ENAM BELAS

1970 Kata
Ibunda Karisa adalah orang yang paling terpukul mendengar kabar bahwa pihak kepolisian menutup kasus kematian Karisa. Saat pertama kali mendengar kabar tersebut melalui Julie, beliau tak kuasa menahan diri dan nyaris pingsan. Bagaimana tidak, pihak kepolisian adalah satu-satunya harapan terbesar beliau agar mendiang putrinya mendapat keadilan. Namun tiba-tiba harapan itu pupus. Ia tidak tahu harus mengandalkan siapa lagi.  Berbekal prasangka baik dan tekad yang kuat, Ibunda Karisa akhirnya memutuskan untuk datang ke SMA Cendikiawan III, menemui sang kepala sekolah. Adiwiyata menghela napas melihat kedatangan beliau, dia tahu bahwa kasus tersebut tidak akan selesai begitu saja. "Silahkan duduk." Ujarnya. Mereka berdua kini sudah berada di ruangan kepala sekolah.  "Terima kasih, Pak."  Seperti biasa, Adiwiyata mengeluarkan sebotol air mineral untuk tamunya. "Ibu bagaimana kabarnya? Baik?"  Ibunda Karisa tersenyum kecil, "Tidak sebaik saat masih ada Karisa di samping saya." Itu adalah fakta. Sejak kepergian Karisa, beliau merasa hidupnya begitu berat. Karisa adalah putri yang memberi kekuatan baginya. Sudah sebulan terakhir ia menjalani hari-hari dengan perasaan sedih dan murung, seperti tak ada semangat hidup.  "Saya mengerti bagaimana perasaan ibu. Tapi ini adalah pilihan terbaik yang harus kita ambil, setidaknya untuk saat ini. Para donatur sekolah sepakat untuk memberikan santunan kepada Ibu sebagai bentuk duka cita atas kepergian Karisa." Adiwiyata kemudian berdiri, berjalan menuju meja kerjanya. Ia lalu mengambil beberapa gepok uang tunai yang disimpan di dalam amplop berwarna coklat. "Ini, Bu, mohon diterima." Dia menyodorkan uang tersebut dan meraih tangan Ibunda Karisa agar mau menerima. Penasaram akan isinya, beliau pun membuka amplop coklat tersebut. Adalah ratusan lembar uang pecahan seratus ribuan, yang bila dijumlahkan pasti mencapai puluhan juta rupiah. Tangannya bergetar, ia lalu meneteskan air mata dan berkata, "Apa maksud bapak? Apa saya harus menukar putri saya dengan uang ini?" suaranya pun terdengar bergetar. Ia merasa sedang diremehkan.  "Tidak, Bu, tolong jangan salah paham dulu. Para donatur tidak ada maksud buruk. Mereka hanya ingin aktivitas belajar mengajar di sekolah tetap berjalan dengan baik. Dan ibu bisa menerima dengan ikhlas takdir yang sudah Tuhan gariskan."  Meski Adiwiyata menjelaskan dengan baik dan sopan, namun ia sudah muak mendengar omong kosong seperti itu. Beliau mungkin bukan orang kaya, tapi dia tidak akan mengorbankan putrinya hanya demi uang yang bisa habis kapan saja. Ia memiliki harga diri yang tidak bisa ditukar dengan apapun. Ibunda Karisa meletakkan kembali uang itu di atas meja, "Saya berangkat dari rumah dengan prasangka baik dan harapan bahwa pihak sekolah, atau setidaknya bapak, bisa membantu saya berbicara pada pihak kepolisian agar kembali membuka kasus ini. Tapi ternyata saya salah. Perlakuan kalian kepada mendiang Karisa justru lebih buruk. Tapi setidaknya saya merasa lega bahwa putri saya sudah pergi dari sekolah ini. Sekolah yang tidak bisa memberikan perlindungan bagi murid-muridnya. Dan yang perlu bapak tahu, saya tidak akan pernah menyerah untuk putri saya. Saya akan berusaha memperjuangkan keadilan untuk Karisa." Beliau mengatakannya dengan penuh emosi, marah, sedih, kecewa, juga takut. Semuanya sudah bercampur menjadi satu.  Rupanya percakapan mereka berdua terdengar oleh Julie. Ya, beberapa menit setelah Ibunda masuk ke ruang kepala sekolah, Julie sedang berjalan menuju ruang tersebut, ia ingin menemui Adiwiyata untuk bertanya mengenai kurikulum sekolah. Namun Julie mengurungkan niatnya untuk masuk ketika tahu bahwa ada Ibunda Karisa di dalam. Awalnya Julie tidak berniat menguping pembicaraan, namun ketika dia mendengar suara tangis dari Ibunda Karisa, dia tahu bahwa ada yang tidak beres. Lagi-lagi sikap Adiwiyata membuat dirinya kecewa. Meski uang tersebut berasal dari para donatur sekolah, haruskah Adiwiyata menuruti keinginan mereka? Begitu setidaknya yang Julie pikirkan.  Julie berada di sisi sebelah kanan pintu, sementara Ibunda Karisa keluar dari ruangan dan langsung berjalan ke sisi sebelah kiri. Setelah memastikan bahwa Adiwiyata tidak keluar dari ruangan, Julie berjalan cepat menyusul Ibunda Karisa. "Selamat siang, Ibu." Ujar Julie.  Wanita yang sudah berumur itu mengusap pipinya yang basah karena air mata, "Eh...Bu Julie, siang, Bu." Jawabnya. Meski dia mencoba untuk tersenyum, namun kesedihan tetap terpancar di wajahnya. Julie kemudian mengajak beliau untuk berbicara di kantin sekolah. Dia merasa di sana jauh lebih aman untuk berbicara empat mata, karena saat ini merupakan jam pelajaran, sehingga tidak akan ada murid yang pergi ke kantin. Kecuali murid-murid nakal yang tidak bisa diam di kelas saat sedang tidak ada guru.  Julie memilih meja di pojok yang jauh dari pintu masuk kantin. Dia kemudian memesan dua gelas jeruk hangat dan beberapa kue basah yang dijual oleh ibu kantin. Setelah meneguk dan memakan kue bersama, Julie akhirnya memulai pembicaraan. Sejak tadi dia sengaja tidak banyak bicara karena tahu bahwa Ibunda Karisa perlu menenangkan diri. Dia pun mulai menjelaskan jika saat ini dirinya sedang melakukan penyidikan mandiri atas kasus Karisa. Ia kemudian meminta bantuan beliau karena ke depannya pasti banyak sekali informasi yang mereka butuhkan dari Ibunda Karisa. Mendengar hal tersebut Ibunda Karisa menangis haru. Ia menggenggam kedua tangan Julie seraya mengucapkan terima kasih berkali-kali. "Saya pasti akan memberikan semua informasi yang saya tahu dan membantu keperluan lainnya." Ujarnya. Julie lalu menyampaikan niatnya juga Baron dan Adrian yang ingin berkunjung ke rumah mendiang. Dia berkata bahwa ingin mencari petunjuk yang mungkin saja tersimpan di kamar Karisa. Niat baik itu langsung diiyakan oleh Ibunda Karisa. Beliau berkata bahwa dia sama sekali belum merapikan kamar Karisa karena tidak sanggup berlama-lama di ruangan itu. Jadi kondisinya masih seperti terakhir kali pihak kepolisian datang ke sana. Rupanya, tanpa sepengetahuan Baron, barang-barang pribadi Karisa yang awalnya disimpan oleh pihak kepolisian sebagai barang bukti, kini sudah dikembalikan kepada Ibunda Karisa, termasuk satu sepatu yang Karisa kenakan pada saat kejadian. Ya, hanya satu sepatu, bukan sepasang sepatu. Julie penasaran siapa yang mengembalikan barang bukti itu, ketika Julie menyebutkan ciri-ciri fisik Baron, beliau menggeleng, "Tidak, bukan seperti itu ciri-ciri fisiknya. Polisi itu terlihat sudah cukup berumur dan sangat berwibawa. Tubuhnya agak berisi dan rambutnya sedikit keriting. Beliau bukan seperti polisi biasa."  Julie tidak tahu siapa orang yang dimaksud oleh beliau. Mungkin dia akan bertanya pada Baron nanti. "Kalau begitu, saya dan kedua rekan saya akan berkunjung ke rumah ibu, ya." Ucap Julie sebelum akhirnya mereka berpisah. Ibunda Karisa pulang ke rumah, sementara Julie masuk ke kelas 12 IPS 3 untuk mengajar.  ****** Fadli mengeluarkan motor dari parkiran sekolah dengan hati-hati. Saat jam pulang sekolah seperti ini, parkiran motor dipenuhi oleh para murid. Mereka harus mengantre untuk keluar karena hanya ada satu pintu keluar. Hari ini Fadli tidak akan langsung pulang ke rumah, ia ingin mengunjungi suatu tempat untuk memeriksa sesuatu. Dikendarainya sepeda motor itu dengan kecepatan sedang menuju sebuah rumah yang tidak asing lagi baginya. Fadli sengaja berhenti di beberapa meter sebelum rumah tersebut, ia tidak ingin orang lain tahu bahwa dirinya mengunjungi rumah Karisa. Ditatapnya rumah itu dari kejauhan. Mendadak perasaan bersalah dan menyesal muncul dalam dirinya. Air mata tergenang di kedua mata, dia juga memukul-mukul dirinya sendiri sambil berteriak. Namun beberapa menit kemudian, Fadli justru mulai tersenyum, tertawa kecil, hingga tertawa terbahak-bahak seperti orang yang sedang menyaksikan pertunjukan komedi.  Sementara itu dari arah belakang Fadli, muncul sebuah mobil yang dikendarai oleh Baron dengan Julie dan Adrian sebagai penumpang. Ya, mereka sudah janjian untuk datang ke rumah Karisa setelah Julie selesai mengajar. Baron dan Adrian menjemput Julie di SMA Cendikiawan III, dan atas permintaan Julie, Adrian lalu meninggalkan motornya di SMA Cendikiawan III kemudian mereka bersama-sama menumpangi mobil Baron. Tujuannya adalah agar mereka tidak terpisah dan mempermudah untuk berdiskusi selama perjalanan. Selain itu, Julie juga berharap bisa merekatkan hubungan Baron dan Adrian.  Julie duduk di kursi depan di samping Baron yang mengendarai mobil, sementara Adrian duduk di kursi tengah. Dan ketika mobil mereka berjalan menuju rumah Karisa, Baron adalah orang pertama yang sadar akan keberadaan Fadli. Baron melirik ke kaca spion, "Bukankah itu Fadli?" Tanya Baron, ia kemudian memperlambat laju mobilnya.  Sontak Julie dan Adrian langsung menoleh ke belakang, "Iya, benar. Itu Fadli. Coba berhenti sebentar." Ucap Julie mengonfrimasi pertanyaan Baron.  Namun Baron tidak menghiraukan permintaan Julie. Sebagai seorang detektif atau penyidik, ia tahu itu bukan hal yang tepat untuk dilakukan saat ini. "Lho, kok gak berhenti?" Tanya Julie.  Dengan santai Baron menjawab, "Jika kita keluar sekarang, dia akan langsung pergi dan tidak memberikan informasi apapun."  Adrian memajukkan tubuhnya, "Lalu, apa yang akan terjadi jika kita tidak keluar sekarang?" Baron diam saja, ia ingin menunjukkan secara langsung kepada Julie dan Adrian apa maksud perkataannya. Saat mobilnya sudah tiba di depan rumah Karisa, Baron sempat menoleh ke belakang, ia ingin melihat Fadli yang masih berada di posisi sebelumnya. Namun kali ini, gerak-gerik Fadli terlihat sedikit kebingungan. "Sekarang, kau yang harus keluar duluan." Ucap Baron pada Julie.  "Aku?" Baron mengangguk, "Dan jangan menoleh ke belakang, bertingkah seolah kau tidak menyadari keberadaan Fadli. Kau adalah wali kelas Karisa, wajar bila kau datang berkunjung ke rumah mendiang muridmu. Sementara aku dan Adrian? Tidak seharusnya kita datang ke sini pasca kasus ditutup oleh pihak kepolisian. Jika tidak ada hal yang disembunyikan olehnya, dia pasti akan datang menghampirmu. Sebab bagaimanapun juga, kau adalah wali kelasnya, setidaknya dia akan mengucapkan salam. Tapi jika dia menyembunyikan sesuatu, dia pasti akan langsung kabur ketika melihatmu datang ke rumah Karisa." Jelas Baron panjang lebar. Baron sadar jika saat ini dia sedang bekerja sama dengan dua orang yang tidak berkecimpung di dunia penyidikan, tidak seperti saat dia bekerja dengan anggota tim kepolisian yang sudah mengerti taktik-taktik penyidikan, dia harus menjelaskan banyak hal pada Julie dan Adrian agar tidak terjadi miskomunikasi.  Julie melirik ke arah Adrian, dia kemudian menuruti perintah Baron dan mulai bersiap untuk turun dari mobil. Sementara Julie melakukan tugasnya, Baron dan Adrian mengawasi gerak-gerik Fadli dari dalam mobil. Insting Baron sebagai seorang penyidik memang sudah tidak perlu diragukan, begitu Julie keluar dari mobil dan mengucapkan agar dibukakan pintu oleh Ibunda Karisa, Fadli mulai bertingkah aneh. Awalnya siswi itu terlihat terkejut dengan kedatangan Julie, tidak perlu waktu lama hingga dia mengenakan helm lalu mengendarai motornya. Ya, dia langsung pergi setelah melihat kedatangan Julie. Adrian melihat Baron, dia takjub bahwa dugaan Baron tepat seratus persen. Sedangkan Julie, diam-diam dia juga menoleh sedikit untuk melihat Fadli dan mendapati bahwa motor Fadli sudah melaju pergi keluar dari gang rumah Karisa.  Baron menaikkan satu alisnya, "Itu berarti ada yang disembunyikan oleh Fadli, anak itu tidak ingin Julie tahu bahwa dirinya datang ke rumah Karisa." Batinnya. Ibunda Karisa menyambut kedatang mereka bertiga dengan hangat. Entah mengapa caranya menatap Julie, Baron, dan Adrian seperti sedang melihat sebuah harapan. Harapan yang sempat hilang kini kembali lagi. Tanpa menunggu lama, beliau segera mengajak para tamunya untuk masuk ke kamar Karisa. Dibukanya pintu kamar dengan sangat hati-hati, kamar sederhana itu sudah ditempati putri sulungnya selama belasan tahun. Tidak luas, namun Karisa pintar menata ruangannya hingga terlihat begitu nyaman untuk ditempati. Furniture inti yang ada di kamar tersebut di antaranya ada kasur, lemari baju, meja dan kursi belajar, serta lemari buku berukuran sedang. "Silahkan masuk." Ujar Beliau.  Mereka bertiga pun melangkah masuk. Ibunda Karisa mempercayakan semuanya pada mereka. Dia kemudian pamit pergi untuk menyiapkan hidangan untuk para tamunya. Julie menoleh ke arah Baron dan Adrian, dia tidak tahu apa yang akan mereka lakukan di kamar Karisa. Tapi kali ini yang bergerak lebih cepat adalah Adrian, ya, karena memang ini adalah rencananya. Adrian berjalan mendekati meja belajar Karisa. Di sana terdapat bingkai foto yang menampilkan foto Karisa dengan sang ibu juga adiknya. Ada kalender kecil, beberapa tumpukan buku pelajaran, tempat alat tulis, serta sebuah buku kecil. Melihat Adrian sedang memegang buku kecil tersebut, Baron lantas berkata, "Itu adalah buku harian Karisa. Tidak banyak informasi yang bisa di dapat dari sana." Baron tentu sudah membaca buku harian tersebut karena dia beserta Taka sudah pernah "menggeledah" kamar Karisa.  Namun ternyata hal itu tidak berlaku bagi Adrian. Dia justru bisa mendapat informasi yang tidak bisa Baron dapatkan. Kini saatnya Adrian menunjukkan kemampuannya pada Baron, dan membuktikan bahwa dia tidak hanya bermodalkan banyak omong saja. Kemampuan yang juga tidak bisa dicerna oleh akal sehat manusia. Kemampuan yang menyadarkan Julie dan Baron bahwa bukan hanya mereka berdua yang "istimewa".  Apakah Tuhan sengaja mempertemukan Baron, Julie, dan Adrian untuk membantu orang-orang yang diperlakukan tidak adil? Jawabannya ada dalam cerita ini. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN