DELAPAN

2155 Kata
Baron meminta Taka untuk menyiapkan semua bukti yang ada, sementara dia menghadap Kapolres untuk melaporkan bahwa kejadian itu merupakan kasus pembunuhan. Kapolres bernama Bambang itu baru dimutasi ke Polres Bandung Barat tahun lalu, setelah sebelumnya bertugas di Bali. Seperti itulah seorang perwira polisi, harus siap dipindahtugaskan kapanpun dan dimanapun. Bambang mendengarkan penjelasan Baron dengan seksama, dia juga melihat semua berkas berisi bukti yang telah disiapkan oleh Baron, Taka, dan Desiree secara teliti. Keputusan Bambang sangatlah penting, sebab nantinya dia harus mendatangani surat perintah penangkapan untuk tersangka. Jika surat tersebut belum turun maka Baron belum bisa bertindak lebih lanjut. Pria berkumis tebal itu menggerak-gerakkan pena yang ada di tangan kanannya, dia kemudian menatap Baron, “Apa anda yakin kalau ini adalah kasus pembunuhan? Saya setuju kalau ada sesuatu yang janggal dalam kematian Karisa, tapi bukti yang kalian kumpulkan belum cukup kuat untuk menetapkan siapa tersangkanya, bukan?” Tanya Bambang. Dia sendiri tidak bisa pungkiri bahwa Baron adalah salah satu penyidik yang kemampuannya sudah tidak perlu diragukan lagi, tapi kali ini Bambang merasa kalau ada sedikit kurangnya “kemantapan” dalam dugaan Baron. Baron yang sejak tadi duduk di kursi depan Bambang menegakkan tubuhnya, berdeham pelan sebelum berbicara lebih lanjut, “Sebenarnya ada beberapa orang yang saya curigai sebagai tersangka, hanya saja saya harus menggali lebih dalam tentang kecurigaan itu. Sebab saya tahu betul kalau kita tidak bisa menetapkan dua tersangka yang tidak berhubungan, itu hanya akan menurunkan kredibilitas kita di mata publik.” Bambang mengangguk setuju, itu benar. Menetapkan dua tersangka secara bersamaan dalam satu kasus pembunuhan hanya akan membuat kredibilitas polisi di mata publik menjadi buruk. Penyidik akan dianggap tidak kompeten dalam mengidentifikasi bukti yang ada, hingga mereka ragu dalam menetapkan satu tersangka. Keragu-raguan itu akan membawa boomerang sendiri bagi pihak kepolisian. Beda halnya jika ada persekongkolan di dalamnya. Dan jika itu terjadi, maka penyidik harus mencari bukti lain yang menunjukkan bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh lebih dari satu orang. Kasus pun akan menjadi semakin rumit. Pada akhirnya Bambang meminta Baron untuk menyelidiki kasus lebih lanjut sebelum mereka menetapkan tersangka. Keesokan paginya, Baron dan Taka kembali mengunjungi SMA Cendikiawan III untuk melakukan investigasi lebih lanjut. Kali ini mereka memperluas target orang-orang yang dijadikan saksi guna menemukan bukti yang lebih akurat. Setelah mendiskusikan beberapa hal dengan Adiwiyata, Baron dan Taka akhirnya tiba di kelas XI IPS 3, tempat dimana mendiang Karisa belajar di sekolah. Di sana sudah ada Julie yang sedang menjelaskan tentang berbagai kerajaan Islam yang pernah ada di Nusantara. Miris memang, dia harus bersikap seperti biasa padahal kemarin salah satu murid kelasnya baru saja merenggut nyawa di sekolah tersebut. Semua itu karena permintaan orangtua murid yang minim empati, mereka hanya mementingkan anak-anak mereka, dengan dalih agar tak ketinggalan pelajaran maka kegiatan belajar mengajar harus tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya. Bahkan di saat penyidik sendiri baru saja memutuskan bahwa itu adalah kasus bunuh diri. Baron mengetuk pintu yang sudah terbuka lebar, dia melangkah maju memasuki ruang kelas, kemudian disusul oleh Taka. Pria itu kemudian menghampiri Julie, berbicara dengan suara pelan tentang maksud tujuannya datang ke sana. Julie menatap Baron lalu mengangguk pelan, “Silahkan.” Bagaimana pun juga dia tidak bisa melarang penyidik untuk melaksanakan tugasnya. Baron dan Taka mengeluarkan id card dari dalam saku celana, “Perhatian semua, kami adalah penyidik dari kepolisian yang sedang menangani kasus kematian Karisa, teman sekelas kalian.” Ujarnya. Mendadak seisi kelas menjadi gaduh. Beberapa siswi mulai terlihat ketakutan, sebagian lainnya berbisik tentang kekhawatiran mereka. Sementara para siswa yang awalnya tampak tidak tertarik dengan pelajaran Sejarah, kini duduk tegak menghadap ke depan kelas, ada sedikit perasaan takut dalam diri mereka. Sejujurnya kematian Karisa meninggalkan trauma tersendiri pada mereka semua. Ada perasaan bersalah dalam diri mereka karena kurang memperhatikan teman sekelas. Tapi apa mau dikata, keegoisan para orangtua seolah tidak memberi mereka waktu untuk berduka walau sejenak. Sehari setelah kematian teman sekelas, para murid dipaksa untuk tetap belajar. Sejauh ini mereka masih berpikir kalau Karisa mati karena bunuh diri, hingga akhirnya penyidik datang ke kelas untuk menjelaskan beberapa hal. “Seperti yang kalian tahu, kemarin, tubuh Karisa ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa di halaman sekolah. Diduga, Karisa jatuh dari balkon sekolah dengan ketinggian kurang lebih enam puluh meter. Hal itu menyebabkan almarhumah mengalami pendarahan di kepala hingga akhirnya meninggal dunia. Kami selaku penyidik sudah menemukan beberapa barang bukti yang berhubungan dengan kematian Karisa, tapi kami juga masih membutuhkan petunjuk lainnya. Oleh karena itu, maksud kedatangan kami ke sini adalah ingin memanggil beberapa nama untuk dijadikan sebagai saksi.” Jelas Baron tegas. Tanpa sadar kehadirannya saja sudah cukup membuat takut para murid, tidak terbayangkan oleh para remaja tersebut untuk berhadapan langsung dengan penyidik, menjawab belasan atau bahkan puluhan pertanyaan. Julie memperhatikan siswa-siswinya yang kini tidak bisa menutupi ketakutan mereka. Sejujurnya dia juga cemas dengan kondisi mental para murid, tapi hal itu tetap harus dilakukan agar kasus kematian Karisa bisa menemukan titik terang. Dia sendiri belum tahu siapa saja murid yang akan dijadikan saksi oleh pihak kepolisian, hingga akhirnya Baron menyebut tiga nama di antara mereka, “Untuk nama-nama yang saya sebutkan, tolong acungkan tangan kalian. Tia, Demi, dan Fadli.” Ujar Baron yang terlihat seperti sedang mengabsen para murid. Ketiganya mengacungkan tangan. Tia adalah teman sekelas Karisa sejak kelas sepuluh, saat mengangkat tangan dia terlihat begitu ketakutakan karena polisi tiba-tiba menyebut namanya. Dua meja di samping Tia adalah Demi, gadis itu adalah teman sebangku Karisa. Kursi di sebelahnya yang biasa diduduki oleh Karisa kini terlihat kosong. Tidak ada satupun murid yang berani menghampiri meja itu. Bahkan awalnya Demi berniat untuk pindah tempat duduk, tapi kemudian sadar kalau tidak ada meja dan kursi yang tersisa di kelas. Sementara Fadli, satu-satunya laki-laki yang disebutkan oleh pihak kepolisian merupakan murid yang paling dekat dengan Karisa. Beberapa kali dia mendapati Karisa tidak memiliki teman kelompok, hingga seringkali Fadli mengajaknya bergabung. Karena kerja kelompoklah kedekatan mereka bisa terjalin. Meskipun begitu Karisa tetap menutup diri dari siswa-siswi lainnya, di kelas XI IPS 3 dia hanya dekat dengan Demi dan Fadli. Julie mencoba menenangkan ketiga muridnya dengan mengusap-usap bahu mereka tepat sebelum ketiganya berjalan mengikuti Baron dan Taka. Dia sendiri tidak bisa ikut ke ruang Bimbingan Konseling karena waktu mengajarnya masih tersisa dua puluh menit lagi. Interogasi pun dimulai. Baron memanggil mereka satu persatu, dimulai dari Tia. Sedangkan Taka berada di luar untuk menemani Demi dan Fadli yang sedang menunggu giliran. Ragu-ragu Tia berjalan memasuki ruangan BK, di sana hanya ada Baron yang tengah duduk di kursi guru BK mereka. Pemiliknya mengizinkan pihak kepolisian untuk menggunakan ruangannya sebagai tempat interogasi. “Silahkan duduk, Tia.” Perintah Baron. Baron kemudian membaca sebuah berkas yang sudahh disiapkan oleh Taka, di sana tertera data pribadi Tia serta hubungannya dengan Karisa. “Berdasarkan informasi yang saya dapatkan, kamu adalah satu-satunya murid yang hampir dua tahun sekelas dengan Karisa, ya?” Tanya Baron memulai perbincangan. Tia mengangguk, “Iya, kami adalah teman sekelas sejak kelas sepuluh. Tapi aku tidak terlalu dekat dengannya.” Jawab Tia. Kali ini giliran Baron yang mengangguk, dia tahu itu. Bahkan informasi tentang Tia pernah bertengkar dengan Karisa saat kelas sepuluh sudah sampai di telinganya. Dan untuk memastikan hal tersebut dia kembali bertanya pada gadis berkulit kuning langsat itu, “Saat kelas sepuluh, kamu sempat terlibat pertengkaran dengan Karisa, ya?” Mata Tia terbelalak, dia kaget karena penyidik tahu tentang peristiwa yang terjadi satu tahun lalu itu. Badan Tia mulai bergetar, pelipisnya penuh dengan keringat karena rasa takut yang menghantui. Dia menunduk, tidak berani melihat wajah Baron, “Bukan hanya Karisa saja yang menderita karena kejadian itu, aku juga. Lagi pula Karisa berhak menerima itu semua, meski tidak sebanding dengan penderitaan yang aku terima. Ta…tapi…” Masih dengan suara bergetar, Tia melanjutkan kalimatnya, “Aku tetap merasa menyesal dengan apa yang telah terjadi.” Setelah mengajukan kurang lebih dua puluh pertanyaan pada Tia, Baron memanggil saksi selanjutnya yaitu Fadli. Meski merasa cemas dan takut, tapi Fadli lebih bisa mengendalikan diri dibanding Tia. Sejauh ini Fadli adalah satu-satunya siswa yang menjadi saksi dalam kasus kematian Karisa. Hal itu membuat jenis pertanyaan yang diajukan Baron menjadi sedikit berbeda, Baron menanyakan apakah hubungan Fadli dan Karisa lebih dari sekedar teman kelompok belajar. Siswa itu tidak menjawab ya atau tidak, dia justru bercerita bahwa cintanya pada Karisa bertepuk sebelah tangan. “Sebenarnya aku sudah memperhatikan Karisa sejak kelas sepuluh, aku jatuh hati pada pandangan pertama ketika melihatnya belajar di perpustakaan. Namun kala itu Karisa bukan murid biasa, aku tidak memiliki keberanian untuk mendekatinya. Hingga entah karena apa, Karisa berubah menjadi sosok yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Dia menutup diri dari lingkungan sosial. Tapi saat itulah aku justru berani untuk mendekatinya. Aku mengajaknya bergabung dalam kelompok belajar, mengobrol di dalam kelas, dan kami pun menjadi lebih dekat. Kemudian aku menyatakan perasaan yang sudah aku pendam selama kurang lebih satu setengah tahun…” “Lalu?” Tanya Baron tak sabar, dia merasa menemukan petunjuk lebih lanjut. “Dia menolakku.” Jawab Fadli dengan ekspresi miris. Rawut wajahnya menunjukkan betapa kecewanya dia karena ditolak oleh Karisa. “Padahal selama ini Karisa bersikap seperti menyukaiku, tapi aku baru sadar kalau dia hanya mempermainkan perasaanku. Sejak saat itulah hubungan kita menjadi sedikit canggung.” Baron benar-benar memperhatikan semua gerak-gerik dan perkataan Fadli. Di masa sekarang banyak kasus pembunuhan yang didasari oleh motif percintaan. Hal itu tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tapi juga remaja. “Kapan terakhir kali kau bertemu dengan Karisa?” Itu adalah pertanyaan terakhir yang Baron ajukan pada Fadlan. Siswi itu diam sejenak, suaranya sedikit bergetar seperti sedang menyembunyikan sesuatu, “Pada Selasa malam, saat itu aku menemui Karisa di rumahnya.” Jawabnya. “Ada keperluan apa hingga kau datang ke rumahnya?” Rupanya Baron belum puas menginterogasi Fadli. “Aku…aku hanya ingin mengembalikan buku catatan yang aku pinjam.” Ucapnya, lalu