Ana mengetuk pintu sebuah rumah, sudah berapa kali dia memanggil pemilik rumah. Namun tidak ada jawaban dari dalam, entah kemana pemilik rumah itu. Dia mengambil ponselnya dari kantong celana, lalu mendial nomor pemilik rumah. Tak ada jawaban namun terdengar nada dering telpon dari dalam.
Itu artinya sang pemilik sedang tidak di rumah, mungkin saja ponselnya ketinggalan. Namun di saat Ana ingin pergi dari tempat itu. Gadis itu melihat sebuah pintu di halaman samping, dia mendekati pintu tersebut dan ternyata pintunya terbuka. Ada Sebuah tangga menuju ruang bawah tanah, Ana yang begitu penasaran kemudian masuk kedalam ruang bawah tanah dengan melewati lorong yang sangat gelap.
Dia menyalakan ponselnya sebagai penerang jalan. Lorong ini tidak terawat terlihat dari sarang laba-laba yang mengantung di tiang-tiang kayu lorong itu. Semakin dia melangkah jauh semakin terlihat satu celah cahaya, dengan semangat Ana semakin mengikuti arah cahaya itu. dia berdiri di depan pintu ruangan, di mana cahaya tersebut bersumber. Lama dia berpikir untuk masuk ke ruangan tersebut.
Akhirnya karena rasa penasaran yang terus menghinggapi dirinya, dia pun membuka perlahan-lahan pintu ruangan. Betapa kagetnya dengan apa yang dilihatnya. Ruangan ini begitu menyeramkan, gadis itu membelalakkan mata dan membekap mulutnya. Tidak percaya akan semua, berbagai benda tajam terdapat di ruangan ini bahkan yang sangat mengerikan, kepala manusia yang tergantung di salah satu tiang penyangga.
Lalu dari arah luar terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke ruangan tersebut, dengan cepat dia bersembunyi di belakang lemari. Ana mencoba menenangkan pikirannya, mengatur napasnya agar tak terdengar sama sekali. Sebuah sugesti diucapkan pada dirinya sendiri.
"Tenangkan dirimu, Ana! Apapun yang kau lihat atau kau dengar itu hanyalah tipuan belaka," ucapnya pelan.
Ana mengintip di balik lemari, ada dokter Ray dan seorang wanita cantik. wanita tersebut penuh dengan luka memar, pakaiannya sudah tak berbentuk. dia meneteskan air mata, wanita itu mengingatkannya dengan kakaknya. Kondisinya sama dengan apa yang telah dialami oleh sang kakak. Dokter Ray mengikat kedua kaki dan tangan wanita yang sudah tak berdaya.
"Sarah yang malang! Gadis bodoh yang menyusahkan," umpat dokter Ray sembari menarik rambut Sarah ke belakang. Sarah hanya bisa meringis kesakitan.
"Bagaimana kalau kita bermain dulu, Sarah?" tanya dokter Ray sembari mengusap kepala Sarah.
Ana masih tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi? Apa ini jawaban dari pertanyaannya selama ini tentang dokter Ray.
"Kumohon, dok! Lepaskan Saya!" Sarah memohon pada dokter Ray.
Tanpa berkata apa-apa seringaian licik nampak jelas terlihat di raut wajah dokter Ray, lelaki itu Nampak melepaskan pakaian Sarah satu persatu hingga terpampanglah tubuh polos Sarah. Wanita itu hanya bisa meraung dan menangis, namun percuma dokter Ray tak ada niat untuk menggubrisnya.
Ana yang melihat kelakuan Dokter Ray geram, ingin sekali dia melepaskan Sarah namun saat ini bukan hal yang tepat untuk dilakukan. dia memegang dadanya saat melihat dokter Ray memperlakukan Sarah dengan tidak senonoh, beberapa kali dokter Ray mengerang sensasi kenikmatan saat tubuh bagian bawahnya masuk ke bagian inti Sarah. Semakin dalam hingga membuat Sarah kesakitan.
Ana menutup telinganya dan memejamkan matanya, sungguh dalam hatinya , dia berteriak. Kenapa hidup ini begitu kejam? Apakah seorang wanita yang terlahir hanya untuk menjadi pemuas lelaki? Kalian terlahir dari rahim seorang wanita tapi dengan teganya kalian menjadikkan wanita sebagai b***k nafsu kalian.
Beginikah kesakitan yang dialami oleh sang kakak? Pikirnya. Sebuah teriakan membuat Ana membuka matanya. Lagi-lagi dia membekap mulutnya. Setelah memperkosa Sarah, dokter Ray kembali menyiksanya. Dokter Ray menyayat paha Sarah perlahan-lahan. Membuat sayatan zig-zag, wanita itu hanya bisa meringis kesakitan.
Kemudian dokter Ray beralih ke p******a Sarah, pisau itu mengiris payudaranya. Ana memejamkan matanya, sungguh dia tak sanggup melihatnya. Bukannya dia takut tapi hatinya sakit, saat salah seorang dari kaumnya diperlakukan tidak manusiawi. Tak berapa lama dia memejamkan matanya, sebuah teriakan panjang membuatnya mengepalkan tangan. Dia tahu apa yang terjadi pada Sarah, gadis itu menahan air matanya agar tak lolos. Namun tetap saja air mata itu membasahi pipinya.
"Bagaimana rasanya mendapat kenikmatan sekaligus kesakitan, Sarah?" Dokter Ray bertanya pada mayat Sarah. Tentu, pertanyaan itu hanya sebuah ejekan.
"Beginilah akibatnya jika kau terlalu banyak tahu," ucapnya sarkastik.
"Seperti miss Julie, yang mati mengenaskan. Kalian memang pantas mendapatkannya," ucapnya santai. Bibir dokter Ray tersungging.
Ana yang mendengar semua ucapan dokter Ray diam terpaku, tak ada kata yang mampu diucapkan. Bahkan tubuhnya terasa mati, ini tidak mungkin. Pendengarannya pasti salah, Tidak! Batinnya berteriak. Dia tak percaya, ini semua perbuatan dokter Ray. Siapa sebenarnya dokter Ray? Pertanyaan itu terus memenuhi otaknya.
Setelah kepergian dokter Ray dari tempat itu, Ana langsung mendekati mayat Sarah.
"Maafkan Aku, Sarah!" ucapnya sambil menunduk.
Dia membuka laci meja yang berada tepat di belakang mayat Sarah. Mengambil beberapa berkas dari laci tersebut, dia sempat melihat dokter Ray membuka laci dan menyimpan sesuatu, mungkin dia bisa menemukan sesuatu pada berkas tersebut. Setelah itu dia segera pergi dari tempat tersebut, gadis itu menoleh sebentar pada mayat Sarah. Matanya memancarkan kesedihan, Ana menatap kosong mayat Sarah yang sudah terbujur kaku.
"Benar! Kematian adalah salah satu cara untuk mengakhiri segalanya," ucapnya. Ana tersenyum namun senyuman itu tak sampai ke mata. Senyuman yang begitu mematikan.
***
Ana terbangun dari tidurnya, kepalanya begitu sakit. dia melihat sekelilingnya, bukankah ini ruangan itu? Begitu batinnya. dia mencoba mengingat kejadian sebelum dirinya berada di ruangan dokter Ray. Sebelumnya dokter Ray mengajaknya untuk bertemu di sebuah kafe, namun setelah meminum soft drink yang dipesannya. Tiba-tiba kepalanya begitu sakit, dan selebihnya tidak ada lagi yang dia ingat.
"Kau sudah bangun, Aileen?" Terdengar suara dokter Ray dari sebuah tirai yang berada tepat di samping Ana.
"Apa yang kau lakukan padaku, Ray?" tanya Ana balik.
"Menyebalkan, Bukankah kau pintar, Aileen? Kau pasti tahu apa yang akan kulakukan," ucapnya sarkastik.
Ana mencoba mengontrol emosinya, dia tak boleh melawan. Karena ini akan berbahaya untuknya, dia harus bersikap lembut agar dokter Ray mau melepaskannya.
"Aku tak mengerti, Ray. Apa maksudmu?" tutur Ana lembut.
Dokter Ray mencengkram dagu Ana, "Kau pikir, aku bodoh! Jangan berpura-pura, Aileen!"
Ana meronta membuat cengkraman Dokter Ray terlepas, "Kau menjebakku, Berengsek!" teriaknya.
"Hahaha! Dasar wanita, bodoh! Kau tak akan bisa menandingiku, Aileen. Bahkan bukan aku yang akan mati tapi kau," bisiknya di telinga Ana.
Ana geram mendengar perkataan dokter Ray. Dia mencoba melepas ikatan di tangannya namun ikatan itu begitu kuat.
"Lepaskan, aku!" teriaknya, dokter Ray hanya tersungging.
"Aku akan melepaskanmu. Jika kau bersedia memuaskanku Aileen, sayang!" ucap dokter Ray sembari mengelus pipi Ana. Membuat sang gadis geram dan meludahi dokter Ray.
Cih...
"Aku tidak akan sudi memberikan tubuhku, meskipun aku harus mati."
"Wow, ternyata sekarang kau lebih dari apa yang kupikirkan! Menarik sekali," timpalnya.
Dokter Ray lalu mengambil pisau kecil dan mendekati Ana.
"Jika kau berani menyentuhku, akan kupastikan kau tidak akan melihat dunia lagi." Ana mengancam dokter Ray, lelaki itu tertawa.
"Oh yah, Aileen Nathania Winata ingin melenyapkanku," ejek Dokter Ray.
Pisau itu menyentuh kulit tangan Ana dan berhasil membuat darahnya keluar, dia berusaha menahan rasa sakit. dia tak boleh lemah. Percuma saja pendidikannya jurusan psikologi jika Ana tak tahu mengatasi psikopat seperti dokter Ray. Dia tahu semakin dirinya berteriak makalelaki itu semakin menyukainya.
"Kenapa kau tidak berteriak, Aileen?" Raut Wajah Dokter Ray terlihat menahan kemarahan.
"Hahaha, sepertinya kau lupa, dokter Ray! Aku sama sepertimu," tantangnya.
Perkataan Ana seperti mengejek dokter Ray sehingga sang lelaki merasa terhina. Dokter Ray kembali menyayat tangan Ana namun tetap saja tidak ada erangan kesakitan yang ditunjukkan olehnya.
"Aku pikir seorang guru lebih pintar dari muridnya! Ternyata aku salah, hahaha!" ejek Ana lagi, Dokter Ray yang menahan amarahnya kembali mencengkram dagu Ana.
"Kau menghinaku, Berengsek!
"Tapi aku yakin jika kau mendengar ini, kupastikan seorang Aileen akan mengeluarkan rasa sakitnya," ucap dokter Ray sarkastik.
"Dengarkan baik-baik, Aileen! Kau harus tahu siapa sebenarnya penyebab kematian kakak tercintamu," ucap dokter Ray, Ana mengerang.
"Akulah yang membuat kakakmu diperkosa oleh kelima pemuda yang salah satunya adalah calon suami Alea." Ana membelalakkan matanya mendengar ucapan dokter Ray.
"Karena kakakmu yang jalang itu lebih memilih pria lain dibanding diriku yang begitu mencintainya," teriaknya.
Ana menendang dokter Ray yang membuatnya terpental ke lantai.
"Berengsek, kau! Aku akan membunuhmu, Ray! Akan kubunuh kau." Ana berteriak, air matanya menetes.
Dia tak pernah menyangka, jika orang yang selama ini dia anggap sebagai pengganti kakaknya ternyata seorang iblis. Ana kembali mencoba melepaskan ikatannya namun dia terjatuh ke lantai bersama kursinya.
"Kau pikir itu akan berhasil, Aileen? Sudah kubilang, kau tidak akan bisa menandingiku," ucap dokter Ray.
"Kau gila, Ray!" teriak Ana.
Wajah dokter Ray berubah, gadis itu telah menghinanya. Dia tak bisa membiarkan Ana hidup, dia tahu Ana bukan tipikal orang yang mudah menyerah. Dokter Ray mendekati Ana, dan mengambil sebuah besi.
"Selamat tinggal, Aileen!" ucap Ray dengan seringaian licik.
"Arrrrr..."
Teriakan dari ruangan itu terdengar begitu jelas, setelah itu tak ada suara lagi.
Author note:
Sialan Dokter Ray. Ana dibunuh Dokter Ray? Juga dia ngebunuh Miss Julie