Bagian 4. Kedatangan Putri Ratnadewi

1678 Kata
Kereta kencana membawa Pangeran Agastya dan Putri Ratnadewi ke Tanah Manbara. Entah mengapa, Putri Ratnadewi menjadi pendiam setelah pertemuan dengan sang ayah di bilik pribadinya, membuat Pangeran Agastya canggung untuk menjamahnya. "Diajeng, adakah sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Ratnadewi pura-pura tak mendengar, tatkala pertanyaan pangeran bersatu padu dengan suara lengkingan dan derap kaki kuda. Namun, rona di pipinya tak dapat berbohong. Dia tersanjung dengan panggilan dari Agastya. "Maaf pangeran, hamba tak mendengarnya. Apa yang baru saja engkau ucapkan?" Ratnadewi berpaling menatap Agastya. Kedua bola mata mereka bertemu dan degupan di d**a serasa mengencang. "Kakang. Kau boleh memanggilku seperti itu," ungkap Agastya tak melepas pandangan dari tatapan Ratnadewi. "Baik, Kakang." Ratnadewi meluruhkan pandangannya. Namun, Agastya tak beranjak berpaling. Dia masih memandangi permaisurinya. "Diajeng, bibirmu tampak merona. Apa kau sering melakukan ritual nyirih?" Pertanyaan Agastya menarik kembali pandangan Ratnadewi. Perempuan di hadapannya tersenyum kecil, tahu kalau dia sedang berbasa-basi. Mana mungkin perempuan muda sepertinya melakukan ritual seperti itu. Bisa-bisa, bukan hanya bibirnya yang berwarna merah, tetapi giginya juga. "Tidak Kakang, bukan ritual nyirih. Ini pasti karena ritual berinai semalam." Agastya pun menatap jemari Ratnadewi yang berwarna sama dengan bibirnya. Perlahan, dia menggamnya dan berkata, "Aku bergurau, Diajeng." Lalu pandangannya berpaling menatap kembali ke depan. Namun, genggamannya urung dilepaskan. Percakapan singkat mereka melupakan pertanyaan pertama Agastya. 'Rama, kekhawatiranmu tak beralasan. Lihatlah, Pangeran Agastya sangat mencintaiku. Dia pasti akan menjagaku dengan seluruh jiwa dan raganya,' batin Ratnadewi. "Kita sudah sampai, Diajeng. Maafkan aku, karena tak dapat bermalam terlebih dahulu di Tanah Sankara," ungkap Agastya ketika kereta kencana sudah berada di pekarangan istana. Hari sudah petang, matahari terlihat hampir turun ke peraduan, alam memgubah suasananya semakin kelabu. Namun, sekalipun seperti demikian, rakyat Manbara menyambut kedatangan mereka. Semua orang dari berbagai kalangan usia berkerumun di depan gapura istana kerajaan Manbara, hanya untuk melihat sepasang pengantin baru itu. Walaupun, saat kereta kencana sudah melewati gerbang, pintu kembali ditutup. "Tidak apa, Kakang. Sekarang, engkau adalah junjunganku. Aku berkewajiban untuk ikut, kemana pun engkau pergi." Ratnadewi tersenyum, menyembunyikan sedikit kecemasan tentang firasat ayahnya. "Maafkan aku, karena tak ada penyambutan istimewa di Tanah Manbara," ungkap Agastya menyesal. "Apa yang kau maksud penyambutan istimewa? Bukankah rakyatmu sudah menyambut kedatangan kita dengan suka cita. Itu sudah cukup bagiku." Ratnadewi kemudian memandang luasnya istana Manbara. "Mari kita masuk, Diajeng." Agastya turun terlebih dahulu dari kereta kencana. Dia kemudian membantu permaisurinya tersebut. Ratnadewi telah menginjakkan kakinya di Tanah Manbara. Alam pun kemudian ikut menyambut