Ya ampun cabe! Bikin malu tujuh turunan saja!
Aku memalingkan muka dan langsung mengambil cermin kecil dari tas selempang yang aku pakai.
Meskipun rasa hati ingin salto karena menanggung malu, aku tahan saja karena ini tempat umum. Bukan apa-apa, takut suamiku tambah malu.
Bisa gagal nanti progres aku bikin bayi good looking sama dia. Kan sayang.
***
"Gimana jalan-jalannya, Tang?" Mama mertua menyambut kepulanganku dan Mas Daniel dengan wajah semringah.
Mendengar pertanyaan mama mertua, membuatku terdiam untuk beberapa saat. Bayang wajah gadis cantik yang aku temui di depan warung mie ayam langganan Mas Daniel tadi, membuatku tak bisa berpikir jernih.
Kenapa mereka bisa putus, ya? Padahal sepertinya mantan Mas Daniel orangnya baik. Ya … masih lebih mending lah daripada duo macan bermulut pedas tadi.
"Menyenangkan?"
Aku terkesiap saat mama mertua yang sepertinya masih penasaran dengan acara jalan-jalan yang melibatkan aku dan Mas Daniel, menyentakku dengan pertanyaan itu.
"I-iya, Ma." Aku menyahut spontan pertanyaan mertuaku. Memancing sebuah senyuman di wajah wanita paruh baya berwajah cantik ini.
Mas Daniel yang sepertinya lelah, berjalan cepat menuju ke kamar. Sepertinya … dia sama sekali tak tertarik untuk menceritakan bagaimana pengalaman pertama jalan denganku. Wajarlah, aku ini kan bukan siapa-siapa buat dia.
Hei, Lintang! Bukankah kau istrinya? Walaupun baru sekedar istri di atas kertas? Kalau di atas ranjang, 'kan … belum terjadi apa-apa. Eh!
"Ya udah, Ma. Kalau gitu … Lintang naik dulu, ya, mau Dzuhuran." Aku mengangguk pelan dan sedikit membungkukkan badan pada mertuaku sesaat sebelum menaiki tangga dan menyusul langkah putra sulungnya naik ke kamar yang terletak di lantai atas.
"Mas, tadi … yang di depan warung mie ayam itu … beneran mantan kamu?" Aku yang sedari tadi diliputi rasa penasaran, nekat bertanya pada suami yang tampak bad mood sesampainya kami di rumah.
"Anak kecil nggak usah kepo, bisa nggak?"
What?
Lagi-lagi dia menyebutku anak kecil? Padahal kecil-kecil begini pun kalau disuruh buat anak bisa lah.
Cuma apesnya dia belum mau coba, sih.
"Oh yaudah, maaf, deh, kalau gitu," ujarku sebelum menarik diri menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
"Tang."
Aku menoleh saat kedua telingaku menerjemahkan jika benar dia memang memanggil namaku barusan.
"Iya, Mas?"
"Bisa tolong bikinin aku kopi?" tanyanya terlihat sedikit canggung.
"Bi-bisa," balasku sedikit gugup.
Ya ampun, Mas. Jangankan bikin kopi, bikin anak juga aku mau.
Hey, please, Lintang. Jual mahal sedikit! Jangan diobral, oke?
"White coffee, ya," ucapnya sebelum aku membuka pintu.
"Iya, Mas."
Meski sebelumnya aku sudah meniatkan diri untuk berwudhu dan kemudian shalat, tapi jika suami sudah meminta tolong dan memberikan perintah, bukankah lebih baik aku mendahulukannya?
Aku yang tengah membuatkan kopi untuk suamiku, dibuat terkejut saat menyadari mama mertua datang dan menghampiri diriku di dapur.
"Tang," ucapnya sambil berbisik. Membuatku curiga jika ada satu hal penting yang ingin beliau sampaikan.
"Itu … Mas Daniel yang minta dibikinin kopi?" tanyanya masih dengan suara lirih.
"Iya, Ma," ucapku sambil meletakkan cangkir kopi di atas tatakan kecil.
"Eum … gimana kalau kapan-kapan kita cari obat perangsang buat suamimu, kamu bisa memberikannya kalau dia sedang membuatkan minuman seperti ini," cetus Mama tanpa terduga. Masih sambil berbisik tentunya.
Luar biasa sekali idenya, tapi … rasanya aku tak tertarik untuk mencobanya.
"Enggak, deh, Ma. Lintang pengennya semua terjadi secara alami," balasku meski dengan perasaan takut.
"Oh … so sweet, baiklah. Teruskan, Sayang. Rebut hati suamimu. Mama mendukungmu seratus persen!"
"Iya, Ma."
***
Selepas Maghrib.
"Mas?" Aku memecah keheningan dengan sebuah kata yang membuat Mas Daniel—yang sebelumnya tengah fokus dengan gadget di tangan, menoleh padaku.
"Apa?"
"Bisa minta tolong sesuatu?" ujarku pelan.
"Minta tolong apa?" tanyanya sambil menyipitkan matanya. Seperti meremehkan.
"Antingku pas di kamar mandi tadi jatuh sebelah," balasku memberanikan diri.
"Terus?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya.
Ya ampun! Tak bisakah dia menunjukkan tampang ramah sekali saja?
"Bisa kamu bantu pasangin?" tanyaku lirih.
"Kenapa nggak tunggu besok aja,atau … minta bantuan Mama, kek?"
Aku meneguk ludah berat. Kan memang tujuannya biar kamu lebih dekat sama aku, Mas. Gimana, sih? Masa nggak ngerti juga?
"Ya udah, biar aku pasang sendiri," ucapku berputus asa. Rasanya … memasang anting di telinga istrinya dianggap sebagai satu pekerjaan yang teramat berat untuk suamiku.
Desah napas Mas Daniel terdengar kasar. Sesaat kemudian, terlihat pria berwajah tegas itu meletakkan telepon pintarnya di atas nakas.
"Ya udah, sini, mana antingnya?"
Aku pun membuka tangan dan menunjukkan sebelah antingku yang memang terjatuh ketika aku sedang mandi tadi.
Yes! Adegan romantis seperti yang sering terjadi di film-film akan berlangsung sebentar lagi.
Saat si cowok memasangkan antingnya untuk si cewek.
Uwuw banget nggak, sih?
Eh, please, Lintang. Jangan lebay! Lihatlah, wajah suamimu saja ditekuk begitu.
Kami pun lantas duduk berdua di sofa kamar setelah Mas Daniel mengambil alih sebelah anting dari genggaman tanganku.
"Mas … pelan-pelan, sakit tau!" Aku melayangkan protes saat merasakan tangannya terlalu kasar saat menyentuh cuping telingaku.
Mas Daniel mendecak singkat.
"Belum juga dimasukin, udah ngeluh."
Aku menatapnya sengit. Rupanya adegan romantis cuma ada dalam angan dan di film saja.
Kami tidak!
"Makanya jangan lasak. Susah ini masukinnya. Kok bisa sih, rapet begini?" Dia melayangkan komplain saat menyadari memasang anting di daun tak semudah membalikkan telapak tangan.
"Ya mana kutahu. Mungkin kamunya yang nggak pinter buat masukin."
"Kamu ngeremehin aku!"
"Ya udah buruan, masukin, udah capek tau nunggu!" Aku bersungut-sungut kesal saat merasa dia memang tak begitu pandai memasang anting di telinga istrinya ini.
Krumpyang!
Aku dan Mas Daniel yang sedang meributkan pasal anting, terperanjat.
Suara apa barusan?
Apa … itu suara piring yang terjatuh? Siapa yang menjatuhkannya?
"Biar saya bersihkan pecahan piringnya, Nyonya."
"Iya, Bi."
What?
Jadi … Mama menjatuhkan piring?
Wah pasti barusan mama mertua mengira aku sedang 'ehem-ehem' sama anaknya.
Hm. Doakan saja, ya, Ma. Semoga yang terjadi malam ini bukan sekedar memasukkan anting di cuping telinga. Tapi … memasukkan yang lain.
Ihirrr!
Eh, ya ampun, Lintang. Bersihkan otakmu dengan segera!
"Udah," ucap Mas Daniel setelah anting resmi terpasang kembali di telinga kananku.
"Ya udah, makasih, ya, Mas."
Mas Daniel mengangguk pelan.
Tak berapa lama setelah pemasangan anting yang memakan waktu cukup lama, keheningan mengisi sampai ponsel Mas Daniel yang diletakkan di atas nakas berdering.
"Hallo?"
Siapa yang menelepon? Kenapa … rasanya tak enak begini?
Apakah benar mantannya yang tadi siang itu yang menelepon?
"Bisa nggak kita nggak ngomongin soal itu sekarang?" Mas Daniel melirik padaku ketika dirinya berbicara dengan seseorang di seberang sana melalui sambungan telepon.
Tak lama kemudian, aku mendadak berdiri tak tenang. Bukan sebab salah tingkah karena Mas Daniel menatapku barusan. Tapi sebab sakit perut yang membuatku blingsatan. Apa ini gara-gara aku makan sambal terlalu banyak tadi siang?
Duh … kenapa efeknya baru terasa sekarang, ya?
Perut yang mendadak mulas memaksaku berlari menuju kamar mandi dengan cepat untuk kemudian menunaikan hajat.
"Ah … lega."
Aku keluar dari kamar mandi saat rasa mulas di perutku berangsur berkurang. Dan agak sedikit plong.
"Tang."
Mas Daniel membuatku mendongak saat dia memanggil dengan sebutan yang jauh dari kata mesra. Kenapa Coba harus manggil Tang? Kenapa nggak Yang aja?
Kan lebih sweet gitu.
"Apa?"
"Kamu habis cebok lupa nggak pake celana apa gimana?"
Mataku sontak terbuka lebar mendengar pertanyaan darinya. Di-dia … dia melihat apa barusan?
Aku menatap ke bawah dan ....
Hah! Ya ampun! Bagaimana bisa aku cuma memakai ....
Celana panjangku ke mana tadi?
"Apa kamu pikir aku bakal tertarik melihatmu cuma pakai kain segitiga begitu, ha?"
Huaaa! Malu aku malu, pada cicak-cicak yang tertawa di dinding ….