mengalihkan pembicaraan, “Ngomong-ngomong, ada hal yang perlu bapak tanyakan pada Demi.” “Demi? Teman sebangku Karisa?” Tanyanya. Fadli mengangguk, “Yang aku tahu, sudah beberapa minggu ini mereka bertengkar.” Baron mengerutkan kening, tanpa sadar fokusnya kini terbagi pada siswi yang sedang menunggunya di luar sana untuk diinterogasi. Baron mengangguk pelan, “Ya, kami kan memang akan menginterogasinya. Baiklah kalau begitu, kau bisa keluar sekarang.” Perintah Baron. “Terima kasih, Pak.” Ujarnya. Fadli pun berjalan keluar meninggalkan ruang BK. Di luar dia berpapasan dengan Demi yang sudah siap untuk menemui Baron. Mereka berdua saling beradu tatapan yang memiliki makna tersembunyi. Entah apa. Setelah mengajukan beberapa pertanyaan dasar, Baron akhirnya mengajukan pertanyaan yang lebih spesifik. Pertanyaan yang dapat memberikan informasi tentang hubungan antara Demi dan Karisa. Tidak seperti Tia yang tak mampu menyembunyikan rasa takutnya, juga Fadli yang awalnya mencoba tetap tenang namun pada beberapa menit terakhir ia terlihat sedikit cemas, Demi justru bersikap sangat tenang. Tidak ada rasa takut, cemas, ataupun khawatir dalam dirinya. Entah karena dia adalah saksi yang terakhir diinterogasi—sehingga memiliki banyak waktu untuk bersiap—atau karena dia tidak melakukan kesalahan apapun. Namun bagaimanapun juga, Baron harus tetap waspada, sebab danau yang begitu dalam bisa tetap terlihat tenang di permukaan. Secara penampilan, Demi sangat jauh berbeda dengan Tia. Jika Tia mengenakan banyak aksesoris dan barang-barang branded, Demi terlihat sederhana. Siswi itu tidak mengenakan aksesoris apapun, rambutnya diikat satu dengan menggunakan karet jepang. Dia juga mengenakan kaos kaki putih panjang dan sepatu berwarna hitam yang bisa ditemui di toserba dengan harga terjangkau. Seragamnya tak seputih seragam Tia, dia memang masih mengenakan seragam yang sama sejak masuk ke SMA Cendikiawan III. Jangankan membeli seragam baru, dia sudah sangat bersyukur bisa melanjutkan pendidikan hingga tingkat SMA. “Dari informasi yang saya dapatkan, sepertinya hubunganmu dan Karisa sedang tidak baik-baik saja, ya?” “Apa Fadli yang mengatakannya?” Demi justru balik bertanya. “Tidak penting darimana saya tahu soal itu, kau hanya perlu menjawab pertanyaan yang saya ajukan.” Tanpa sadar, sikap Baron menjadi lebih tegas pada Demi. Mungkin karena dia tidak melihat adanya rasa takut dalam diri Demi. Bahkan Baron sendiri tidak habis pikir, bagaimana bisa Demi tetap bersikap tenang padahal kemarin teman sebangkunya baru saja tewas mengenaskan. “Ya, sudah satu bulan ini hubungan kami memang tak terlalu baik. Tidak banyak yang tahu karena kami memutuskan untuk perang dingin.” Jelasnya. “Apa yang menyebabkan kalian bertengkar?” “Hanya perbedaan pendapat dan adu argument. Bukankah hal seperti itu biasa dialami oleh para remaja?” Baron tidak menyangka dengan reaksi Demi, bertahun-tahun menjadi seorang penyidik, dia tidak pernah mendapat tatapan intimidasi seperti itu oleh remaja. Demi pastilah bukan remaja biasa, dia harus mencari tahu banyak hal tentang Demi. Tapi Baron tidak ingin bersikap gegabah, ibartanya dia harus menyiapkan perangkap yang bagus jika ingin menjebak binatang buas. “Selain itu dalam data pribadi, kau tercatat pernah mengikuti seleksi olimpiade Geografi pada tahun lalu. Tapi kau dikalahkan oleh Karisa dalam seleksi tingkat sekolah, bukan?” Kali ini giliran Baron yang mengintimidasi Demi dengan pertanyaannya. Demi menatap Baron tajam. Dia tidak menyangka jika penyidik yang satu itu akan membahas tentang peristiwa tersebut. Dan Demi memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu. Ia tetap bungkam hingga sesi interogasi berakhir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN