bab 10

2257 Kata
Terakhir kali gue merasakan euforia jadi cowok sejati---atau lo boleh menyebutnya gugup, kalau gue never---adalah peresmian gue sebagai sarjana komunikasi. Di situ, yang datang cuma Mama, Salsa dan beberapa kerabat dan sahabat. Nggak munafik, ada satu orang lagi yang bikin gue celingukan cuma buat memastikan kalau dia ada di lingkungan gedung acara. Sekadar melihat dan setelah itu pergi pun nggak masalah. Dan, di saat gue sudah hampir menyerah, gue lihat dia jalan agak tergesa dan nyamperin gue. "Maaf Papa tadi ada rapat penting." Gue yang nggak mau ngerti Papa sebagai apa di Pertamina setelah jabatan Dirut di copot cuma bisa mengangguk sambil senyum. Rasanya luar biasa waktu tahu kalau Papa masih peduli sama anak yang selalu membangkang ini. Ya, meskipun setelah itu, keadaan tetap sama. Di meja makan, obrolannya tetap pekerjaan yang mumpuni sampai akhirnya bikin gue takut debat dan memilih tinggal sendiri di Jakarta Pusat. Euforia itu balik lagi sekarang, tepat saat mobil Alisa---kebetulan gue cuma numpang dan nyupirin---berhenti di halaman sebuah rumah bewarna putih. Kayaknya Alisa memang dikelilingi warna putih. Mobilnya, beberapa pakaian yang sering ia pakai, sampai sneakers---kecuali bot---yang sering membungkus kakinya, salah satunya sekarang. Sebelum turun, gue memejamkan mata beberapa detik. Gue cuma mau doa khusyuk hari ini supaya begitu gue masuk ke rumah bertingkat itu, gue nggak ditendang sama empunya hanya dalam waktu satu detik. Tuhan, gue tahu gue jarang banget ngelakuin apa yang diwajibkan, tetapi salat Jumat gue nggak pernah putus. Jadi, sekali dalam seumur hidup---bohong, gue pernah memohon waktu Mama nangis karena keputusan gue buat tinggal sendiri di Jakarta---bantu gue, ingetin Ridwan Kamil buat mengondisikan Bandung hari ini. "Bim." "Hai." Gue nyengir lebar. "Halo, Alisa. Gue Bima, mau datang ke rumah orang tua lo. Dengan niat setulus hati dan sejiwa raga. So, marry me?" "Gila!" Dia tetap tertawa. Gila. Iya, Al. Kalau aja lo tahu gimana gemuruh jantung di dalam d**a gue sekarang, lo pasti bakalan ngadain panggung komedi dengan gue sebagai pelakon utama. Gue juga heran. Perasaan, pertama interview kerja aja nggak begini geroginya. Perlu minum antimo enggak kali ya biar nanti di dalam gue nggak tiba-tiba mual. "Al, lo bawa antimo nggak?" "Buat?" "Gue takut mabok." Dahinya berkerut, tapi setelahnya dia genggam tangan gue dan menindihnya dengan tangan dia yang lain. Hangat, Al. "Bima. Gue tahu lo nervous." I am. "Lo pernah bilang, kalau cowok harus berani bilang ke ortunya cewek seenggak mampu apapun dia saat ini. Remember?" Gue cuma ngangguk. "Prove it. Buat gue percaya kalau selama ini yang lo rasain bukan sekadar obsesi. Gue di sini. Sama lo. Bakalan ada di samping lo buat ketemu sama Ayah dan Ibu. Udah legaan?" "Huufft." Gue mengembuskan napas kasar. Mencondongkan kepala buat ngecup kening Alisa cukup lama. Ini adalah hal ternyaman selain pelukan Mama, Al. "Gue siap. Let's go, Baby!" Siap nggak siap gue memang harus turun dari tuh mobil, nggak mungkin banget seharian dekam di situ bareng Alisa. Bisa-bisa keluarganya keluar dan gorok leher gue atau memutilasinya jadi beberapa bagian. Najis. Itu horonya ampun-ampunan. "Aldo! Kangen sama Teteh enggak?" teriak Alisa. Kami sudah berdiri tiga-empat langkah gitu dari pintu utama rumah. "Ngapain kamu, Anggurnya memang udah mulai buah?" Gue ngangguk sambil senyum. Si Aldo itu---gue tebak adalah adik ratu gue ini---senyum juga ke gue. Dia sekarang membelakangi tumbuhan yang merambat di bambu rakitan itu dan natap kami berdua. "Kenalin, dia Bang Bima." Calon abang ipar lo. "Halo, A." A? Aa? Ah, s**t! Panggilan Abang dari bahasa Sunda ya. Kalau lagi gugup gue benci sama kerja otak. Kayak siput. "Teteh nginep?" Lelaki bertubuh kira-kira sekuping gue ini berjalan nyamperin dan mengulurkan tangan. Gue gagu dan salah tingkah, langsung gemetar juga pas dia cium tangan gue. Ohya, ini Bandung bukan Jakarta. Gue lupa kapan terakhir kali dicium tangan dengan khidmat sama orang di bawah gue umurnya gini. Salsa aja terkahir cium tangan gue waktu SD. Anak liberal emang. Sama kayak abangnya. "A Bima doyan Anggur? Daunnya tapi, soalnya nggak buah-buah udah dari tahun kapan juga." Damn, Man! Dia ngajak gue becanda. Satu hati udah gue ringkus, Lam. Lo udah nunjukin solidaritas lo sedikit. Gue ketawa. Ngacak rambutnya bentar sambil bilang, "Kelas berapa, Al? Eh, Do maksudnya." "Kelas sebelas. A Bima kerja di tivinya Teteh juga?" Gue mengangguk. "Wah, kapan-kapan A Bima mau enggak ajakin Aldo ke sana. Penasaran banget sama tempat yang bisa nayangin acara gitu. Kata Teteh nggak boleh." "Boleh dong. Masa buat calon generasi yang pinter gini dibatasi. Kapan-kapan, gue ajak---ehm, maksunya, aku ajak---ehm, Aa ajak kamu ke sana." Di samping gue Alisa udah cekikikan, begitupun dengan Aldo. Dia ketawa kecil. "Main ke Jakarta ya." "Siap." "Ngobrol sama siapa, Dek?" Anjir, suara teriakan itu nggak kencang. Enggak mengerikan juga, tapi sanggup bikin tubuh gue kaku kayak kena lem sepatu. Gue menoleh, ada perempuan pakai kerudung besar yang gue yakini sebagai camer (calon mertua) sedang berdiri, membelakamgi pintu yang terbuka lebar. Senyumnya terbit. Dan, seketika gue nyebut, "Alhamdulilah." Secara refleks saking leganya. Mertua jahat dan kejam itu memang cuma ada di sinetron tontonannya Dika dan Fando. Alisa menggenggam tangan gue, berjalan mendekati ibunya. Gue cuma ngekor sebelummya kasih senyum manis dulu buat Aldo. Dan anak itu balik lagi ke tumbuhan yang tadi dia sapa. "Ini Bima, ya?" Gue langsung mencium tangan ibu mertua, mengikuti apa yang dilakukan Aldo beberapa menit lalu. "Iya, Tante. Salam kenal." "Ibu mah udah kenal atuh dari Teteh. Katanya Bima ini teman yang selalu jagain Teteh dari jahatnya ibukota. Ibu cuma bisa bilang nuhun banget, ya Bim." Gue melirik Alisa yang terang-terangan natap gue sambil naikin alis. Nggak ada malu-malu gemes gitu ketahuan sama gue juga. Ini cewek apa iblis sebenarnya. "Sama-sama, Ibu. Bima kan sebagai teman emang bisanya ya jagain. Seenggkanya Bima lebih paham dikit tentang Jakarta. Begitu." "Teman?" "Hah?" Sial. Gue d***u banget apa ya sampai ibunya Alisa ketawa. "Ibu kira Bima ke sini mau minta restu." Crap. Keduluan, Man. "Ayo masuk. Teh, ajak Bimanya masuk. Ibu panggil Ayah dulu." "Lo nggak niat nikah sama gue, ya?" tanya Alisa waktu gue dan dia udah duduk di sofa hitam di sebuah ruangan. "Masa jawabnya temen." "Nggak sengaja itu. Lagian, emang lo pernah bilang gue lebih dari temen?" Mampus enggak lo, Al. "Perasaan kalau ngenalin ke orang temen terus." "Dih, kayak ABG lo!" Ya nggak usah sambil menggeplak kepala gue juga kali nih bocah. "Nyokap sama bokap udah tahu niat lo ke sini mau ngapain. Jadi, ngomongnya hati-hati ya, Bim. Lo tahu kan gimana susahnya ngambil anak perempuan dari ayahnya?" "Anjir, Al. Lo malah makin nakut-nakutin gue. Kalau gue gagal juga lo yang ngenes kali nggak ada yang ngawinin." "Ngawinin mah udah." "Sok berani aja lo." Gue mencibir pas lihat dia ketawa sombong. "Bokap lo orangnya gimana, Al?" "Ekhem!" Damn, Man! Kenapa nih orang keluar pas gue lagi bisik-bisik ke kuping Alisa sih? Dengan sigap, gue langsung berdiri, mencium tangan ayah Alisa sambil tangan gemetar. Alam, buat lelaki tua ini nggak sadar betapa dinginnya tangan gue ya. "Apa kabar, Oom?" On air, Bim! Nggak bisa bercanda lagi. Hidup dan mati lo ditentukan selama acara ini berlangsung. "Baik," jawab sang raja pelit. Gitu doang jawabnya. Dia duduk di kursi yang cuma muat satu orang, jadi leluasa banget dia mandangin gue dari tadi. Bisa-bisa gue hancur ini cuma karena tatapannya aja. "Kamu Bima?" "Iya, Oom." Gue mau mangap lagi, tapi kepotong sama kedatanagn ibunya Alisa yang naruh minuman di meja pembatas kami. "Lagi sibuk ngapain sekarang, Oom?" "Ya nikmatin waktu tua bareng anak istri. Karena dulu, waktu mudanya dibuat serius buat masa depan, bukannya yang sering main-main sama cewek kayak lelaki jaman sekarang." Gue melongo. Ini dia nyindir gue atau guenya aja yang kesinggung? Di samping gue, Alisa cuma diam aja. Santai banget malah nyeruput minuman itu. Seketika suasana hening. Gue jadi takut mau menguatarakan niat gue datang ke sini. "Diminum, Bim. Haus banget kan dari Jakarta." "Iya, Tante makasih." "Kamu kerja di media juga, Bim?" Sang Raja tanya lagi. "Iya, Oom." Ini kalau sampai dia bahas-bahas masalah gaji kayak bokap, gue seriusan pulang dari sini mau ke Cikini minta warisan. "Ehm, niat saya ke sini sebenarnya---" "Udah lama kenal Alisa?" "Hah? Oh! Iya, udah. Lumayan. Dua tahunan kurang lebihnya. Ya kan, Al?" Gue menoleh ke ratu. Tolongin gue, Al. Gue butuh tangan lo. Dan, seketika gue merasa jantung gue los dari tempatnya begitu melihat Alisa cuma mengedikkan bahu. "Kemarin kamu pilih siapa waktu Pilkada Banten?" Ini kok bahasannya merembet ke mana-mana. Gue ngeri banget sumpah kalau ujung-ujungnya setelah ini ada bendera kekalahan yang dikibarkan di depan hidung gue. Gue ketawa kecil. Supaya dia tahu kalau gue nggak takut. Bima Fattan nggaj boleh kalah sama bapak-bapak depan gue ini. "Saya pilih Rano, Oom. Tapi kalah. Tapi nggak pa-pa siapa pun gubernurnya yang penting kan hasil kerjanya." Gue curiga dia mau ngetes sisi politik calon menantunya ini. "Kalau siapapun gubernurnya sama aja, harusnya Pilkada Jakarta nggak seheboh itu ya." Damn, Man! Permainan apa ini? "Ayah... Bima itu ke sini punya maksud. Dengerin dulu dong." Semoga kebaikan selalu menyertai calon ibu mertua gue yang baiknya amit-amit ini. "Bima mau ngomong kan katanya?" "Iya." Gue tersenyum lebar. Narik tangan Alisa dan gue pangku di atas paha. Tindakan yang gue sesali beberapa detik berikutnya karena tatapan maut dari raja itu ke arah tangan kami yang bertautan. Tapi udah terlanjur, jadi nggak usah dilepas. "Saya ke sini mau minta restu dari Oom dan Tante buat hubungan saya dan Alisa. Saya---" "Bukannya kamu temannya?" "Anu. Teman sebelum kami menyadari kalau kami memiliki perasaan lebih dari teman. Mungkin Oom dan Tante sulit percaya, karena sebetulnya saya pun nggak suka perasaan suka sama teman sendiri. Karena sakit. Tapi yang namanya cinta itu kan perasaan dasar, udah dari bayi kita diberi perasaan itu dan saya pikir nggak ada salahnya kalau Tuhan menakdirkan saya bersama Alisa." Ini gue ngomog apa ya panjang lebar tapi gue merasa nggak ada poinnya. Padahal semalam gue udah ngapalin di depan Dika dan Fando. Sialan. "Dan, karena itu, saya ke sini berniat serius mau minta restu dari Oom dan Tante." "Tapi Teteh itu orangnya keras kepala, Bim." "Udah tahu kok, Tante. Dan Bima punya senjata buat naklukinnya." "Apaan!" Alisa langsung memukul pundak gue pakai tangannya yang bebas. "Orang-orang media itu biasanya kritis dan toleransinya besar." Ucapan sang raja kali ini bikin gue tersenyum menang di dalam hati. "Tapi saya nggak punya cita-cita punya menantu orang media." Hening. Gue diam seribu bahasa. Yang kedengaran di kuping gue cuma suara jarum jam sama napas gue sendiri. Gue nggak bisa mengalihkan tatapan gue dari lelaki tua itu sama sekali. Ridwan Kamil, jadi, lo beneran nggak mau bantu gue, hm? Lo lebih milih gue jadi pasukan kontra lo daripada sekadar merintahin Bandung buat berbaik hati sama gue hari ini aja. Gue natap ibu mertua yang kasih gue tatapan kasihan, begitupun Alisa. Tamat. "Tapi saya suka kalau punya mantu yang bisa bikin anak perempuan saya ketawa kayak kamu." Seketika senyum gue mengembang. "Alhamdulilah!" teriak gue girang dan nggak sadar udah meluk Alisa dan ... s**t! Gue hampir lepas kendali mau nyium ratu gue ini. "Makasih, Oom dan Tante." Ibu Alisa ketawa sambil mengangguk. "Itu kerjaannya Teteh, Bim. Minta Ayah buat ngerjain kamu dulu sebelum bilang iya. Ayah sama Ibu mah nggak pilih-pilih punya mantu. Yang penting sayang Teteh, keluarga, dan mau nurutin perintah Allah." "Satu lagi. Harus rela dua minggu sekali datang ke Bandung buat nemenin saya lari pagi." Alisa ngakak di samping gue. "Siap!" Gue memberi hormat. Lihat kan, gimana Ridwan Kamil aja takut sama gue. Bima Fattan itu bakalan mudah melakukan apapun dalam hidupnya. Semudah gue sekarang memperingati Alisa yang lagi natap ke kolam kecil di belakang rumahnya. "Lo udah legal ya, Al. Awas aja kalau masih baperan setiap lihat anak produksi nentengin kamera." Dia menoleh ke gue dan kasih tatapan sinis. "Harusnya yang ngomong gitu gue ya. Hapusin dulu itu nomor-nomor cewek di hape lo." Gue nyengir. Mengeluarkan hape dari kantung celana buat nurutin perintah sang ratu. "Goodbye, Indah." Gue apus satu. "Goodbye Joana." Hapus dua. "Goodbye Jihan." Hapus tiga. "Goodbye Kinari." Hapus empat. Hapus lima. Enam. Tujuh. Anjir, yang ke-18 adalah Vivian. Ini yang paling berat karena suara lembutnya itu suka jadi pengantar gue mau tidur. "Dasar playboy kacangan!" Alisa melirik hape gue. Matanya seketika melotot. "Hape lo abis jatuh?" Gue gelagapan. Nggak mungkin gue jawab ini akibat patah hati dan gue injek sampai retak. "Enggak. Biasa. Dibanting Dika karena nggak gue kasih nomor cewek." Yang ada kalau Dika sampai berani ngelakuin itu, dia yang gue banting. "Dan lo nggak marah?" Sialan. Alisa kenal gue banget ternyata. "Gue banting balik hapenya dia." Untung dia cepat mengangguk dan tiba-tiba bersandar di pundak gue. Yang itu artinya dia udah percaya. Bagus. "Bim." "Napa?" "Elo yakin kita bakalan jodoh sampai nanti?" "Lo kenapa, sik?" "Nanya aja. Gue takut, tiba-tiba udah gini lo sadar gue nggak selayak yang lo dambakan selama ini. Atau klasiknya, ternyata kita bukan jodoh yang dimaksud sama Tuhan." Gue paling benci kalau udah ngomongin takdir. Takut juga, Man, kalau ternyata omongan nih peremluan bener. Tapi gue nggak boleh ikutan pesimis kayak cewek gue ini. "Enak aja." Gue ketawa. Menggigit rambut Alisa dan menariknya pelan yang bikin perempuan ini mengaduh. "Gue udah booking kok ke Tuhan dari dulu, kalau seberapa pun lo melangkah jauh, seberapa pun lo pernah mencoba cinta dan menjalin hubungan, gue yang bakalan jadi akhirnya. Karena lo tahu, Al? Terkadang enakkan jadi yang terakhir tapi selamanya daripada pertama tapi kemudian berakhir. Dan, Tuhan bilang iya melalui apa yang diomongin orang tua lo tadi." Alisa langsung menegakkan kepalanya. Dia menatap gue dengan cengiran lebar. "Uluuuuuu. Cowok gue makin pinter aja, sih. Sini-sini peluk dulu." Gue ngakak. Tapi nurut juga waktu dia narik kepala gue kencang. Thank you, Lam. Lo beneran temen gue.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN