Penolakan

843 Kata
Ketika kita terjatuh, siapa yang akan membantu kita untuk bangkit? Tuhan, karena Tuhan tahu apa yang dibutuhkan hambanya! Devian mendatangi kembali kantor polisi, tujuannya kali ini bertemu langsung dengan George. Ketua tim yang dulu menangani kasus pembunuhan death flower, dia merasa ini saatnya meyakinkan kembali pihak kepolisian bahwa death flower masih hidup. Tentunya dengan bukti yang telah dikumpulkan bersama sahabatnya, Sea Baxter. Sebelumnya, Devian sudah menelpon George untuk meluangkan waktunya dan sesuai kesepakatan mereka akan bertemu pada saat jam makan siang. Dan di sinilah Devian, untuk kedua kalinya Dia menginjakkan kakinya di ruangan George. Karena George ada urusan mendadak jadi lelaki itu harus menunggu, sebuah suara terdengar dari arah pintu memecah keheningan. Devian berbalik, ternyata George telah kembali. "Apa aku membuatmu menunggu, Devian?" tanya George setelah duduk di hadapannya. "Tidak juga!" jawab Devian singkat. "Jadi, ada hal apa sehingga kau datang menemuiku, Dev?" George memperbaiki posisi duduknya. "Mmm... sebelumnya aku ingin meminta maaf atas sikapku tempo hari. Tidak semestinya aku bersikap seperti itu," ucap Devian. "Tidak masalah, aku sudah melupakannya!" balasnya Devian menghela nafasnya, menyodorkan sebuah amplop ke arah George. George menaikkan alisnya, "Bisa kau jelaskan amplop ini, Dev?" "Amplop itu berisi bukti bahwa death flower masih hidup," jelasnya. "Apa yang membuatmu begitu yakin bahwa death flower masih hidup?" tanya George lagi. "Kau akan menemukannya pada amplop itu," jawabnya. George menatap amplop itu lalu mengambilnya, dia pikir George akan membukanya namun pemikirannya salah. George malah menyodorkan kembali amplop itu pada Devian. "Maaf, Devian! Kasus ini sudah ditutup setahun lalu, lagipula pihak kepolisian telah menemukan pelakunya. Saya tahu, kematian Kakakmu begitu menyakitkan tapi kau harus menerima semuanya dengan ikhlas," jelas George lembut. Devian mencoba menenangkan dirinya, kali ini dia harus mengontrol emosinya. "Tak bisakah kau melihatnya terlebih dahulu?" "Bukannya aku tak ingin membacanya, Devian. Tapi tugasku sudah selesai pada kasus ini dan aku tak bisa membantumu," jelasnya. George berdiri dan menepuk bahunya, meninggalkan Devian yang tertunduk lemas. *** Devian tengah duduk sendiri di meja bartender, entah sudah berapa gelas vodka yang diminumnya. Alunan musik klasik menambah pilu di hatinya, tak ada lagi yang bisa dilakukan. Semuanya hanya sia-sia, lalu dari kejauhan terlihat seorang wanita yang sedari tadi memperhatikan Devian. Hatinya iba saat melihat raut wajah sang lelaki, waanita itu mencoba mendekat ke arahnya namun dia malah beranjak pergi dari meja tersebut bahkan keluar dari kafe tersebut. Melihat kondisi Devian yang tak baik, wanita itupun mengikuti langkahnya. Devian yang kacau terdengar meracau dan tidak memperhatikan sebuah batu di hadapannya. Dia tersandung namun dengan sigap wanita yang mengikutinya sedari tadi menariknya sehingga dia tidak terjatuh, tanpa sadar Devian memeluk wanita tersebut dengan erat. Wanita itu kaget dengan perlakuan Devian, jantungnya berdenyut kencang. Suhu tubuhnya terasa panas, dia terdiam. Pelukan Devian begitu nyaman bahkan tak pernah senyaman ini. "Aku gagal! Aku telah berusaha sekuat tenaga tapi aku tetap gagal. Adik macam apa aku ini?" ucap Devian di pelukan Wanita tersebut, airmatanya lolos membasahi pundaknya. Wanita itu meneteskan airmata mendengar ucapan Devian, ada rasa sakit di hatinya saat melihat kondisi Devian yang begitu kacau. Tanpa sadar dia membalas pelukan Devian, lelaki itu makin menenggelamkan wajahnya di bahu sang wanita. "Aku tak tahu apa masalahmu tapi aku yakin kau adalah pria yang kuat," ucapnya. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi namun Devian masih meringkuk di kasur, perlahan-lahan matanya terbuka. Cahaya yang masuk dari celah jendela membuat tidurnya terganggu. Dia mencoba mengumpulkan kesadarannya, meski rasa sakit di kepala begitu menyiksanya. Saat Devian bangun, Dia tersadar bahwa ini bukan kamarnya. Dia lalu menelusuri ruangan tersebut, ini kamar hotel. Tapi bagaimana dirinya bisa berada di hotel? Bukankah semalam dia berada di sebuah kafe? Devian pun segera memakai bajunya dan menuju resepsionis. "Good morning, sir! Can I help You?" tutur seorang resepsionis. "Saya ingin mengecek reservasi kamar 1205!" ucap Devian. "Kalau boleh saya tahu..." "Semalam saya menempati kamar tersebut, tapi kondisi saya kurang baik saat datang ke sini. Jadi saya ingin tahu, Siapa yang membawa saya ke sini." Devian memotong ucapan resepsionis. "Tunggu sebentar, sir! Saya akan mengeceknya dulu. "Reservasi kamar 1205 atas nama Aileen, sir!" ucap Angel. "Boleh saya meminta data, Aileen?" tanya Devian. "Maaf, sir! Kami tidak bisa memberikannya," jawab Angel. "Baiklah, Terima kasih!" ucapnya. Devian lalu meninggalkan hotel tersebut. *** "Selamat, Ana!" ucap Pak Randa sambil menjabat tangan Ana "Terima kasih, pak! Tanpa bantuan pak Randa, Saya tidak mungkin menyelesaikan tugas akhir saya!" ucap Ana. "Persiapkan dirimu, Ana! Bapak ingin kau terlihat berbeda di hari kelulusanmu nanti," katanya sembari menepuk pundak Ana. "Baik, pak!" balasnya. Ana tersenyum begitu bahagia, impian Kakaknya agar dia bisa menyelesaikan gelar doktor studi psikologinya bisa terwujud. Meskipun dia tahu kakaknya sudah tidak ada, namun Ana yakin dari atas sana, sang kakak dapat melihatnya. dia ingin sekali mendatangi makamnya namun niat itu diurungkan. Dia akan mengunjungi kakaknya di hari kelulusannya saja. Benar apa yang dikatakan sang kakak, kadang kita perlu terjatuh berulang kali agar dapat mendapatkan kebahagiaan. Kata-kata itu begitu melekat di pikirannya, Andai saja kakaknya masih hidup. Mungkin hari ini dia akan membuat pesta untuk Ana, namun semua itu hanyalah harapan semata baginya. Sang kakak telah pergi meninggalkannya dalam kesedihan dan kebahagiaan, semuanya melebur menjadi satu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN