Aku telah mati bersama luka yang kalian torehkan, jika kalian mendapatiku di kemudian hari. Aku bukan kembali, tapi itu adalah wujud dari rasa sakit yang belum terselesaikan
Ana duduk di bawah pohon Quercus robur yang terletak di belakang kampusnya. perempuan itu selalu menghabiskan waktunya di bawah pohon ini, mengerjakan tugas dan mengusir segala kepenatannya. Hari ini dia berencana menemui Pak Randa namun ternyata dosennya itu tidak masuk. Ana membuka laptopnya, Dia kembali membuka file tentang pembunuhan James.
Kemarin dia mendatangi kantor polisi, mencoba mencari tahu tentang kematian James namun nihil. Menurut polisi, sejauh ini tak ada bukti yang kuat. Sidik jari, bekas pisau sama sekali tak di dapatkan dalam tubuh korban. Bahkan setelah mendatangi rumah James dan kantornya, mereka pun tidak menemukan ada hal yang mencurigakan. Semua begitu rapi, Pembunuh sangat cerdas dalam menghilangkan setiap barang bukti.
Namun menurut Ana, ada hal yang sebenarnya tidak diketahui oleh polisi. Bunga, mereka bahkan tak menyelidiki bunga yang ditemukan pada tubuh korban. Sepertinya polisi menganggap remeh keberadaan bunga itu. Ana juga yakin bahwa polisi tidak tahu betapa beracunnya bunga itu.
***
Ana memasuki sebuah rumah sederhana, saat pemilik rumah mempersilahkan dirinya masuk.
"Maaf menganggumu, Miss Julie!" ucapnya setelah dipersilahkan duduk.
"Tak apa, Aku senang kau berkunjung." Miss Julie tersenyum.
"Tunggu sebentar, Ana." Miss Julie berdiri dan meninggalkan Ana, tak berapa lama. Miss Julie kembali dengan membawa teh dan biskuit.
"Kau tak perlu serepot ini, Miss. Sudah diizinkan ke rumahmu saja, Aku sudah sangat berterima kasih."
Ana merasa tak enak, pasalnya dia memang tak memiliki janji dengan Miss Julie. Tapi karena ada hal yang ingin ditanyakan pada Miss Julie, membuat gadis itu menganggu waktu istirahat Miss Julie
"Aku malah senang, gadis cantik sepertimu mendatangi rumah reokku," ucapnya merendah.
"Kau terlalu merendah, Miss Julie. Rumahmu begitu nyaman," katanya.
"Minumlah, Ana. Hanya ini yang bisa kusajikan," tutur Miss Julie.
Ana lalu menyesap tehnya kemudian menaruhnya kembali.
"Miss, maaf kalau Aku lancang tapi sungguh ini sangat mengganggu pikiranku," ujarnya.
"Katakanlah, Ana!" Miss Julie tersenyum lembut pada Ana.
"Begini, Aku masih penasaran dengan bunga Aconite."
"Apa penjelasanku tak memuasakan untukmu, Ana?" tanyanya.
"Bukan seperti itu, Miss. Hanya saja Aku tidak mengerti, Bagaimana bunga secantik itu bisa mengandung racun yang mematikan?" balasnya.
"Kau menanyakan pada orang yang salah, Ana. Mestinya Kau bertanya pada Sang Pencipta." Miss Julie tersenyum, Ana sama sekali tak mengerti maksud dari wanita pemilik toko bunga itu.
"Ana, ada hal yang tak perlu kita ketahui di dunia ini. Bahkan meski kita mencoba mencari tahu. Kita tak akan pernah menemukannya," jelasnya. Ana semakin tidak mengerti dengan penjelasan Miss Julie.
"Aku tahu kau ingin bertanya banyak hal tentang bunga itu. Dan aku yakin, Kau juga ingin bertanya bagaimana aku mendapatkan bunga Aconite itu? Tapi maaf , Aku tak bisa menjawabnya. Kau cerdas dan kau lebih tahu banyak hal dari diriku." Miss Julie lagi-lagi tersenyum. Senyum yang mengartikan sebuah tanda tanya bagi Ana.
"Maaf jika Aku terlalu ingin tahu. Aku mengerti, Baiklah! Miss Julie, Aku harus pulang." Ana berdiri dan menjabat tangan Miss Julie setelah mengantar Ana sampai ke depan, Miss Julie kembali masuk kerumahnya.
"Kau sulit di tebak Ana," ucapnya.
Ana masih memikirkan kata-kata Miss Julie, dia yakin di balik senyuman tulus Miss Julie tersimpan sebuah kesakitan. Eccedentesiast, sepertinya istilah itu yang di alami Miss Julie. Hari ini Ana ingin beristirahat saja. Rasanya kepala gadis itu hampir pecah jika memikirkan hal yang akhir-akhir ini menganggu pikirannya.
***
Seorang pria menuruni mobilnya, dengan cepat dia berbalik saat pria itu merasa ada yang memperhatikannya. Namun, tak ada orang sama sekali. pria itu lalu melangkah menuju apartemennya, tepat di pintu masuk. Pria itu berpapasan dengan seorang gadis, hal pertama yang muncul dalam benak pria tersebut adalah bokongnya begitu sexy. Lalu dengan sekejap penglihatannya buram, Pria itu jatuh pingsan dan sebuah senyuman terukir di wajah sang gadis.
Percikan air membuat Tom terbangun, Dia melihat sekelilingnya. Hanya ada meja tepat berada di sampingnya, selebihnya ruangan ini terlihat kosong tak ada warna yang menghiasi. Putih sangat mendominasi ruangan ini, Tom berusaha bangkit namun tangannya terikat. Seingatnya tadi, Tom berada di parkiran apartemen. Tak berapa lama kemudian sebuah suara memecah lamunannya.
"Sudah bangun, Tom?" Suara itu terdengar begitu lembut. Tom mencoba berbalik tapi ikatan tangan dan kakinya begitu erat.
"Siapa kau? Kenapa kau membawaku ke sini dan mengikatku?" Suara Tom meninggi, belum sempat dia melihat pemilik suara itu. Sebuah kain menutupi matanya, lelaki itu tak dapat melihat apa-apa.
"Hei, apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" teriaknya.
"Berisik sekali!" balasnya.
"Kau seorang gadis? tanyanya.
"Kenapa Kau bertanya, Tom? Tentu, aku seorang gadis," ucapnya.
Gadis itu lalu mendekati Tom, dan duduk di pangkuan lelaki itu. Sepertinya hal ini pernah di lakukannya pada seseorang. b****g sexy-nya sedikit digesekan, membuat tubuh bagian bawah Tom dengan cepat menegang.
"Kau sama seperti James!" katanya.
"Kau tahu, James?" Tom lagi-lagi bertanya.
"Ya, bukan hanya James tapi Brian dan Alex. Aku mengenalnya," ucapnya santai.
"Siapa kau sebenarnya?" bentak Tom, dia memalingkan Wajahnya agar penutup matanya bisa terlepas dan dia bisa melihat gadis itu.
"Jangan terlalu banyak bergerak, Tom." Gadis itu memerintah Tom, namun Tom tetap bersikukuh bergerak. Gerakan Tom yang terlalu kuat membuat sang gadis terjatuh ke lantai. Pekikannya terdengar sangat keras.
"Akhh ...." Ada jeda sebentar hingga gadis itu bangkit.
Plakk
Sebuah tamparan membuat pipi Tom memerah. Lancang sekali gadis itu menamparnya, begitu pikirnya.
"Beraninya kau menamparku!" teriaknya.
"Jangan meneriakiku , Tom! Kau yang telah berani menjatuhkanku." Gadis itu membentak Tom.
"Kau tidak tahu, yah? Jika kematian sedang menunggumu," tuturnya. Gadis itu mengancam Tom, tapi Tom malah tertawa.
"Lelucon apa yang sedang kau tunjukkan, Nona?" ejek Tom, tak ada sedikit pun ketakutan yang di tunjukkan oleh Tom.
"Hahaha, aku salut padamu Tom. Ternyata nyalimu tinggi juga," ucapnya.
"Kau pikir, au akan takut dengan ancaman bodohmu. Cih!" tantangnya.
Gadis itu melepas penutup mata Tom, ternyata kali ini korbannya begitu berani. Sang lelaki menatap gadis itu dari atas sampai ke bawah.
"Kau lebih cocok berada di ranjangku, Cantik. Dibanding kau mengancamku dengan hal yang tidak-tidak," godanya.
Gadis itu menatap Tom tajam, kata-katanya bagai hujatan perih menembus hatinya.
"Ancaman? Hahaha, Kau pikir aku mengancammu, Tom?" tanyanya.
"Tentu, itu hanya ancaman. Kau sama saja dengan gadis yang sering kutiduri, berlagak sok kuat. Tapi tak bisa menahan erangan kenikmatan dari tubuhku," ejeknya.
"Apa kau bilang?" Gadis itu mencengkram kedua bahu Tom.
