TIGA PULUH DUA

2147 Kata
Julie menghela napas berat pasca mendengar cerita Tia. Dia geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan sikap Tia yang begitu jahat. Tindakan Tia terhadap Arifin tentu merupakan salah satu bentuk perundungan di sekolah. Tia mungkin merasa terganggu dengan Arifin yang suka memberinya hadiah, tapi menyukai seseorang bukanlah suatu kesalahan. Tia bisa berbicara baik-baik dengan Arifin, memintanya untuk tidak lagi memberi hadiah. Bukan mempermalukan anak itu di depan umum. Itu jelas seperti menginjak-injak harga diri Arifin. Sekarang, semua murid SMA Cendikiawan III pasti sudah tahu jika Arifin menyukai Tia, dan Tia baru saja menolaknya mentah-mentah. Arifin, sebagai anak yang dirundung lalu melampiaskan kemarahannya melalui terror. Dan jelas, itu juga bukan tindakan yang benar. Julie berusaha untuk bersikap objektif, dia menganalisis sebab akibat dari kejadian ini. Bila dilihat kebelakang, Tia mengalami terror itu karena perundungan yang dilakukannya sendiri. Jadi untuk kasus ini, Julie akan meminta Tia untuk minta maaf lebih dulu kepada Arifin atas kasus perundungan, baru kemudian Arifin akan meminta maaf kepada Tia akan kasus terror. Keduanya lalu akan diminta membuat surat perjanjian agar tak mengulangi kesalahan yang sama. Jika melanggar, maka mereka akan menerima hukuman yang lebih dari sebelumnya. Mendengar solusi yang akan Julie ambil, Tia tampak tidak terima. Dia protes, berkata kalau dalam kasus ini hanya Arifin yang salah. Tia membela diri jika dia menyiram Arifin di kantin karena merasa terganggu dengan tindakannya yang suka tiba-tiba memberi hadiah. Lagi-lagi Julie menghela napas dengan berat, dia tahu bahwa Tia bukanlah tipe anak yang mudah mengucapkan kata maaf. Berasal dari keluarga kaya dan terbiasa mendapatkan semua yang dia mau, membuat Tia tumbuh sebagai pribadi yang egois dan tidak mau kalah. Dia selalu berpikir jika dunia hanya berputar mengelilinginya. “Tapi ada cara lain selain merundung Arifin di kantin sekolah, menyiramnya dengan jus alpukat adalah perbuatan jahat, Tia. Kau tidak seharusnya melakukan itu. Dalam hal ini ibu tidak berpihak pada siapapun, ibu hanya ingin bersikap adil. Setiap dari kalian harus bertanggungjawab terhadap tindakan masing-masing. Ibu harap kamu bisa bekerja sama, Tia. Agar masalah ini bisa diselesaikan secara baik-baik.” Ucapnya bijak. Tia menggeleng, “Tidak, Bu. Saya tidak ingin minta maaf pada Arifin. Saya tidak salah, saya hanya melindungi diri saya sendiri.” Tangan Julie meraih tangan siswi itu, “Tia, jika kamu tidak mau bersikap kooperatif, maka masalah ini hanya akan semakin panjang. Apa kamu mau dewan sekolah menyelidiki kasus perundungan yang kamu lakukan secara serius? Pikirkan itu baik-baik, Tia.” Namun Tia tetaplah Tia. Dia tetep teguh pada pendiriannya dan merasa tidak bersalah. Tia pun keluar dari ruang bimbingan konseling dengan tidak sopan. Dengan langkah menggebu-gebu Tia berjalan menuju kelas seraya bicara pada dirinya sendiri, “Lihat saja, aku pasti akan melaporkan kejadian ini pada mamiku.” Begitulah Tia, selalu melibatkan orangtua dalam setiap urusannya. Itu karena dia merasa jika orangtuanya memiliki kekuatan dan wewenang untuk membelanya. Sementara Julie, terkejut dengan sikap Tia yang pergi begitu saja. Baru kali ini Julie merasa tidak dihargai sebagai seorang guru. Dan jika memang Tia memutuskan untuk bersikap seperti itu, dia terpaksa harus melakukan opsi kedua. Opsi yang mungkin hanya akan membuat masalah ini menjadi lebih rumit. Namun dia harus tetap melakukan itu agar tidak ada lagi anak yang menjadi korban perundungan di sekolah. Ketika Julie sedang merapikan kotak pensilnya, April tiba-tiba saja datang dengan keadaan ngos-ngosan. Ia sejak tadi berjalan cepat mencari Julie ke sana-ke sini. April ingin menyampaikan percakapan antara Demi dan Fadli. Ya, April mendengar semuanya. Dia sudah tiba di gudang sekolah jauh sebelum datangan Demi dan Fadli. April sebenarnya hanya ingin mengambil penggaris kayu papan tulis yang baru saja patah karena sudah rapuk. Namun ketika dia ingin keluar gudang, dia mendengar suara langkah kaki dari luar. Penasaran, April pun mengintip dari celah pintu. Dilihatnya ada Demi dan Fadli yang bersikap sedikit aneh. Dia pun mengurungkan diri untuk keluar, ingin tahu apa yang akan murid-muridnya lakukan di tempat yang sepi itu. April sangat terkejut saat Fadli mulai membahas kasus kematian Karisa. Dan lebih terkejut lagi ketika tahu jika Fadli menguntit Demi. Sejujurnya kala itu dia sedikit takut untuk keluar karena Fadli terdengar begitu menyeramkan. Tapi April langsung sadar diri akan posisinya, dia adalah seorang guru yang harus melindungi murid-muridnya. Dari nada suara Demi, terdengar sekali jika anak itu sangat ketakutan. April pun membuka pintu dan berjalan keluar. Bersikap seolah tidak mendengar apa-apa, menyapa kedua anak itu, lalu meminta Fadli membawakan kursi padahal dia tidak membutuhkannya. Hanya itu yang bisa April lakukan, selanjutnya dia akan meminta bantuan Julie untu mengatasinya. Julie kebingungan melihat rekan kerjanya yang seperti habis melihat hantu, “Bu April, kau kenapa?" Tanyanya. April mengatur napasnya perlahan. Dia kemudian melihat sekeliling, tidak ada siapa-siapa. Semua guru bimbingan konseling memang sedang mengikuti workshop yang diadakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat. April lalu menutup pintu, mengajak Julie untuk duduk bersebelahan di salah satu sofa. "Bu Julie, Bu Julie, kau harus tahu." Ucapnya buru-buru. Julie mengusap-usap bagi rekan kerjanya itu, "Bu April, tenang dulu, coba tarik napas....buang. Tarik napas...buang." Julie seperti sedang menuntun Ibu hamil yang ingin lahiran. April mengikuti perintah rekannya itu. "Nah, sekarang baru cerita, ada apa sebenarnya?" Lanjut Julie. "Bu Julie, aku pikir anak kelasmu bermasalah lagi..." Ujar April pelan. DEG. Julie serasa seperti sudah jatuh lalu tertua tangga. Mengapa Tuhan menitipkan banyak sekali masalah untuknya? Batin Julie. Dengan hati-hati dan bersuara pelan, April menceritakan semua kejadian yang ia lihat dan percakapan yang ia dengar. Seperti tersambar petir di siang bolong, begitulah perasaan Julie kala itu. Tapi Julie tetap berusaha untuk mengontrol diri, mengatur nada bicaranya agar tetap terlihat tenang, "Apa Bu April punya bukti? Maksudku, rekaman percakapan mereka, gitu?" Tanyanya. April menggeleng, "Aku tidak kepikiran untuk mengeluarkan ponsel, Bu. Akua terlalu terkejut dengan ucapan Fadli." Jawab April. Julie tampak diam beberapa saat, masih berusaha untuk mencerna semua cerita April. "Jadi, apa yang akan Bu Julie lakukan?" "Pertama-tama mungkin aku akan bicara empat mata dengan Demi. Mendengar cerita ibu barusan, yang berada dalam posisi bahaya adalah Demi. Jadi saya akan memastikan keamanan Demi dulu. Jika Demi mau terbuka dan menceritakan semuanya, maka tidak sulit untuk membongkar tindakan Fadli." Setidaknya hanya itu yang terpikirkan oleh Julie pada detik ini. April mengangguk, "Baiklah, aku mendukung rencana Bu Julie. Jika kau membutuhkan bantuan apapun itu, tolong katakan padaku, sebisa mungkin aku akan berusaha untuk membantumu." Ucapnya, kali ini giliran April yang mengelus pundak Julie untuk menguatkan rekan kerjanya itu.     ******   Baron menghubungi Julie dengan maksud untuk menanyakan kabar apakah Julie sudah mendapat informasi tambahan mengenai olimpiade Geografi atau belum. Dia duduk di pinggir kasurnya, menunggu Julie menjawab panggilan tersebut. Namun hingga dering terakhir, Julie tak kunjung menjawab telponenya. Aneh, tidak biasanya Julie seperti itu. Biasanya dia selalu sigap menjawab panggilan telpone jika dihubungi. Saat Baron sedang mempertimbangkan untuk menghubunginya lagi atau tidak, saat itulah Julie menelponenya balik. “Halo…” Jawab Baron. “Ya, hallo. Maaf aku tidak sempat menjawab telpone-mu tadi. Ada apa?” Tanyanya. “Tidak, um…aku hanya ingin bertanya tentang—” Belum selesai Baron bicara, Julie langsung memotongnya, “Oh iya, kau menugaskanku untuk mencari tahu informasi olimpiade Geografi ya. Maaf, aku belum bisa melakukannya.” Ucap Julie menyesal. Dia memang belum sempat berbicara dengan Mei untuk membahas olimpiade Geografi. Kasus terror Tia serta perselisihan antara Demi dan Fadli membuat pikirannya sedikit kacau. Dari nada suara Julie, Baron dapat mengetahui jika wanita itu sedang kelelahan. Biasanya Julie selalu ceria dan bersemangat kapanpun mereka membicarakan tentang perkembangan kasus Karisa. “Tidak apa-apa, aku juga akan mencoba cari tahu hal itu dari berbagai sumber.” Ujar Baron. Julie mengangguk seraya menatap langit-langit rumahnya, ia baru saja sampai di rumah pukul Sembilan malam. Bahkan saat ini dia masih mengenakan tas dan baju kerjanya sambil duduk bersandar di sofa ruang tv. “Baiklah, maafkan aku karena tidak bisa memberikan informasi secepat mungkin. Tapi akan ku usahakan untuk berbicara dengan Mei hari Senin nanti.” Hari itu adalah hari Jumat, karena hari Sabtu dan Minggu adalah hari libur, dia akan bertemu dengan Mei lagi di hari Senin. “Ya, kau tidak perlu khawatir akan hal itu…” Ucapnya. “Terima kasih…” Suasanya kemudian hening karena Julie terlalu lelah, sementara Baron tidak tahu lagi harus berbicara apa. Baru kali ini Baron ragu-ragu dalam bertindak, biasanya dia selalu melakukan sesuatu yang dia inginkan dengan cepat. “Halo?” Ucap Julie, bingung karena sudah hamir satu menit Baron hanya diam saja. “Apa kau…baik-baik saja?” Itu adalah pertanyaan yang sejak tadi ingin ditanyakan oleh Baron. Saat mendengar suara Julie yang begitu kelelahan, Baron ingin tahu apakah Julie baik-baik saja. Tapi entah mengapa kalimat itu terasa sulit sekali untuk diucapkan, sepertinya karena Baron sudah lama menutup diri dan hidup sendiri. Julie yang sedang menyandarkan tubuhnya di sofa dengan posisi kepala mendangak ke langit-langit, mendadak tersenyum mendengar pertanyaan Baron. Setelah melewati hari-hari yang sulit, akhirnya ada seseorang yang menanyakan keadaannya. Setelah kepergian orangtuanya, sang nenek dan Riani lah orang yang tidak pernah absen bertanya dan memastikan jika dirinya baik-baik saja, tapi begitu Nek Lastri dan Riani ikut menyusul ayah dan ibunya, Julie belum menemukan lagi orang yang benar-benar bersikap tulus padanya. “Apa aku boleh jujur?” Julie mengajukan pertanyaan lain sebelum menjawab Baron. “Tentu.” “Aku sedang tidak baik-baik saja.” Jawabnya cepat. Dia lega bisa mengatakan hal itu, tidak menahannya. Lagi pula, Julie memang tidak terbiasa untuk menahan-nahan sesuatu, dia lebih suka mengungkapkan perasaannya. Suasana hening sebentar. Di lain sisi, Baron yang terbiasa menyembunyikan perasaannya salut dengan Julie yang berani jujur pada dirinya sendiri juga orang-orang di sekitarnya. “Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu? Apa kau kesulitan dengan ini? Maksudku, dengan kasus Karisa.” Baron tahu jika kasus Karisa bukanlah kasus yang mudah. Jangankan Julie yang merupakan orang “awam”, diriya saja merasa kesulitan dengan kasus itu. Dikitnya barang bukti, petunjuk, dan penutupan kasus dari pihak kepolisian membuat penyelidikan semakin terasa sulit. “Tidak…maksudku, bukan hanya kasus Karisa saja yang sedang aku tangani saat ini. Ada beberapa kasus baru yang melibatkan murid-murid kelasku. Aku harus memeriksa beberapa hal agar penyelesaian kasus dapat dilakukan seobjektif mungkin. Aku hanya ingin bersikap adil dan melindungi murid-muridku.” Ungkapnya, ceritanya mengalir begitu saja. Dia senang karena di saat-saat seperti ini ada seseorang yang setidaknya bisa mendengarkan keluh kesahnya. Bagi Julie yang terbiasa bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang lain, itu terasa menyenangkan. Dari cerita Julie, Baron kemudian sadar kenapa dia mengizinkan Julie untuk bergabung dengan tim penyelidikan mandirinya, bukan karena kemampuannya yang ajaib itu, melainkan karena Baron dan Julie memiliki satu tujuan yang sama; keadilan. Itu adalah pondasi yang kuat untuk dijadikan alasan mereka berada dalam satu tim. Mencari anggota tim seperti mencari pasangan, harus memiliki satu visi, misi, dan tujuan yang jelas agar segala sesuatu yang mereka lakukan berjalan ke arah yang sama. “Apa kau butuh bantuanku?” Baron menawarkan diri, meski dia sendiri juga sedang disibukkan dengan kasus Mayang. Lagi-lagi Julie tersenyum, dia merasa malam ini Baron jadi lebih baik dengannya. Entah hanya karena mood, atau memang pria itu sudah membuka diri secara perlahan. “Tidak perlu, kau juga pasti memiliki banyak tugas. Aku akan mencoba menyelesaikan masalah-masalah ini dengan kemampuanku sendiri. Tapi di saat aku sudah tidak bisa menanganinya, bolehkah aku menghubungimu?” “Ya, kau bisa melakukannya.” Jawab Baron, dia lalu kembali bicara, “Ada satu hal yang perlu kau ingat, dalam penyelidikan, usahakan untuk selalu memperhatikan hal-hal detail dan jangan abaikan kemungkinan-kemungkinan kecil yang tampaknya tidak mungkin tapi tetap berpeluang. Jangan libatkan perasaan pribadimu. Semuanya harus objektif, jauhi sikap subjektif. Dan yakinlah, selagi kau berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, kau pasti akan menemukan jalan untuk mencapai tujuanmu, meski terkadang jalan tersebut begitu sempit dan terjal.” Baron seperti sedang memberikan ilmu penyelidikan untuk anggota kepolisian. “Maaf aku sempat salah menilamu.” Ucap Julie tiba-tiba, seolah keluar dari tema pembicaraan. “Aku tidak mengerti.” Ujar Baron. “Pada awalnya aku mengira kau hanyalah seorang penyidik ambisius yang ingin menyelesaikan semua kasus agar pangkatmu terus naik. Tapi ternyata tidak, kau berbeda dengan pendapat orang-orang yang pernah dikecewakan oleh oknum-oknum yang ada di instansimu.” Baron kini paham apa maksud Julie. “Kau tahu…anak-anak yang lahir dari rahim seorang ibu yang sama saja memiliki karakter dan sikap yang berbeda-beda padahal di dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama. Apalagi instansiku, kita awalnya hanya orang-orang asing yang memiliki keinginan untuk menjadi anggota Polri. Kita bertemu saat sudah tumbuh dewasa, sementara dalam proses menjadi dewasa, setiap orang mengalami proses hidup yang berbeda-beda pula. Manusia adalah makhluk yang paling cepat berubah. Itulah mengapa kemampuan adaptasi manusia begitu tinggi bahkan sejak zaman purba. Manusia hanya akan melakukan sesuatu yang dapat membantunya untuk memperoleh hal yang mereka inginkan. Sesuatu yang mereka benci kemarin, bisa saja menjadi sesuatu yang paling mereka sukai hari ini. Itulah mengapa aku tidak lagi percaya dengan makhluk bernama manusia.” Julie mendengarkan kalimat Baron dengan seksama, “Jadi, itu alasan mengapa kau selama ini selalu menutup diri dan hanya fokus bekerja?” Baron tidak menjawab. Dia justru panasaran mengapa Julie menyadari hal itu. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN