Detik ini, tampak sekali Mas Daniel tersulut emosi saat aku menyebut nama mantan kekasih yang mungkin saja masih berhubungan baik dengannya sampai sekarang.
Huh! Apakah tuduhanku memang benar?
Jujur aku mengakui, dadaku bergemuruh hebat ketika mencoba menafsirkan ekspresi wajahnya saat ini. Ada satu rasa yang tak bisa kujelaskan saat menyadari bukanlah aku yang menjadi prioritas utama untuknya, meski jelas aku adalah istri sahnya.
"Dan, ingat, kamu sudah punya istri. Jangan memberi celah pada wanita lain untuk memporak-porandakan nasib pernikahan kalian." Papa mertua terdengar bersuara. Membuat semua yang ada di sini terdiam. Pun begitu dengan Mas Daniel, dia terlihat seperti anak baik-baik yang enggan membantah perkataan orang tuanya.
"Kamu juga perlu ingat satu hal. Kamu sudah mengambil tanggung jawab atas Lintang saat mengucap kalimat kabul di depan penghulu, Daniel …." Kalimat Pak Ramon berikutnya, terdengar sedikit menentramkan di hatiku.
"Iya, Pa." Lagi-lagi, Mas Daniel bersuara pelan sambil mengangguk layaknya anak yang berbakti saat menyahut ucapan papanya.
"Perkara kalian mau pindah ke rumah baru atau tetap di sini, Papa membebaskan. Tergantung Lintang saja." Lagi, ucapan papa mertua terdengar sangat bijaksana. Membuatku merasa sudah seharusnya bersyukur karena telah dipilih menjadi menantu oleh beliau yang terlihat berwibawa dan menenangkan dalam segala situasi.
"Tapi kalau menurut Mama, mungkin lebih baik Lintang tinggal di sini dulu, deh, Pa. Papa tau kan dari dulu Mama pengen punya anak perempuan?" Mama mertua menyahut sambil menatapku dengan tatapan penuh makna. Membuat diriku merasa disayangi.
Bukankah aku pantas bersyukur sekali lagi? Karena mendapatkan mertua yang menganggapku seperti anak mereka?
Ya, sejak umur sembilan tahun, aku hampir lupa bagaimana rasanya dimanja dan disayang.
Bukan aku tak menganggap kasih sayang paman dan bibi, tapi memang mereka menyayangi aku dengan cara yang berbeda. Menjadikan aku sosok yang lebih kuat dan tegar untuk menghadapi kerasnya kehidupan. Kadang, faktor ekonomi yang lemah juga menjadi salah satu alasan orang tua tak punya waktu untuk memanjakan anak-anaknya. Begitu juga agaknya yang terjadi pada Paman dan Bibi. Namun, bagaimanapun keadaannya, aku tetap pantas berterima kasih kepada mereka.
"Papa tau, 'kan, dari dulu Mama pengen banget punya anak perempuan? Jadi … biarkan Lintang tetap tinggal di sini, ya, Pa?" Mama mengulangi ucapannya ketika sang suami tak langsung menyahut ucapan beliau sebelum ini.
Papa mertua mengangguk, seperti sepakat dengan usul yang disampaikan istrinya.
Sejurus kemudian, terlihat Mas Daniel bangkit dari meja makan dengan tampang gusar. Jelas sekali dia tak sepaham dengan ucapan sang mama yang keukeuh menginginkan aku untuk tetap tinggal di sini.
Aku yang mendadak tak enak hati, buru-buru menyudahi sarapan. Rasanya, ada yang perlu aku diskusikan dengan suamiku setelah ini.
"Permisi dulu, Pa, Ma." Aku mengangguk pelan sebelum meninggalkan meja makan.
"Iya, Sayang," balas Mama ramah.
"Lihat, kita beruntung, kan, punya menantu seperti Lintang. Moga-moga aja … Lintang bisa bikin anak kita move-on dari cewek itu, ya, Pa." Meski samar, aku bisa dengan jelas menangkap apa yang mama mertuaku ucapkan pada suaminya.
Cewek itu? Siapa? Lolita, kah?
Aku lantas menyusul Mas Daniel ke kamar. Rasanya … aku tetap harus membuat satu keputusan walaupun itu berat untuk dilakukan.
"Oke, aku setuju pindah rumah." Aku berucap tanpa basa-basi. Membuat Mas Daniel yang sebelumnya tengah berdiri kaku di samping ranjang, menoleh padaku. Seperti tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Ada motif apa ini? Bahkan, tidak sampai sepuluh menit kau sudah berubah pikiran?" tanyanya dengan nada yang jelas-jelas meragukan.
Aku mendesah pelan.
Serba salah, 'kan, berbicara dengan manusia seperti dirinya?
"Aku akan membebaskanmu jalan dengan Lolita selagi kau bahagia bersamanya." Lagi-lagi aku berucap tegas ketika mendekatinya.
Mas Daniel menatapku tajam. Ya, kelihatan sekali dia sangsi dengan ucapanku.
"Tapi, izinkan aku kembali bekerja." Aku melanjutkan ucapan. Membuat perubahan berarti di wajah pria 28 tahun ini.
"Oh … jadi alasanmu setuju pindah rumah karena kau pun ingin mencari keuntungan? Iya?!" Dia balik bertanya dengan nada menuduh sekaligus menyepelekan.
"Keuntungan apa?" balasku tak mengerti.
Aku meminta untuk kembali bekerja dan dia menyebutku juga ingin mengambil keuntungan? Drama macam apa ini? Bukankah akan lebih terhormat jika kita punya penghasilan sendiri?
"Dengan kau bekerja, kau akan bebas bertemu dengan anak tengil itu, 'kan?" Lagi dan lagi, dia menuduh secara terang-terangan.
"Maksudmu apa, sih, Mas? Aku nggak ngerti."
"Ternyata sikapmu tidak selugu tampangmu, Lintang!" ucap Mas Daniel lantas membanting pintu dengan kuat. Membuat jantungku seperti hendak melompat dari tempatnya.
Ya ampun! Apa sebenarnya yang dia inginkan? Kalau dia saja masih berharap banyak pada Lolita, bukankah seharusnya … dia tak perlu mencemaskan aku jika ingin kembali bekerja?
Apa sebenarnya yang kau inginkan, Mas?
Sebuah pesan masuk pada ponsel yang tergeletak di atas nakas membuatku tertegun. Ya, Mas Daniel yang sepertinya terbakar emosi dan meninggalkan kamar secara terburu-buru memang meninggalkan ponselnya secara tidak sengaja.
"Someone?"
Tanpa aba-aba, aku merasakan ada sebagian hatiku yang terasa retak saat meraih ponsel dan melihat nama si pengirim pesan.
[Gimana, Mas? Apa rencanamu berhasil?]
Itu saja isi pesan yang bisa k****a karena ternyata ponsel suamiku berpola. Namun, meski begitu, ampuh membuat hatiku tercabik dan bahkan hancur saat membacanya.
Rupanya … prasangkaku benar. Dia memang merencanakan sesuatu saat mengutarakan niat untuk pindah dari rumah ini.
Benar rupanya, menjadi istri yang dinikahi karena terpaksa dan tak pernah dianggap keberadaannya, ternyata sesakit ini rasanya.
Tak berselang lama, Mas Daniel yang mungkin merasa meninggalkan ponselnya, masuk kembali ke kamar.
Matanya menatap nanar padaku saat melihatku masih terdiam kaku menatap layar ponsel miliknya.
"Berbahagialah dengan Lolita jika itu yang menjadi tujuanmu!" Aku berteriak lantang saat menyerahkan ponsel kepada pemiliknya. Dengan cepat, aku berbalik, enggan menatap suamiku yang entah bakal bereaksi seperti apa melihat ekspresi cemburu yang kutunjukkan secara terbuka ini.
Setelahnya, dengan hati yang kian terasa hancur, kusambar ponsel milikku dan mendial nomor seseorang tanpa pikir panjang.
"Mas Adrian, apa kamu sibuk?" tanyaku cepat ketika tak menunggu lama, panggilanku mendapatkan respon.
"Ada apa ini, Mbak Kasir, ah, maaf, Lintang?" tanyanya dari seberang sana.
"Mungkin sudah saatnya aku mengakhiri perjodohan konyol ini dan kembali ke dalam kehidupanku yang lebih realistis, Mas. Ya, benar, selamanya Upik Abu tidak akan pantas bersanding dengan pangeran." Aku berucap dengan sangat jelas agar lelaki yang disamakan dengan pangeran oleh Karen, bisa mencerna baik-baik ucapanku.
"Lintang?" Adrian memelankan suara saat mungkin menyadari aku tak bisa menahan isak tangis.
Aku sangat menyesal karena tak bisa menyembunyikan tangis dan air mata di hadapan lelaki yang menganggapku serendah dan sehina itu.
"Tolong beri aku pekerjaan sementara waktu sampai pernikahan kami resmi dibatalkan." Aku menyambung ucapan meski air mata terus lolos dan membanjiri pipi.
"Tunggu. Dibatalkan? Berarti kalian—?"
"Ya, karena dia masih membiarkan aku tak tersentuh sampai sejauh ini, jadi, cukup pembatalan nikah, kan?"
"Wow …! Ah, iya, cukup pembatalan nikah saja kalau begitu."
Dada Mas Daniel terlihat naik turun saat mendekati diriku yang masih ingin mencurahkan segala keluhan pada Adrian. Dirampasnya ponselku dan diputusnya panggilanku bersama lelaki itu tanpa basa-basi. Benda pipih itu lantas dilempar ke sembarang arah oleh dirinya yang saat ini tampak dikuasai amarah.
"Oke, mari kita lakukan sekarang!" Mataku terbelalak lebar dengan jantung berdegup kencang saat Mas Daniel yang masih dalam emosi tinggi, tiba-tiba melepas kaos oblong dan singlet yang melekat di tubuhnya.
"Akan kubuat kau tak perawan sekarang juga!"