takut, “Ih, Mbak jangan bercanda deh. Aku tuh kemarin gak datang ke kantor karena ikut Mbak Rika ke Jakarta, kan ada seminar yang diselenggarakan sama Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Jadi ya seharian aku izin perjalanan dinas, siang tadi aja aku baru sampai di Bandung Barat.”
Mendengar penjelasan Poppy, jantung Nina rasanya seperti mau copot. Terakhir kali dia merasakan sensasi seperti itu saat naik Histeria di Dunia Fantasi beberapa bulan lalu. Tapi Nina tidak percaya begitu saja, “Pop…Pop…Poppy jangan bercanda deh, aku serius nih. Orang jelas-jelas kita berdua di ruangan sampai jam setengah Sembilan kok, aku bahkan kasih minyak angin ke kamu.” Ucapnya sambil tersenyum, senyum yang dipaksakan tepatnya karena berusaha untuk menyembunyikan rasa takut.
Poppy juga semakin takut karena dia tidak berbohong, “Mbak Nina, Poppy serius. Kemarin Poppy gak datang ke kantor, kalau Mbak gak percaya, coba aja tanya ke Mbak Rika. Mbak yakin gak salah lihat? Itu staff yang lain kali, Mbak.”
“Aduh, salah lihat gimana sih, Poppy. Jelas-jelas itu kamu kok, aku lihat kamu pake blouse warna cream yang pernah kamu pakai sebelumnya. Aku gak salah lihat lah, aku kan kenal semua staff di kantor.”
“Tapi, Mbak…” Ucapnya pelan, ia tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Tapi apa, Poppy?”
“Baju itu sudah aku buang beberapa hari yang lalu karena sudah terasa sempit ditubuhku. Dan aku…aku sungguh tidak datang ke kantor kemarin, jadi dapatku pastikan jika yang kau lihat itu bukan aku.” Ucap Poppy.
Dan saat itu juga bulu kuduk Nina berdiri, ia merasa merinding. Dia lalu menoleh ke arah Adrian, dan pria itu hanya senyum-senyum dengan perasaan tak enak.