Sudah dua minggu. Gue ngitung totalnya ada 336 jam sejak Alisa bilang kalau dia udah taken. Nggak perlu tanya gimana rumusnya itung-itungan itu ya karena kan gue SMA ngambil IPA dan gue juga udah bilang kalau gue itu ahli di empat mata pelajaran paling sulit menurut siswa lain.
Dua minggu itu juga gue kayak orang t***l. Setiap ketemu Alisa bawaannya ngakak mulu padahal dia lagi nggak ngelucu, gue cuma nggak mau ketahuan aja kalau lagi broken heart. Udah najis belum kata-kata gue barusan? Alisa juga sampai kebingungan dan nyuruh gue periksa ke dokter. Dia nggak tahu aja puncak kesetresan gue adalah sekarang, lihat dia dijemput sama Dimas Anggara wannabe kalau kata Ange.
Coba perhatikan, Kawan. Si b*****t dari sebangsatnya b*****t itu---bahkan ngalahin bangsatnya Marwan---lagi ngobrol sama ratu gue di lobi. Gue baru keluar lift dan mau melipir---lo bisa nyebut itu apapun---ke arah lain supaya nggak ketahun sama dia. Tapi emang semua di dunia ini tuh musuh gue. Baru dua langkah, alam seakan lagi ngetawain habis-habisan melalui panggilan maha dahsyat itu.
"Bimaaaaa!"
Gue yang nggak tega sebetulnya lihat muka mereka berdua. Mau nggak noleh kasihan. Tapi kalau gue paksa noleh, kasihan hati gue.
"Woy, sini! Katanya Oji ganteng dan kelihatan asyik. Sini ngobrol, mumpung kalian bisa ketemu langsung dan punya banyak waktu."
Gue nggak punya, Al. Waktu gue habis buat lo aja, jangan buat dia juga. "Hai." Dan akhirnya drama pun dimulai. Gue memasang wajah seapik mungkin di depan si b*****t dikali b******n ini. "Lo udah mau pulang, Al?"
"Enggak dong. Gue mau jalan sama Oji. Gimana, Bim? Kalau gue berdiri kayak gini sama Oji udah cocok belum di pelaminam?" Dia beneran berdiri di samping Ojay itu. Menempel-nempelkan tubuhnya bikin darah gue mendidih. Nyengir juga yang bikin gue gatal buat narik bibirnya pakai bibir gue. "Cocok nggak, Bim? Sayang, Bima suka gitu emang. Kadang begonya kumat. Maklum, ya."
"Tapi dia seru, kok. Kayaknya aku bakal cocok kalau jadi satu tim futsal bareng dia."
Enak aja satu tim. Gue sudinya jadi your enemy. Gue tebas lo sampai ada suara 'Your enemy has been---'
"Ajak aja dia main futsal. Dia suka futsal kok. Iya, kan, Bim?"
"Cuma cowok banci yang nggak demen futsal. Apalagi yang nggak tahu malu tetep aja ngajak orang ngobrol padahal lawannya udah kelihatan males." Damn, Man! Selesai gue ngomong gue kayak dengar bunyi jangkrik panjang banget. Lengkap dengan tatapan Alisa dan Ojay itu yang memicing curiga. "Itu tadi si Clara. Gue kesel banget. Udah tahu gue males dengerin dia ngoceh, masih aja ngoceh." Hahahaha. Bagus, Bima! Lo makin pintar mangkir.
"Serius, Bim? Alisa juga cerita terus soal Clara. Nyebelin banget orangnya, ya?"
Sama kayak lo.
"Kamu harus tahu, Yang, kalau si Clara itu nggak ada yang suka sama dia. Galak banget abisan." Nggak usah sambil ngelendotin tuh laki bisa kali, Al. "Kita pulang, yuk? Aku capek banget." Seharusnya cuma gue yang boleh dengar nada manja itu.
"Capek banget? Kan aku udah bilang, jangan kerja di media, kamu ngeyel." Pak relawan ada yang di sekitaran sini nggak ya buat bantu nyekik gue. Atau Pemda Jakarta coba bantu diciduk dua makhluk depan gue ini. Cowoknya aja, Alisa biar gue yang nyiduk. "Aku tawarin kerja di kantorku nggak mau." Pipi ratu gue disentuh, b*****t bener ini orang.
Alisa terkikik. Ganjen banget sih ini cewek. "Tapi aku suka kerja di sini, Yaaang. Ada Bima. Dia itu sahabatku paling baik."
"Yaudah kita pulang, yuk? Bima, jadi mau gabung futsal?"
"Enggak sudi." g****k, Bima! Gue kelepasan sumpah demi Allah. "Maksud gue, sudi kiranya kalau lo mau ngasih gue waktu buat mikir. Gitu." Persetanlah dia mau percaya atau enggak. Gue nggak peduli.
Ojay ketawa, terus ngangguk dan gandeng tangan ratu gue. Alisa noleh bentar, kasih gue senyum lebar, kiss jauh dan meninggalkan gue sendiri.
Dukun ampuh di mana ya.
Gue berusaha cari dukun yang nggak bikin dosa, tapi nggak nemu sampai udah beberapa hari berikutnya. Dika sama Fando pun nggak bisa bantu apa-apa selain baca Yasin di depan televisi waktu gue dekam di kamar. Dan, sekarang pun gue masih melakukam aktivitas yang sama di dalam kamar, mencari-cari referensi dari Rajanya sumber informasi.
Siapa tahu sekalian dapat gambar seksi. Ohya, ngomong-ngomong soal seksi, gue kesal banget sama akun Victoria Secret. Akhir-akhir ini modelnya nggak menggariahkan di dalam foto atau video. Gue curiga sebentar lagi mereka bakalan tutup kayak Kalijodo.
"Bima mau Bunda masakin apa?" Suara Dika kumat dibuat-buat. "Kalau masih ngambek gitu nanti Bunda kurung seminggu lho. Mau?"
"Iya nih! Bima nggak mau mainan sama Janda lagi?"
"Najis lo berdua, diem!"
Dan bukannya nurut, mereka malah ngakak dan teriak-teriak nggak jelas. Gue baru aja mau berdiri buat nyumpal mulut mereka, tapi nggak jadi karena bunyi pesan muncul. Grup ToTaTi. Dari Alisa. Apalagi nih bocah. Pasti mau pamer aktivitas date-nya. Pengin gue kirim ke Syuriah rasanya biar dia ngerasin gimana sakitnya penduduk sana. Nggak cuma mikirin enaknya naik Lexus yang bahkan belum gue turutin.
Alisa: Eh sutra yang warna merah dari Indomaret itu aman nggak sih?
Seketika gue gemetar. Jangan, Al. Itu udah berlebihan.
Me: Jangan ngaco!
Monyet Gue: Alisa nggak lucu.
Alisa: Kayaknya cuma ini supaya gue bisa lupa sama Abam.
Alisa: Is, payah deh kalian. Tinggal jawab aja sih aman nggak?
Me: Gue bunuh tuh laki sampe lo nekad lakuin itu.
Bima: DI MANA LO?
Alisa: Bima lebay kumaaaat...
Monyet Gue: Jangan ALISA!
Bima: Di mana?
Alisa. Di rumahlah. Bye.
Detik itu juga, gue menyambar jaket dan kunci motor. Semoga kali ini alam mau dikit aja ngertiin gue dengan nggak bikin gue kecelakaan terus mati karena kecepatan gila ini. Berita kematiannya nanti pasti nggak elit banget. Demi apa pun gue hampir nggak bisa napas. Jangan, Al. Gue mohon jangan. Lo boleh nikah sama orang lain nggak harus gue ... oke bohong. Tapi seenggaknya mending itu daripada lo ngelakuin tindakan hina kayak gini. Seks sebelum nikah itu hina, Al. Percaya sama gue.
Gue udah kayak orang kesetanan entah cuma butuh berapa menit buat sampai di rumah Alisa dan mencet bel nggak sabar. b***k-b***k deh itu mereka berdua di dalam. Gue nggak peduli. Yang gue pikiran sekarang adalah Alisa digrep-grepe sama Bangsatnya orang paling b*****t itu.
Dan, gue makin lemas waktu lihat Alisa buka pintu sambil pakai kut ... apa sih kemarin namanya? "Gue nggak peduli setelah ini lo mau gimana atau bahkan hajar gue, Al. Lo perlu tahu ini." Gue nggak ngebiarin dia jawab dulu dan langsung cium dia habis-habisan.
Gue tanya, lo semua tahu rasanya kita suka sama sesuatu udah lama dan akhirnya bisa dapatin itu rasanya kayak gimana? Nggak bisa dijelasin. Gue nggak tahu ini gimana. Apapun yang bakal alam lakukan ke gue setelah ini gue bakal terima dengan lapang d**a. Gue bahkan nggak tahu mereka berdua udah ngelakuin sampai mana.
Alisa cuma diam, begitu gue menarik diri. Gue memejamkam mata, siap menerima pukulan maut atau bahkan dia bakal tebas kepala gue. Siap seandainya sedetik lagi cowoknya keluar dan hajar gue sampai mampus. Gue siap. Tapi, nggak terjadi apa-apa dihitungan ke sepuluh selain tawa Alisa yang menggema. Gue buka mata dan melihat ratu gue nyengir lebar.
Efek ciuman gue?
"Kalau nggak digituin, lo mau sampai kapan mendam sendirian?"
Gue melongo.
"Bimaaaaaa. Gue nunggu ini dari lama!" Dia ketawa lagi. "Lo tahu enggak setiap kode yang gue kasih kalau gue udah nggak suka sama cowok serius, it means, i like you. Lo tahu kenapa gue nggak pernah ngizinin lo bersikap Mario Teguh? Karena gue tahu itu bakal bikin lo sakit. Dan, lo tahu kenapa gue maksa buat ikut ke rumah lo? Karena gue mau kenal keluarga cowok yang cinta mati sama gue. By the way, ciuman lo enak, tapi kasar banget ih!" Ngomong terus coba, Al. "Bimaaaa sadaaaar!"
Alisa. Alisa. Alisa. Ini Alisa. Alisa ratu sejagad raya gue. Dia ngomong sepanjang itu. "Al.... Jadi, lo tahu?"
"Tahulah! Lo kira gue g****k nggak bisa ngbedain perasaan sayang sahabat sama orang yang anggap lebih. Lo kira gue t***l yang nggak bisa ngorek informasi dari Dika dan Fando?"
"Jadi, lo tahu kalau selama ini ...."
"Tahu, Bimaaaa."
"Dan, lo diam aja?"
"Ya masa gue nembak duluan! Kode lo selama ini tuh enggak banget tahu enggak. Gue patahin dikit aja lo langsung melempem. Payah. Dan, soal Oji, gue putus. Lagian, gue jadian sama dia juga buat bikin lo sadar. Eh elonya tetep bego."
"Lo suka gue juga?"
Dia mengangguk berkali-kali.
"Sejak kapan?"
"Enggak tahu."
"Soal Abam?"
"Gue benci dia. Dan, gue makasih juga karena dia, gue sadar kalau ada elo."
"Jadi, lo suka sama gue?"
"Iya, Bimaaaaaa."
"Masuk ke kamar lo yuk, Al?" Gue gendong dia dan nggak berhenti nyiumin wajahnya. Terserah kalau besok pas kita sadar bakal canggung kayak apa. Atau yang lebih parah besok pagi gue bangun karena disiram air sama Bunda dan Janda dan sadar masih di atas kasur.
"Ngapain?"
"Hamilin lo."
"Nggak waras!"
"Lo seriusan udah beli Sutra, kan?"
"Bima gilaaaaa!"
"Gue udah layak kok buat hamilin, buktinya sekarang gue kalau salat subuh dua rakaat."
"Ya emang t***l!"
Gue ngakak. Duduk di sofa dan mangku Alisa. Ratu gue sekarang bisa gue dekap nggak perlu takut dia gampar. Ratu gue yang hari ini nggak tahu kenapa cantiknya overdosis.
"Lo kok nangis sih, Bim?"
"Hah?" Gue ngecek mata gue dan ... damn, Man! Gue beneran nangis. Anjing. "Sampai ternyata lo lagi akting sekarang ini, Al. Gue bersumpah bakalan hamilin lo."
"Nggak takut."
"Oh gitu? Coba sini." Gue hajar lagi bibirnya sampai dia mampus.
Alam, lo sekalinya intervensi nggak tanggung-tanggung ya. Gue suka gaya lo.
"Tapi mau Lexus ya, Bim."
Dan, detik itu juga gue narik wajah menjauh. "Mau Lexus?" Dia nyengir, gue mengangguk. "Oke. Tapi satu syarat ... goyang itik dulu di depan gue."
"OGAH!"
"Tawa itu sekarang milik gue kan, Al?"
Ini apaan sampai harus diam-diaman saling pandang begini. "Lo nggak cocok masang muka kayak gitu." Ya tapi nggak perlu ngeremes muka gue juga kan? "Muka slengek kayak lo tuh nggak bisa diseriusin."
"Oh nantangin? Kita cari KUA terdekat sekarang. Mas kawin Lexus, deal ya?"
"Mauuuuuuuu."
Lo gila, Al. Gue lebih gila karena berpikir ini mimpi.
Alam, ini bukan salah satu intervensi lo buat bikin gue gila, kan? Kalau sampai ini nggak nyata, gue bakalan bikin orang-orang enek tinggal di sini dan pindah ke Mars. Mampus lo!