Ketika kau tertawa di atas rasa sakit seseorang maka saat itulah kematian menunggumu.
Deru napas seorang gadis memacu dalam sebuah kamar dengan lampu yang temaram. Sekelumit bayangan masa lalu terus menghantui alam mimpinya. Rentetan peristiwa begitu jelas terekam dalam alam bawah sadarnya, setetes air keluar dari ujung pelupuk matanya. Meski dalam keadaan tertidur tapi kejadian itu begitu nyata.
"ALEA ...."
Teriakannya begitu mencekat, Dia terbangun dari mimpinya. Mimpi yang setiap malam menghantui tidurnya, mimpi yang terus datang secara berulang-ulang. Peristiwa yang telah membuatnya kehilangan segalanya. Cinta, harapan, kasih sayang, dan senyuman. Sang Gadis mengatur napas demi menetralkan denyut jantungnya, Dia melirik jam berbentuk kotak. Waktu menunjukkan pukul 01.30 A.M (GMT-4), Gadis itu menuruni tempat tidurnya. Menggulung rambutnya asal, lalu menuju dapur.
Setibanya di dapur , Gadis itu langsung mengambil gelas dan menuangkan air ke dalam gelasnya. Kemudian dia duduk termenung di meja makan, memikirkan segala problema yang menerpa di kehidupannya. Lalu semenit kemudian wajah sendunya berubah menjadi seringaian licik. Gadis itu bangkit dari tempatnya, tangannya masih memegangi gelas. Dia berjalan kembali menuju kamarnya tapi bukan untuk kembali mengistirahatkan tubuhnya. Dia masuk ke dalam toilet, namun tak ada tanda-tanda sang gadis menyalakan air, ataupun melakukan aktivitas di dalam toilet. Hanya bunyi mahluk kecil dan dentingan jam yang beradu dalam kesunyian, entah ke mana gadis itu. Tertidurkah atau merenung di dalam toilet? Tapi sungguh, tak ada tanda-tanda bahwa sang gadis akan keluar.
***
"Bangun ...," teriaknya, tepat di telinga seorang pria.
Pria itu terbangun, rasa sakit di kepalanya kembali menyeruak. Badannya terasa lemas, bahkan tubuhnya yang kekar terasa mati. Pria itu mendongak, melihat siapa yang telah membangunkannya? Wajahnya berubah pucat, saat yang dihadapannya tersenyum begitu manis. Bukan senyum ketulusan tapi senyum kebencian.
"Bagaimana tidurmu, Alex?" tanyanya.
Tangan halusnya menyentuh pipi Alex yang ditumbuhi bulu tipis, sentuhannya begitu menggoda. Pria itu bergerak mundur saat gadis itu mencoba untuk menciumnya, namun gerakannya terhenti. Tangannya terikat di kedua Armrest kursi begitu pula kedua kakinya yang terikat di Legs kursi.
"Apa kau menolakku, Alex?" tanyanya, terpancar kesedihan di raut wajahnya.
"L–lepaskan Aku!" pintanya. Suara Alex begitu gugup, bukan karena dia ketakutan. Hanya saja, mulutnya tak bisa diajak kompromi.
"Lepaskan?" tanya gadis itu kembali, Alex mengangguk sebagai balasan. Namun gadis itu malah tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, Kau lucu sekali Alex!" Gadis itu memegangi perutnya, tubuhnya sedikit tergeser ke belakang. Seperti permintaan Alex adalah sebuah komedi yang sangat lucu.
Sebuah tatapan tajam dilontarkan pria itu, ini sungguh bukan hal lucu. Dengan segala kekuatan yang Alex punya, bentakannya membuat sang gadis menghentikan tawanya.
"Diam, Kau!"
Gadis itu kembali mengarahkan pandangannya tepat di manik mata Alex, mata keduanya bertubrukan. Gadis itu melangkah mendekati Alex tanpa melepas pandangannya.
"kau membentakku?"
Gadis itu mencengkram rahang Alex, Raut wajahnya berubah, matanya sedikit membulat. Giginya saling beradu, dia terlihat menahan kemarahannya.
"Aku sedang tidak bermain-main, jadi lepaskan aku!" ucap Alex.
Tangan gadis itu terlepas dari rahang Alex, saat dia menghentakkan kepalanya.
"Beraninya kau --" Suaranya tertahan. Gadis itu menarik rambut Alex ke belakang, membuat Alex mendongak.
"Aku memang tak ingin bermain-main, Alex. Yang aku inginkan hanya KE-MA-TI-AN-MU," ucapnya.
Penekanan pada kata 'kematian' membuat Alex bergetar. Jantungnya berdenyut dua kali lebih cepat. Raut wajah yang tadinya menentang berubah menjadi sebuah ketakutan.
"Tidak, Aku tidak ingin mati!" Alex menggelengkan kepalanya.
"Oh, Alex. Tapi kematian sedang menunggumu, baby!" ujarnya, Nadanya terdengar merajuk. Namun kata-katanya mampu menusuk hati Alex, membuat tubuh lelaki itu menegang.
"Aku tak melakukan kesalahan apapun, bahkan Aku tak mengenalmu. Jadi ..."
"Ssshhh," Gadis itu menutup mulut Alex dengan jari telunjuknya.
"No, No, No! Jangan berbicara seperti itu, Alex. Kau bahkan mengenalku lebih dari siapa pun," tuturnya lembut. Senyumannya mengembang tapi senyuman itu tak sampai ke mata.
Gadis itu membuka laci meja yang berada di samping kursi Alex, mengambil benda yang biasa digunakan untuk menjahit.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanyanya.
"Hei, Kau buta? Lihat, ini jarum dan ini benang." Gadis itu memperlihatkan kedua benda dengan bergantian.
"Dan kau tahu kan fungsi dari kedua benda ini?" tambahnya.
"Menjahit?" timpal Alex.
"Nah, tepat sekali. Kau memang cerdas, Alex!.
"Tentu, Aku akan menjahit. Menjahit bibir indahmu itu, baby." Suaranya terdengar berbisik.
Alex melotot, gadis ini memang benar-benar gila. Begitu pikirnya, lelaki itu meronta namun kali ini tenaganya benar-benar tak cukup kuat. Entah apa yang diberikan pada tubuhnya, hingga membuatnya seperti perempuan tak berdaya.
Gadis itu terlihat memasukkan benang ke dalam lubang jarum, sedetik kemudian. dia mendekatkan sesuatu ke jari Alex, seketika tubuhnya meremang. Perih merasuki seluruh tubuhnya hingga menembus tulang-tulangnya. Namun badannya tak bisa digerakkan. Disaat bersamaan gadis itu, menusukkan jarum tepat di tengah bibir Alex. Tusukannya begitu lambat membuat sang pria meronta kesakitan.
Darah segar keluar, saat jarum itu mulai menembus kulit bibir Alex. Gadis itu terlihat telaten saat membuat tusukan demi tusukan hingga menghasilkan jahitan yang sempurna. Gadis itu menarik jarum yang masih bertengger di bibir Alex, benang dan daging bibir pria itu saling bergesekan, membuat darah kembali keluar.
"Mmpphh—"
Hanya erangan itu yang keluar dari mulut Alex meski jahitan itu hanya menutupi bagian sebelah kiri bibirnya. Tak ada yang ingin membayangkan berada diposisi Alex, betapa sakitnya saat jarum itu mulai menyentuh kulitnya. Benang yang saling bertautan dengan daging bibirnya hingga mengeluarkan darah. Bagaimana jarum itu menyiksa sang pria? Saat sang gadis dengan sengaja menusuk secara perlahan-lahan dan beberapa kali jahitan itu tak sampai dituntaskan namun kembali membuat tusukan baru.
Kejam? Tentu, itu bahkan tak manusiawi tapi apa yang bisa dilakukan? Saat hati telah dikuasai rasa kebencian. Tak ada lagi belas kasihan, hanya ada kegelapan yang menguasai roh dan raganya.
"Sempurna!" tegasnya, Gadis itu mendekatkan wajahnya ke ujung bibir Alex. Dia mengecupnya, membuat darah pria itu menempel di bibirnya.
"Manis!" katanya.
Gadis itu menjilat bibirnya, merasakan darah Alex yang menempel. Ada sensasi yang luar biasa. Rasanya gadis itu ingin terus mengeluarkan darah segar dari setiap inci tubuh Alex.
"Jangan menatapku seperti itu, baby. Please!" pintanya.
"Mmpphh." Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Alex.
"Berbicaralah yang jelas, Alex. Aku tak mengerti apa yang kau katakan?" bentaknya.
Suaranya melembut, "Ups ...aku lupa jika mulut manismu ini sudah kujahit. Hahaha!" tawanya menggelegar, tak ada rasa bersalah sedikitpun.
Gadis itu melangkahkan kakinya ke sebuah pintu, Alex dapat melihatnya dengan jelas. Ada sedikit kelegaan di hatinya, pria itu berpikir bahwa sang gadis sudah tak akan menyiksanya tapi belum cukup beberapa menit. Dia kembali, namun kali ini dia tak sendiri. Gadis itu mendorong kursi roda, terlihat seorang pria yang sangat dikenal Alex. Tubuh pria itu sangat kaku, wajahnya pucat, matanya terpejam, seakan-akan pria itu sedang tertidur.
"Mmpphh—" Lagi-lagi hanya itu yang keluar dari bibir Alex.
"Brian, aku membawakanmu teman. Kau pasti senang bukan." Gadis itu berbicara pada Brian namun tak ada tanggapan. Gadis itu kembali mendorong kursi roda Brian lalu menempatkannya tepat di hadapan Alex.
Alex meronta, banyak hal yang ingin dikatakan pria itu tapi semua hanya tertahan dalam mulutnya.
"Baiklah, karena kalian sudah bertemu. Jadi sekarang giliranku. It's show time!" tegasnya.
Gadis itu memindahkan Brian sedikit dari hadapan Alex setelah itu sang gadis lagi-lagi membuka laci dan mengambil sebuah gunting kuku, terlihat karatan pada gunting kuku tersebut. Tanpa berbasa-basi, gadis itu mendekatkan gunting kuku ke telinga Alex.
Lalu lagi-lagi, sang gadis menyiksa Alex. Gunting kuku itu memotong telinga pria itu sedikit demi sedikit, dia meronta. Entah karena karatan yang ada pada gunting kuku itu, hingga membuat sang gadis kesulitan memotong telinga Alex atau mungkin sang gadis dengan sengaja memilih benda yang sedikit berkarat agar lelaki itu tersiksa. Tentu, Alex sangat tersiksa. Gunting kuku yang biasa digunakan untuk memotong kukunya yang panjang. Kini malah memotong telinganya.
"Bagaimana rasanya, Alex? Sakitkan?" tanyanya, tangannya masih asyik memotong telinga Alex.
"Ini belum seberapa, Alex. Aku hanya sedikit bermain-main," ucapnya lagi.
Kini kuping telinga Alex sudah menjadi potongan-potongan kecil, tetesan airmata jatuh dipipi Alex. Bukannya dia cengeng, tapi dia betul-betul tersiksa secara bertubi-tubi.
"Kau menangis, baby?" tanyanya.
Gadis itu mengusap airmata Alex, lalu mengambil sebuah foto tepat di saku baju sang pria. Alex tak tahu sejak kapan foto itu berada dalam sakunya. dia terkejut, dengan apa yang dilihatnya.
"Kau kaget melihatnya?.
"Kau pasti mengingatnya kan?" bentaknya.
"Tentu. Kau pasti mengingatnya, b******k! Bagaimana kalian dengan tega memperlakukannya seperti binatang? Bagaimana rintihan demi rintihan keluar dari mulutnya?" jelasnya.
Gadis itu tiba-tiba terkulai lemas, tubuhnya terjatuh ke lantai. Air matanya lolos begitu saja dari pipi sang gadis, airmata yang begitu menyakitkan.
"Kalian biadab, bagaimana kalian bisa hidup dengan tenang? Sementara Luka di sini tak bisa sembuh." Gadis itu memukul dadanya, suaranya parau.
Gadis itu bangkit dan mengambil pisau, Alex yang tak berdaya hanya bisa diam. Percuma saja pria itu memberontak, Dia sudah ikhlas jika hari ini memang adalah kematiannya. Semua ini adalah balasan atas apa yang telah diperbuatnya di masa lalu. Dengan beberapa kali tusukan di tubuhnya, Alex menghembuskan napas terakhir. Gadis itu sangat brutal, amarahnya terlalu kuat untuk dibendung.
"A-L-E-A," ucapnya setelah berhasil mengukir tepat di punggung Alex.
"Alex yang malang, kau bahkan tak mengucapkan kata perpisahan. Hahaha!" ejeknya.
Gadis itu tertawa lepas, seperti ada kebahagiaan yang menghampiri dirinya namun ini bukan kebahagiaan yang seperti kita pikirkan. Tapi kebahagiaan itu hanya sebentar karena tugasnya belum selesai. Setidaknya Ada dua nyawa yang sedang menunggunya, menunggu siksaannya. Karena bagi sang gadis, kematian mereka adalah harga mati yang tak bisa ditebus dengan apapun.
Gadis itu memegang setangkai bunga lalu mengatakan. "Death Flower!"
Matanya menatap mayat Alex, tatapan yang menyimpan begitu misteri.
"Sebentar lagi, Alea. Bersabarlah sedikit!" ucapnya. Lalu gadis itu meninggalkan kedua mayat Brian dan Alex.
Author note:
Aku nulis ini, bikin tubuhku meremang dan ngilu gimana gitu. Ngeri banget.