"Oh, maaf, benarkah dia istrimu? Kenapa kau terlihat sangat kaku padanya, Tuan Daniel? Apa kalian menikah karena perjodohan?"
Tanpa menunjukkan rasa takut, lelaki yang tak kuketahui namanya, menyahut santai ucapan Mas Daniel begitu ia menegakkan badan dan menatap wajah suamiku. Membuat putra sulung Nyonya Amara terlihat makin menajamkan pandangan.
Wait! Apa laki-laki ini dukun? Bagaimana bisa dia menebak dengan sangat jitu kalau aku dan suamiku menikah karena perjodohan?
"Jadi benar, kalian menikah karena dijodohkan?" ulang laki-laki ini sambil menatap suamiku dengan pandangan mengejek.
"Bukan urusanmu!" sambar suamiku masih sambil menunjukkan ekspresi wajah tak bersahabat.
Tanpa kuketahui apa motifnya, lelaki yang memang kerap datang sebagai pengunjung di minimarket tempat aku kerja dulu, menyeringai kecil.
"Kalau kira-kira perjodohan ini sangat membebani dirimu, cerita saja denganku. Aku bisa memberimu solusi." Lelaki yang berdiri dengan jarak tak terlalu jauh dariku, berucap setengah berbisik padaku. Tapi aku yakin, masih bisa terdengar jelas oleh Mas Daniel.
Terlihat oleh sepasang mataku, suamiku tampak mengepalkan tangan kanannya. Apa dia sedang marah? Marah buat apa? Apa iya dia cemburu? Rasanya … tidak mungkin.
"Ini kartu namaku." Lelaki yang kini terlihat lebih rapi dibanding sebelum-sebelumnya, meletakkan sebuah kartu nama tepat di depanku—di atas meja.
Aku membeku, tak tau harus menerima atau menolak. Yang bisa kulakukan hanya menatap kartu nama itu tanpa kata sambil melirik siapa nama asli cowok yang mirip Jefri Nichol KW ini.
Kartu nama itu kutatap sekilas. Dan ternyata namanya … Adrian Winata.
"Di sini, ada nomor hape aku. Hubungi saja kalau kau butuh teman, oke?"
Seolah tak menghiraukan keberadaan Mas Daniel, lelaki ini mengerling nakal padaku yang masih diam membatu dengan semua kejadian tak terduga ini.
"Hei! Drama murahan macam apa ini? Berani sekali kau menggoda istriku!" Gigi Mas Daniel bergemeretak dengan wajah yang terlihat semakin garang. Benarkah dia cemburu? Bukankah dia bilang aku ini sama sekali tidak menarik? Lantas, kenapa dia harus menunjukkan reaksi berlebihan seperti itu?
"Santai, Bro. Santai. Tapi btw … aku pernah liat kamu ... jalan dengan … eum … Lolita. Apa kalian sudah putus?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Rasanya … belum sampai sebulan ini aku melihat kalian jalan berdua, kan?"
Jadi laki-laki ini tau tentang Lolita?
Mas Daniel diam. Berarti apa yang diucapkan lelaki yang belakangan diketahui bernama Adrian ini, betul?
"Ayo, Lintang. Kita pulang sekarang!"
Aku menatap ragu Adrian sebelum kartu nama miliknya aku sambar dengan cepat dan aku masukkan ke dalam tas jinjing kecil yang kubawa.
"See you." Adrian mengulas senyum tipis sebelum aku dan Mas Daniel benar-benar berlalu dari jamuan makan orang-orang berkelas itu.
Jujur, ada banyak pertanyaan yang menggelayut dalam benak sejak munculnya Adrian tadi. Tapi, ya, sudahlah. Dipikirkan nanti saja.
***
"Kenapa harus buru-buru pulang, sih?" Aku bersungut-sungut kesal ketika Mas Daniel menarik diriku masuk ke mobil BMW 7 series terbaru miliknya.
"Kenapa memangnya?" balas Mas Daniel sambil menghidupkan mesin mobil.
"Aku tadi nunggu hidangan penutup, siapa tahu enak!" sentakku kesal.
Mas Daniel memalingkan muka. Rasanya … dia sedang menertawakan aku dalam diam. Ya … pasti dia sedang memaki dalam hati karena harus memiliki istri yang kampungan kayak aku. Tapi, ya, gimana, orang aku nggak doyan sama menu utama tadi. Jadi, ya, wajar kalau aku nunggu hidangan penutup. Eh, malah dianya yang pengen buru-buru pulang.
Menyebalkan!
"Kita cari tempat lain buat makan." Mas Daniel berucap tegas tanpa menatapku.
"Ah iyalah, terserah kamu aja."
Mobil pun mulai dijalankan.
"Ngomong-ngomong, kenapa tadi kamu harus sewot begitu, sih sama cowok itu?" Akhirnya aku memulai topik untuk membahas cowok berambut gondrong yang kini sudah berambut cepak.
"Kenapa? Kamu nggak terima? Kamu naksir sama dia?" Tanpa diduga, Mas Daniel mencecarku dengan tiga pertanyaan sekaligus.
Ya ampun, apa dimsum sama steak ayam tadi punya magic khusus dan bikin suamiku jadi cerewet?
Kenapa jadi bawel begini?
"Dih, siapa yang bilang aku naksir sama dia," tangkisku kemudian.
"Kamu kenal dia di mana?" Suara Mas Daniel terdengar melunak. Lunaknya seperti puding yang baru matang.
"Dia sering datang dan belanja ke Ind*m*ret tempat aku kerja hari itu," jawabku jujur.
"Oh … pelanggan setia, ya?" tanyanya dengan nada yang terdengar berbeda.
"Iya."
Wait! Kenapa wajah Mas Daniel berubah? Apa dia tidak suka kalau aku membahas soal Adrian?
"Ya udah, Mas. Mampir ke warung ayam geprek, ya. Ternyata aku laper." Aku buru-buru mengalihkan pembahasan saat suasana hening tercipta.
Mas Daniel mengangguk dan memarkirkan mobil begitu kami sampai di depan warung ayam geprek pinggir jalan.
"Makan sini aja." Mas Daniel mengingatkan ketika aku hendak memesan satu porsi nasi plus ayam geprek level terpedas pada Abang penjual yang buka lapak di tempat yang cukup strategis ini.
"Biar apa?"
"Kan nggak lucu, Tang, kita yang katanya habis dinner beli makanan di luar kayak gini." Wah, ternyata suamiku bisa juga berpikir kritis begini. Salut!
Hei, Lintang. Ngaca! Dia itu lulusan Pascasarjana, lah, kamu? Cuma lulusan SMK, kok sok-sokan meremehkan dia.
"Iya, deh, iya."
Aku yang memang pecinta pedas, sangat menikmati ayam geprek level super pedas yang disajikan di hadapanku. Membuat Mas Daniel geleng kepala sambil mengulas senyum saat menatapku yang sesekali merasa kepedasan.
Manis. Memang semanis itu senyum suamiku. Rasanya, aku tidak perlu es teh manis untuk menghalau rasa pedas ini. Cukup melihat senyumnya saja, rasa pedas ini pun akan sirna dengan sendirinya.
Apa kalian percaya?
Jangan percaya! Bohongan aja, tuh.
Mana ada, pedas ilang cuma gara-gara senyuman. Kayak kalau orang nikah cuma modal cinta, mana bisa akur terus kalau dihimpit kebutuhan. Betul tidak?
"Kamu mau coba?" tanyaku basa-basi.
Mas Daniel menggeleng pelan.
"Udah, makan aja. Aku kan udah makan tadi."
"Huh, cuma dikit mana kenyang."
Mas Daniel kembali tersenyum tipis saat aku terus mengunyah sambil berbicara sesekali.
Ya ampun, kalau lihat senyuman dia yang seperti ini, kok, aku jadi curiga, ya, di gigi aku ada cabe lagi.
Buru-buru kuambil ponsel dari dalam tas jinjing. Kunyalakan kamera dengan mode malam untuk memastikan memang tidak ada cabe laknat yang nyangkut lagi di gigi.
Tidak ada ternyata. Lalu, kenapa Mas Daniel harus senyum-senyum begitu?
"Kenapa kamu ngeliatin aku terus, sih? Nggak ada, loh, cabe di gigi aku."
"Cabe terus yang dipikirin. Cepetan habisin! Atau aku tinggal kamu."
Aku mencebik kesal.
"Jahat banget ngancemnya! Nggak berperasaan!"
"Bodo amat!"
Pengen tak hiiih aja suami model begini. Hiih yang gimana dulu? Hiih sayang, lah.
***
"Selamat tidur." Hampir pukul 21.30, Mas Daniel menarik selimut sebelum memejamkan mata.
Aku mengangguk pelan dengan perasaan yang … entah.
Bukankah sikap Mas Daniel belakangan terasa lebih manis?
Ya … walaupun aku masih dibiarkan tersegel sampai sekarang. Tapi ini memang ini satu kemajuan pesat menurutku. Tatapan enggan dan jijik saat memandangku pun mulai berkurang.
Kira-kira … kenapa, ya?
Apa iya dia udah mulai ada rasa sama aku?
Duh, jangan terlalu berharap, Lintang! Ingat, laki-laki kaya pasti tak akan semudah itu jatuh cinta padamu yang miskin dan cuma mantan karyawan minimarket.
Ingat itu!
Aku yang masih berbaring sambil merenung di kamar dengan lampu remang-remang ini, dibuat terkejut saat menyadari Mas Daniel tiba-tiba menyampirkan tangan tepat di atas perutku.
Tidak cuma sampai di situ.Dia yang sudah terpejam, tiba-tiba memelukku semakin erat. Sumpah! Bikin aku deg-degan setengah mati.
Asli, ini pelukan pertama sejak kami menikah. Dan yang pertama juga buat aku, karena aku tidak pernah pacaran sama sekali.
Bagaimana mau mikirin pacaran? Bisa makan dan sekolah sampai tamat saja sudah alhamdulilah.
Ya ampun! Tidak cuma memeluk! Dia yang masih memejamkan mata juga mulai merapatkan wajahnya ke pipiku.
Duh, mau apa dia?
Apakah akan terjadi kekhilafan sebentar lagi? Apakah dia akan menciumku sebentar lagi? Atau bahkan … dia bakal melakukan sesuatu yang lebih?
Duh, kok, jadi panas begini, ya?