TIGA PULUH SEMBILAN

2556 Kata
Saat Julie dan Mei sedang berbicara di halaman belakang sekolah, ada Fadil dan Demi yang juga berbicara serius di lorong depan gudang sekolah. Namun kali ini Demi yang mengajak Fadil untuk berbicara di sana. Daripada terus-terusan diderai perasaan takut, cemas, dan tidak nyaman, Demi akhirnya memutuskan untuk menanyakan langsung kepada Fadil tentang maksud perkataannya kemarin, serta apakah Fadli melakukan tindakan ilegal seperti yang dia pikirkan. Fadli tersenyum sinis, itu adalah senyuman yang selalu berhasil membuat Demi merasa takut, “Kenapa? Kau begitu takut dengan ucapanku kemarin?” Anak itu kemudian tertawa, “Rupanya mudah sekali membuatmu takut, kalau tahu begitu, aku tidak perlu melakukan banyak hal.”  Lagi-lagi Fadli mengucapkan kalimat ambigu. Dia seperti sengaja ingin membuat Demi penasaran dan overthinking. Dia lalu lanjut bicara, “Jadi bagaimana? Kau sudah mencari-cari sesuatu di seluruh kamarmu? Di dalam lemarimu? Di kamar mandimu? Dan kau tidak menemukan apapun? Hahahahaha” ia tertawa mengejek tapi menyeramkan.  Demi mengepalkan tangannya, “Kenapa kau melakukan ini padaku? Apa kesalahan yang pernah aku perbuat padamu??!!!” Tanya Demi, dia tampak menahan emosi, wajahnya merah dan matanya menahan air mata karena marah.  “Kau bertanya apa salahmu? Tidakkah kau lupa hal yang pernah kau perbuat padaku dan Karisa?????!!!” Ujarnya melotot. Mereka berdua kini sama-sama terbawa emosi. “Apa? Aku tidak pernah melakukan apapun pada kau dan Karisa. Justru kau yang membuat Karisa menjadi depresi, karena perbuatanmu Karisa jadi selalu cemas, dia jadi trauma dengan laki-laki. Dan itu karena kau! Bukan aku!” Demi sudah tidak ingin terus-terus diintimidasi oleh Fadli. Ia merasa seperti dipermainkan olehnya. Hari ini, Demi akan mengurus semuanya, dia ingin hidup tenang. Sebab sudah beberapa hari ini Demi tidak bisa tidur karena ucapan Fadli tempo hari selalu terngiang-ngiang di telinganya. Jika terus-menerus seperti ini, sepertinya Demi harus kembali ke psikolog Desi untuk berkonsultasi. Ekspresi wajah Fadli berubah, jika tadi ia tampak begitu ngotot dengan Demi, kini dia sedikit mengendur. Kakinya mundur beberapa langkah dari posisinya yang sekarang, “Kau…jangan asal bicara. Karisa jadi depresi karena punya sahabat seperti kau. Kau tidak tahu kan seberapa menderitanya Karisa selama bersahabat denganmu? Ya, tentu kau tidak tahu karena dia hanya bercerita padaku.” Fadli benar-benar cepat membalikkan keadaan, dia tidak membiarkan Demi menguasai dirinya terlalu lama. “Kenapa? Kau kaget? Mau aku kasih tau sesuatu yang belum kau ketahui? Baiklah, karena sepertinya kau sudah tidak sabar mendengar ceritaku. Aku tahu kalau ada yang tidak beres dalam dirimu. Kau terlalu takut kehilangan Karisa, bukan? Kau merasa cemburu jika Karisa berteman dekat dengan orang lain, kau tidak ingin Karisa bahagia bersama yang lain. Kau hanya ingin Karisa berada di dekatmu dan bergantung padamu. Bertahun-tahun kalian selalu bersama, hingga akhirnya aku datang ke lingkup pertemanan kalian. Sejak dulu kau berhasil menyingkirkan orang-orang yang mencoba berteman baik dengan Karisa. Kau selalu membuat mereka merasa tidak nyaman, atau memengaruhi Karisa agar berpikiran buruk tentang mereka. Pada akhirnya Karisa selalu kembali lagi padamu, tentu itu berjalan sesuai dengan keinginanmu, bukan? Sampai akhirnya, tiba-tiba aku muncul dan masuk ke lingkup pertemanan kalian. Aku berhasil mendekati Karisa, bahkan ada saat-saat dimana Karisa lebih dekat denganku dibanding dengan kau. Kau yang kesal dengan fakta itu akhirnya melakukan berbagai cara untuk menjauhkanku dengan Karisa, tapi ternyata tidak berhasil. Tapi tentu saja kau tidak menyerah begitu saja, bukan? Dengan terang-terangan kau meminta Karisa untuk menjauhiku, kau terus-terusan menekan dan mempengaruhi Karisa bahwa aku bukanlah orang baik. Tanpa kau sadari, sikapmu itu membuat Karisa lama kelamaan jadi depresi. Dia tidak tahu harus bercerita pada siapa karena kini temannya yang tersisa hanya kau dan aku. Dia tidak mungkin cerita padamu karena sumber masalahnya adalah dirimu, dia menahan masalah itu selama berbulan-bulan, hingga akhirnya dia memberanikan diri untuk cerita denganku. Itu semua kau lakukan karena kau cemburu, kan?” Jelas Fadli panjang lebar.  Saat mendengar cerita itu, jantung Demi terasa seperti berhenti berdetak untuk sementara waktu. Bagaimana bisa Fadli tahu tentang hal itu? Apa Karisa benar-benar cerita padanya? Demi tidak menyadari jika dia cemburu dengan orang-orang yang dekat dengan Karisa, namun setelah mendengar ucapan Fadli, entah mengapa dia tidak bisa menyangkal hal itu, sebab yang Fadli katakan semuanya adalah benar. Apakah benar dirinya merasa cemburu? Pikiran itu langsung melintas di benaknya. Demi mengepalkan kedua tangan seraya menggeleng pelan, “Tidak…..” matanya semakin berkaca-kaca karena menahan emosi, “Yang kau katakan tidak benar. Aku selalu berteman baik dengan Karisa. Karisa selalu nyaman berteman denganku. Aku tidak pernah menganggu siapapun. Aku meminta Karisa untuk menjauhimu karena kau bukanlah pria baik, sebab kau telah membuat Karisa depresi. Semua itu bukan salahku. Semua itu salah kau, Fadli, salah kau!!!!!” Demi berteriak histeris. Dia seperti tidak terima dengan perkataan Fadli namun juga tidak bisa menyangkalnya. Fadli tersenyum puas melihat Demi histeris seperti itu, dia sudah lama menantikan momen-momen tersebut. “Kau bahkan tidak bisa menyangkal ucapanku Demi, karena semua yang aku bicarakan adalah fakta.”  “Tidak…tidak!!!! Aku tidak pernah menyakiti Karisa! Kau yang telah membuat Karisa tewas! Kau, Fadli! Itu semua karena kau! Andai saja malam itu kau tidak datang ke rumahnya, Karisa pasti tidak akan depresi.” Ucapnya gemetar, Demi mulai menggigiti kuku-kukunya, hal yang selalu dia lakukan ketika dia merasa takut, cemas, dan dalam keadaan terancam.  “Sudahku bilang jangan bicara omong kosong! Apa kau mau fakta ini menyebar hingga seluruh sekolah tahu? Apa semua orang harus tahu bahwa kau adalah penyebab Karisa tewas?????” Ancam Fadli. Demi menggeleng cepat, “Aku akan buktikan bahwa kaulah penyebab kematian Karisa. Akanku pastikan bahwa kau harus bertanggungjawab atas perbuatanmu pada Karisa!” Demi tiba-tiba tersenyum, tatapannya kosong, “Ya, bukan aku yang menbuat Karisa depresi, tapi kau!” Dia lalu membalikkan badan, hendak pergi meninggalkan Fadli. Tapi Fadli buru-buru menahannya. Tangan Fadli memegang erat pergelangan tangan Demi dengan sangat kencang hingga Demi merasa kesakitan. “Lepaskan!!!!” Ucap Demi. “Kau pikir kau bisa melakukan itu? Aku akan pastikan kau tidak bisa melakukan apapun. Aku akan membantumu bertemu dengan Karisa jika kau memang benar-benar ingin selalu bersamanya. Bukankah aku terlalu baik untukmu?”  Demi terus berusaha untuk melepaskan cengkraman tangan Fadli sekuat tenaga. Hingga Fadli akhirnya melepaskan tangannya, itu meninggalkan bekas kemerahan pada pergelangan tangan Demi. Tanpa berkata apa-apa lagi, Demi segera pergi meninggalkan Fadli, dia takut karena anak itu sudah berani melakukan kontak fisik dengannya. Apalagi Fadli sudah berkali-kali mengancamnya, acaman yang mengarah pada keselamatan nyawanya. Demi yang sejak tadi berlari kemudian menabrak menabrak teman seangkatannya. “Maaf…maaf.” Ucapnya cepat.  Siswi bernama Febri itu sontak memegang bahunya yang cukup terasa sakit karena ditabrak oleh Demi. Tapi saat dia melihat wajah Demi begitu merah dan terlihat ketakutan, Febri pun bertanya, “Demi? Kau tidak apa-apa?” Tanyanya memastikan teman dari kelas sebelahnya. Karena terlalu panik, Demi tidak sadar bahwa yang ditabraknya adalah Febri, salah satu temen sekelasnya saat kelas sepuluh. Dan sekarang, Fadli berada di kelas 11 IPS 2 bersebelahan dengan kelas Demi.  “Febri…tidak aku tidak apa-apa. Sekali lagi maaf ya.” Dia lalu segera pergi meninggalkan Febri yang masih menebak-nebak mengapa dirinya terlihat seperti habis bertemu dengan hantu. Sejak kelas 10 sebenarnya Febri selalu berusaha untuk berteman dengan Demi. Dia melakukan berbagai cara agar bisa dekat dengan gadis itu. Hanya saja Demi terlalu sulit untuk didekati, setiap jam istirahat dia hanya ingin bersama dengan Karisa. Setiap kali Febri mengajaknya makan bareng di kantin, Demi selalu menolak dan berkata, “Maaf, aku mau makan dengan Karisa hari ini.” Selalu seperti itu setiap harinya. Dan setelah naik kelas 11, mereka sama sekali tidak pernah berbincang bersama. Febri yang awalnya masih suka menyapa Demi, perlahan mulai tidak melakukannya lagi karena tidak pernah mendapat respon apapun dari Demi.  Demi pun memutuskan untuk pergi ke toilet untuk menenangkan diri sebelum masuk kelas. Dia tidak ingin teman-temannya melihat dia menangis dan ketakutan, hingga membuat merek curiga dan mencari tahu apa yang terjadi pada dirinya. Demi membasuh wajahnya selama beberapa kali, air itu cukup menenangkan sel-sel wajahnya yang sejak tadi menegang. Demi melihat dirinya di depan cermin, tadi ia tampak kusut sekali. “Tidak, apa yang Fadli katakan tidak benar. Kau bukan penyebab Karisa depresi. Kau selalu berteman baik dengannya. Kau tidak pernah menganggu siapapun. Ya, Demi, aku percaya padamu.” Ujarnya pada diri sendiri. Tapi kemudian, pertanyaan Fali kembali terlintas di benaknya, “Kau cemburu, bukan?” Demi seperti mendengar kalimat itu lagi.  Entah apa yang ada di pikirannya kala itu, Demi kemudian mengeluarkan ponselnya. Ia mencari sebuah nomor di kontaknya, lalu menekan tombol memanggil. “Hallo…” ujar Demi. Begitu lawan bicaranya menjawab, Demi lanjut bicara, “Ini dengan Demi, Bu. Apa saya bisa membuat jadwal konsultasi lagi dengan ibu?” Ya, Demi baru saja menghubungi Desi, psikolog yang ditemuinya beberapa saat lalu.  Desi menawarkan beberap waktu kosong yang belum diisi oleh pasiennya. Demi pun setuju untuk membuat janji di akhir pekan nanti, hari Minggu pukul empat sore. Demi kemudian menutup telponenya, setidaknya saat ini dia sudah lebih tenang dari sebelumnya. Ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam kelas meski jam pelajaran sudah dimulai sejak tiga puluh menit lalu. Begitu tiba di depan kelas, sudah ada Julie yang sedang menjelaskan tentang sejarah organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Demi mengetuk pintu kelas, membuat Julie dan semua murid menoleh ke arahnya, dia pun kini menjadi pusat perhatian. “Maaf Bu, saya terlambat.” Ucapnya pelan Julie memperhatikan Demi dengan seksama, anak itu mungkin bisa menyembunyikan kondisinya dari murid-murid yang lain, tapi tidak pada Julie. Julie sadar jika gerak-gerik Demi sedikit aneh. Tidak ingin membuat keributan di kelasnya hari itu, tanpa bertanya macam-macam, Julie langsung mempersilakan Demi untuk duduk di tempatnya. “Ya, silakan duduk, Demi.” Perintah Julie. Itu tentu di luar digaan Demi, awalnya dia pikir Julie akan mengajukan seribu pertanyaan dan tidak akan membiarkannya lolos begitu saja, mengingat dia sudah terlambat cukup lama. Itu juga yang ada di pikiran murid-murid lainnya, mereka tidak menyangka jika Julie tidak memberikan sanksi apapun.  “Baik Bu, terima kasih.” Demi berjalan menuju kursinya dengan sedikit menunduk, dia menghindari tatapan dari teman-teman sekelas. Saat tiba di mejanya, Demi tidak sengaja melihat ke arah Fadli, dia tersenyum kepada Demi, tentu saja itu hanya senyum mengejek. Fadli sudah tiba lima belas menit sebelum Demi. Itu berarti dia juga terlambat lima belas menit di pelajaran Julie. Itulah alasan mengapa Julie tidak bertanya apa-apa pada Demi. Dia curiga keterlambatan Demi ada hubungannya dengan keterlambatan Fadli. Pelajaran sejarah berjalan dengan lancar hari itu. Di akhir pertemuan, Julie memberikan tugas kepada para murid untuk menghafalkan nama-nama negara yang menjadi anggota PBB beserta tahun bergabungnya. Mungkin itu yang membuat beberapa anak tidak menyukai pelajaran sejarah karena mereka “dipaksa” untuk menghafal, sementara tidak semua anak menyukai hafalan, padahal mereka sudah masuk jurusan IPS. Anak-anak seperti itu biasanya pasrah menerima nasib, nilai mereka tidak cukup untuk masuk ke jurusan IPA, jadilah mereka terpental ke IPS. Mereka tidak suka menghafal, tapi juga benci menghitung rumus-rumus. Namun meski begitu, tidak semua anak IPS adalah anak buangan, banyak sekali dari mereka yang nilainya tinggi dan bisa masuk IPA, tapi mereka lebih menyukai pelajaran-pelajaran yang berhubungan dengan ilmu sosial, jadilah mereka masuk IPS. Julie berjalan keluar kelar bersamaan dengan para murid yang juga berjalan menuju ruang musik. Mata pelajaran selanjutnya adalah kesenian dan minggu ini materi mereka adalah seni musik. SMA Cendikiawan III memiliki ruang seni musik dengan jenis ruangan kedap suara. Di dalamnya terdapat beberapa alat musik baik modern maupun tradisional yang dapat dimainkan oleh para murid. Tentu saja itu semua berasal dari sumbangan para donatur sekolah. Julie sengaja memperlambat langkahnya agar sejajar dengan Demi. Sebelumnya, dia sudah memastikan bahwa Fadli berjalan lebih dulu agar tidak melihatnya bicara dengan Demi. “Demi, bisa Ibu bicara denganmu sebentar?” Tanya Julie sembari berjalan senormal mungkin agar perhatian para murid tidak teralihkan.  Demi melirik sedikit, “Baik Bu.” Jawabnya pelan. Selanjutnya Julie hanya memberi sinyal agar Demi mengikuti langkahnya. Saat semua murid berjalan lurus menuju ruang musik, Demi berbelok menuju Lab. Bahasa Inggris.  “Demi, apa ada yang ingin kamu katakan pada ibu?” Tanya Julie tanpa basa-basi. Keadaan lorong Lab tampak sepi, sepertinya ini bukan jam-jam para murid menggunakan lab bahasa inggris.  Demi sempat berpikir beberapa saat. Ia sedang mempertimbangkan, apakah seharusnya dia cerita kepada wali kelasnya itu mengenai ancaman yang Fadli berikan padanya, atau memendamnya saja karena khawatir justru akan membawa masalah baginya. Untuk sementara waktu, Demi memutuskan untuk tak menyampaikan itu, “Ti…tidak ada, Bu.” Jawabnya pelan.  Mengenai ancaman dari Fadli pada Demi seperti yang April ceritakan padanya, Julie ingin Demi berkatan jujur. Dia tidak ingin terkesan seperti menginterogasi Demi lagi. Dia lebih suka jika murid-muridnya bersikap terbuka dengan cara bercerita dengannya. Bukan baru berkata jujur setelah dicecar dengan seribu pertanyaan. “Kau yakin, Demi?” Tanyanya sekali lagi. “Apa ada seseorang yang menganggumu akhir-akhir ini hingga membuat kau merasa tidak nyaman?”  “Enggak ada, Bu.” Jawabnya singkat. Julie “menyerah” untuk saat itu, dia akan memberikan Demi waktu untuk berpikir hingga anak itu mau bercerita padanya. “Syukurlah kalau begitu. Ibu hanya ingin menyampaikan bahwa jika ada sesuatu atau seseorang yang mengganggumu, kamu bisa langsung cerita pada Ibu. Ibu pasti akan membantumu. Bisa kan, Demi?” Ia memberi penekanan pada permintaannya. Demi mengangguk, “Baik, Bu. Kalau begitu saya izin pamit ke ruang musik dulu.” Izinnya. Demi lalu mempersilakannya untuk pergi meski dirinya masih penasaran mengapa Demi dan Fadli bisa sama-sama telat di jam pelajarannya. ****** Febri yang masih khawatir dengan keadaan Demi akhirnya memutuskan untuk menemui Demi lagi. Karena kelasnya selesai lebih ceoat dari kelas Demi, ia akhirnya menunggu di depan kelas 11 IPS 1. Begitu Demi keluar kelas, Febri segara melambaikan tangannya. “Dem, bisa gak kalau kita ngobrol sebentar? Ada sesuatu yang pengen aku tanyain.” Meski terasa aneh, namun Demi mengiyakan permintaan Febri.  Mereka berdua akhirnya mengobrol di kantin sekolah untuk pertama kalinya. Demi sudah duduk di kurai panjang, sementara Febri sedang memesan kentang balado dan es jeruk. Suasana di kanti saat itu tidak terlalu ramai, namun masih ada beberapa murid yang jajan, biasanya mereka adalah murid-murid yang akan lanjut kegiatan ektrakulikuler. Febri meletakkan es jeruk di depan Demi, serta sepiring kentang balado di tengah-tengah meja. “Dimakan, Dem, diminum juga.” Ujarnya mempersilakan.  “Thanks, Feb.” ucapnya. Febri tampak ragu-ragu untuk memulai pembicaraan, tapi akhirnya dia memberanikan diri, “Dem, maaf ya, aku gak ada niat untuk ikut campur. Tapi aku boleh gak nanya sesuatu?” “Emangnya kau mau nanya apa?” “Soal sikapmu tadi siang. Aku melihat kau seperti ketakutan sekali. Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” Tanyanya pelan, takut Demi merasa tidak nyaman dengan pertanyaannya. Demi mencoba untuk mengendalikan ekpresinya agar dia bisa berbohong, “Tidak ada. Tadi aku hanya terburu-buru karena sudah ketinggalan pelajaran Sejarah. Karena aku takut dihukum, jadi aku berlari sekencang mungkin.” “Kenapa kau bisa terlambat? Memang sebelumnya kau sedang kemana? Atau sedang melakukan apa?”  Demi menatap Febri tanpa berkata apapun. Siswi itu buru-buru kembali bicara, “Eh, Dem, maaf sekali lagi kalau aku terkesan ikut campur atau mau tahu urusan orang lain. Ya sudah, tidak apa-apa kok kalau tidak dijawab, sekarang kita—“ “Aku habis bicara empat mata dengan Fadli.” Ungkap Demi tiba-tiba. Dia sendiri tidak menyangka kenapa pada akhirnya dia bicara jujur pada Febri. Apakah karena dia merasa jika saat ini dia sudah tidak memiliki teman yang berada di sampingnya? Atau dia terlalu takit dengan ancaman Fadli? Atau justru sebenarnya, Demi juga ingin berteman dengan Febri? Jawaban itu akan terungkap seiring dengan berjalannya kisah ini. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN