Lo pernah enggak merasa suka sama orang sesuka-sukanya? Yang mau dianggap apapun nerima aja karena memang nggak ada cara lain. Yang kalau dimintai apapun ngangguk aja karena cuma itu yang bisa lo lakukan. Yang kalau dia nangis rasanya lo rela menukar dunia sama hal yang bisa bikin dia diam. Yang kalaupun dia bahagia sama hal dan itu nggak ada kaitannya sedikit pun sama lo, lo cuma bisa meringis.
Itu gue.
Bima Fattan yang semalam punya pikiran t***l karena ditelepon Alisa dan obrolannya beranjak ke Lexus Bokap. Omongannya begini, "Nggak mau tahu, kapan-kapan ajak gue naik Lexus ya, Bim?" Ya, Bim? Itu nada yang dia pakai bukan main-main, Kawan. Gue tahu itu dari pergerakan kecil Little Fattan. "Penasaran banget sumpah."
Bodohnya gue jawab, "Ya coba bilang dulu sama Bokap kalau lo mau jadi menantunya." Gue ngomong itu serius, kok. Tapi dasarnya Alisa bodoh atau memang alam itu benci banget sama gue, dia malah ngakak.
"Ya kalau gitu, gue mending milih jadi istri kedua bokap lo. Lo mau nggak jadi anak tiri gue?"
Sialan banget Alisa. Dia kira gue main-main waktu bilang dia mau jadi menantu Papa? Enggak. Gue bahkan rela membuang gengsi selangit gue dan akan menerima semua harta pemberian Papa kalau dia beneran mau gue kawinin. Eh salah, maksud gue nikahin. Kalau kawin mah ke Hotel Alexis aja kali ya. Dan, gue janji bakalan kasih tuh Lexus ke dia. Sumpah. Tapi dia harus janji juga mau nerima uluran tangan gue dan gue cium keningnya di depan penghulu dan orang tua kami.
Damn, Man!
Bima Fattan menghayal lagi. Sampai lupa kalau sekarang di depannya lagi ada bidadari dari kantor percetakan yang nggak jauh dari kantor gue.
"Vivi baru tahu deh, Mas kalau kamu sering makan di sini." Namanya Vivian. Umurnya 24 tahun. Dan, nggak susah buat kenalan sama cewek baru mau beranjak keibuan kayak dia. "ToTaTi ternyata selera semua orang ya."
"Karena harganya murah, mungkin." Gue ketawa, dia juga ketawa. "Kamu habis ini mau langsung pulang?" Jadi, tadi selesai on air, gue udah nggak menemukan ratu di kantor dan dia bilang kalau dia pulang sendiri karena ada urusan. Karena gue tahu bakalan ngenes di indekos, gue ajak aja Vivian cantik ini buat ngopi.
"Mas Bima mau nggak nganterin aku?"
Hahaha. Gue dipancing begini lengkap dengan senyumam malu-malu gitu? Ya kalaplah. Gue libas sampai mampus. "Ayo. Naik motor nggak apa-apa?"
"Malah Vivi suka naik motor."
Bagus. Karena gue juga suka bonceng cewek dan merasakan hadian saat polisi tidur terlihat tiba-tiba atau kendaraan lain di depan membuat gue harus ngerem mendadak. Itu surga dunia, Kawan. Kecuali bonceng Alisa. Bukannya dia yang merasa gerogi karena takut dadanya nempel di punggung gue, malahan gue yang kembang-kempis karena dia melingkarkan tangan di pinggang erat. Dia penakut dibonceng motor tapi ngeyel terus.
Nah, beda lagi kalau sama cewek lembut ini. Berhubung tasnya itu bukan ransel, dia meletakkanya tepat di belakang p****t gue. "Pegangan aja, Vi, kalau takut." Ini bukan modus kok, tapi gue emang takut kalau dia jatuh. Cewek itu diciptakan buat diistimewakan, gue tahu itu. Tapi gue adanya motor ya mau gimana. Perlahan, tangannya mulai melingkari pinggang gue.
Yah, hadiah di sore hari. Bonceng cewek malu-malu agak susahnya kalau nggak diajak ngomong, dia nggak mau ngomong duluan. Beda lagi kalau sama Alisa. Yang ada dia teriak-teriak di samping kuping sampai gue b***k.
"Makasih, ya Mas buat traktiran kopinya."
Gue ketawa. Itu bukan seberapa, Vi dibanding apa yang udah gue kasih buat Alisa. Hati dan jantung gue. Coba bayangin kalau gue jual udah dapat apa. "Sama-sama. Masuk gih."
Dia nyengir. Gigitin bibir. Hafal banget gue sama tingkah cewek begini. Nah kan. "Hati-hati di jalan," katanya setelah ngecup pipi gue.
Bima kok diginiin. Gue langsung turun dari motor dan mencondongkan tubuh buat nyium bibirnya. Bentar ajalah, takut tiba-tiba orang tuanya keluar gerbang dan gue dihajar. "Aku pulang ya."
Senyum malu-malu lagi. Untung gue nggak demen jajan sembarangan, Vi. Kalau iya udah gue mampusin lo dari tadi. Bukan, bukan karena gue takut dihukum sama Tuhan. Itu kan gue yang ngerasain sendiri. Masalahnya, gue kepikiran sama Nyokap dan Salsa. Dulu, waktu gue masih kuliah dan lagi jalan-jalan ke Bali sama cewek gue, hampir aja malamnya ngelakuin itu. Habis suasanya mendukung banget. Cewek gue yang waktu itu tampil seksi, gue yang lagi merasa ganteng-gantengnya. Dan, seketika gue keinget Salsa. Mikir kalau seandainya dia juga detik itu lagi sama pacarnya dan hampir digituin sama cowoknya.
Gue langsung berhenti sampai tahap d**a, bikin cewek gue nangis waktu itu karena merasa gue nggak doyan sama tubuhnya. Nggak doyan dari mana, rasanya aja pas berhenti sakit nggak ketulungan. Itu dulu. Kalau sekarang, setiap gue hampir khilaf, muka Alisa langsung nongol tanpa permisi. Garang banget. Padahal gue tahu dia aja bahkan nggak peduli gue mau ngapain.
Kayak sekarang, gue rasanya mau banting hape ke dinding kamar begitu buka grup ToTaTi dan lihat dia kirim foto. Foto dia lagi sama cowok yang gue nggak tahu itu siapa dan pakai k****t doang kayaknya. Gue nggak pernah sudi nyebut itu celana bahkan panjangnya aja cuma sampai nutupin b****g. Meskipun Alisa bilang itu terbuat dari kain yang sama kayak jeans gue.
Alisaaaaaaa.
Monyet Gue: Cieeeeee. Akhirnya bentar lagi kita kondangan ke Onty Al-Al. Om Bima kapan dong
Alisa : HAHAHA. Doain yaa. Dia ganteng enggak, Nge?
Monyet Gue: Ganteng banget. Mirip Dimas Anggara gitu deh.
Monyet Gue: Bima nih payah.
Kalau breaking news itu adanya di media, di hidup gue sebutannya kiamat kubro. Karena sekarang, yang gue lakuin cuma nginjek hape dan berdoa besok gue masih bisa napas dan mandang Alisa kayak biasanya.
Gue ambil lagi hape yang udah retak layarnya dan lihat Alisa kirim pesan personal. Kalimatnya bikin gue mau mampus aja sekarang; Gue udah taken, kali ini mau berusaha banget dan gue minta hadiah dari lo dong keliling Jakarta naik Lexus hahahaha.
Perasan baru kemarin Al, gue berkhayal kalau kita ini pasangan. Dan ternyata beneran cuma khayalan. Jadi, cerianya lo kemarin itu karena ini? Hubungan lo sama lelaki itu yang gue aja bahkan nggak tahu apa-apa?
Terus aja, Al. Hancurin gue kayak gini jangan sampai biarin gue bahagia.
Lo menang.
Gue memang akan selalu kalah.
Dan alam, lo nggak mau mengintervensi kisah gue sekali ini aja? Buat gue menang dan Alisa kalah.