"Apa? Jadi elu belum ngapa-ngapain si Lintang?" tanya sepupu Mas Daniel sambil membelalak lebar dan lantas menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Serius lu belum ngapa-ngapain dia? What?!" ulangnya masih dengan tatapan tak percaya.
Mas Daniel tampak begitu salah tingkah saat Gerald mencecar dirinya dengan pertanyaan gamblang itu.
"Rugi lu punya bini nggak diapa-apain, Dan … Dan …," komentar Gerald sedikit banyak membuat perbedaan ekspresi di wajah suamiku sekarang.
"Apa mau gue wakilin?" Pertanyaan nyeleneh dari Gerald berikutnya, ternyata sukses memancing tangan suamiku menoyor kening sepupunya.
"Sembarangan lu kalo ngomong!" ucapnya dengan gigi bergemeletuk.
Gerald tertawa tanpa rasa berdosa melihat ekspresi aneh yang ditunjukkan adik sepupunya. Ya, walaupun usia Mas Daniel lebih tua, tetap saja secara silsilah Gerald pantas dipanggil dengan sebutan kakak oleh suamiku.
"Serius, rela gue, kalo harus mewakili elu buat buka segelan, pasti gurih," tambahnya yang sontak membuat aku dan suamiku merengut kesal.
Melihat ekspresi tak suka yang ditunjukkan olehku dan Mas Daniel, Gerald senyam-senyum tanpa rasa bersalah.
"Lintang, ayo pulang sekarang. Unfaedah ngomong sama Pakboy kayak dia." Mas Daniel tiba-tiba menggandeng tanganku ketika mencibir sepupunya yang sedari tadi terus-menerus menunjukkan cengiran menyebalkan.
Aku masih belum percaya saat tangan kekar yang sejak beberapa hari ini kuimpikan, meraih tanganku dan menggenggamnya … erat.
Ya ampun, mimpi apa, ya, aku tadi malam? Ini seriua Mas Daniel yang menggenggam tanganku?
So sweet banget nggak, sih?
"Laper nggak?" tanya Mas Daniel sambil melangkah menuju tempat mobil diparkirkan.
"Kenapa?"
"Mau ngajak kamu makanlah. Masa iya mau ngajak kayang," balasnya enteng.
Dasar nyelekit!
Kami pun meninggalkan area wisata dan memilih untuk makan mie ayam langganan suamiku. Katanya, mie-nya terkenal enak, murah, dan tempatnya pun higienis.
Tidak kusangka, orang kaya bisa juga perhitungan seperti itu.
Baru hendak memasuki warung mie ayam lesehan langganan suamiku, tatapan mata tajam dari beberapa orang gadis yang baru keluar dari warung tersebut, membuat telingaku benar-benar tak nyaman mendengarnya.
"Aduh … seleranya, Ganteng …." Salah seorang diantara mereka terdengar menyeletuk sesaat setelah menatap sekilas padaku dan Mas Daniel yang jalan bergandengan sebelum memasuki warung mie ayam sederhana yang tampak penuh oleh pengunjung.
Ya Allah. Apa mereka sedang menertawakan Mas Daniel karena menikah dengan gadis miskin dan tak cantik seperti diriku?
"Kirain, mutusin kamu bakal dapat yang lebih oke, Ta. Taunya … masih kalah jauh." Seorang gadis cantik yang rasanya berasal dari keluarga berada, mengibaskan tangannya sambil menjulurkan lidah setelah menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Deg!
Mereka … benar-benar sedang menghinaku?
Gadis cantik berambut coklat—yang rasanya hasil semir di salon, lantas menatap sinis padaku setelah mengucapkan kalimat bernada ejekan yang terdengar mencubit hati.
"Mungkin, dia sudah menurunkan standar kecantikan wanita. Makanya … cewek model begini aja dinikahin."
"Nggak nyangka gue, sumpah." Terdengar yang lain menimpali.
Mas Daniel terdiam kaku. Tapi satu yang membuatku sedikit kecewa. Kenapa juga dia harus melepas genggaman tangan saat bertatapan dengan gadis cantik berambut panjang yang berdiri di tengah itu? Apa dia itu mantan pacar Mas Daniel? Dan suamiku belum move on darinya?
"Mas, aku lapar." Aku mencoba cuek. Tak ingin menanggapi hinaan pedas mereka, karena rasanya … makan mie ayam pedas akan lebih menggoda dan menggugah selera.
"Ya udah, yuk," balas Mas Daniel sedikit gugup.
"Ck! Muka kampungan! Pantes aja mau nikah sama mantanmu, persis si buruk rupa yang menjebak pangeran! Asli."
Oh, rupanya olok-olokan mereka belum berhenti?
Daebak!
Aku yang semula hampir memasuki warung lesehan mie ayam yang sudah ada di depan mata, terpaksa menoleh. Rasanya, aku harus mempergunakan mulutku sebaik-baiknya untuk meladeni mereka yang belum pernah dipelototin sama orang buta.
Memangnya aku sudah? Kan, belum juga. Tapi tak apalah, mari berikan dia sedikit pelajaran!
"Tutup mulutmu, ya, Mbak!" Aku mengultimatum dengan mata melotot pada mereka yang dengan mudahnya menginjak-injak harga diriku.
Seperti tak terpengaruh oleh peringatanku, mereka hanya tersenyum sinis melihatku marah.
"Sudah, Lintang, sudah." Mas Daniel bersuara pelan, seperti ingin menenangkan istrinya yang sudah kadung naik darah ini.
Dengan d**a turun naik, aku menoleh dan lantas menatap tajam wajah suamiku.
"Kenapa kamu diam saja, Mas? Apa nggak ada keinginan buat kamu membela istrimu saat ada yang menghinanya terang-terangan?" Aku mengolok dengan begitu transparan. Membuat suamiku membeku.
Entahlah, dia sedang mencerna ucapanku atau sedang menanggung malu karena aku memaki dirinya di depan mantan kekasih dan gengnya yang cantik-cantik dan terlihat berkelas itu.
"Sudah, sudah, ayo pulang." Gadis yang kuperkirakan adalah mantan pacar Mas Daniel, menuntun dua rekannya untuk meninggalkan tempat ini.
Huh! Padahal aku masih ingin marah, eh malah kabur mereka.
Dasar Cemen!
"Jadi makan?" Pertanyaan Mas Daniel selanjutnya, membuatku terkesiap.
"Jadi."
"Ya udah, ayok."
"Dasar ABG! Gampang banget terpancing." Mas Daniel mencibir begitu kami sudah duduk berhadapan di warung mie ayam lesehan yang cukup ramai pengunjung ini.
Aku mendengkus kasar.
"Aku cuma manusia biasa, Mas," ucapku sambil menatapnya kesal.
"Terus, yang bilang kalau kamu malaikat tuh, siapa?"
Aku mencebik kecil. Merasa tak pernah mendapat dukungan sama sekali dari dia yang pandai membuat orang jadi rendah diri dengan semua ucapan yang keluar dari mulutnya.
"Ya habisnya mereka pada pedes-pedes banget ngomongnya."
"Halah, gitu aja dimasukkin ke hati."
Lihatlah, dia selalu menganggap remeh, bukan?
"Udah … buruan makan! Katanya lapar."
Aku meraih semangkuk mie ayam yang diberikan padaku dengan mata berbinar.
"Gimana, mie-nya enak?"
Aku mengangguk-angguk senang. Rasa pedas yang menaungi lidah dan bibir tak kupedulikan. Sungguh, ini memang nikmat.
Aku yang baru selesai menikmati mie ayam lezat tadi, dibuat serba salah saat menyadari Mas Daniel tak berhenti menatapku.
Ada apa?
Ya Allah.
Apakah cinta di hatinya telah tumbuh dan berputik? Kenapa cuma memandang wajahku saja sampai tersenyum lebar begitu?
Apakah cinta dalam hatinya tidak cuma berputik? Tapi juga … bermekaran?
"Kamu … kamu kenapa, Mas?" tanyaku malu-malu.
"Itu … ada cabe di gigimu."
Ya Allah! Rupanya cabe ini yang memancing senyum di bibirnya? Bukan karena kecantikanku yang membuatnya terpesona?
Asem!
Cabe nggak ada akhlak!