kedatangannya. Angin yang cukup kencang berembus bersama dedaunan kering. Seketika Agastya merangkulnya dan ketenangan pun terasa dalam benak. Meskipun, nampak kecemasan terlukis dalam segurat wajah suaminya tersebut. "Tak apa, Kakang. Mungkin cuaca memang sedang tak bersahabat," ungkap Ratnadewi. "Kamu benar, Diajeng. Mari masuk." Agastya kemudian membawa Ratnadewi bersama langkahnya. Tangan yang masih merangkul pun urung terlepas. Dari dalam istana, Kahil terburu-buru menemui Agastya. Usai mengantar keponakannya tersebut ke Tanah Sankara tadi pagi, dia kembali ke Tanah Manbara di tengah pesta pernikahan. Sebab, dia mengetahui kalau keponakannya tidak akan menyita waktu lama berada di Tanah Sankara. Namun, dia juga tidak menyangka akan secepat ini. "Pangeran, kukira engkau akan kembali esok?" ucap Kahil dengan wajah panik. "Kenapa Paman? Sepertinya, kau tak suka dengan kedatanganku?" Mata tajam Agastya menatap Kahil dengan sinis. "Tidak. Bukan seperti itu maksudku." Kahil kemudian menatap mereka secara bergantian. Dia menyesal, bahwa kedua kaki mereka sudah terlanjur menginjak Tanah Manbara. Suara lirihnya berkata, "Ritual penyambutan yang sedang kusiapkan belum selesai, Pangeran." "Tidak apa, aku dan Ratnadewi sudah sampai. Lupakan ritual tersebut, kami lelah dan mau beristirahat." Agastya kembali melangkah bersama sang permaisuri melewati pamannya tersebut. Kahil tak kuasa memendam kekhawatirannya. Dia pun berkata dengan lantang, "Jangan pernah menyepelekan ritual ini, Pangeran. Setiap orang yang masuk ke istana Manbara tak bisa menetap tanpa sebuah ritual!" Perkataannya seketika menghentikan langkah kaki. Agastya berbalik badan, "Ratnadewi sudah menjadi permaisuriku. Ritual macam apa yang Paman maksud? Sampai lancang berkata demikian?" Dia mulai naik darah. "Maafkan saya, Pangeran." Kahil menundukkan wajahnya. "Baiklah paman. Jika ritual itu menjadi kecemasanmu, maka lakukan saja sekarang." "Tidak!" ucap Kahil tegas. Agastya pun berdecak dan menggeleng kepala. Sementara itu, dia kembali melanjutkan perkataannya, "Sudah terlambat Pangeran, Putri Ratnadewi sudah menginjakkan kakinya di tanah Manbara. Jadi …" "Apa yang sebenarnya ingin kau ucapkan?" Agastya mulai kesal. Kahil menelan ludah. Mau tidak mau, dia harus mengatakan hal yang tidak mengenakkan ini. Katanya, "Kau harus waspada. Malapetaka mungkin sedang memburumu." Ratnadewi tak enak hati. Dia kembali mengingat kekhawatiran dari Ayahnya. "Selamat datang Rakanda." Suara Babad memecah atmosfer beringsang yang menyelimuti mereka bertiga. Ratnadewi kemudian berpaling dan kedua bola mata mereka saling menatap. "Selamat datang di istana kami, Rakayu." Salam penyambutan disertai tubuh yang kemudian menunduk didapati dari adik iparnya tersebut. "Terima kasih," ungkap Ratnadewi. "Hamba, Babad Guntara. Adik dari Rakanda Agastya, putra bungsu dari biung Naraya." Dia memperkenalkan dirinya. Namun, dia tak mengatakan tentang statusnya sebagai putra Raja Danasura. Karena selain dari Ratu Naraya, Raja Danasura memiliki putra dan putri lain dari selir. Hanya saja, beliau cukup mengerti tentang perasaan permaisurinya dan menempatkan para selir dengan layak di daerah-daerah yang sudah ditaklukan. 'Aneh. Padahal, sedari tadi siang aku kembali, Pangeran Babad tidak ada di istana, bahkan di biliknya sendiri. Kenapa sekarang tiba-tiba dia ada?' batin Kahil mempertanyakan. "Kakang Agastya beruntung mempunyai adik sepertimu. Engkau sangat berbudi." Ratnadewi telah salah memberikan penilaiannya di waktu pertemuan pertama mereka ini. Agastya membuang pandangan, kesal mungkin iya. Sebab, pujian sudah dicuri oleh adiknya. Sedangkan dia belum mendengar satu kalimat pun dari bibir Ratnadewi memujinya. "Itu pasti. Ah, engkau pasti lelah, Rakayu. Beristirahatlah, biar nanti kita lanjutkan pembicaraan di saat makan malam." "Mari, Diajeng." Agastya kembali merangkulnya. Dia kemudian membawa Ratnadewi ke dalam biliknya. Satu ruangan pribadi yang kini dibagi bersama permaisurinya. ⁂ Babad tersenyum penuh siasat ketika mereka berdua berlalu. Namun, mimik wajah tersebut didapati oleh Kahil. Seketika dia berkata, "Kenapa Paman?" "Kau tidak merencanakan hal yang buruk kepada mereka?" ungkap Kahil penuh curiga. Babad tertawa kecil. Dia tak menjawab pertanyaan pamannya tersebut. Kakinya segera melangkah pergi, berlalu menuju biliknya. 'Apa mungkin, malapetaka karena tak menjalankan ritual penyambutan Putri Ratnadewi adalah Pangeran Babad? Tapi … ah, sebaiknya aku tidak berburuk sangka seperti ini.' Kahil menepis jauh-jauh prasangka buruknya. ⁂ Babad sudah sampai ke biliknya. Dia pun mengeluarkan sebuah kantung kecil. Di dalamnya ada sebuah serbuk yang telah diberi mantra oleh Lunara. Ya, meskipun sebenarnya, dia sedikit kesal pada sosok lelembut itu. Dia pun mengingat pembicaraan mereka usai Lunara mengatakan telah mempunyai siasat. Lunara membawa kembali Babad ke alam gaib setelah melihat sosok Agastya dan Ratnadewi pada pesta pernikahannya tadi. "b*****h! Kenapa kau membawaku kembali ke alam gaib?" tanya Babad dengan perasaan kesal. "Takut sekali kau pada duniaku." Lunara melipat kedua tangannya. "Tenanglah. Aku hanya ingin memberitahumu tentang siasatku. Di duniamu sana, banyak orang-orang berilmu tinggi. Aku takut seseorang mengetahui rencana kita berdua." "Katakan segera! Apa rencanamu?" "Aku melihat, permaisuri dari rakandamu itu memiliki darah leluhur dari ras yang berbeda dengan keturunannya sekarang." "Ma—maksudmu?" Babad mengernyitkan dahi tentang ketidaktahuannya. "Aku akan membangkitkan ras itu pada keturunan mereka. Sehingga … orang-orang akan menganggapnya sebagai kutukan di Tanah Manbara." Lunara mengungkapkan siasatnya. "Tunggu … tunggu! Itu artinya, aku harus menunggu sampai mereka mempunyai keturunan?" Babad semakin terbakar amarah. Lunara menaikkan sebelah bibirnya tersenyum. Dia berkata, "Rakandamu orang yang berilmu. Aku tidak yakin bisa melumpuhkannya. Jadi, aku memilih cara lain agar takhta itu jatuh kepadamu." "Hahaha." Babad tertawa singkat mengejeknya. "Lelembut macam apa kau ini? Kukira kau sangat heb-" Wuuush … Angin berembus kencang saat tangan kanan Lunara bergerak. Babad terhempas sampai terpojok di badan pohon besar. Dia tak dapat bergerak karena cekikan dari Lunara. "Kau masih meragukanku?" tanya Lunara berwajah dingin. Babad kehilangan suara tak dapat berkata akibat cekikan Lunara. Dia hanya mampu untuk berkata dalam hati , 'Sial. Mau tidak mau, aku mengikuti rencananya. Kalau pun tidak, mungkin dia tidak akan membantuku kembali ke dunia fana.' "Bagus kalau kau mengerti." Perlahan, Lunara melonggarkan cekikanya. Babad tak henti terbatuk. Sampai kemudian, dia mendapati Lunara berkecumik merapalkan mantra. Tak lama, dia melihat sebuah kantong kecil berada di tangan Lunara. "Taburkan serbuk ini pada makanan atau minuman permaisuri dari Agastya," ungkapnya memberikan kantong kecil itu kepada Babad. "Apa ini?" "Sudah kubilang itu serbuk. Aku merapalkan mantra untuk membangkitkan darah leluhurnya. Dia akan melahirkan seorang anak dengan kondisi fisik berbeda nanti. Kau bisa menyebarkan gunjingan pada rakyat Manbara, bahwa Agastya telah membawa sebuah kutukan." "Jadi, aku harus menunggu Rakanda mempunyai seorang putra atau putri dulu?" Babad menanyakannya dengan perasaan kecewa. "Bersabarlah. Kau akan menjadi seorang raja, asalkan kau mengikuti semua perkataanku." Babad menelan ludah. Pasalnya, terkadang perkataan seorang lelembut tak dapat dipegang. Namun, tidak ada salahnya mencoba dahulu dan melihat apakah siasat yang diberikannya berhasil. "Panto nu teu kaciri, tapi aya. Buka yeu makhluk rek balik ka alam na." Lunara merapalkan mantra sembari salah satu telapak tangannya mengarah ke sembarang tempat. Lalu, muncul kembali sebuah pusaran. "Itu portal untukmu kembali ke dunia fana," ucap Lunara. "Baiklah." Babad menghela napas. Dia pun masuk ke dalam pusaran tersebut. Tubuhnya kemudian kembali ke tempat asal pertama kali dia membuka pintu alam gaib, bilik mendiang ayahnya, dengan kitab mantra yang tergeletak di lantai. Dia segera mengambilnya kembali dan menyembunyikan di balik pakaiannya. Para penjaga di depan bilik mendiang ayahnya belum terbangun karena mantra tadi. Babad segera keluar sebelum seseorang melihatnya. Saat dia tengah berjalan menuju biliknya, terlihat Kahil berlari terburu-buru. Dia pun akhirnya mengikuti diam-diam. Rupanya, Agastya telah kembali ke Tanah manbara membawa Ratnadewi. Namun, dia mendengar Kahil berbicara tentang ritual. "… Setiap orang yang masuk ke istana Manbara tak bisa menetap tanpa sebuah ritual!" Babad tersenyum. Sepertinya, kali ini takdir berpihak padanya. Mungkin, serbuk yang diberikan Lunara memang berkhasiat dan mereka akan terusir dari tanah Manbara nanti. Benar, dia hanya perlu bersabar. Sekarang, saatnya melakukan sebuah sandiwara saja. . . . Bersambung. •> Pojok kata : - Ritual nyirih : tradisi orang zaman dulu dengan mengunyah daun sirih sebagai bahan utama untuk membuat bibir merah. - Ritual berinai : tradisi mewarnai jemari pengantin dengan hena. Orang zaman dulu juga sering memakai hena untuk bibir. - (Mantra) Panto nu teu kaciri, tapi aya. Buka yeu makhluk rek balik ka alam na. : pintu yang tak terlihat, tapi ada. Terbukalah, makhluk ini akan kembali ke alamnya. - Kakang & Diajeng : sapaan sayang kepada masing-masing pasangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN