Bagian 2. Peninggalan Raja Danasura

1598 Kata
Asmara tengah tumbuh di Tanah Manbara dan Sankara. Dalam perihal cinta, tidak perlu alasan lebih meskipun sebuah hubungan terjalin dari sebuah perjodohan. Buktinya, Pangeran Agastya dan Putri Ratnadewi sudah saling menautkan hati, tepatnya setelah kedua bola mata mereka berjumpa pada pandangan pertama. Sebab satu alasan penting, perkawinan antara pangeran dan putri harus segera dilangsungkan. Hal ini menyangkut penobatan Pangeran Agastya menjadi seorang raja baru. Dia tak bisa menjadi seorang raja tanpa permaisuri. Sehingga tak lama setelah pertemuan, mereka melangsungkan upacara sakral. ⁂ "Pangeran, apakah anda sudah siap?" Kahil memasuki bilik Agastya usai para dayang selesai merapikan penampilannya. Agastya terdiam. Dia urung berbalik badan menyambut kedatangan pamannya. Ada sebuah tanya begitu mengganggu pikirannya. Dia pun perlahan menarik napas, mengambil ancang-ancang untuk melontarkannya kepada sang paman. "Paman, ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu," ungkapnya masih belum berbalik badan. "Pertanyaan apa itu, Pangeran?" "Jawablah dengan sungguh-sungguh." Agastya kemudian berbalik badan menghadap Kahil. Perawakan dan tatapan matanya yang tajam seolah menampakkan sosok Raja Danasura kembali bangkit. Kahil segera menundukkan kepala sebagai tanda hormat. "Paman, angkatlah wajahmu. Aku berdiri di sini sebagai keponakanmu." Agastya tersenyum kecil. Kini, Kahil bisa melihat sosok anak kecil yang dulu sering dimomongnya. "Apa yang ingin engkau tanyakan, keponakanku?" Agastya menundukkan kepala, kedua bola matanya berkata-kaca, dan wajahnya tak dapat menyembunyikan kesenduan. Dia berkata, "Paman, apakah dulu Rama juga harus menelan kesedihannya saat Eyang berpulang kepada Sang Khalik?" "Tentu saja, keponakanku. Saat itu Rakanda Danasura harus mengeringkan air matanya demi rakyat Manbara." Kahil mengikis jarak di antara mereka. Dia mengusap-usap pundak Agastya, memberikan dorongan batin agar lebih kuat menghadapi kenyataan. "Terima kasih, Paman. Itu artinya, aku juga harus mengeringkan air mataku untuk rakyat Manbara." Agastya menguatkan dirinya sendiri. Dia mencoba untuk tegar dan menerima secara perlahan amanat dari ayahnya. "Kalau begitu … paman akan menunggumu di pekarangan istana. Kau boleh menenangkan dirimu terlebih dahulu." "Tidak, Paman. Aku sudah merasa baik. Mari kita berangkat menuju kerajaan Sankara. Aku tidak mau membuat Putri Ratnadewi gelisah menungguku." Nama perempuan itu melukiskan segaris lengkung di bibir Agastya. Mereka berdua pun berjalan bersama menuju pekarangan istana. Namun, Agastya mendapati pemandangan tak mengenakkan. Dia melihat Babad tengah menggoda seorang dayang. Pintu dari bilik yang terbuka sedikit itu langsung tertuju pada ranjang tidurnya. "Pangeran, saya mohon … biarkan. Biarkan saya pergi," ucap dayang itu bernada melas. "Ayolah, Nyai." Babad semakin menarik dayang tersebut dan melampiaskan nafsu berahinya. Agastya menghentikan langkahnya. Dia tak dapat menahan diri untuk mengusap d**a dan menggelengkan kepala. Dia pun segera menyambangi bilik Babad untuk menghentikan tindakan tersebut. Suara tangan yang berulang kali mengetuk pintu jati itu mengagetkan mereka berdua. "Pangeran Agastya." Wajah dari dayang itu mulai meranum. Dia menarik kain samping yang hampir terlepas dari tubuhnya. Kaki jenjang itu berlari kecil menuju pintu dan berkata, "Maafkan saya, Pangeran." "Kembalilah bekerja." Agastya tahu, jikalau dayang itu ketakutan. Dia terlihat gemetar. "Baik, pangeran." Lekaslah dayang itu berlalu dari hadapan mereka. Sementara itu, Babad masih duduk di tepian ranjang tidurnya. Dia pun beranjak mengangkat tubuh, berjalan menghampiri Agastya dan Kahil. "Ada apa kalian berdua kesini?" tanyanya tak bersahabat. "Adikanda … hari ini rakanda akan meminang seorang perempuan. Apa kau tidak bersiap untuk menemani?" Kalimat Agastya membuat gelak tawa pecah dari mulut Babad. "Engkau mempertanyakan hal yang sudah jelas tahu jawabannya, Rakanda. Aku tidak akan menemanimu. Kenapa harus mencari sebuah alasan demi menutupi sikapmu yang sudah mengganggu kebersamaanku dengan salah seorang dayang?" Kedua tangan Babad menarik kedua pintu biliknya. Dia segera menutupnya, mengisyaratkan tindakan pengusiran untuk paman dan juga kakaknya tersebut. "Sudahlah, pangeran. Bukankah, engkau sendiri yang bilang tak ingin membuat Putri Ratnadewi menunggumu?" Kahil kembali mengusap pundak Agastya. Dia menenangkan suasana hati keponakannya yang seolah lelah menghadapi sikap adiknya. "Baik, Paman. Mari!" Kali ini mereka benar-benar melangkahkan kaki menuju pekarangan istana. Kereta kencana sudah berjejer untuk mengantar keberangkatan Pangeran Agastya. Rombongan pun segera memulai perjalanan menuju kerajaan Sankara. ⁂ Babad memandangi kepergian kakaknya dari jendela. Seandainya saja di perjalanan nanti, ada sekawanan perampok yang menghadang mereka. Kemudian kabar duka sampai ke istana bahwa Agastya telah tiada. Namun, angan tersebut tidaklah mungkin. Karena ilmu Agastya sendiri sangat tinggi, bisa dibilang hampir setara seperti ayahnya. Tunggu! Ilmu yang tinggi. Babad memutar pikiran, mungkin saja di bilik ayahnya ada kitab-kitab yang mampu membuatnya bisa mengalahkan Agastya. Dia segera melangkahkan kaki menuju bilik tak berpenghuni bekas ayahnya. Di depan pintu, ada dua penjaga yang tidak mudah memberikan izin kepada Babad memasuki ruangan tersebut. Dia pun mengeluarkan sebuah kantong kecil yang terselip di bajunya, di dalamnya ada sebuah serbuk sihir. 'Nu gaib mawa diri kana impenan, tapi tong mutus tina kanyataan.' Mantra tersebut diucapkan seraya dia meniupkan serbuk itu dari kejauhan kepada para penjaga. Tak butuh waktu lama, kedua penjaga mulai menguap. Hingga akhirnya, mereka terjatuh pingsan. Babad berjalan mengendap-endap, memperhatikan sekitar barangkali ada yang melihatnya. Namun, keadaan sepertinya sudah cukup aman. Dia bergegas memasuki bilik bekas ayahnya. Saat pintu telah ditutup, dia mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan, mencari petunjuk yang bisa menuntunnya mencapai tujuan. "Ya Gusti. Kabulkanlah permintaan anak manusia ini, bukakanlah apa-apa yang tak dapat kulihat secara kasat mata." Babad menempelkan kedua tangan seraya memanjatkan sebuah permohonan. Kedua matanya tertutup, lalu saat membukanya kembali, dia melihat apa-apa yang sebelumnya tak dapat dilihat. Sebenarnya, bukan permohonan Babad yang mudah terkabul. Akan tetapi, sihir yang ditinggalkan Raja Danasura untuk menjaga benda-benda berharganya perlahan mulai melemah. Itu karena si pemilik mantra sudah meninggalkan dunia fana ini. "Rama … aku tidak menyangka bahwa engkau meninggalkan warisan berharga seperti ini." Babad meraba sejengkal demi sejengkal benda-benda milik ayahnya. Mulai dari keris, tombak, panah, kitab-kitab bahkan batu permata merah delima yang mengkilap. "Baiklah, Rama. Sebab wasiat yang engkau berikan tak adil, maka seluruh peninggalan di bilikmu ini menjadi milikku. Bagaimana? Cukup adil 'kan." Babad kemudian memilah benda yang akan dibawanya pertama. Dia tidak mungkin membawa semua benda berharga ini sekaligus. Sebuah kitab bertuliskan tangan ayahnya kemudian menarik perhatian. Dia membuka lembaran-lembaran daun lontar kering berisi susunan mantra. "Tidak salah pilih. Dengan kitab ini, aku bisa menyihir pandangan setiap orang agar tak dapat melihat benda-benda peninggalan Rama," ucap Babad lega. Dia terus membuka lembaran-lembaran tersebut hingga berhenti pada sebuah halaman. Mantra yang tertulis begitu menarik rasa penasaran. Babad terduduk menyila mengikuti petunjuk yang tertulis. Dia merapatkan ibu jari dan jari tengah kedua tangannya, lalu menempatkan tangan kanan di atas dan kiri di bawah. Bibirnya pun mulai mengucap mantra. 'Buka keun panto alam dunya, sabab kahuripan ulah silih pa-anggang.' Babad terus mengucap mantra tersebut tanpa henti. Tetiba angin kencang berembus menyerang tubuhnya, seolah memerangi agar mantra tersebut dihentikan. Namun, tekad kuat membuatnya tak gentar terus mengucapkan mantra. Tak lama, dia pun melihat setitik cahaya yang perlahan mulai membesar. Lalu, angin kencang mulai berhenti menyerangnya. Mantra usai. "Cahaya apa ini?" gumam Babad sambil berpikir. Dia mengangkat tubuhnya berdiri dan mendekati cahaya tersebut. Tangannya perlahan terulur dan tiba-tiba dia tertarik ke dalam sebuah pusaran. ⁂ "Siapa engkau wahai anak manusia?" Babad tersadar di sebuah tempat antah berantah. Dia mendapati sosok perempuan cantik dalam pandangan kaburnya. Dia mulai bangkit sambil memijat lembut keningnya. "Kutanya sekali lagi, siapa engkau wahai anak manusia?" Babad berdiri, tapi dia urung menjawab pertanyaan perempuan di hadapannya. Dia malah berkata dalam hati, 'Cantiknya perempuan ini. Kalau dilihat dari penampilan, sepertinya dia bukan dari kalangan biasa. Aku harus membuatnya terkesan dengan mengatakan bahwa aku ini putra Raja Danasura dari Tanah Manbara.' "Aku tidak mempercayainya. Mana mungkin Raja Danasura mempunyai putra sepertimu. Kau tak lebih dari manusia biasa yang mudah k****a pikirannya." Perkataan perempuan di hadapannya membuat Babad terkejut. "K—kau bisa membaca pikiranku?" suaranya seketika terdengar gelagapan. "Kalau aku tidak bisa membacanya, bagaimana aku bisa menjawab perkataanmu dengan tepat? Sampai-sampai, kau terkejut." Perempuan ini kemudian tersenyum tipis mengejek. "Siapa kau sebenarnya?" Babad penasaran. Dia ingin tahu, bagaimana perempuan mempesona di hadapannya bisa mempunyai ilmu hebat membaca pikiran seseorang. "Aku yang bertanya terlebih dahulu. Siapa engkau wahai anak manusia?" "Aku Babad Guntara, putra Raja Danasura. Aku memang tidak mempunyai keistimewaan lebih. Aku juga bukan seorang putra mahkota," ungkap Babad bernada menyedihkan. "Sekarang, siapa sebenarnya kau." Babad kembali melontarkan pertanyaan sama. "Lunara. Putra sulung dari kerajaan Lembahiyang." "Lembahiyang?" Rasa-rasanya, Babad baru mendengar nama kerajaan ini. "Aku seorang lelembut," celetuk Lunara memecahkan kebingungan Babad. "Lelembut?" Babad mengedarkan pandangan di dunia asing ini. Ingin rasanya dia tak mempercayai perkataan Lunara. Akan tetapi, mengingat bahwa perempuan di hadapannya bisa membaca pikiran, semuanya memang mungkin saja benar. Lunara tertawa kecil. Dia bertanya, "Memangnya, kau pikir aku manusia sepertimu?" Babad terdiam. Dia kebingungan menjawab pertanyaan dari Lunara. Sebenarnya, di mana portal yang tadi membawanya ke dunia ini? Ingin rasanya dia berlari dan kembali menembus cahaya itu untuk kembali ke Tanah Manbara. "Katakan, bagaimana kau bisa sampai ke sini tanpa tahu bahwa ini adalah dunia gaib?" Babad masih terdiam tak menjawab. Namun, Lunara kemudian mengucap kalimat yang menjadi sumber kebungkamannya. "Apa kau bingung, bagaimana cara kembali ke duniamu? Kalau memang iya, aku bisa membantumu." Lunara mengimingi Babad dengan sebuah janji. "Benarkah?" Sebenarnya, Babad meragui perkataan Lunara. "Asalkan kau menceritakan kepadaku. Bagaimana kau bisa sampai ke dunia ini dan apa tujuanmu?" Babad menelan ludah. Darimana dia memulai cerita? Apakah langsung bilang membaca mantra pada kitab milik ayahnya atau dimulai dari mengendap-endap memasuki kamar ayahnya? Namun, darimana pun ceritanya, tujuan Babad hanya ingin memiliki ilmu yang tinggi. Agar kelak bisa melumpuhkan Agastya dan merebut singgasana raja agung. "Ayo. Ceritakanlah!" titah Lunara. . . . Bersambung •> Pojok kata : - (Mantra) Nu gaib mawa diri kana impenan, tapi tong mutus tina kanyataan. = Yang gaib membawa diri pada impian, tapi jangan memutuskan dari kenyataan. - (Mantra) Buka keun panto alam dunya, sabab kahuripan ulah silih pa-anggang. = Bukakan pintu alam dunia, sebab kehidupan jangan saling renggang. - Lelembut = Semacam makhluk gaib.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN