kado Untuk Alea

1274 Kata
Seorang wanita menatap dirinya di cermin, dia terlihat begitu cantik dengan balutan dress hitam. Beberapa kali dia memandang penampilannya, semoga saja hari ini benar-benar istimewa untuknya. Wanita itu adalah Aileen Nathania Winata, ini adalah hari kelulusannya. Setelah memperbaiki tatanan rambutnya dan memakai baju wisuda, Ana segera menuju kampusnya. Sesampainya dikampus, pak Randa sudah menyambutnya. Wanita itu memang meminta pak Randa untuk menjadi pendampingnya, meski dia berharap bahwa sang kakaklah yang seharusnya berdiri tepat di sampingnya. "Luar biasa! You are so beautiful, Ana!" puji pak Randa "Thank You, sir!" balasnya. Ana tersenyum sembari menundukkan kepalanya. "Sebaiknya kita masuk sekarang," ucap pak Randa yang diangguki oleh Ana. Acara wisuda kali ini berjalan sangat khidmat, terlihat binar-binar kebahagiaan di wajah para peserta wisuda. Namun tidak dengan Ana, wajahnya terlihat sendu meski dia mencoba untuk tersenyum. Tanpa dia sadari, Protokol menyebut namanya untuk naik k eatas panggung. Wanita itu masih bergeming di tempatnya, entah apa yang dipikirkannya sampai protokol harus menyebut namanya berulang kali. dia tersadar saat panitia wisuda menjemputnya, Ana tersenyum untuk menetralkan suasana. Ternyata dia satu-satunya lulusan terbaik dan lulusan termuda dengan gelar doktor pada studi ilmu psikologi. Setelah mendapatkan penghargaan, dia memberikan kata sambutan. Ana menghela nafasnya saat semua mata tertuju padanya, "Sebelumnya saya ingin meminta maaf, karena saat nama saya disebut. Saya hanya terdiam ditempat, mungkin saya terlalu gugup." Perkataannya memicu gelak tawa orang yang berada di gedung tersebut, semuanya kembali terdiam saat dia mulai berbicara lagi. "Saya ingin berterima kasih pada pembimbing sekaligus pendamping saya hari ini yaitu bapak Randa. Bagi saya, dia adalah panutan, yang selalu memberikan support disaat saya mulai putus asa," ucapnya. Pak Randa tersenyum sembari melambaikan tangan. dia terdiam sesaat, kepalanya ditundukkan, tidak lama Ana menegakkan kepalanya mengarah pada orang-orang yang berada di hadapannya. "Mungkin dari kalian ada yang bertanya, kenapa hari ini saya didampingi pak Randa yang berstatus sebagai dosen psikologi? Saya adalah seorang anak yatim piatu, kedua orangtua saya telah meninggal dunia dalam suatu kecelakaan disaat usia saya baru menginjak lima tahun. Namun hal itu tidak menyebabkan saya kekurangan kasih sayang ataupun materi. Itu semua karena kakak saya yang selalu memberikan banyak cinta dan karena kerja kerasnya saya bisa berdiri di hadapan kalian," jelasnya. "Saya sangat menyayanginya, bahkan sangat bergantung padanya. Namun suatu hari kenyataan pahit merubah kehidupan saya, dia meninggal." Air mata Ana lolos membasahi pipinya. "Saya tidak pernah berpikir, bahwa hari itu adalah hari yang paling menyakitkan. Saya hanya bisa menatap mayatnya, rasanya dunia saya telah berhenti. Saya menatapnya begitu lama, berharap Tuhan akan berbaik hati namun itu hanya harapan semata. Kakak saya telah pergi meninggalkan dunia, mencari kebahagiaan yang lain. Hari itu semangat saya hancur seketika, tak ada lagi yang bisa saya lakukan. Berbulan-bulan terpuruk dalam kesakitan, hingga akhirnya saya bangkit. Saya tahu, percuma saja mengurung diri karena itu tak akan mengembalikan dia bahkan itu hanya akan menghancurkan hidup saya secara perlahan-lahan," jelasnya panjang lebar, Ana mengusap air matanya mencoba menetralkan perasaannya. "Benar bahwa hidup harus terus berjalan meski harus terjatuh berulang kali tapi saya percaya di luar sana dunia begitu indah. Hari ini, sesuai janji saya. Penghargaan ini saya persembahkan untuk Azalea Nathania Winata, kakak kandung Saya." Semua orang bertepuk tangan saat Ana mengakhiri sambutannya, bahkan beberapa orang ikut meneteskan air mata. Setelah acara wisuda selesai, banyak mahasiswa dan para wisuda meminta foto bersama Ana. Tentu dia tidak menolak, malah sangat senang dengan permintaan para temannya. dia juga memberi motivasi pada temannya untuk tidak berputus asa. "Ana, ada sesuatu hal yang ingin bapak bicarakan padamu," ucap pak Randa. Keduanya pun terduduk disuatu taman kampus. "Bapak tahu potensi kamu dari awal, Ana. Meskipun kau tak melanjutkan studimu sekali pun, kau tetap bisa menjadi orang hebat," tambahnya. "Makasih, pak!" "Bapak hanya ingin kemampuanmu itu tidak jatuh pada orang yang salah maka dari itu bapak ingin menawarimu beberapa perusahaan. Dan bapak pikir ini adalah waktu yang tepat," ujar pak Randa. Ana tersenyum, "Saya sangat berterimakasih pada bapak! Karena selama ini selalu mendukung saya. Tapi mungkin, saya tak bisa menerima tawaran pak Randa. Saat ini saya ingin beristirahat dulu dari segala aktivitas, saya ingin ke suatu tempat untuk menenangkan diri." Raut wajah pak Randa terlihat kecewa dengan penolakan Ana, namun ini adalah keputusannya. pak Randa harus menerimanya meski dia berharap jika anak didiknya itu mau menerima salah satu perusahaan yang ditawarinya. "Bapak mengerti, Ana! Tapi jika suatu saat kau menginginkan pekerjaan. Kau bisa menghubungiku," ucap pak Randa. "Tentu, pak!" "Pak Randa, sepertinya saya harus pergi." Ana berdiri dari tempat duduknya yang diikuti oleh pak Randa "Silakan, Ana!" Dia pun berjabat tangan dengan pak Randa sambil memeluknya, mungkin setelah ini. Dia takkan bisa bertemu pak Randa lagi. Setelah melepaskan pelukannya, Ana lalu melangkah pergi. "Ana..." panggil pak Randa. Ana menoleh, "Iya,pak Randa!" "Meski nanti dunia tertutupi oleh kegelapan, ingat! Selalu ada cahaya terang, tepat berada di hatimu yang paling dalam dan satu cahaya itu akan menerangi jalanmu," kata pak Randa. Ana menaikkan jempolnya sebagai jawaban. "Hati-hati, Ana!" tambahnya. *** Ana memasuki sebuah area pemakaman, terlihat pemandangan rumput hijau di setiap gundukan tanah. Di sinilah kakaknya terbaring dengan damai, dia berjongkok mengusap nisan sang kakak. Kemudian memeluk nisan itu layaknya sedang bersandar. "Aku merindukanmu, Alea!" ucapnya. "Alea, aku membawakan kado untukmu." Ana mengambil kotak yang berada di dekatnya, membuka penutup kado itu. "Piala dan medali ini adalah kado untukmu! Bukankah kau sangat menginginkan ini?" ucapnya, sebuah senyuman terukir di bibirnya, tak lama senyuman itu memudar. Wajahnya begitu sendu. "Selamat ulang tahun, Alea!" ucapnya sembari mengusap air matanya. "Maafkan, aku! Aku tidak bisa menepati janjiku untuk menjagamu, aku tidak bisa menolongmu saat kau berteriak kesakitan bahkan tidak bisa membuatmu untuk tetap bertahan." Ana menunduk, air matanya terus lolos. Entah sudah berapa banyak air mata yang dia keluarkan, meski dia mencoba terlihat kuat tapi hatinya tak bisa dibohongi. "Kenapa Kkau meninggalkanku, Alea? Kenapa harus kau yang mengalami kesakitan ini? Kenapa bukan aku saja?" tanya Ana. "Aku tidak pernah berpikir bahwa kau akan meninggalkanku seperti ini, Apa kau pikir semudah itu melupakan rasa sakit ini? Kau bohong, Alea! Kau, berbohong!" Ana memukul gundukan tanah itu, tubuhnya begitu lemah tak berdaya. "Kau bilang semuanya akan baik-baik saja setelah kepergianmu tapi kau lihat diriku ini, aku seorang monster, Alea! Adikmu seorang pembunuh!" cacinya sendiri. "Jika kau bertanya, apa aku bisa menghentikan tangan ini untuk tidak membunuh? Jawabannya, tidak! Aku tidak bisa berhenti, Alea. Meski aku sangat menginginkannya." Tangisan Ana begitu memilukan, dia terlihat seperti iblis ketika membunuh namun di balik dari sisi gelapnya, hatinya begitu rapuh. Salah satu cara bertahan hidup baginya, hanyalah membunuh orang-orang yang dianggapnya pantas mati. *** Devian sedang menyesap kopinya, cuaca pagi ini begitu dingin. Jaket yang dikenakannya begitu tebal tapi hawa dingin masih bisa menembus kulitnya, dia berjalan ke arah jendela. Embun di kaca menutupi pemandangan kota. Pikirannya terus teringat pada satu nama, yang berhasil menculik perhatiannya. Dia sangat ingin menemui wanita itu, banyak hal yang ingin Devian tanyakan. Salah satunya adalah, apakah malam itu mereka tidur bersama? Devian takut jika pikirannya itu benar. Dia menggelengkan kepalanya, semoga pikirannya salah tapi apa yang terjadi saat seorang lelaki dalam keadaan mabuk memasuki sebuah kamar hotel bersama dengan wanita. "Aku harus mencari wanita itu, tapi bagaimana caranya?" Dia mengacak rambutnya frustasi. "Wanita siapa?" Suara khas bangun tidur, membuat Devian berbalik. "Wanita?" tanya Devian balik. "Iya, tadi kau bilang ingin mencari seorang wanita!" jawab Sea. Devian terdiam, Dia tak ingin Sea tahu. Bukan pada wanita itu tapi kejadian malam itu. "Mandilah, Sea! Baumu tidak mengenakan," ejeknya. Devian mengalihkan pembicaraannya agar Sea tak bertanya lagi. "Benarkah?" Sea mencium bau tubuhnya sendiri. "Kau benar, sepertinya aku harus mandi," ucap Sea lalu melenggang pergi. Devian mengelus dadanya. Author note: Ana itu sayang banget sama kakaknya. Sampai rela jadi pembunuh demi balas dendam. Sayangnya ia menjadi candu. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN