Jantungku seakan hampir melompat saat hidung bangirnya menyentuh pipiku.
Ya ampun, baru pipi saja sudah panas dingin begini? Bagaimana kalau sampai yang lain? Duh … kok rasanya jadi nano-nano begini, ya?
Seluruh tubuhku mendadak terasa tegang. Bagaimana tidak, ini sesuatu yang baru untukku. Dipeluk dan dikecup pipi sama lawan jenis yang alhamdulillah adalah suami sendiri, benar-benar sesuatu pokoknya.
"Lintang?!"
Mas Daniel buru-buru melepaskan pelukan dan menjauhkan wajah dariku begitu matanya terbuka. Apakah dia menyadari jika hidungnya yang bangir, sudah mengenai pipiku?
Meski dengan perasaan gugup, aku masih mencoba bertahan pada posisiku.
"Kenapa? Ada masalah?" Aku menyahut santai walaupun dalam hati ada rasa kecewa karena melihat dia seperti menyesal telah memeluk dan mencium pipi istrinya sendiri.
"Kamu pasti sengaja, 'kan?" Dengan mata melotot dan napas yang terlihat naik turun, dia menuding tanpa perasaan.
"Sengaja apanya? Bukannya kamu yang peluk-peluk, kok malah jadi aku yang disalahin?" Aku membalas ucapannya dengan perasaan kesal. Ya, walaupun aku kagum dengan semua yang ada dalam diri Mas Daniel, tapi buatku pantang untuk memulai lebih dulu.
Aku perempuan, masa iya aku yang nyosor duluan? Kan nggak lucu! Lagian, aku juga belum berpengalaman.
"Kalau dirasa keberadaanku di sini sangat mengganggumu, oke, aku tidur di sofa!" Aku buru-buru menurunkan kaki ke lantai dan berjalan cepat menuju sofa kamar berwarna coklat tua, yang di depannya terdapat meja kaca berbentuk persegi panjang.
Di saat seperti ini, aku merasakan dadaku terhimpit.
Aku kembali rendah diri, merasa tidak seharusnya setuju menikah dengan anak pengusaha sukses seperti Pak Ramon yang pernah sekali dua kali singgah di minimarket tempat aku bekerja hari itu.
"Tang." Entah merasa bersalah atau apa, Mas Daniel memanggil namaku dengan sedikit lembut begitu aku sudah terduduk kaku di sofa.
"Nggak usah panggil-panggil!" Aku menyahut tajam. "Aku menyesal karena setuju menikah dengan laki-laki yang memandangku sama hinanya dengan kotoran."
"Bukan begitu, Lintang …."
"Sudahlah, Mas, kalau kamu ngantuk. Lanjutkan tidurmu. Aku bersumpah nggak akan mengganggumu."
Mas Daniel menyentak napas kasar.
Sejurus kemudian, tampak dia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.
Apa kemarahanku membuat perutnya mulas?
Tak sampai lima menit, suamiku terlihat keluar dari kamar mandi dengan wajah yang terlihat lebih segar. Apa dia mencuci muka barusan? Biar apa?
Setelahnya, terlihat pria 28 tahun itu mengambil laptop dan memangkunya. Kakinya ia selonjorkan begitu saja, sedang punggungnya bersandar di kepala ranjang.
Sesekali, kami saling pandang dari jarak yang agak berjauhan. Namun, satu kata pun tak ada yang keluar untuk memecah suasana hening yang masih diliputi ketegangan ini.
"Rasanya … aku butuh teman." Sengaja aku berucap cukup lantang, ingin tahu bagaimana reaksinya.
Mas Daniel yang sedari tadi sibuk dengan laptop di pangkuan, melirik padaku.
Wah, lumayan. Dia terpengaruh juga ternyata.
Bagus!
Tanpa kata, aku bangkit dari sofa. Kuambil kartu nama Adrian Winata yang tersimpan di dalam laci nakas samping ranjang.
Dari ekor mataku, bisa kupastikan dia melirik padaku begitu aku membuka laci.
Bodo amat!
Tanpa ingin tahu bagaimana dia berekspresi selanjutnya, iseng kusimpan nomor ponsel milik cowok gondrong yang kini berambut cepak.
Bukan karena aku kegatelan, loh, ya. Jujur, aku sedikit penasaran atas pengetahuannya tentang hubungan suamiku dengan Lolita yang katanya masih terlihat hangat sebulan belakangan.
Setelah tersimpan, aku mencoba menghubungi nomor kontak lelaki itu.
"Hallo?" Suara Adrian memenuhi rongga telinga saat telepon kami tersambung.
"Aku butuh teman curhat." Aku menyahut dingin ucapannya.
"Wow. Ini Mbak kasir yang dijodohin sama cowok tajir mantan pacar Lolita itu, kan?" Dari nada bicaranya, Adrian terdengar begitu yakin saat menerka siapa aku. Padahal, bukankah baru kali ini kami berbicara melalui sambungan telepon?
"Iya, betul."
"Ada masalah apa menelponku malam-malam begini, Mbak Kasir?" tanyanya ringan. Namun, begitu ampuh membuatku sedikit kesal saat mendengarnya.
"Hei, aku punya nama, namaku Lintang!"
Huh! Pandai bikin naik darah juga orang ini.
"Ah iya, maaf, soalnya kita kan belum kenalan." Dia tergelak lantas tertawa lepas. Rasanya … tidak ada yang lucu, loh, padahal.
Aku mendecih singkat ketika tawanya seperti tak mau berhenti. Sayangnya aku tidak punya tombol pause buat bikin dia berhenti tertawa.
Huft!
"Ada yang bisa dibantu?" tanyanya saat mungkin giginya mulai kering setelah puas melerai tawa.
"Ya, aku butuh pekerjaan. Rasanya … perjodohan ini memang cukup menyiksaku, Pak Adrian." Aku mengucap kalimat basa-basi sebelum membahas tentang persoalan inti. Rasanya … tidak lucu, kan kalau to the point gitu?
Mendengar ucapanku yang mungkin terdengar frontal, Mas Daniel mendongak dan menatapku tajam. Sepertinya … dia juga mulai menajamkan pendengaran. Buktinya dia terlihat tidak begitu fokus dengan laptop di hadapannya.
"Nggak perlu panggil Pak. Panggil saja Mas, atau … sayang juga boleh." Lagi-lagi dia tergelak tanpa rasa berdosa. Beneran, deh, ini orang kayak gak pernah punya beban.
Ah, iya lah, wajar. Dia pasti berbeda denganku. Sejak kecil aku selalu pusing bagaimana bisa mendapatkan uang, sedangkan dia … mungkin saja bingung bagaimana caranya untuk menghabiskan uang.
"Hah? Sayang? Dih!" Aku memprotes dengan perasaan kesal.
"Bercanda, Sayang …."
"Kok sayang lagi?"
"Maaf, salah terus. Soalnya itu yang paling gampang."
"Dasar buaya!"
"Dan kamu lubang buaya?"
"Dasar piktor. Aku mau nanyain pekerjaan kenapa sampai ke lubang buaya, sih?" ucapku bersungut-sungut kesal.
"Ada pekerjaan," ujarnya singkat, tapi mampu menarik perhatianku.
"Beneran?"
"Ya."
"Jadi apa? Pembantu? Tukang gosok? Atau ….?"
"Jadi ratu di hatiku."
Ya ampun, tobat banget, deh, ngomong sama cowok model begini!
"Aku serius, Pak."
"Pak lagi? Aku bahkan lebih muda dua tahun dari suamimu, Lintang."
"Ya … maaf. Tapi, aku serius mau cari pekerjaan, Mas Adrian."
"Duh manisnya," sambarnya ketika aku mengubah panggilan secepat itu. Apakah panggilan 'Mas' terlalu berlebihan?
"Apaan, sih? Emang dikira gula?"
Terlihat Mas Daniel bangkit entah untuk alasan apa.
Hah ya ampun, gara-gara ngobrol ngalor-ngidul nggak jelas sama Adrian, aku sampai lupa kalau di kamar ini ada sepasang telinga yang mendengar obrolan kami?
Kok bisa jadi begini?
Tanpa kata, ponselku dirampasnya dan panggilan basa-basi dengan Adrian, diputuskan secara sepihak.
"Omong kosong macam apa ini, Lintang?!" Terdengar suaranya melengking sesaat setelah melempar ponselku ke atas ranjang.
"Ini bukan omong kosong! Aku butuh pekerjaan. Aku harus membantu paman dan bibi menyekolahkan anak-anak mereka. Kamu tahu, aku banyak berhutang budi pada mereka." Aku menjawab panjang lebar. Ya, meskipun saat berbincang dengan Adrian tadi sekedar basa-basi, tapi jujur, dalam hati kecilku aku memang masih ingin bekerja. Karena ternyata, dipandang sebelah mata oleh suami sendiri semenyakitkan ini.
"Memangnya, kamu butuh berapa banyak uang, ha? 10, 20, 30? Kenapa harus berpikir soal bekerja? Bukankah tujuan kamu menikah denganku cuma karena uang?"
Deg!
Meski tanpa suara, air mataku luruh begitu saja.
Ya Allah, rupanya serendah itu dia memandangku?
Bukan cuma karena kampungan, dia juga mengecap diriku sebagai penggila harta.
Rendah. Ya, ternyata serendah ini aku di matanya.
Tanpa ingin membalas ucapan pedas darinya, aku membuka pintu kamar dengan terburu. Rasanya, aku butuh tempat lain agar aku bebas menumpahkan air mata tanpa terlihat olehnya. Lelaki bergelar suami yang menganggapku sehina itu.
"Lintang!"
Seruannya tak kupedulikan.
Dengan langkah tergesa aku menuruni tangga dan berjalan cepat menuju pintu utama rumah mewah ini.
"Daniel, ada apa dengan istrimu?"
Mama yang sepertinya terusik oleh kegaduhan antara anak dan menantunya, keluar dari kamar miliknya yang berada di lantai dasar.
"Nggak ada apa-apa, Ma, cuma salah paham."
Apa? Salah paham dia bilang?
Aku yang pikirannya tengah kacau, terus berusaha membuka pintu utama rumah ini. Namun, gagal.
Hatiku semakin gondok, saat menyadari upayaku untuk keluar dari rumah ini tak mungkin berhasil karena ternyata … pintunya sudah dikunci dan aku lupa tak membawa kunci saat meninggalkan kamar tadi.
"Mau ke mana?"
Mas Daniel bersedekap santai saat menatapku yang terdiam kaku di depan pintu.
"Bukankah Mama meminta kita untuk segera memberinya cucu?" tanyanya dengan ekspresi wajah nakal, yang membuatku semakin tak habis pikir.
Mama dan papa mertua yang berdiri tak jauh dari tempat putranya berdiri, hanya saling pandang sambil mengurai senyum.
"Bukan itu yang tadi Mas Daniel bicarakan, Ma …." Aku buru-buru menyambar ucapan suamiku saat merasa ada hal yang perlu diluruskan.
"Terus?" tanya mama mertua, terlihat penasaran.
Ah, haruskah aku berkata jujur pada kedua mertuaku bagaimana Mas Daniel memandang rendah padaku?
"Dia tadi bilang—."
Belum sempat kuungkap kebenaran, aku dibuat tak berkutik sama sekali saat Mas Daniel tiba-tiba mendaratkan bibirnya di bibirku.
Ya ampun dia … mengecup bibirku barusan? Dia … mengecup bibir seorang Lintang di depan kedua orang tuanya? Kenapa aku mendadak ingin pingsan?
"Daniel …! Nakal, ya."
Mertuaku cekikikan dan tampak sangat terhibur melihat sandiwara putra mereka yang murahan.
"Gaskeun, Daniel! Mama dukung. Andre sama Indri saja uwuw, kok walaupun beda sepuluh tahun, apalagi kalian cuma beda sembilan tahun, pasti bisa lebih uwuw."
Mertuaku kembali cekikikan saat membandingkan hubungan kami dan hubungan sepupu suamiku dan pasangannya—Mbak Indri.
Mas Daniel mengulas senyum tipis menyambut ucapan sang mama.
"Ayo, Sayang, udah malam ini."
Selanjutnya, tanpa banyak bicara lagi, Mas Daniel tiba-tiba mengangkat tubuhku—membopongku dengan pandangan lurus ke depan saat menaiki tangga. Dia bahkan terlihat sama sekali tak ingin peduli dengan bagaimana pandangan kedua orang tuanya yang bisa dengan jelas melihat kemesraan palsu ini.
Ya, harus aku akui, dia memang drama king yang patut diacungi empat jempol.
"Kalau gitu … Mama pesan yang kembar, ya, Dan!"
Mama mertuaku berseru sambil cekikikan saat melihat putranya terus membopong tubuhku seperti tak terbebani barang sedikit pun.
What? Pesan yang kembar?
Ya ampun! bisa-bisanya mertuaku request cucu seperti pesan Boba!