bab 5

1777 Kata
"Tumben udah mandi Bujang kita." Dika bersiul-siul menjijikkan begitu gue ngelewatin dapur sambil ngeringin rambut pakai handuk. "Mau ke mana lo?" "Jalanlah! Emangnya elo tiap weekend udah kayak emak-emak yang nyobain menu baru di kosan." Coba lihat, Kawan. Dika kita ini lagi berdiri di depan kompor yang ada dua lubangnya. Pakai kolor sama baju buluk lagi goreng apa juga itu. "Jangan bacot kalau lo aja masih doyan masakan gue." Persis emak-emak beneran kan? "Lo mau ke mana?" "Si Janda belum bangun?" "Katanya semalam lembur sampai jam dua. Eh lo mau ke mana, b*****g?" Gue mendekat, mencomot satu gorengan yang kalau kata Dika sih Bakwan Jagung Mantabnya Bang Dika. Gue udah bilangin namanya kepanjangan, nggak earcathcing tapi dia masih ngeyel. Tapi, masakan dia memang enak sih sejauh ini. "Bima kalau ditanya nggak mau jawab lagi, besok nggak Bunda masakin ya!" teriaknya begitu gue nyelonong pergi. Gue ngakak sampai di depan pintu. "Kalau Bunda nggak mau masakin, aku bisa minta masakin Janda kok!" Kemudian, gue bisa dengar bunyi gaduh antara tawa Dika dan alat masak di dapur. Dunia emang mau kiamat. "Bangun, Janda! Jangan molor mulu kerjaan. Mandi-mandi sono." Gue tendang pintu kamarnya si Janda Fando juga nggak bakal ngaruh. Waktu itu dia sempat mau nutup pintu kamarnya yang tepat banget di seberang pintu gue karena nggak betah gue tendangi terus. Dasar manja. Maklum, masih kuliah. Jadi agak bener hidupnya. Nggak kayak gue, hidup seenak jidat kalau kata Ange mah. Kok gue kangen tuh Monyet satu ya. Pulang dari Cikini gue mau main ke rumahnya lah. Semoga aja Marwan nggak ada di rumah. Males banget gue, beneran. Terakhir kali gue main ada dia, sendok melayang di kepala gue dari tangan Ange karena gue cium pipi dia dan pas banget si Marwan muncul. Emang curut kan, nongol kapanpun. "Bim, keluar! Kalau nggak mau nyesel." Lo semua percaya enggak kalau hampir tiap detik gue selalu ketawa di indekos sini. Abisan kelakuan Dika sama Fando tuh nggak ada yang bener. Dengerin aja coba ancamannya barusan. Kayak anak ABG yang mau mutusin pacarnya. "Bima gue serius ya!" "Apa, sik!" Gue membuka pintu, nongolin kepala doang dan lihat muka Fando udah serius banget. "Masih bocah manggilnya Bam Bim Bam Bim." "Alah bacot. Di depan ada ratu lo. Anjir, hari ini cantik banget doi." "Hah?" "Hah?" Dia ngikutin gaya gue ngomong. Kurang ajar banget sumpah ini anak. "Di depan ada Alisa Adrenia Sukmadewi, ratu sejagad raya yang lagi duduk di teras cantik bener." Ngapain Alisa di sini pagi-pagi? Dan, benar, Kawan. Ratu gue lagi duduk cantik banget. Rambutnya hari ini nggak dibiarin gitu aja, dia juga pakai kemeja kotak-kotak. Kemarin katanya Agus garis keras, sekarang pindah haluan. Dasar labil. Untung gue mah nerima dia apa adanya. "Lo ngapain di sini, Bocah?" Kepalanya dongak. Senyuman lebar terpampanglah nyata. Ini kayak matahari pagi hangatnya. Sumpah. Apalagi waktu dia berdiri, gue mah cuma bisa baca ayat kursi dalam hati biar nggak khilaf. "Hai, Bimaaaaaa. Uluuuu, tumben amat udah ganteng pagi-pagi. Mau ke mana, sih?" Gue ketawa. Ini bocah nggak waras kalau udah mulai pakai nada dibuat-buat gitu. Dan gue lebih sinting karena anggap dia cantik dalam kondisi itu. "Ngapain lo di sini?" "Emang nggak boleh?" Kemarin lo mewek-mewek sampai nggak ngebolehin gue pulang, untung aja gue berhasil mangkir dari godaan itu. Sekarang lo cengar-cengir di depan gue. "Gue mau ajak lo jalan dong. Kita nonton yuk, Bim?" Ini pasti buat pengalihan isu. Klasik banget gaya lo, Al persis para petinggi. "Gue yang nyetir dan gue yang traktir deh." "Kayak yang banyak duit aja." "Emang lagi banyak. Ayok, ah. Tuh, lo aja udah ganteng gitu pakai sweater." "Gue nggak bisa." Rasanya aneh ngomong nggak bisa buat permintaannya Alisa. Berasa ngelakuin dosa besar gitu, tapi udah terlanjur janji mau pulang. "Gue mau pulang." "Ke Cikini? Ikuuuuuut!" Mata gue langsung melotot begitu dia nyengir lebar dan menggoyang-goyang lengan gue. Kadang gue lupa, Al umur lo itu berapa. "Ikut, Bimaaa." "Jauh." Bola matanya berputar. "Ya tahu. Cikini Bintaro kan? Naik mobil gue aja. Lagian gue mau kalee kenal sama keluarganya sahabat aku ini." "Ini ke rumah nyokap gue lho, Al." "Bawel ah." "Hey, ini mau ke rumah nyokap bokap gue." Mau gue kenalin sebagai mantu sekalian enggak? "Lo yakin?" "Ih ayooooo." Dan, seperti yang lo semua bisa tebak, gue bisa apa kalau ratu sudah bertindak. Sepanjang jalan kerjaannya ngoceh mulu. Pengamen turun dari angkot, dikomentarin kasihan. Lihat bapak-bapak jualan tisu, ngomentarin sambil suaranya gemetaran. Dan, hal lancang yang gue bayangin adalah sesimpel gue sekarang ini lagi mau ajak dia jenguk orang tua gue; mertua dia. "Bim, ini kunjungan perdana lo ke rumah ya semenjak kita kenal?" "Enggak kok. Lebaran gue balik." Dia berdecak. "Ya selain itu! Gue yakin kok kayaknya belum pernah denger lo balik ke rumah orang tua lho. Padahal Jakarta-Bintaro nggak akan menyita banyak waktu." Ya lo nggak mau nemenin gue, Al. "Jangan gitu, Bim. Maksimalin waktu selagi orang tua masih ada. Nanti kalau mereka udah dipanggil sama Tuhan, lo bisa apa?" "Anjir, lo doain orang tua gue cepet mati?" Ketawanya, Kawan. Merdu banget kayak paduan musiknya Erwin Gutawa. Alisa, Alisa. Kenapa lo ambil hati gue kalau cuma lo anggurin dan nggak berusaha lo peluk balik? Biarin gue jadi Bima Fattan yang t***l setolol-tololnya nunggu kayak gini. "Gue sering ngayal datang kayak gini bareng Abam dulu. Dia mau nemenin gue pulang ke Bandung. Bahagianya kayak gimana ya, Bim?" "Ya sekarang lo ngerasainnya gimana?" "Ya sama lo mah biasa aja." Anjing, Al. Kalau ngomong enak bener dan bikin gue pengin lompat dari mobil sekarang. "Tapi gue bahagia kok punya lo." Nah nah, kalau senyumnya udah dibikin manis begitu gue cuma nyengir doang pasti. Kesenangan. b*****t. "Karena lo satu-satunya temen yang sampai sekarang masih jomblo sama kayak gue." Tawanya pecah lagi. "Wait wait wait. Ini kita serius masuk rumah ini?" "Kenapa sik lo?" Lebay banget cewek gue ini. Matanya mendelik ke sana-sani, nyengir b**o waktu gue buka kaca buat nyapa satpam. Al, Al, untung gue udah terlanjur t***l jadi nggak peduli semenjijikkan apa macam-macam ekspresi muka lo. "Bima, explain to me." "Apanya yang di-explain. Nggak usah drama, nggak cocok." Yaelah, Bim. Modus banget ngomong gitu aja sambil ngacak-ngacak rambut dia. Orang usaha nggak salah sih ya. "Turun buruan." Gue nggak jadi buka pintu mobil, waktu sadar ratu gue masih diam di kursinya. "Al." "Sebenarnya lo siapa?" Tatapannya ngapa begitu sih, Al? Maksud dia siapa itu yang gimana? "Ini rumah siapa?" "Bonyok." "Dan, lo anaknya?" "Sayang, kamu kenapa sih, hm?" Dan, seketika itu juga dia sadar akan omongan gue, kemudian langsung melayangkan tangan kecilnya itu ke kapala ini. Masya Allah, Allahuakbar cewek satu ini. Kebayang nggak lo semua kalau Alisa dan Ange lagi lengkap dan gue stresnya kayak apa? "Ayok, ah turun." Gue jalan duluan meninggalkan garasi. Tapi berhenti lagi karena nggak ada suara langkah di belakang gue. Dan, pas gue noleh, tuh anak masih berdiri kaku sambil kepalanya noleh sana-sini. "Bima... Lo bilang sama gue waktu itu nggak punya mobil pas gue minta jemput. Lo bilang dulu harta satu-satunya yang lo punya itu adalah Satria dan beberapa pundi rupiah di tabungan Mandiri lo. Lo bilang waktu itu alam selalu adil. Memberi lo kemudahan dapatin cewek lewat tampang karena lo nggak punya harta berlimpah. Dan, ini semua apa? Apa itu yang berjejer rapi di garasi sebesar ini, hm? Di ujung sana ada Fortuner putih, sebelahnya ada ... sebentar nggak terlalu jelas, ah! Pajero Sport, Terios dan ... what? Lexus yang harganya pake yar-yaran itu?" "Lo mabok. Ayo jalan." Dan gue kaget bukan main waktu dia mengibaskan tangan gue kencang. "Bima, gue lagi serius. Lo siapa?" Cewek suka begini ya. Ngorek segala sesuatu yang dia udah tahu bakalan bikin dia kecewa nantinya. "Gue Bima Fattan." Cowok yang cinta mati sama lo. "Sahabat lo. Puas?" Dan, obrolan nggak penting kami kepotong sama kehadiran Bu Siska yang tiba-tiba buka pintu dan berdiri menatap kami antusias. "Masya Allah. Aden pulang? Makin ganteng aja. Masuk sini. Panas banget ya, Den?" "Jakarta-Bintaro kalau nggak panas nggak spesial, Bu." Gue nyengir. Menggunakan kesempatan itu buat narik tangan Alisa mendekat. "Kenalin, Bu. Dia Alisa. Teman kantor. Cantik ya?" Cantik banget sampai gue lupa gimana menggairahkannya ciuman di mobil sama cewek yang habis gue ajak nonton. "Halo, Mbak. Masuk yuk? Mau Ibu bikinin apa? Duh, Aden suka gini. Kalau pulang nggak kabar-kabar, jadi Ibu nggak bisa nyiapin makanan kesukaannya." "Dia emang kadang agak nggak beres sih, Bu." Gue tahu banget, Al, lo lagi kacau dan kepala lo masih penuh sama pertanyaan tentang gue. Semuanya makin kelihatan waktu Alisa ketemu nyokap bokap di dalam rumah. Gue lihat matanya keliling mengabsen ruangan, ketawa lagi waktu Mama kasih pertanyaan. Dan, tebak gimana semringahnya muka nyokap begitu gue kenalin Alisa? Dia sampai duduk dempetan banget, hadap-hadapan dan sesekali ngelus pipi ratu gue itu. Sementara gue ceming di sebelah Papa karena Papa beberapa kali nimbrung obrolan mereka. Gue tahu, gue dan Papa udah nggak bermasalah. Tapi, rasanya nggak enak aja kalau harus cekaka cekiki kayak Salsa ke dia gitu. Sampai satu pertanyaan Papa keluar, "Kerjaan gimana, Bang?" Gue noleh, nggak menemukan dia natap gue tapi jujur hati gue deg-degan. Terakhir dia manggil gue Abang waktu malam sebelum gue ketahun main sama Davino itu. "Baik. Lancar. Papa sehat?" "Nggak pernah ngerasa lebik dari sekarang, lihat Mamamu ketawa sama perempuan." "Tapi dia cuma teman Abang, Pa." Gue ketawa miris. Dan, lebih kaget lagi pas merasa tangan gue ditepuk Papa pelan. "Cukup usaha aja yang digedein, nanti hasilnya pasti baik. Perempuan itu suka lelaki yang berjuang." Gue diam. Hari itu, gue menyaksikan lagi gimana senangnya menjadi Bima Fattan. Anak sulung dari Gafar Rashetya dan Maulida Fitriyani. Abang dari Salsabilla Rashetya dan ... calon suami Alisa Adrenia Sukmadewi. Ini nggak ada yang mau bilang aamin apa? Dan, semuanya musnah karena satu kalimat Alisa waktu kita udah di mobil mau pulang. "Lo selama ini bohongin gue." Gue bingung mau jawab apa. Jadi cuma diam sambil nyetir. "Ternyata lo anak orang kaya dan lo seolah paling kere sedunia. Ternyata lo anak hebat." "Hebat?" "Gue tahu Gafar Rashetya. Gue masih jadi siswa dengan ideologi tinggi dan jadi ketua Jurnalistik. Ngorek informasi tentang Gafar Rashetya yang waktu itu masih menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina dengan gaji ratusan juta." Gue langsung merasa atap mobil ini anjlok dan kepala gue pecah. Hancur. Karena nggak ada yang gue pikirin selain dia pasti pergi dari hidup gue. Dia pasti jijik sama anak mantan koruptor. "Lo anak orang berduit, Bim." "Dan, gimana pendapat lo kalau dapat mertua mantan koruptor?" Senyumannya lebar. Dia ngerti nggak maksud omongan gue? "Yang penting bukan akan menjadi koruptor kan? Lagian gue yakin kok, siapapun masalalu suami dan calon mertua gue nanti, mereka pasti menjadi orang yang baik. Pokoknya besok gue mau nyobain naik Lexus, yes." Yang gue maksud itu adalah gue, Al. Sahabat lo ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN