"Mas, turunin!" Aku berucap dengan mata melotot saat menatap dirinya yang tetap terlihat tenang saat membopong tubuhku ala bridal style.
Mas Daniel cuek dan tetap membopongku sampai ke kamar. Orang yang melihat aksinya saat ini pasti mengira jika kami adalah pasangan hangat yang sedang kasmaran. Ya, Bahkan, dia menggunakan kaki kanannya saat mendorong pintu dan membukanya. Sudah seperti pengantin baru yang sedang dimabuk cinta bukan?
Luar biasa!
Pun saat menutup pintu pasca kami masuk lagi ke kamar, dia pun mendorong dan memastikan pintu tertutup rapat dengan sebelah kakinya.
Namun, gayanya yang membopong ala bridal style berakhir ketika kami sudah berdua saja di kamar ini. Tanpa kata-kata, dihempaskannya tubuhku ke atas ranjang tanpa perasaan.
"Aw!" Aku mengaduh sembari memegangi punggungku. Ya, meski tempat tidur ini empuk, rasanya tetap saja tidak enak saat dihempaskan begitu.
"Kasar banget, sih!" Aku mengomel kesal padanya yang sesuka hati melemparku seperti karung beras.
Mas Daniel menyeringai. Dia tampak puas melihatku menunjukkan tampang sebal.
"Ngapain coba pake bilang ke Mama kalau kita mau bikin baby? Kita nggak cocok! Aku bukan wanita yang tepat untuk melahirkan anak-anak dari laki-laki kaya yang culas sepertimu!" ucapku tajam.
"Oh … jadi menurutmu, Adrian si tengil itu lebih baik dariku dan lebih pantas untuk menjadi ayah dari anak-anakmu? Begitu maksudmu?" balasnya sambil bersedekap seraya menaik turunkan alisnya.
Ya ampun, kenapa jadi membahas soal Adrian? Lalu, kenapa Mas Daniel menyebut Adrian sebagai lelaki tengil? Memangnya … dia nggak bisa ngaca? Bukankah dia sama tengilnya dengan cowok itu?
"Terserah apa katamu, tapi yang jelas kita memang nggak cocok!" balasku ketus.
"Kau terlalu banyak bicara, Lintang!"
Aku bergidik saat Mas Daniel berjongkok dan mendekatkan wajahnya secara tiba-tiba.
Mau apa dia?
Aku merasakan keringat dingin membasahi pelipis saat lelaki berkulit putih ini hampir membuat wajah kami tak berjarak begitu dia menjatuhkan tubuhnya di bibir ranjang.
Mata kupejamkan saat hembusan napasnya yang hangat, makin terasa lekat di pipi.
Benarkah dia akan menciumku? Kenapa rasanya jadi tidak karuan seperti ini?
Aku membuka mata lebar saat merasakan tak terjadi apa-apa setelah beberapa lama aku memejam.
Tanpa diduga, suamiku tertawa renyah menyambut sikap konyolku barusan.
"Ngarep banget pengen dicium lagi. Yang tadi, tuh cuma akting. You know?" ungkitnya dengan tatapan mengejek.
Pipiku memanas. Ada rasa malu mendominasi yang tak bisa kujelaskan.
Aku yang kepalang malu, berniat menurunkan kaki dan kembali menjauhi dengan memilih tidur di sofa. Namun, belum sempat terealisasi, tanganku ditahan olehnya.
"Nggak usah gegayaan tidur di sofa. Sakit badan ntar. Dan … satu lagi, mengganggu ketentraman, kau dengar?!" ucapnya lantas mencebik bibir dan menunjukkan tatapan garang.
"Mengganggu ketentraman bagaimana? Bukannya kalau aku tidur di sini, kamu bakal lebih terganggu?" balasku berapi-api.
"Hei! Apa kau pikir bertelepon ria dan genit-genit dengan laki-laki di malam hari itu nggak bikin telingaku terganggu?" balasnya dengan nada bicara yang sangat menjengkelkan.
"Ya udah, aku pindah kamar aja, mau tidur bareng bibik di bawah."
Aku benar-benar menurunkan kaki ke lantai.
"Heh, makin ngadi-ngadi, ya, lu, Bocah!" Saat ini juga, cekalan tangan Mas Daniel makin kuat mencengkram pergelangan tanganku.
"Setelah puas bikin aku terganggu, sekarang kamu mau bikin bik Onah terganggu, begitu?" tuduhnya menyebalkan.
"Ish. Ngomong apa, sih, nggak jelas!"
"Udah, jangan banyak omong, tidur sekarang!" Dia menarik tanganku dan memaksaku merebahkan diri. Dan berbaring di sampingnya.
Dasar aneh!
"Udah, nggak usah kepikiran main hape terus. Tidur!" sentaknya saat aku yang tak juga mampu memejamkan mata, melirik ponselku yang telah Mas Daniel simpan di atas nakas.
Aku pun memejamkan mata dengan terpaksa. Entah apa yang akan dilakukan lelaki egois ini setelah aku tertidur, aku tak peduli.
***
"Loh, nggak jadi bikin baby, Dan? Kenapa … rambut Lintang nggak basah?" Di meja makan, mama mertua meledek secara terang-terangan di depan suami dan putranya.
"Ya, gimana, dong, Ma. Mau aku ajakin dianya malah molor duluan pas sampai kamar." Mas Daniel menjawab santai pertanyaan mamanya.
Aku mendelik padanya. Lelaki egois yang duduk di sampingku memang benar-benar pandai membual.
Ngadi-ngadi emang anak Pak Ramon ini, kapan coba dia ngajakin? Bukannya dia yang nyuruh aku tidur?!
Ah, tapi bukankah kau pun akan berpikir seribu kali jika harus melahirkan anak dari orang yang memandangmu sebelah mata ini, Lintang?
Jadi, tidak masalah jika dia tak pernah menyentuhmu bukan?
"Ah, yang bener? Masa, sih?"
"Iya, Ma," balas Mas Daniel terdengar meyakinkan.
Aku memilih diam. Malas menanggapi ucapan lelaki yang pandai bersilat lidah ini.
"Eum … gimana kalo kalian pergi bulan madu saja, Dan? Ke Swiss, kek, atau … ke Bali, deh kalau mau yang deket-deket." Mama mertua memberi usul yang sontak membuat suamiku terbatuk saat mendengarnya.
"Nggak usah, Ma." Aku menampik cepat usul mertuaku. Tak mau dia dulu yang mengambil kesempatan untuk menjawab usulan mamanya.
"Yah … gimana, dong. Mama udah pengen banget ini punya cucu ini," ucap mama mertua tampak bersedih hati.
"Hai, Semua!" Alvian—adik iparku, tiba-tiba datang menyapa. Membawa perbedaan suasana di meja makan pagi ini.
"Vian. Udah puas ngebolangnya?" Mama menyambut kepulangan anak bungsunya dengan senyum terukir di bibir.
Menanggapi pertanyaan sang mama, Alvian terkekeh pelan.
"Habisnya gimana, Ma. Males aja jomblo disuguhi uwu-uwuan penganten baru. Jadi ya mending menjauh dulu sejenak," balas Alvian lantas tertawa lepas.
Uwu apaan, Vian! Masmu ini nggak ada manis-manisnya sama sekali, tau!
"Ya udah, sini sarapan dulu, Vian."
"Iya, Ma, bentar. Mau nyimpen tas dulu."
Alvian datang ke meja makan setelah menyimpan tas miliknya di kamar.
"Enak, kan?" tanya mama mertua meminta dukungan pendapat ketika melihat Alvian begitu lahap menyantap sarapan miliknya.
"Iya, Ma. Enak." Adik ipar berusia 20 tahun ini mengangguk tanpa ragu setelah menyuap beberapa kali makanan yang terhidang.
"Ini masakan kakak iparmu, loh, Vi." Mama mertuaku terlihat bangga saat mengucapkan kalimat itu.
"Wah. Masa sih, Ma?" ucap Alvian dengan pandangan tak percaya saat menatapku.
"Iya," sahut mertuaku terdengar lembut.
"Ternyata … kamu pinter masak juga, ya, Lin." Alvian terus menatap padaku sambil menampilkan senyum ramah.
Aku hanya tersenyum tipis menanggapi pujian Alvian. Dan bagaimana caranya memanggilku dengan sebutan 'Lin' terasa berbeda di hati dan pendengaran. Karena sejak kecil, aku memang memiliki nama panggilan kesayangan, 'Itang'. Makanya, panggilan 'Lin' justru terdengar aneh.
"Lan, Lin! Lan Lin! Ingat, walaupun lebih muda, dia ini kakak iparmu." Tanpa terduga, suamiku menyambar ucapan adiknya dengan nada tak bersahabat dan sama sekali tak enak didengar.
Punya masalah apa, sih, dia?
"Iya, maaf, maksudku … Mbak Lintang." Alvian buru-buru meralat panggilan. Aku hanya mengangguk pelan menanggapi keramahan adik iparku ini.
"Rasanya … aku sama Lintang harus pindah rumah secepatnya, deh, Ma." Ucapan Mas Daniel yang tiba-tiba, membuat semua yang duduk mengitari meja makan, terperangah.
"Loh, kenapa?" tanya mama mertua sambil menyipitkan sepasang netranya.
Mas Daniel mendesah singkat.
"Mama tau, 'kan, istilah ipar adalah maut?" balas suamiku pelan tapi tajam saat menatap sang adik. Membuat Alvian sontak mendecak sebal.
"Hei, Bro! Lu lupa kalo gue kuliah di Jogja?" sambar Alvian, tampak tak terima.
"Ya … intinya aku cuma ingin membuat Lintang nyaman, Ma." Suamiku terdengar mantap dengan ucapannya. Namun, justru membuatku menaruh prasangka.
"Aku sudah nyaman di sini," sambarku cepat. Tak ingin begitu saja setuju dengan usulannya yang tiba-tiba.
"Tapi aku mau kita tetap pindah, Lintang." ucap Mas Daniel, terlihat keukeuh dengan keinginannya. Ada masalah apa lagi, sih, dia?
"Biar apa? Biar kamu bisa jalan bebas dengan Lolita? Begitu maksudnya?" cecarku tak bisa menyembunyikan amarah. Ya, jujur aku cemburu saat Adrian mengungkap mereka masih mesra bahkan belum sampai sebulan ini.
"Lintang!"