Kenapa Diam?

1384 Kata
"Serius, nih, nggak tertarik?" Aku nekat menanggalkan rasa malu untuk sementara waktu saat berjalan mendekatinya. Laki-laki sombong bergelar suami yang kesannya selalu menganggap remeh seorang Lintang Handayani. "Apa … aku kurang seksi?" Suara manja menggoda melengkapi aksi yang bahkan tidak pernah terlintas di dalam otakku sebelum ini. Mas Daniel menatapku sinis sambil bergidik ngeri. Seperti ilfeel melihatku yang memang agak lebay. Habisnya mau bagaimana lagi, daripada aku tambah malu, mending berbuat konyol saja sekalian. Iya, 'kan? Terlihat suamiku mendecak sebal. "Buruan sana, pake rok, kek, celana, kek! Nggak ada bagus-bagusnya tau, kayak gitu!" ujarnya ketus. Huh! Dasar jaim! Padahal kelihatan banget kalau dia sedang mati-matian agar tidak tergoda. Buktinya … dia enggan menatapku lama-lama. Setelah rasa malu di dadaku sedikit berkurang, segera kuambil celana Tartan motif kotak untuk mengakhiri keadaan awkward ini. "Tidur! Jangan begadang, jangan main hape terus." Mas Daniel memperingatkan begitu aku menyusul menaiki ranjang dan berbaring di sampingnya. Lelaki yang entah bagaimana menganggap aku selama menjadi istrinya. "Iya …." Tak lama berselang, suamiku yang semula bersandar di kepala ranjang, tampak membaringkan tubuhnya dan lantas memejamkan mata. Sementara aku, walaupun sudah terbaring cukup lama, rasa kantuk belum juga datang. Tanpa diminta, kejadian naas di masa lalu, menghinggapi kepala secara tiba-tiba. Bayang kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orangtua dan adikku bertahun silam, membuat kepalaku berdenyut nyeri dengan mata yang turut memanas. Mengingat kejadian buruk di masa lampau, napasku mendadak terasa berat dan tersendat. Mereka menyebut diriku anak yang beruntung, tapi aku menyebut diriku anak yang malang. Ya, karena cuma akulah yang selamat pada peristiwa naas hari itu. Mereka menganggap aku pantas bersyukur karena diberi umur panjang. Padahal, jika diizinkan aku sangat ingin menyusul mereka—orang-orang tersayang yang telah pergi mendahuluiku. Sejak berusia sembilan tahun, aku ditempa harus menjadi sosok yang kuat dan tegar. Karena hidup memang tetap harus berjalan meski terasa kejam dan menyakitkan. Setelah kepergian orang tua dan adikku, aku diasuh oleh paman dari pihak ibu yang ekonominya pas-pasan bahkan cenderung kekurangan. Sedangkan dari pihak Bapak, yang notabene rata-rata adalah keluarga berada, sama sekali tak peduli. Aku terisak saat menyadari kalau aku tak seberuntung mereka-mereka yang memiliki orang tua dan keluarga lengkap yang mengisi masa kecil dengan penuh suka cita. Aku berbeda. Aku harus turut merasakan pahit getirnya mencari nafkah jika masih ingin makan dan melanjutkan sekolah. Hidup tak semudah itu untukku. "Ibu … Bapak, Ayuni, aku kangen." Air mataku meleleh saat bayang tiga orang terkasih yang telah terbujur kaku sebab kecelakaan hari itu, dikafani dan dibaringkan secara berjajar sebelum dishalatkan. Ya Rabb, sungguh, rindu ini menyiksaku. "Lintang?" Aku buru-buru memalingkan wajah saat menyadari suamiku terbangun dan menatap lekat padaku. "Kenapa nangis?" tanyanya yang justru membuat dadaku makin terasa sesak. "Enggak … aku nggak nangis." Aku mencoba mengelak. "Kenapa? Kamu ... masih tersinggung sama ucapan-ucapan temen Lolita tadi siang?" tebaknya pelan. Oh … jadi mantan pacar Mas Daniel namanya Lolita? Aku menggeleng pelan. Mencoba meyakinkan jika memang bukan hal itu yang membuat diriku bersedih kali ini. "Oke." Mas Daniel mengangguk, tapi seperti tak ingin mencari tahu apa yang menyebabkan istrinya menangis malam-malam begini. "Ya udah, tidur lagi, ya." Aku mengangguk pelan sebelum memejamkan mata dan berusaha sekuat tenaga agar membuatnya terpejam. *** "Lintang, kenapa mata kamu bengkak, Sayang? Apa Mas Daniel udah jahatin kamu?" Saat sedang duduk di meja makan pagi ini, mama mertua yang mungkin melihat mataku berubah sembap, bertanya sambil melirik putranya. "Enggak, Ma." Aku menggeleng tegas dan lantas menunduk. "Ma, jangan apa-apa yang disalahin aku, lah. Aku nggak ngapa-ngapain dia, kok." Aku mendongak saat suamiku yang memang tidak terlibat atas bengkaknya mataku, memprotes dengan kesal tuduhan sang mama. Papa mertua yang duduk di samping istrinya, menatapku iba. "Hidup harus tetap berjalan, Lintang. Jangan terus bekubang dengan duka di masa lalu, Nak." Aku hampir tak bisa mempercayai jika papa mertua seperti bisa membaca jalan pikiran dan kesedihan yang tengah kualami saat ini. Aku tak mengerti dan tak pernah tahu menahu ada hubungan apa antara Pak Ramon—papa mertuaku, dengan orang tuaku di masa lalu. Namun, yang pasti, beliau memang sepeduli ini padaku. Bahkan, pernikahan antara aku dan Mas Daniel juga atas kehendak pria paruh baya ini. "Iya, Pa." "Daniel, kamu juga jangan kaku banget, ya, sama istri sendiri." Papa mertua terdengar mewanti-wanti anak sulungnya. Membuat suamiku mengangguk kaku. "Iya, Pa." *** [Ecie yang udah nikah sama cowok kaya, udah lupa, ya, sama kita-kita?] Aku mendengkus pelan membaca pesan dari sahabat baikku yang masih bekerja sebagai karyawan minimarket sampai sejauh ini. [Nggak usah mikir gitu, ah. Aku justru kangen sama keseruan kita pas momen mau lebaran, banyak pembeli.] Aku membalas pesan dari Ratna dengan senyum terukir di bibir. Aku dan Mas Daniel yang masih-masing sedang sibuk dengan ponsel di tangan dibuat tersentak saat pintu kamar kami diketuk siang ini. Dan ketika kami membuka pintu, terlihat papa mertua berdiri tegak di sana. "Daniel, Lintang, nanti malam ada undangan makan malam dari rekan bisnis, Papa minta kalian saja, ya, yang datang." "Iya, Pa." *** "Sini, Mama bantuin kamu make-up, Sayang. Biar penampilan kamu makin kece." Selepas Maghrib, mama mertua menarikku ke kamarnya yang luas. Menghadapkan aku pada banyak alat make-up yang aku tak tahu pasti satu persatu namanya. "Lintang sebenernya nggak pede, Ma. Datang ke acara-acara seperti itu." Aku yang merasa rendah diri, mulai bersuara ketika Mama mulai menyapukan fondation di wajahku. "Kenapa?" "Muka Lintang kampungan, Ma." Aku berucap lirih sambil menahan agar air mataku tak luruh. "Siapa yang bilang begitu?" Aku menggeleng lemah. Tak ingin membahas siapa-siapa saja yang menganggapku sebelah mata. Karena jika dihitung dari dulu, bakal begitu banyak nama yang harus aku sebutkan. "Mulai sekarang, kamu harus PD, ya, kamu cantik, kok," ujarnya terdengar menenangkan. Mama mertua rupanya begitu ahli dalam urusan merias wajah. Melalui tangan beliau yang super cekatan, wajahku pun disulap jadi mirip Putri Elsa. Dikit! Canda! Mama mertua lantas mengambilkan aku tas jinjing kecil begitu wajahku sudah dipermak sedemikian rupa. "Sempurna." Nyonya Amara—si mama mertua yang cantik dan awet muda ini, menatapku takjub ketika aku berdiri sambil menjinjing tas kecil yang aku tak tau pasti harganya berapa. Rasanya, sih, mahal. "Udah belum? Perasaan lama amat?" Mas Daniel yang mungkin sudah siap untuk berangkat, mengetuk pintu kamar mamanya dari luar. "Sabar, dikit lagi!" seru sang Mama. Mama mertua lantas mengajari diriku bagaimana caranya berjalan dan duduk secara anggun saat menghadiri acara-acara formal. Huft! Rupanya jadi menantu orang kaya memang sedikit ribet. Bukan sedikit, tapi sangat ribet. Setelah dirasa siap, Mama lantas membuka pintu. Melihatku tampil dengan dress bermotif bunga dan mengenakan high heels dengan make-up yang berbeda membuat Mas Daniel ternganga. Entah dia sedang takjub, terpana, atau syok, aku tak tahu. "Dan!" "I-iya, Ma?" Suamiku tampak gugup ketika sang mama menegurnya secara tiba-tiba. Mama mertua cekikikan melihat sang anak tampak gelagapan. "Baru nyadar, ya, kalau Lintang cantik?" "I-iya, Ma." Terlihat Mas Daniel buru-buru menutup mulut. Seperti menyesal kalau mengakui istrinya ini cantik. Mataku membulat. Benarkah ini, Ferguso? Eh salah, maksudku … Mas Daniel …. Benarkah di matamu aku cantik, Mas? Nanti lah, aku tanyakan lagi kalau sudah makan malamnya. Takut jawabannya tak mengenakkan, nanti yang ada malah rusak make-up aku gara-gara nangis Bombay. Huft! *** "Hai, Bro, what's up?" Seorang pemuda berpenampilan formal, menyalami suamiku begitu kami sampai di tempat yang menjadi lokasi diadakannya acara makan malam kali ini. Sebuah restoran mewah berkonsepkan outdoor, menjadi tempat berkumpulnya kalangan para elit untuk melakukan makan malam yang rasanya sedikit banyak dibumbui ajang pamer dan ria. Astaghfirullah, Lintang. Bersihkan hati dan pikiranmu! Aku merasa agak risih saat lelaki yang barusan menyalami Mas Daniel terus memfokuskan pandangan padaku. Apa dalam hati dia juga mengumpat dan menyebutku kampungan? Ya Allah, Lintang. Berhentilah suudzon. Tak dinyana, teman Lolita, si rambut pirang datang juga ke acara makan malam para kaum elit ini. "Gimana rasanya Nyonya Daniel, bisa gabung sama orang-orang berkelas? Pasti … sesuatu banget, kan? Secara, sebelum ini kan kamu cuma ketemunya sama customer-customer minimarket. Pasti vibes-nya beda, ya, kan?" Tawanya tersembur saat mengejekku secara terbuka di muka umum. Ada yang berdenyut di dalam d**a menghadapi hinaan yang dilontarkan. Mataku pun mendadak terasa perih dan panas. Bagaimana dia bisa tahu kalau aku dulu bekerja sebagai seorang kasir? Apa dia menstalking akun sosial media milikku? Mas Daniel menatap nyalang wajah gadis yang secara terang-terangan menghinaku di depan khalayak. Namun, kalimat pembelaan tak kudengar sama sekali dari bibirnya. Membuatku merasa kecewa padanya untuk yang kesekian kali. "Mas, aku mau pulang!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN