Gue sayang banget sama alam. Nggak tahu kenapa. Rasanya tuh udara segar banget sejak kemarin. Gue juga udah nggak punya musuh lagi. Ya nggak, Lam? Kita udah baikan kan sekarang? Lo nggak ganggu gue, gue juga bisa baik ke elo.
Salah satunya gue nggak bakal lagi nyabut tanaman Dika diam-diam. Gue bakalan biarin tanaman itu tumbuh semaunya. Jangan aja lo kasih tahu ke Bunda itu. Bisa mampus gue nggak dimasakin lagi. Makanan mahal, Bro akhir-akhir ini. Gue juga kasihan sama gubernur yang baru jabat setahun itu, pasti kesulitan bangun Jakarta yang emang bandel banget. Ditata susah, diomongin nggak mempan. Enaknya diapain ya ini kota.
Mau disayang-sayang kayak gue ke Alisa semalam?
Anjing. Gue jadi keingat kan sama apa yang gue dan ratu lakuin semalam. Mau tahu nggak lo semua? Harusnya gue diundang dulu nih di acara Kick Andy favorit gue itu dengan tema 'Perjuangan Sang Sahabat Demi Sang Ratu Sejagad Dunia-Akhirat'. Kok kayaknya kepanjangan? Ngomong-ngomong soal Kick Andy, gue dulu sempat mau gabung ke partainya Surya Paloh. Tapi nggak jadi karena gue minder. Hahaha. Bima, Bima. Untung lo ganteng, jadi alam masih maklum buat mengizinkan lo hidup di sini.
Eh anjir, gue tadi tanya, lo semua mau tahu nggak apa yang gue dan ratu lakuin semalam? Ulang sekali lagi, gue cium sampai mampus lo pada. Eh, sorry, ratu udah memperingati kalau gue nggak boleh tebar air liur sembarangan.
Dia kalau marah ngelebihi nuklir lho. Semalam aja, gue hampir digampar setelah adegan pangku-pangkuan, tiba-tiba Vivian kirim chat. Udah bisa nebak belum isinya apaan? Gue kasih tahu ajalah; Mas Bima, Vivi kangen.
Sedetik setelah gue dan ratu baca chat itu bareng (iya salah gue emang malah ajak ratu baca barengan), rambut gue langsung rontok, ada kali sepuluh helai karena jambakan maha dahsyat. Belum lagi teriakannya, "Katanya naksir berat ke gue tapi masih aja main sama cewek!"
Gue cuma bisa minta ampun sambil membela diri dikit. "Itu kan sebelum lo tahu semuanya, Al. Ya gue masa ngenes banget lihat lo sama Ojay mesra-mesraan."
"Tapi gue belum ciuman sama dia! Gue yakin lo pasti udah nyosor dia kan? Ngaku!"
"Iya. Dikit."
"Emang. Kalau mulut penuh bakteri ya gitu," katanya sambil meremas mulut gue. Dia galak, Man. Demi Allah galak banget.
Kayak sekarang, gue baru aja duduk di atas kasur, baru pulang nganterin dia. Bunyi chat udah berisik.
Alisa: Gue sakit perut!
Me: Tadi baik-baik aja. Lo bohongin gue ya?
Alisa: Sakit beneran. Lagi PMS ini.
Me: Gue ke sana.
Enggak ada periode yang paling mengerikan selain periodenya cewek yang itu. Gue nggak akan bodoh dengan membiarkan dia sendirian pas datang bulan di rumahnya. Syukur-syukur masih ada si Monyet yang walaupun nggak akan terlalu berguna, tapi seenggaknya gue ada teman buat dipukuli sama Alisa.
Kadang suka kasihan sama cewek. Sampai segitunya kalau lagi datang bulan. Dan, kata Salsa sih belum seberapa dibanding melahirkan. b*****t. Keringat dingin gue langsung keluar ngebayanginnya, padahal seharusnya jaket dan helm ini udah cukup bikin gue panas.
Gue juga heran, katanya cewek tuh tercipta spesial, kenapa selalu ngerasa sakit ya? Datang bulan kayak Alisa begini, belum lagi malam pertama yang kata beberapa temen gue sakit juga (gue nyerah kalau ternyata dibohongin), ditambah pas lahiran.
Gilaaaa, untung aja gue gentle, Al. Nanti gue bakal bikin semuanya nggak sakit. Pertama, gue akan selalu ada dan rela buat ngalihin rasa sakit perut lo di waktu periode jahat itu muncul. Kedua, gue akan bikin malam pertama kita nanti nggak sakit, gue janji. Ketiga, waktu lahiran ... gimana ya caranya? Untuk yang ini, nanti gue searching dulu deh gimana ngatasinya.
Lo cuma harus percaya sama sahabat lo ini.
"Ada tambahan lainnya, Mas?"
Gue menggeleng, "Itu aja." Menunjuk sebotol Miranti warna kuning yang udah gue hafal luar kepala.
Beberaa orang yang mengantre di belakang gue melirik-lirik nggak jelas. Gue tendang mampus lo pada. Ini belum seberapa daripada dulu gue beli pembalut dan kasirnya juga cowok. Jadilah, gue sama tuh kasir senyum-senyum canggung nggak jelas.
"Ada kartu membernya?"
"Enggak ada."
"Mau isi pulsa sekalian?"
Anjing! Gue cuma mau beli ini bukan pulsa dan hal t**i lainnya. Alisa gue keburu mati ini. "Enggak, Mbak. Itu aja." Gue langsung menyambar plastik yang disodorkan begitu selesai transaksi bayar-membayar.
Untung aja ada Indomaret sebelum masuk kompleks Alisa. Dan, waktu itu pernah dengan gampangnya gue bilang, "Manja banget. Tinggal pergi ke Indomaret depan juga kalau butuh Miranti."
Seketika gue baru tahu kalau sakitnya nggak main-main ketika dia tendang s**********n gue sekuat tenaga. Sejak itu gue janji, enggak akan melawan cewek yang lagi dalam periode sialan itu.
Pintu rumahnya nggak dikunci, kebiasaan banget. Ngandelin satpam di luar padahal dia tahu satpam itu cuma manusia yang bisa kebobolan kapanpun. Kalau ada penjahat yang lagi nyari ratu cantik gimana coba? Dia pasti diculik.
"Hey."
"Sakit, Bimaaaaaa!"
Gue meringis, lihat dia nungging megangin perut di atas kasur sambil merintih nggak jelas. "Udah makan belum lo?"
"Ya gimana mau makan kalau sakitnya aja kayak gini!"
Kan, galaknya nambah berkali lipat. Gue cuma bisa mengembuskan napas sambil ngelusin punggungnya. Sejak Ange nikah, begini nih tugas gue kalau dia lagi PMS. miris. "Minum Miranti dulu kali, ya, Al?"
"Miranti apaan?"
"Yang biasa lo minum. Katanya kalau udah minum itu sakitnya berkurang. Ini udah gue beliin."
Kepalanya mendongak, melirik ke arah gue. "Kiranti, t***l!"
Gue menepuk jidat. Udah dipukulin, tangan gue diremas kayak mau hancur gini, sekarang dikatain t***l. Al, Al, betapa lo bisa mengontrol gue dengan baik.
Gue menyodorkan botol yang udah dibuka tutupnya, setelah membantu dia bersandar di punggung ranjang. Karena dia nggak juga menerima, malah sibuk megangin perut, gue tahu dia tandanya minta disodorin ke mulutnya. Dasar manja.
"Mendingan?"
Dia diam. Nggak langsung jawab. Malah semakin narik gue sampai akhirnya gue ikutan bersandar di sampingnya. "Tahu nggak, Bim? Setiap ada lo dan Kiranti ini, sakitnya langsung berkurang." Iklan banget nih bocah.
Gue mendengus. Bisaan aja. "Kalau Kiranti aja yang datang diantar Abang Grab, ngaruh enggak?"
"Ya kan sakit itu sembuh berkat rasa sayang dan perhatian yang dikasih sama yang merawat."
Seketika gue ngakak. Ini cewek ajaib bener. Nggak sia-sia gue kehilangan harga diri buat dapatin dia. "Setelah ini kita nggak akan canggung kan, Al?"
"Maksudnya?"
Gue bantu ngelus perutnya. Kata dia, tangan besar gue ini punya banyak jimat, bisa mengurangi rasa sakit. Percaya enggak lo? Alisa sih orangnya tukang kibul. "Setelah ini. Tiba-tiba kita jadi begini. Lo sekarang anggap gue apa?"
"Ya Bimalah. Emang apaan?"
"Setelah pangku-pangkuan dan ciuman itu?"
Dia malah ngakak. "Ah s**t! Sakit lagi!" Gue diam aja. Dalam hati mampus-mampusin dia. "Bimaaaa. Kenapa harus canggung kalau yang beda cuma karena gue dan elo sama-sama udah ngaku. Itu aja kan? Sebelumnya emang gue tahu kok lo naksir gue. Alisaaaa gitu." Dia mengibaskan rambutnya yang kata dia iklan Clear aja kalah.
"Anjir, nyolok mata gue! Lo nggak keramas berapa hari sik!"
"Idih, gue barusan tadi pagi keramas ya."
Gue bohong. Dia nggak bau kok. Justru sebaliknya, saking wanginya gue takut khilaf. Apalagi ini kita di atas kasur, Man. Lo semua ngerti enggak derita gue dan Little Fattan? Begini selalu setiap Alisa datang bulan. Mampus kan.
"Gue mau punya anak, Al."
"Ya kawin sono."
"Sama lo."
"Dih, ogah."
Gue langsung ambil Miranti dari tangannya dan gue taruh di atas nakas. Dia mau main-main sama gue? Setelah gue tarik pundaknya supaya duduk sempurna menghadap gue, gue nggak berani ngomong. Hahaha. Cuma diam natap dia. "Lo nggak mau nikah sama gue?"
"Lo kere. Mana cukup gaji lo buat hidup kita berdua."
Anjing. "Cukup kok, gue jamin. Gue bakalan cari kerja lain deh yang gajinya agak gede."
"Gue kalau udah nikah nggak mau kerja. Gue maunya tiap hari belanja dan ikut arisan macam-macam kayak Syahrini dan teman tajirnya dari Singapura itu." Sialan. Dia godain gue pakai mata kedip-kedip gitu? "Lo sanggup enggak?"
"Sanggup."
"Nggak percaya!" serunya sambil mukul d**a gue. Ini orang diamnya kalau dikelonin kali ya. Tapi belum halal, gue bisa digorok pas bangun sama dia. "Gue tahu gaji lo dan kehidupan lo kayak gimana."
"Kalau lo mau nikah sama gue, gue bakalan jadi Bima Fattan yang nggak tahu malu buat nerima apapun yang dikasih Bokap dan nerima jabatan sekecil apapun di Pertamina."
Senyumannya lebar. Ratu gue ini matrealisme banget. Gue nggak bohong dan nggak menyesal.
"Jadi, mau?"
"Ini jadinya ngelamar gue?"
Gue mengangguk.
"Enggak banget lamarannya!" Dia memeluk gue erat. Tadi nangis karena perutnya sakit. Sekarang udah pecicilan lagi kayak amuba. "Gue mau dilamar di hotel bintang delapan, Bim, sambil ada lilin dan mawar putih yang banyak."
"Mati aja lo."
Dia ketawa lagi. Menarik dirinya dan langsung mencondongkan mukanya ke muka gue. "Kata orang, lebih enak nikah sama lelaki yang udah kenal kita luar dalam."
"Gue belum kenal dalaman lo."
"Dasar gila!" Dia menjambak rambut gue kencang. Sumpah, ini cewek kalau aja ML nggak dosa, udah gue libas dari tadi. "Dengerin dulu, ah. Gue mau lanjutin. Karena dia bakalan paham kita bahkan saat kita nggak perlu ngomong." Jangan, Al, jangan macam-macam pakai ngelusin hidung gue begini. Katanya lo kenal gue luar dalam, tahu enggak lo kalau dalaman gue sekarang udah nggak baik nih? "Dia bakalan lebih peduli tentang kita daripada dirinya sendiri." Bener. Itu gue banget. "Dan, nikah sama lelaki yang mencintai kita itu bahagia berlipat-lipat."
"Emang lo nggak cinta gue?"
"Hampir." Dia nyengir lebar. "Kalau lo berhasil ajak gue naik Lexus, cinta gue langsung nanjak kok persennya."
"Tobat lu sono!"
Dia meringis waktu gue toyor jidatnya. Apapun, Al. Apapun yang lo pinta gue bakal siap kasih. Karena nggak ada hal yang lebih berharga setelah keluarga darah gue itu selain elo dan Ange.
"Minta cium dikit, Al, buat imbalan gue panas-panas ke sini."
"Makan tuh cium!" Setelah mengukur muka gue dengan telapak tangannya, dia turun dari kasur dan keluar kamar sambil teriak, "Pulang sono lo!"
Tenang, Bim, tenang. Dari dulu pak Ustadz selalu bilang; jangan pamrih. Oke, lakukan ini demi Little Fattan yang sebentar lagi akan mendapatkan tempat parkir terbaik se-Banten raya, se-Jakarta Pusat dan se-Bandungnya Ridwan Kamil.
Gue kudu ikhlas.