Bukan cuma cewek yang selalu kebingungan dan mati kutu setiap nentuin pakaian untuk sebuah acara. Gue pun mengalami itu. Nggak percaya? Coba lihat gue sekarang, zoom in retina lo, gerakan bola mata lo yang benar. Udah keliatan belum kalau sekarang ini Bima Fattan lagi melompong mandangin lemari pakaian sejak selesai salat subuh tadi?
Anjir. Gue mau pamer dulu bentar. Gue tadi salat subuh dua rakaat dan udah baca dzikir semampu gue supaya hari ini Tuhan gue itu mau memenjarakan alam biar nggak mengintervensi acara gue. Mending kalau intervensinya dia itu ke arah baik, biasanya juga yang merugikan.
Dan, yang biasanya selesai salat gue bakalan tidur lagi entah sampai kapan, Sabtu kali ini, gue harus membuka mata selebar biji Kedondong buat milih pakaian. Iya, udah, gue ngerti lo semua mau bilang gue drama kan? Gue cuma bisa berjanji dalam hati, gue akan jadi orang pertama yang ngetawain lo sekuat-kuatnya begitu lo nanti ada di posisi yang sama kayak gue ini. Mati kutu waktu diminta datang ke rumah orang tua cewek.
Damn, Man! Gue mau diajak ke Bandung ini. "Allahuakbar kabiro walhamdulillah." Gue mengacak rambut frustasi. Gue baru nyadar selama tiga puluh tahun ini, gue banci banget. Belum pernah datang ke rumah cewek, ketemu orang tuanya selain orang tua Cinta, waktu SMA. Dan itu pun sekali dalam seumur hidup.
Si b*****t Marwan waktu pertama main ke rumah Monyet pakai baju gimana, ya sampai bisa bikin Tante Sukma dan Oom Rayhan klepek-klepek begitu. Ya kali gue tanya mereka. Di mana wibawa seorang Bima Fattan yang selama ini Ganjar Pranowo aja kalah saing.
Gue melirik hape yang getar di atas kasur. Itu pasti ratu Alisa.
"Halo."
"Lama banget, sih, Fattaaaaan! Belum nanti kena macetnya di tol. Lo niat enggak sih ketemu ortu gue, hah?!"
Gue langsung menjauhkan hape dari telinga. Tahu gini nggak gue angkat, Al. "Ya kalau lo nelepon terus kapan gue beresnya, Bocah."
"Dari subuh tadi belum beres, lo ngapain emang? Ah, gue tahu, tidur lagi ya lo?"
"Diem. Gue matiin nih."
"Pokoknya dalam sepuluh menit kalau belum kelar, gue tolak lo lagi. Biar mampu lo ngerasain friendzone lagi."
Ada ya makhluk begini. Gue curiga nih anak salah satu penghuni pluto yang ditendang ke bumi. "Iya, iya, iya! Udah. Sekarang lo diem, matiin teleponnya dan dandan aja yang cantik. Jangan lupa pakai antiproof!"
"Antiproof apaan?"
"Biar kalau gue cium lipstiknya nggak pindah ke bibir gue."
Dia malah ngakak di seberang sana. Nggak waras nih cewek gue. "b**o banget sih punya laki." Dia bilang punya laki? Gue lakinya kan? Oke, gue pilih batik panjang ini. Tapi ini kayak mau kondangan, ya. Enggak enggak. Ange pernah bilang kalau satu-satunya penyelamat seorang lelaki dari tragedi salah kostum adalah batik. Makasih negeri tercintaku. Besok-besok, bangun Taj Mahal di sini ya. "Itu namanya kissproof, t***l!" Sialan. Gue lupa kalau hape masih gue apit di antara telinga dan bahu.
"Udah terserah. Apapun itu gue nggak peduli. Pokoknya awas aja kalau sampai nanti belepotan. Gue mau jalan nih. Bye."
Hahahaha. Gue menyeringai di hadapan kaca lemari. Bima Fattan itu bakalan selalu tampil keren meski cuma dengan batik panjang warnanya hijau tua dan celana jeans hitam. Apalagi Alisa bilang gue bakalan lebih perfecto kalau pakai sneakers hitam kesayangan gue itu.
"Oke, oke oke! Calon mertua, gue siap menghadapai lo hari ini."
Jalanan Jakarta sekarang itu udah bukan lagi momok bagi hidup gue. Gue demen banget sama adanya kendaraan online jaman sekarang. Kapan-kapan, gue mau ketemu sama Nadiem Makarim buat ngucapin ribuan makasih. Berkat otaknya---yang gue nggak tahu terbuat dari bahan yang sama atau enggak sama otak gue---itulah gue bisa jalan buru-buru sekarang ke rumah Alisa. Iya, gue malas bawa motor dan ratu gue itu malas jemput. Dia sekarang makin semenanya begitu tahu gue cinta mati.
"Bang, agak cepetan lagi, Bang. Saya keburu nggak direstui ini sama mertua." Gue menepuk pundak Abang GO-JEK yang dilapisi jaket hijaunya itu. Lah, gue sama doi couple-an ya. Sial.
"Masnya mau ijab kabul?"
"Yakali ijab kabul pakai batik, Bang. Saya mau ngelamar anak orang ini. Jantung saya kedengaran kelojotan enggak, Bang sampai depan?"
Abangnya ketawa. Bisaan banget di saat keringat dingin melanda gue. Anjir, melanda. "Siap, Mas. Kita bakalan ngalahin rekornya Rossi nih yaa."
"Goooo!" Gue dan dia teriak bersamaan.
Kira-kira satu jam (ini macatenya gue hitung) perjalanan, gue sampai di depan rumah sang ratu. "Makasih, Bang. Lo lebih keren dari Rossi. Serius."
"Makasih, Mas. Semoga lancar ya."
"AAMIN!" Gue berseru kencang. Abang GO-JEK ketawa bentar, terus putar balik dan menghilang.
"Gue bilang sepuluh menit ini kenapa jadinya sepuluh jam, Bimaaaaa!"
Gue nggak begitu masang telinga buat dengerin dia ngoceh yang pastinya bakal bikin gue kesal. Justru sekarang gue lagi memaksimalkan fungsi kedua mata ini dengan baik buat mandangin ratu sejagad raya. Sumpah. Dia hari ini cantik banget. Pakai daster ... bukan, bukan. Dia sama Ange sering ngomongin daster tapi barang yang mereka pegang biasanya gambar kartun atau garis abstrak gitu. Kalau ini cantik bajunya. Panjangnya di bawah lutut dikit, terus pundaknya kelihatan gitu. Seksi banget deh cewek gue ini.
"Lo cantik banget pakai biru, Al." Gue berjalan mendekat, mencondongkan muka. Niatnya sih mau kasih morning kiss, tapi yang ada muka gue ditabok pakai tangan kecil itu. "Sakit, anjir."
"Mata lo rabun, ya," tanyanya sinis. "Ini toska, dari mana biru. Langit noh biru."
"Udahlah terserah, yang penting lo cantik kan." Saat dia lagi nyengir lebar, gue manfaatin waktu itu buat nyuri satu kecupan. Dan, sebelum dia ngamuk, gue tanya lagi, "Gue ganteng nggak, Al hari ini?"
Matanya gerak vertikal buat nilai tubuh gue. Lebay banget bola matanya itu. "Not bad," jawabnya lirih, terus gandeng tangan gue buat ke garasi mobil.
"Gue ganteng nggak?" Gue diam di hadapan pintu kemudi. Padahal pintunya udah gue buka, tapi senang aja ngerjain dia. Sekaligus menetralkan jantung gue ini. "Nggak mau masuk sebelum dijawab."
"Dasar gila. Iya, lo ganteng banget hari ini, Bima Fattaaaan. Puas?" Langsung terdengar bunyi bantingan pintu setelahnya.
Gue ketawa aja. Sambil bisik-bisik dalam hati.
Ayolah, Ridwan Kamil. Gue mohon lakukan intervensi supaya Bandung kali ini mau kerja sama bareng gue. Jangan lo buat dia jadi kota laknat untuk kisah gue dan Alisa. Awas aja, nanti lo nggak gue dukung buat maju jadi Gubernur. Omong-omong, istri lo cantik itu. Tipe-tipe yang nurut sama laki nggak kayak ratu iblis di samping gue ini.
"Lo udah baca mantra belum, Bim?"
"Buat apaan?"
"Ketemu keluarga gue."
Seketika gue merinding. AC mobil Alisa baru diganti apa ya kok dingin banget rasanya sampai ke tulang. "Emang keluarga lo nggak friendly apa, Al?" Mukanya serius gitu bikin gue makin takut nih bocah.
"Friendly sih. Cuma waktu itu pernah ada cowok yang mau ngelamar gue. Pas dia keluar dari ruang keluarga, gue tunggu di luar, gue lihat dia udah bengep dan besoknya gue dapat kabar dia dirawat di rumah sakit karena luka dalam."
"Anjir, Al! Horor amat." Gue memicingkan mata waktu dengar dia ketawa kencang. "Lo ngerjain gue ya."
"Bimaa, Bima. Lo tuh udah tiga puluh tahun, otak masih aja bodoh. Makan apa sih kalau di kosan?"
Gue mendengus. Menoleh lagi ke arahnya, seketika gue tersenyum menang karena dapat ide berlian. Lihat aja, Al. Lo kerjain gue sama aja lo nyerahin diri ke Cassanova kacangan. Dia belum berhenti ketawa, sampai akhirnya gue mengulurkan tangan buat narik kepalanya dan gue gigit bibirnya setelah kasih ciuman bentar. Mampus lo.
"Bimaaaaaaa!" Dia teriak kayak raksasa yang diganggu tidurnya sementara gue menyeringai menang. "Dasar bangkotan m***m!"
"I am."
Duh, jangan seneng dulu, Bim. Belum aja ini masuk wilayah Jawa Barat. Kalau udah, gue pastikan nggak bisa ngisengin Al. Karena yang ada gue malah mau mati saking takutnya ketemu orang tua Alisa. Kira-kira dia beneran enggak waktu bilang orang tuanya bisa bikin anak orang luka dalam. Itu sih gue nggak takut ... oke bohong. Tapi seengaknya luka dalam bisa diobati, sementara kalau gue ditolak? Mau ke dukun mana lagi coba.
Lo semua jangan bilang kalau momen paling menakutkan bagi cowok adalah waktu mengucapkan ijab kabul di hadapan mertua. Menurut gue, justru di tahap awal mau perkenalan inilah yang bakal menjadi penentu apakah gue bisa ijab kabul sama Alisa atau enggak. Dan, sumpah gue udah panas dingin. Bingung banget kira-kira kata pertama apa yang harus gue keluarin nanti.
Dan, selamat datang Bandungnya Ridwan Kamil. Ingat ancaman gue ya. Kalau lo nggak bisa intervensi Bandung supaya merestui gue buat jadi salah satu jomlo yang mendapatkan gadis nu geulis pisan---ini gue pinjam gaya Ajimara---di samping gue ini, gue beneran bakalan jadi bagian kelompok kontra buat lo.
Tolonglah, Pak Wali kota. Gue tahu kok, lo amat menyayangi orang-orang jomlo kayak gue.