"Kenapa, Nona? Kau merasa gagal menakutiku," tanyanya, gadis itu terlihat menahan amarahnya. Dia benar-benar geram dengan perkataan Tom.
"Kau hanya gadis murahan," tambahnya, bahkan Tom meludahi Gadis itu. Batas kesabaran sang gadis benar-benar diuji oleh lelaki itu.
Tanpa berkata-kata gadis itu mengambil silet di laci meja, Tom yang melihatnya begitu terkejut.
"Apa yang kau inginkan, hah? teriaknya.
"Aku ingin menunjukkan, kalau perkataanmu salah, Tom."
Gadis itu kemudian mendekatkan silet itu ke pipi Tom, dia meronta namun gadis itu malah memberikan sesuatu ke jari Tom. Dan dalam sekejap tubuhnya terasa mati, tapi tetap saja rasa perih bergelayut dalam tubuhnya .
Gadis itu makin mendekatkan siletnya, membuat sayatan kecil di pipi Tom, perlahan-lahan tapi mampu membuat tubuhnya tersiksa. Silet itu makin menembus daging pipinya, dia dapat merasakan robekan silet di pipinya hingga ke dagunya, bahkan tulang rahangnya terlihat.
Gadis itu benar-benar tak main-main, Tom merasakan daging pipinya terlepas begitu saja. dia tak bisa membuka mulutnya, hanya perih dan darah segar yang terus menetes.
"Bagaimana, Tom? Apa Aku terlihat sedang main-main." Bibir Gadis itu tersungging, hanya gelengan yang diberikan Tom.
"Tunggu, mungkin ini tak cukup meyakinkanmu."
Gadis itu pergi, melalui sebuah pintu. Tom harus keluar dari sini, dia tidak ingin mati sia-sia. Saat dia berusaha bergerak, lelaki itu malah terjatuh ke lantai. Tangannya berusaha melepas ikatan, namun tali yang mengikatnya sangat kuat. Tom begitu syok saat yang ada di hadapannya adalah Brian dan Alex. Tubuhnya terlentang di dinding dengan tangan dipaku.
"Kau benar-benar tak takut, Tom. Baru saja Aku meninggalkanmu sebentar. Kau sudah berbuat ulah."
Suara Gadis itu terdengar menakutkan di telinga Tom, tubuhnya bergetar hebat.
"Mmpphh"
Tom berusaha mengeluarkan suara tapi perih di pipinya sangat menyakitkan. Ketukan sepatu gadis itu semakin mendekat, lalu dia membangunkan Tom beserta kursinya menghadap tepat di mayat Brian dan Alex.
"Kau berkeringat, Tom? Bukankah tadi Kau tak takut sama sekali," ingatnya.
"Brian dan Alex, pria tampan yang menyedihkan. Hahaha," tawanya menggema di seluruh ruangan.
"Dan sekarang giliranmu, Tom!" Gadis itu menunjuk Tom, lalu mendekatinya.
Hawa panas menyeruak di tubuh Tom, matanya melotot. Tom menggelepar saat air mendidih menyentuh kepalanya, membuat kulitnya melepuh.
" Argghhh--"
Erangan itu lolos dari bibir Tom, namun sang gadis malah tak berhenti. gadis itu terus menumpahkan air panas ke seluruh tubuh Tom, betapa gadis itu menyiksanya. Mungkinkah kedua sahabatnya juga disiksa seperti dirinya? Sebenarnya siapa gadis ini? Pertanyaan itu memenuhi otaknya. Lalu dunia Tom berhenti saat sebuah kapak menancap di dadanya, Gadis itu terus menancapkan kapaknya di tubuh Tom. Layaknya sedang memotong kayu. Percikan darah segar Tom mengenai wajahnya.
Setelah Gadis itu puas, Dia menghirup bekas darah Tom yang tertinggal di kapak. Gadis itu benar-benar haus darah.
"Rasanya nikmat sekali, Ini benar-benar luar biasa. Hahaha," ucapnya.
Gadis itu tersenyum licik, senyum yang selalu ditunjukkan pada korbannya. Senyum yang dapat mematikan urat saraf sang korban. Tinggal selangkah lagi, dendam itu akan terbalaskan. Rasa sakit yang dialaminya akan terbayar, tak ada rasa takut dalam dirinya karena gadis itu yakin Tuhan berpihak padanya. Sekali lagi Death Flower menunjukkan keangkuhannya
Author note:
Ngilunya sampai mana?
Eccedentesiast adalah seseorang yang menyembunyikan rasa sakit mereka di balik senyumnya