Bab 3

1200 Kata
"Boleh aku meminta waktu untuk berpikir, Paman? Aku tidak mungkin begitu saja meninggalkan Nico. Paling tidak, aku memberitahu dia untuk membatalkan pernikahan kita besok," Seina akhirnya meminta waktu kepada Noah untuk berpikir. Noah menyipitkan matanya, jelas tidak suka dengan jawabannya, namun dia mengangguk perlahan. "Baiklah, kau punya waktu sampai hari pernikahanmu. Tapi ingat, Seina, aku tidak sabar menunggu. Selesaikan apa pun yang perlu kau selesaikan, lalu kembali padaku." Seina pun mengangguk dan segera pergi dari hotel itu. Berdekatan dengan Noah membuat Seina takut. Apalagi tatapan elangnya, seolah ingin membunuh Seina. Seina memutuskan memesan taksi online dan pergi ke apartemen Nico. Selama di perjalanan, pikiran Seina kacau. Dia bingung, apa yang harus dia lakukan saat ini. Menerima tawaran Noah? Atau, memaafkan Nico dan meneruskan rencana pernikahan mereka?" Seina pun tiba di apartemen Nico. Meski lelaki itu telah begitu dalam menyakitinya, Seina merasa dia perlu bicara dengan Nico baik-baik. Namun, saat Seina membuka pintu itu, dia melihat sosok wanita berdiri di hadapan Nico di ruang makan. Seina berdiri mematung di ruang tamu saat mendengar teriakan wanita itu. Posisi Seina yang berada di balik lemari membuat dia tidak terlihat oleh Nico dan wanita itu. "Dasar bodoh! Kenapa kamu bisa begitu ceroboh, Nico? Pakai tidur dengan Alya segala. Pernikahan kalian tinggal 3 hari lagi, tidak bisakah kamu menahannya? Kalau sudah begini, rencana kita mengambil perusahaan ayahnya bisa gagal!" "Aku sudah bosan dengan gadis bodoh itu, Ma! Kenapa Mama memaksaku? Kita masih bisa hidup enak dengan uang yang diberi oleh Papa, kenapa harus mengambil perusahaan lelaki tua bangka itu!" kata Nico dengan nada sinis. "Apa kamu tidak tahu, kalau jatah yang diberikan oleh Papamu hanya cukup untuk makan sehari-hari? Mama sudah lelah hidup pas-pasan Nico!" Suara seorang wanita terdengar lebih keras kali ini, dan Seina mengenali suara itu sebagai ibu Nico. "Kamu seharusnya hati-hati, Nico. Jika Seina tahu rencanamu, semua akan berantakan! Aku sudah membereskan semua rencana ini bertahun-tahun, dan kau hampir merusaknya dengan Alya!" "Tenang saja, Ma," jawab Nico sambil terkekeh. "Seina tidak akan pernah tahu. Lagipula, dia terlalu bodoh untuk mencurigai apa pun. Dan soal kemarin, aku akan membujuk Seina dan mengatakan kalau aku khilaf. Seina sangat mencintaiku, dia pasti akan memaafkanku." Seina berdiri terpaku, air mata mengalir tanpa henti. Hatinya hancur berkeping-keping. Selama ini, Nico hanya memanfaatkan dirinya, sementara dia benar-benar tulus mencintai pria itu. Dengan hati yang penuh amarah, Seina memutuskan untuk tidak masuk ke dalam dan memilih pergi dari sana. Seina memilih kembali ke rumah ayahnya. Dia ingin bilang pada lelaki itu kalau Nico telah berselingkuh dengan Alya. Di dalam kamarnya, Seina menangis tersedu-sedu, merasa bodoh karena selama ini telah tertipu dengan cinta palsu Nico dan kebaikan semu Alya. "Kalian tunggu saja, aku akan membalas semua perbuatan kalian. Dan untuk kamu, Alya, kurang baik apa aku sama kamu? Bahkan kuliah pun Papa aku yang bayar, dengan teganya kamu merebut kekasihku. Awas kamu!" --- Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, tapi ayah Seina belum juga pulang. "Tumben sampai jam segini belum pulang, biasanya, jam 5 sudah nyampai di rumah," gumam Seina. Wanita itu pun menghubungi nomor sang ayah. Namun sayang, nomor tersebut tidak aktif. Tak lama, ponsel Seina berdering, nomor sang ayah tertera di layar. Dengan senyum kecil, Seina pun langsung mengangkat panggilannya. "Papa ada dimana? Kenapa jam segini belum pulang?" Cecar Seina. Namun, jawaban dari sana tak sesuai harapan Seina. Bukan suara sang ayah yang terdengar melainkan suara lelaki asing yang dia tidak tahu itu siapa. "Permisi, apakah ini keluarga dari Bapak Bastian?" "I-iya, ini saya putrinya. Ini siapa? Mana Papa saya?" jawab Seina, mulai merasa cemas. "Saya dari kepolisian. Saya hanya ingin memberitahu Nona kalau Bapak Bastian mengalami kecelakaan tunggal di jalan tol. Kami mohon maaf, saat kami tiba, ayah Nona sudah meninggal." Dunia Seina langsung hancur saat mendengar kata-kata itu. "Tidak... Itu tidak mungkin!" Seruannya keluar bersama tangis histeris yang menggema di kamarnya. Ponsel di tangannya terlepas, tubuhnya limbung jatuh ke lantai. Selama beberapa saat, Seina hanya bisa menangis tanpa henti. Hidupnya hancur. Kekasihnya yang dia cintai berkhianat. Dan sekarang, lelaki yang menjadi cinta pertamanya pun meninggalkan dia untuk selamanya. Setelah cukup lama terisak, Seina berusaha bangkit. Dia pun bergegas menuju rumah sakit yang disebutkan oleh petugas kepolisian. Air mata terus mengalir sepanjang perjalanan. Dia bahkan tidak bisa fokus menyetir karena terus menyeka air mata agar tidak menghalangi pandanganya. Sesampainya di rumah sakit, suasana dingin dan sunyi di ruang tunggu membuat hatinya semakin hancur. Dia mendekati petugas di meja resepsionis, suaranya nyaris tak terdengar. "Saya... saya putri dari Pak Bastian. Ayah saya... katanya mengalami kecelakaan..." Petugas itu menatap Seina dengan mata penuh simpati. "Ikuti saya, Nona," katanya sambil berdiri. Seina mengikuti langkah petugas itu. Bulu kuduk Seina berdiri saat mereka melewati lorong sepi dan terasa menyeramkan itu. Hati Seina merasa ditusuk ribuan jarum saat mereka tiba di pintu yang bertuliskan Ruang Jenazah. Kakinya terasa berat saat petugas mempersilahkannya masuk ke dalam. Di dalam, seorang pria berbaju putih mendekati mereka. "Anda keluarga dari Bapak Bastian?" tanyanya lembut. "Iya, saya putrinya," jawab Seina dengan suara parau. Pria itu mengangguk pelan, lalu menarik selimut putih yang menutupi tubuh ayahnya. "Kami mohon maaf atas meninggalnya ayah Anda." Saat kain itu terbuka, Seina langsung lemas. Tubuh ayahnya terbujur kaku di atas ranjang, wajahnya penuh lebam. Ada luka besar di dahi dan goresan di pipinya. Seina hampir tidak mengenali sosok yang selalu terlihat tegar dan hangat itu. "Tidak... Papa..." isaknya, air matanya mengalir deras. Dengan langkah ragu, dia mendekati tubuh sang ayah dan jatuh duduk di samping ranjang. "Papa, bangun, Pa... Ini Seina..." bisiknya sambil menggenggam tangan dingin ayahnya. Dia memeluk tubuh ayahnya erat, berharap itu bisa membangunkan lelaki yang telah memberinya cinta dan perlindungan selama ini. Namun, tubuh itu tetap dingin, tak bergerak, dan tak lagi merespons panggilan putrinya. "Papa... maafkan Seina... Maaf kalau selama ini Seina belum bisa bikin Papa bangga. Kenapa Papa pergi sekarang? Seina masih butuh Papa..." tangisnya pecah, menggema di ruangan yang dingin itu. Seina terus memeluk tubuh ayahnya, merasakan dingin yang menusuk, seolah menyadarkan bahwa lelaki yang paling dicintainya itu benar-benar telah tiada. Hatinya terasa hancur berkeping-keping, luka di wajah ayahnya seolah menjadi saksi bisu betapa mengerikannya kecelakaan itu. Dokter dan petugas di ruangan itu hanya bisa menunduk, memberi ruang bagi Seina untuk meluapkan kesedihannya. Waktu seolah berhenti di sana, hanya suara isak tangis Seina yang terdengar. Setelah beberapa saat, seorang perawat mendekatinya dengan lembut. "Maaf, Bu Seina, kami mengerti ini sangat berat. Tapi Anda perlu mengurus beberapa dokumen untuk pemindahan jenazah ke rumah duka." Seina mengangguk lemah, rasanya, dia tak sanggup meninggalkan ayahnya sendirian disini. Seina pun melangkah keluar dengan tubuh yang gemetaran. Pandanganya terus menatap wajah sang ayah yang terlihat bahagia dalam tidur panjangnya. "Papa, tunggu Seina. Seina janji, semuanya akan baik-baik saja..." bisiknya pelan. Dengan langkah gontai, Seina mengikuti perawat ke ruang administrasi. Saat Seina selesai mengurus dokumen administrasi, seorang polisi dengan seragam rapi menghampirinya. Polisi itu membawa sebuah map dan menatap Seina dengan sorot mata serius namun penuh empati. "Maaf mengganggu Anda di saat sulit ini, Nona Seina," ucapnya lembut. "Saya adalah Inspektur Aditya, yang menangani kasus kecelakaan ayah Anda. Ada beberapa hal yang perlu kami sampaikan." Seina menghapus air matanya, mencoba tetap tegar meski hatinya masih terasa berat. "Apa yang ingin Anda sampaikan, Pak?" tanyanya, suaranya serak. "Sebelumnya kami mohon maaf, kami ...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN