Pada masanya, dua dunia hidup secara berdampingan. Sebab makhluk dunia gaib memiliki kelebihan-kelebihan di luar nalar seorang manusia dan mampu melihat kehidupan alam fana meskipun alam gaibnya sendiri tak dapat dilihat oleh manusia, maka banyak sekali orang bersekutu dengan mereka untuk mendapatkan sebuah tujuan. Akan tetapi, lain halnya dengan manusia berilmu tinggi seperti Raja Danasura. Dia mampu untuk menundukkan makhluk gaib yang disebut lelembut. Sampai-sampai, dia mampu membuat para lelembut membantunya dalam segala hal,termasuk memberikan materi apabila Tanah Manbara dilanda kepailitan. Itulah sebabnya, sekalipun panen atau ternak gagal, rakyat Manbara tetap sejahtera.
⁂
"Aku hanya tidak sengaja membaca mantra dalam kitab yang disusun oleh Rama," ungkap Babad.
Lunara perlahan mengembangkan senyum, nampak mengerikan. Pantas, lelaki yang ada di hadapannya ini begitu awam. Ternyata, dia hanya tak sengaja mengucap mantra untuk masuk ke alam gaib. Untung saja, dia bertemu dengan Lunara. Kalau tidak, orang biasa sepertinya mungkin akan menjadi tumbal kerajaan. Tak peduli meskipun anak seorang Raja Danasura. Di mata lelembut, seseorang dilihat dari ilmunya.
"Jadi … kau tidak punya tujuan? Ah, maksudku, biasanya seorang manusia yang datang ke alam gaib selalu meminta sesuatu."
"Meminta sesuatu? Apakah kau yakin bisa mengabulkannya?" Babad memandang penuh harap kepada Lunara.
Sementara itu, tawa lunara pecah. Dia berkata, "Engkau meragukan kekuatan seorang lelembut?"
"Bukan begitu. Maksudku …" Babad menghentikan kalimatnya. Dia ragu untuk meminta jabatan seorang raja kepada sosok lelembut ini. Pasalnya, selalu ada persembahan setara untuk hal yang diminta. Apalagi, dia bukan seorang yang memiliki ilmu tinggi. Seorang lelembut tidak akan memberikannya secara percuma.
"Kenapa kau berbicara dalam hati? Apa kau lupa, kalau aku bisa membaca pikiranmu?" Lunara tersenyum miring. Dia nampak sedang meledek keinginan Babad.
"Ya. Aku lupa." Babad membenarkannya. Dia merasa canggung sesaat, posisinya benar-benar tersudut. "Jadi, apa kamu bisa mewujudkan keinginanku untuk menjadi raja di Tanah Manbara?"
Lunara menatap Babad dengan pandangan menyilaukan. Hal tersebut jelas membuat lelaki di hadapannya merasa tak nyaman, sampai mencoba untuk menghindari terjadinya kontak mata. Sebenarnya, apa yang tengah dipikirkan oleh Lunara?
Babad Guntara, batin Lunara. Kalau dilihat-lihat, garis wajahnya memang menunjukkan sosok Raja Danasura. Meskipun ilmunya tak sehebat ayahnya, akan tetapi, hal tersebut menjadi sebuah keuntungan bagi Lunara. Dia datang tepat memberi jawaban bagi kebimbangannya.
"Apa yang akan kau berikan jika aku mengabulkan harapanmu?" tanya Lunara. Dia sebenarnya sudah tahu jawaban dari Babad. Dia juga sudah mempersiapkan persyaratan yang akan diberikan tatkala jawaban itu sudah terucap.
"A—apapun." Babad gelagapan, dia tak punya keberdayaan menghadapi makhluk seperti Lunara.
'Payah. Benar-benar seperti manusia biasa lainnya,' batin Lunara.
"Kalau begitu … bagaimana kalau aku yang menjadi pendampingmu nanti?" ungkap Lunara memberikan persyaratannya.
Wajah Babad tetiba berubah pucat mendengar permintaan Lunara.
"Bagaimana?" Lunara kembali melontarkan pertanyaan karena tak kunjung mendengar jawaban dari Babad.
"Kita berbeda alam 'kan?" Sebenarnya, Babad ingin menolak persyaratan tersebut.
"Memangnya kenapa? Katakan saja jika engkau keberatan dengan persyaratan yang kuajukan," ungkap Lunara.
Babad menghela napas, kekesalan mulai bersarang di benaknya. Dia berkata, "Kau bisa membaca pikiranku. Jelas kau tahu bahwa aku memang keberatan. Jika diperbolehkan, izinkan aku untuk memikirkan ulang persyaratan yang kau berikan."
"Tidak. Aku ingin mendengar jawabannya sekarang. Kalau memang kau tidak mau, maka carilah jalan pulang sendiri." Lunara berbalik badan.
"Tu-tunggu! Tadi, kau bilang bisa membantuku untuk kembali ke dunia fana, 'kan?"
Angin kencang kemudian berembus. Lunara kembali berbalik dengan kemurkaannya. Bisa-bisanya, manusia berilmu rendah seperti Babad meminta sesuatu tanpa memeberikan sebuah pertukaran setara.
"Kau sudah menolak untuk bersekutu denganku. Berani-beraninya kau masih meminta pertolonganku!" Suara Lunara memantul di udara. Dia mengembuskan angin berbalik arah dengan tangannya, hingga kemudian menyerang tubuh Babad terjatuh.
Babad kehilangan suara dan dadanya terasa sakit. Dia tak henti terbatuk-batuk sampai mengeluarkan darah.
"Manusia biasa yang datang ke alam ini tak akan bisa kembali ke alam fana, jika kau tak sanggup memberikan sesuatu sebagai pertukaran. Kalau kau tak ingin menjadi b***k, maka kau akan mati di tangan kami. Sekarang kau pilih, mati di tanganku atau menunggu para prajurit Lembahiyang menemukanmu dan menjadikan dirimu sebagai budak." Mata Lunara mulai menyala merah, di telapak tangannya mulai muncul gumpalan cahaya.
"Ampun … ampun Lunara. Aku mohon, aku akan menerima persyaratanmu. Aku akan menjadikanmu permaisuri, jika kau mengembalikanku ke dunia fana dan menjadikanku raja."
Mata merah Lunara mulai luruh. Begitu juga dengan cahaya yang ada di telapak tangannya. Dia mulai tersenyum mendengar kesediaan Babad menjadikannya seorang permaisuri. Sebenarnya, dia tengah dilanda kesedihan sekarang ini. Pasalnya, sebagai anak sulung dari pemimpin Kerajaan Lembahiyang, dia tidak bisa mewarisi takhta. Sebab, dia adalah seorang perempuan. Namun, kedatangan Babad membuatnya sedikit menemukan jalan. Karena dia akan menjadi seorang ratu di Tanah Manbara.
"Bagus. Kenapa harus memancing amarahku dulu untuk menyetujui persyaratannya? Membuang waktu saja."
"Lunara …" Babad berdiri sambil memegang bagian tubuhnya yang sakit. "Tapi, Rakanda Agastya pewaris takhta mempunyai ilmu yang tak kalah hebat seperti Rama," ungkapnya menyambung kalimat.
"Sehebat apa dia?"
⁂
Perayaan belum usai. Pangeran Agastya dan Putri Ratnadewi tengah duduk di kursi pelaminan. Mereka menikmati pagelaran seni yang memeriahkan acara perkawinan. Namun, dalam suasana penuh suka cita, ada seseorang tengah gundah gulana. Mimik wajahnya tak usai menunjukkan kegelisahan. Atau mungkin, sebenarnya dia tengah bersedih melepas anak perempuannya. Sebab saat perayaan usai, maka anak gadis yang kini sudah dipinang seorang pangeran harus meninggalkan Tanah Sankara.
"Pangeran, hamba memohon izin untuk pergi ke belakang sesaat," ucap Ratnadewi yang melihat ayahnya berlalu dari tengah-tengah perayaan.
"Silahkan, Putri." Agastya tetap duduk di kursi pelaminan sementara sang putri berlalu bersama para dayang meninggalkannya.
Putri Ratnadewi tak kuasa menahan air mata. Cinta yang pada awalnya selalu mengundang kebahagiaan berubah menjadi kesedihan, manakala ingat bahwa setiap sudut di istana Sankara menyimpan banyak kenangan. Kakinya mulai berjalan cepat sampai kemudian berlari. Dayang-dayang di belakangnya pun terkejut dan mengejarnya.
"Putri … putri, ada apa?" teriak mereka bersahutan.
Brukkk. Ratnadewi mendorong pintu dari bilik ayahnya.
"Rama …" Tersedu Ratnadewi memanggil, kaki pun melangkah dengan sendirinya. Hingga kemudian tubuh terjatuh dalam rangkulan ayahnya. Mereka berdua sama-sama menangis. Para dayang berhenti di depan pintu menyaksikan suasana haru di antara mereka berdua.
"Jangan menjatuhkan wibawaku, Nanda." Tranggana, seorang raja di Tanah Sankara, melepas rangkulan Ratnadewi. Dia menghapus air mata lalu mengusap pundak putrinya berkali-kali. "Tunggu!" ucapnya melangkah, meninggalkan putrinya sesaat. Dia menghampiri para dayang yang masih berdiri di depan pintu. "Kalian kembalilah," perintah Raja Tranggana sembari menutup pintu.
"Rama, ada apa sebenarnya?" tanya Ratnadewi. Firasatnya berkata, jika ada kegelisahan bersarang dalam hatinya, selain daripada kesedihan.
"Ananda Ratnadewi …" Raja Tranggana berpaling. Dia menyuarakan kesenduan dalam ucapannya. "Entah mengapa, rama merasakan firasat buruk terhadapmu."
Ratnadewi terdiam, mengapa tiba-tiba ayahnya berfirasat demikian? Padahal sebelumnya, dia begitu bersemangat menyambut hari ini. Sebab, pernikahannya dengan Agastya merupakan keinginan Raja Danasura, sahabat terbaiknya sejak lama.
"Rama, engkau tak perlu khawatir. Bukankah selain dari seorang pangeran, Agastya juga pendekar hebat yang sudah membantu ayahnya melumpuhkan banyak kerajaan," ungkap Ratnadewi menciptakan suasana kedamaian.
"Entahlah, putriku …" kegelisahan Raja Tranggana tak mudah luntur.
"Engkau pernah bercerita kepadaku, bahwa keturunan kita selalu dilindungi oleh leluhur. Maka, aku bersumpah bahwa leluhur akan selalu mendampingi kami, Rama." Suara guntur bergemuruh di langit cerah. Sumpah dari Putri Ratnadewi terdengar oleh langit.
⁂
"Apa gerangan yang terjadi, Lunara?" Babad yang sudah kembali berada di dunia fana terkejut dengan suasana alam. Dia pikir, alam bersikap demikian karena kedatangannya kembali ke dunia fana bersama Lunara. Mereka sekarang ini tengah berada di pekarangan istana Sankara, memerhatikan Agastya dari kejauhan. Dengan sihir Lunara, mereka tak nampak di mata telanjang seorang manusia.
"Itukah Rakandamu?" Lunara juga tak menyadari kalo suasana alam demikian karena sebuah sumpah. Bukannya menjawab pertanyaan Babad, dia malah melontarkan sebuah tanya.
"Ya. Dia Rakanda Agastya. Putra mahkota Tanah Manbara," ungkap Babad kesal.
Lunara terdiam cukup lama. Dia melihat bahwa ada sebuah ajian melindungi Agastya. Meskipun ilmunya tak setinggi Raja Danasura, akan tetapi, Agastya jelas bukan orang sembarangan. Sehingga dia harus menerawang terlebih dahulu, sihir apa yang tepat untuk menyerangnya.
Tak lama, Ratnadewi kembali ke kursi pelaminan. Dari perempuan itu, Lunara sepertinya menemukan sebuah celah. Entah mengapa, aura darinya memancarkan bayangan masa lalu. Sosok manusia berbeda dari keturunan tanah Manbara atau sankara.
"Aku mempunyai sebuah siasat," ungkap Lunara.
.
.
.
Bersambung