Belajarlah dari rasa sakit
Karena rasa sakit itu akan menuntunmu ke kehidupan sebenarnya.
Rumput liar tumbuh lebat di gundukan tanah, sudah dua tahun berlalu namun baru kali ini seorang gadis mengunjungi makam kakaknya. Dia tertunduk lemas, mencabut rumput liar yang tumbuh di makam bernama Azalea.
Airmatanya menetes ketika mengingat semua yang telah terjadi, kebahagiaan bahkan rasa sakit yang terus menjerat hatinya.
"Hei, kak. Bagaimana kabarmu di sana?" tanyanya sembari mengusap nisan sang kakak.
"Maaf, aku baru mengunjungimu. Apa kau bahagia di sana?" Dia tersenyum, namun senyumannya begitu memilukan.
Senyuman itu kemudian berubah menjadi tangisan yang menyesakkan d**a, Ada banyak hal yang ingin diceritakan pada sang kakak. Tapi dunia mereka telah berbeda, gadis itu memejamkan mata. Mengingat setiap kejadian, bagaimana sang kakak direnggut oleh para b******n itu.
***
Seorang gadis tengah meringkuk di kasur, entah sampai kapan dia akan menutup tubuhnya dengam selimut. Hari ini memang begitu dingin, bukankah ini musim salju? Pantas saja jika tubuhnya tak mau bangun. Terdengar suara seorang wanita membangunkannya dari mimpi indah, suara yang selalu membuatnya merasa terlindungi.
"Adik kecilku yang manis, bangunlah!" tuturnya lembut sambil menyibakkan selimut adiknya. Namun adik kesayangannya itu malah kembali menutup tubuhnya dengan selimut.
"Hei, bangunlah Adik kecil! Ayolah sayang! Kakakmu ini bisa terlambat ke kantor.
Sang adikpun terbangun dengan wajah cemberut sambil menyilangkan kedua tangannya. sang kakak mencubit kedua pipi adiknya melihat tingkah laku yang menggemaskan.
"Kenapa lagi dengan adik kecilku ini? Apa--" Belum sempat sang kakak melanjutkan ucapannya.
Suara sang adik memotong ucapannya, "Hei, aku bukan anak kecil, Alea!" Gadis itu membelakangi sang kakak, itu tanda dia sedang kesal. Apalagi dia memanggil kakaknya dengan nama saja.
Alea tersenyum, lalu membalikkan badan sang adik sehingga mereka saling berhadapan.
"Alea? Astaga, sejak kapan adikku berubah menjadi gadis yang tidak sopan?" tanya Alea lembut, dia berpura-pura merasa sedih.
"Sepertinya adikku sudah tak menyayangiku lagi," ucap Alea dengan nada dibuat sedih.
"Maafkan aku, Kak! Bukan seperti itu maksudku." Sang adik memegang kedua tangannya.
"Aku begitu mencintaimu, Kak! Kau seperti ayah, ibu, kakak bahkan sahabat bagiku." jelasnya pada sang kakak.
Alea yang mendengar perkataan adiknya malah cekikikan.
"Hei, aku sedang tidak bercanda, Kak!" ucapnya.
"Iya, adik kecil. Aku bahkan menghafal perkataanmu itu," tutur Alea lembut.
"Berhentilah memanggilku adik kecil! Aku sudah dewasa, kak, adikmu sudah memasuki bangku kuliah." Gadis itu memperingati kakaknya. Sebagai balasannya Alea memeluk sang adik.
"Aku tahu! Adikku ini sudah besar tapi bagiku, kau akan tetap jadi adik kecil yang menggemaskan. Kau satu-satunya yang kupunya di dunia ini, kakak janji akan selalu menjagamu meski nyawa kakak sebagai taruhannya," jelas Alea, setetes air mata lolos begitu saja. Sang adik langsung memeluknya erat.
"Aku yang akan menjagamu, kak! Aku tidak akan membiarkanmu terluka sampai Kakak menemukan kebahagiaan itu," balasnya
Mereka sama-sama tertawa saat melepaskan pelukannya. Kakak-beradik ini ternyata meneteskan airmata.
"Mandilah cepat! Kakak menunggumu di bawah," ucap Alea saat sang adik ingin memasuki wc.
Alea sedang menyiapkan sarapan untuk adiknya, tiba-tiba sang adik datang memeluk dari belakang. Alea memutar tubuhnya lalu tersenyum ke arah sang adik.
"Mmm... sebenarnya." Terdengar suara Alea gugup saat keduanya menikmati saparan pagi. Sang adik menatap Alea bingung.
"Kak, apa ada hal yang ingin Kakak sampaikan? Katakanlah, jika memang ada!" tutur sang adik lembut.
"Tidak ada, habiskanlah sarapanmu!" ucap Alea lalu melanjutkan kembali sarapannya.
Sang adik tahu kalau ada sesuatu yang ingin dikatakan Alea. Entah itu apa? Tapi sepertinya ini penting, melihat kegugupan sang kakak. Sang adik yang penasaran lalu mendekati Alea dan duduk di sampingnya. Alea yang sadar diperhatikan menoleh ke arah sang adik.
"Kak, aku tahu ada hal penting yang ingin kakak sampaikan. Jangan khawatir, apapun itu aku akan menerimanya." sang adik meyakinkan Alea.
"Benarkah?" tanya Alea yang dibalas dengan anggukan sang adik.
"Aku mencintai seorang pria dan dia juga mencintai kakak. Kami akan menikah," tegas Alea dengan satu tarikan napas.
Alea menatap sang adik dengan cemas, pasalnya tak ada ekspresi yang ditunjukkan sang adik. Apakah adiknya marah atau bahagia? Alea masih menerka-nerka.
"Jika kau tak suka, aku akan membatalkannya," ucap Alea datar.
Sebuah senyuman terpancar di raut wajah sang adik membuat Alea tambah bingung.
"Benarkah kau akan menikah, kak?" tanyanya. Namun belum sempat Alea menjawab, pekikan suara sang adik membuatnya menutup telinga.
"Arghh..."
Sang adik loncat kegirangan dan memeluk Alea sambil mengucapkan sesuatu. " Aku bahagia kak, sangat bahagia!"
"Hei, Benarkah adik kakak senang?" tanya Alea.
Sang adik mengangguk, "Aku serius, kak! Tapi, siapa gerangan pria beruntung itu? Kakak harus mengenalkan pria itu secepatnya."
"Tentu, besok malam kakak akan membawanya ke sini," balasnya.
"Baiklah! Aku harus pergi, kak," pamitnya lalu mencium kedua pipi Alea.
"Hati-hati, adik kecil!" teriak Alea.
Hari ini Alea sangat bahagia, karena sang adik menyetujui pernikahannya. Alea pikir, adiknya akan marah tapi ternyata semua itu di luar dugaan. Sang adik malah terlihat bahagia, kebahagiaannya bertambah saat sang kekasih dengan senang hati menerima undangan untuk bertemu adiknya.
***
"Kak, ceritakan pria itu padaku. Aku sangat penasaran!" Rengekan sang adik membuat Alea menghentikan aktivitasnya. Padahal masih banyak tugas kantor yang harus Alea kerjakan namun dia tak bisa mendengar adik kesayangannya merengek.
"Oke, kakak akan ceritakan." Alea tersenyum, kemudian melangkah ke sofa, di mana sang adik duduk.
"Namanya Adam Barnet, kakak bertemu dengannya saat mobilku mogok di tengah jalan. Adam lah yang memberi tumpangan padaku karena dia tak tahu tentang mesin, namun saat itu kau sedang tertidur," jelasnya.
"Berapa lama kalian saling mengenal, kak? Terus, apa pekerjaannya?" Sang adik begitu antusias bertanya.
"Biarkan kakakmu ini berbicara, adik kecil," ucapnya.
"Adam melanjutkan bisnis keluarganya. Sekitar enam bulan, kami saling mengenal. dia orang yang baik, selalu membuat kakak nyaman berada di dekatnya. dia juga pria yang sangat tampan, tutur katanya sangat lembut. Itulah, kenapa kami memutuskan untuk menikah? Karena kami merasa saling melengkapi satu sama lain dan saling mencintai," jelas Alea.
Sang adik tersenyum. "Aku senang mendengarnya, kak! Aku bahagia, jika kakak bahagia."
"Makasih, adik kecil!" Alea memeluk sang adik.
"Tidurlah, besok adik kesayangan kakak harus kuliah."
Setelah mencium pipi Alea, sang adik langsung bergegas ke kamarnya. Sementara Alea melanjutkan pekerjaan kantornya.
Keesokan hari, adik Alea sibuk menata meja makan. Malam ini, dia akan bertemu dengan calon suami kakaknya. Itulah mengapa hari ini, dia tidak masuk kuliah, meski Alea melarangnya untuk bolos namun rengekan sang adik mampu meluluhkan hati Alea.
Jam menunjukkan pukul 08.25 pm, namun sang kakak belum juga menunjukkan batang hidungnya. sang adik sudah menghubungi kantornya tapi Alea ternyata sudah meninggalkan kantor siang tadi. Bahkan sang adik sudah menghubungi Alea berulang kali namun ponselnya mati.
Kepanikan melanda sang adik, dia khawatir. Sebenarnya ada di mana sang kakak? Jika tadi siang sudah meninggalkan kantor lalu ke mana kakaknya itu? Pikiran negatif mulai berkecamuk, sang adik takut jika terjadi sesuatu pada Alea.
"Kak,kau ada dimana?"
Ponsel sang dik berbunyi, dengan cepat dia melihat siapa yang menelponnya.
My sister calling...
Sang adik langsung menerima panggilannya. "Halo, kak! Kau ada di--"
"A..."
Setelah itu tak ada suara lagi. "Halo, kak! Kak Alea."
Kepanikan melandanya, segera dia mengambil kunci mobilnya dan mencari keberadaan sang kakak. Bulir airmata jatuh membasahi pipinya. Dia takut, sangat takut! Apa sebenarnya yang terjadi dengan kakaknya? Tiba-tiba dia berhenti, teringat kalau ponsel kakaknya sudah dipasangi aplikasi pelacak. Setelah mengetahui keberadaan Alea, dia langsung menyetir dengan kecepatan tinggi.
Dia sampai di sebuah gedung tua, dekat sungai. Gedung ini begitu gelap hanya ada rumput liar dan rongsokan mobil. Dia lalu menyalakan senter ponselnya sebagai penerang, menelusuri setiap lorong gedung tua ini.
"Kak Alea."
"Kakak ada di mana?" teriaknya.
Lalu sang adik mendengar rintihan kesakitan tak jauh dari tempatnya berdiri, dia mengarahkan senter ke sumber suara itu. Ponselnya jatuh begitu saja setelah melihat siapa yang merintih. Dia berlari menghampiri sumber suara tersebut.
"Kak, apa yang terjadi denganmu?" tanyanya sembari memangku kepala Alea.
Dia menangis melihat kondisi Alea, pakaiannya sobek, bahkan Alea tak memakai rok. Tangan dan kakinya terikat, terdapat luka dan memar di sekujur tubuhnya.
"Kak, aku mohon bertahanlah!"
Sang adik lalu menggendong Alea menuju mobil. Dengan sigap, dia menyetir mobilnya lagi dengan kecepatan tinggi. Bahkan dia sudah tak peduli dengan keselamatannya sendiri, dia ingin segera kakaknya mendapatkan pertolongan. Suara Alea mengejutkanya, membuat dia menginjak rem. Decitan antara ban dan aspal terdengar begitu jelas.
"Adik kecil," Alea tersenyum, lalu mengelus kepalanya.
"Berjanjilah pada kakak! jika kau akan selalu tersenyum," pintanya. Alea terbatuk, mulutnya mengeluarkan darah. kondisi Alea melemah dan dengan cepat sang adik menangkap tubuh Alea dan menyandarkan di lengannya.
"Kak, apa yang terjadi padamu? Kenapa seperti ini?" ucapnya pilu.
"Kakak baik-baik saja, adik kecil!" ucapnya. Alea tersenyum, namun senyumannya begitu sendu.
"Maafkan, kakak! Kakak tidak bisa mempertemukanmu dengan calon suami kakak. Maaf, jika kakak tak bisa menemanimu lebih lama," Alea meneteskan airmata.
"Tidak, jangan berkata seperti itu! Aku akan menyelamatkanmu. Kita harus ke rumah sakit sekarang," tegasnya namun Alea mencegahnya.
Alea menggeleng, "Waktu kakak sudah tidak banyak lagi, adik kecil. Kakak bahagia memilikimu, sepanjang hari kakak selalu berdoa untuk kesehatanmu dan melindungi sebisa kakak. Tapi maafkan, aku! Aku tak mungkin bisa seperti yang dulu."
Tangisan Alea begitu memilukan membuat sang adik begitu lemah.
"Kak, apa yang kau katakan? Kita akan bersama kak, selamanya."
"Iya, adik kecil. Kakak akan selalu bersamamu, jangan menangis!" pintanya sembari menghapus air mata sang adik.
"Bolehkah kakak memelukmu?" tanyanya yang dibalas dengan anggukan oleh sang adik.
Alea memeluk erat sang adik, sangat erat. Tubuh Alea makin melemah hingga suaranya sangat pelan
"Jaga dirimu baik-baik, A….!"
Setelah itu tubuh Alea terkulai lemas, dia mengguncang tubuh sang kakak yang sudah tak berdaya. Namun semua percuma Alea telah pergi meninggalkannya.
"Kumohon, bangun! Alea, bangunlah!" Tangisannya pecah.
"Bangun, Alea! Kumohon! Kau boleh memanggilku adik kecil atau apa pun itu tapi kumohon jangan tinggalkan aku," ucapnya sembari memeluk tubuh kaku Alea.
***
gadis itu meringkuk tubuhnya di kasur, menatap foto sang kakak, Azalea Nathania Winata. Pandangannya begitu kosong, tubuhnya seperti patung yang tak bergerak dari tempatnya. Hidupnya telah mati bersama sang kakak, semua telah hancur. Tak ada lagi gunanya dia hidup, dia tak bisa melupakan kesakitan yang dialami sang kakak. Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan pada Alea.
Kebahagiaannya terenggut, rasa sakit di hatinya menganga dengan lebar. Wajah sendu itu berubah menjadi kemarahan.
"Aku akan membuat calon suamimu membayar semuanya, Alea. Aku janji! bahkan akan lebih sakit dari apa yang kau rasakan!" tegasnya, bulir air mata jatuh membasahi pipinya.
Dan saat itulah dendam di mulai, dendam yang mengakar dalam hidupnya.
"Hei," Suara Ray, memecah lamunan seorang gadis yang sedari tadi masih setia berada di makam Alea.
"Maaf! Apa aku terlalu lama, Ray?" tanyanya.
"Tentu, tidak! Sebaiknya kita pulang, sebentar lagi hujan turun." Ray memperingatinya.
"Baiklah, aku akan berpamitan pada Alea dulu," balasnya.
"Aku menunggumu di mobil." Dia mengangguk, beralih menatap makam Alea.
"Kak, baik-baik disana! Rasa sakitmu sudah terbalaskan. Kuharap kau bahagia di sana. Aku pulang, mungkin akan cukup lama bagiku untuk mengunjungimu lagi." Gadis itu mencium nisan Alea lalu tersenyum. Untuk pertama kalinya, dia memperlihatkan senyum ketulusan. Pasca kematian kakaknya.
Semua telah berakhir begitu pikirnya, rasa sakit telah terbayarkan. Sekarang tinggal bagaimana dia lolos dari jerat hukum? Tentu, dia sudah memikirkannya jauh hari. Jadi, dia yakin sekuat apa pun polisi mencari bukti. Mereka tak akan pernah menemukannya.
Author note:
Sudah bisa menebak Death Flower siapa?