Bids an Threats

1004 Kata
Ketika kalian menghancurkan hidup seseorang. Meninggalkan luka yang teramat menyakitkan. Saat itulah kalian telah mengubahnya menjadi monster! Seorang wanita berlari di gelapnya malam, pakaiannya compang-camping. rambut berantakan, kakinya berdarah karena wanita tersebut tidak menggunakan alas kaki. Sekuat tenaga dia berlari, namun kekuatannya tidak cukup kuat untuk melawan pria berjumlah lima orang. Saat dia mencari jalan keluar, seorang pria bernama Alex menangkapnya. Dia meronta, namun pria itu malah menghempaskan tubuhnya ke dinding. Kelima pria tersebut tertawa melihatnya, wanita itu mundur perlahan. "Bagaimana Alea? Masih sanggup untuk memuaskan kami?" tanya seorang pria bernama Tom. "Jangan! Kumohon, biarkan aku pergi!" Alea memohon, suaranya serak. "Tolong aku, Adam! Kenapa kau seperti ini?" tanya Alea sembari merangkul kaki Adam. Namun lelaki itu malah mendorong tubuhnya. Seringaian licik terpancar dari wajah kelima pria tersebut. Adam mendekati Alea lalu menarik rambutnya, merobek baju Alea hingga membuat penutup bra-nya terlihat. Dia meronta namun Adam malah menamparnya. Dia diperkosa secara bergiliran oleh kelima orang tersebut tanpa belas kasihan. Mereka memperlakukannya seperti binatang, entah kesalahan apa yang telah dibuat Alea? Jiwa dan raganya sakit, hatinya hancur terlebih lagi yang melakukan semua ini adalah calon suaminya. Hanya rintihan kesakitan yang diucapkan oleh Alea, tubuhnya sudah tidak berdaya. "Aileen, Aileen, Aileen....!" "Alea...." Ana terbangun dari mimpi buruknya, mimpi yang lagi-lagi datang secara berulang kali. Mimpi itu terus memperlihatkan rentetan kejadian yang dialami kakaknya. Entah apa maksud dari mimpi itu? Dia mengambil obat di laci meja tepat di samping tempat tidur, Benzodiazepin. Setelah meminum obat tersebut Ana kembali berbaring. Dia menatap langit kamarnya. "Aku sudah membalaskan kesakitanmu. Tapi, kenapa mimpi itu terus datang menghantuiku?" ucapnya, lagi-lagi air matanya lolos. Sedetik kemudian, dia kembali memejamkan matanya. Ana memasuki sebuah restoran Anticafe Montreal, dengan konsep ala rumahan membuat siapa pun yang mengunjungi tempat ini akan merasa nyaman. Hari ini, Ana ingin bertemu Dokter Ray. Sesuai kesepakatan, Mereka bertemu jam empat sore. Terlihat Dokter Ray sedang menunggu di pojok dekat jendela. Jika biasanya Dokter Ray selalu menggunakan baju yang formal. Namun sekarang terlihat berbeda, Dokter Ray hanya menggunakan kaos putih yang sangat pas di tubuhnya, kaos itu menampakkan bentuk tubuh kekarnya dan di bagian bawah hanya menggunakan celana pendek berwarna hitam senada dengan sneakers-nya. "Sudah lama menunggu, Ray?" tanya Ana saat berada di depan Ray. "Duduklah dulu, Ana!" Ana duduk berhadapan dengan Dokter Ray namun sebelum itu, dia sempat memperhatikan Dokter Ray dari ujung kepala sampai kaki. "Kau terlihat tampan, Ray! Apa hari ini kau berhasil mengencani seorang wanita?" puji Alea membuat Dokter Ray cekikikan. "Tentu, Aku berhasil mengencani duplikat Azalea!" ucapnya sembari tersenyum ke arah Ana. "Duplikat Azalea?" tanya Ana bingung. "Maksudmu?" tambahnya. Ray mengangguk. "Aileen Nathania Winata! Wanita yang sedang kukencani sekarang!" tegas Dokter Ray. Ana yang mendengar perkataan Dokter Ray hanya bisa mendengus kesal. "Dasar dokter genit!" Dokter Ray tertawa mendengar penuturan Ana. Lalu tiba-tiba raut wajah Dokter Ray berubah menjadi serius. "Ana, aku ingin meminta bantuanmu! Itulah kenapa aku mengundangmu kesini." ucapnya to the point. "Bantuan?" tanyanya. Dokter Ray menyodorkan amplop pada Ana, dengan hati-hati dia membuka amplop tersebut. Mata Aileen terbelalak saat melihat amplop tersebut. "Apa ini, Ray?" tanya Ana lagi. "Lakukan apa yang kau lihat di amplop itu, Ana!" tegas Ray. Dia mengatur napasnya lalu berkata, "Tidak, aku tidak bisa, Ray!" ucap Ana, membuat keduanya saling menatap. "Terserah saja, Ana! Tapi ingat hidupmu berada di tanganku," ancam Dokter Ray. "Pikirkan baik-baik! Kabari aku secepatnya, Ana." Dokter Ray meninggalkan Ana yang masih terpaku di kursinya. *** Ana sedang berada di ruang pribadinya, dia menatap langit-langit ruangan itu. Sejenak berpikir, masih pantaskah dia disebut manusia? Apakah dia masih memiliki perasaan seorang manusia? Hanya Tuhan dan Ana yang tahu. dia mengambil air lalu bergerak menuju tangga, membuka pintu salah satu ruangan. Setelah masuk, Dia tersenyum menghirup udara segar dari bunga yang berada di ruangan itu. Ana menyiram bunga tersebut dengan Air yang diambilnya tadi. Dia duduk di sebuah kursi yang berada di ruangan tersebut, menatap bunga itu lama. Pandangannya seakan kosong. "Bukankah kebiasaan yang sering kita lakukan akan menjadi hobi?" tanyanya. Seakan dia berbicara dengan bunga tersebut. dia lalu mengambil ponselnya, membuat panggilan pada seseorang. Terdengar suara pria di seberang telpon. "Aku menerima tawaranmu!" ucapnya singkat, lalu mematikan panggilannya. Seringaian licik nampak dari wajah Ana, ujung bibirnya tersungging. dia mengambil pisau kecil yana berada di dekat bunga dan menggores sedikit telapak tangannya. Keluarlah cairan kental segar, dia meneteskannya diatas bunga tersebut. "Aku merindukan bau darah!" Matanya terpejam sesaat, dia meninggalkan ruangan tersebut. Entah apa yang akan dilakukan? Tapi sepertinya gadis itu memang telah berubah. *** Ray tersenyum licik, untuk melenyapkan satu manusia tidak berguna ia tidak perlu mengotori tangannya. Ana bisa melakukannya. Gadis itu bisa ia manfaatkan sesuka hatinya, terlebih ia tahu bahwa membunuh seseorang sudah menjadi candu untuk Ana. Tidak sia-sia Ray mengajari gadis cantik itu untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan sadis. Ia menyukai Ana yang sekarang, gadis memesona tapi bertopeng iblis.  Dering ponsel Ray berbunyi saat ia tengah memikirkan Ana, lelaki itu segera meraih ponselnya di atas nakas, ia menatap lurus saat benda pipih itu menempel di kupingnya.  "Halo." Ia menjawab panggilannya.  "Aku ingin kau membunuh pria tua itu nanti malam." Suara berat menginterupsi dari seberang telpon. Ray menaikkan sebelah sudut bibirnya. "Tenang saja, besok kau akan mendengar berita kematiannya." "Lakukan dengan rapi,  aku tidak ingin ada satu jejakpun yang tertinggal." Ray berdecih. "Jika kau meragukanku, maka cari saja pembunuh yang lain. Aku tidak suka dengan klien yang terlalu banyak bicara." Ucapan Ray begitu tajam.  "Baiklah, aku akan percayakan semua padamu." Ray mematikan panggilannya, sorot matanya tajam. Ia membanting ponselnya ke dinding hingga hancur dan berserakan ke lantai. Lelaki itu sangat marah sekali.  "Sialan! Dia pikir aku ini pesuruh."  Ray meraih gelas yang sudah diisi bir, ia meneguknya hingga tak bersisa lalu kembali membanting gelas itu ke lantai. Ia tertunduk mengambil pecahan gelas, digenggamnya erat pecahan itu hingga darah sear mengalir di tangannya dan menetes ke lantai keramik.  "Haruskah aku melenyapkannya juga setelah pria tua itu?" Author note: Astaga, jahat sekali Dokter Ray, dia sudah mengubah Ana menjadi monster. Hiks, benci akutuh. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Ana sudah sangat kecanduan membunuh, tidak bisakah ia dihentikan. Bagaimana kalau polisi berhasil menangkapnya? Aku tak sanggup. Hadeh.  Maaf lahir dan batin semua. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN