Jason yang masih berada di hotel, ketika mendengar pintu terketuk spontan membukanya. Melihat seorang wanita berdiri sambil memegang ponsel, keningnya perlahan menampakkan kerutan.
"Aku kira kamu ke ruangan yang salah." Jason menutup pintu, tidak membiarkan Renata mengucapkan sepatah kata pun.
Namun Renata tetap bersikukuh, kembali mengetuk pintu ruangan Jason.
"Apa yang kamu inginkan?" Jason membuka pintu dengan enggan.
"Jason, apakah kamu yang menghubungi Karen?" Mendengar hal ini Jason menyipitkan mata, tak langsung menjawab pertanyaan yang diarahkan kepadanya.
"Ada yang salah, kenapa aku harus menghubungi Karen?"
Renata sejenak berpikir, mungkinkah apa yang dia pikirkan tentang Jason keliru. Jika begitu siapa yang menghubungi Karen, apakah dia sendiri?
"Lupakan pertanyaanku." Renata hendak berbalik, tapi Jason berkata.
"Sebaiknya kamu berhati hati terhadap Arya Wiguna, dia bukan pria baik."
Renata menghentikan langkahnya, melirik Jason yang masih di belakangnya. "Aku tahu siapa yang baik dan tidak, kamu tak perlu mengkhawatirkan ku."
Jason mendengus. "Jika kamu berpandangan seperti itu, maka aku tak perlu banyak berusaha mengingatkan. Sebagai seorang mantan suami, wajar jika mengkhawatirkan mantan istrinya."
Setelah berkata Jason menutup pintu, sementara Renata yang masih termenung di tempatnya mendengar perkataan Jason.
***
Hari hari berlalu, Jason telah kembali ke Kota Levanya. Dia menjalani hatinya sebagai bos besar, pemimpin perusahaan JR group.
"Bos, nanti siang akan ada pertemuan dengan perusahaan Wijaya. Ini masalah pulau pribadi yang akan dibangun dalam satu bulan." Robin memberikan beberapa berkas kepada Jason.
Mendengar nama perusahaan Wijaya, Jason mengingat keluarga yang selama dua tahun ke belakang senantiasa merendahkannya. Sekarang mereka hendak mengemis untuk mendapatkan proyek pulai pribadi dari perusahaannya.
Bagaimana jadinya jika mereka melihat seorang yang mereka pandang rendah muncul sebagai orang yang menentukan apakah proyek ini akan mereka dapatkan atau tidak.
"Kamu urus saja, entah itu hasilnya, kamu yang tentukan." Jason melambaikan tangan, membuka laptop dan memuat ulang salah satu data yang sudah dia persiapkan sebelumnya.
Robin menggaruk tengkuk kepala dengan tangan kanannya. "Bos, ini adalah kesempatan untuk menginjak wajah mereka, kenapa kamu melewatkan begitu saja?"
Robin benar benar tak habis mengerti dengan apa yang ada di dalam kepala Jason, jika itu dia tak butuh berpikir banyak untuk langsung turun tangan dan menunjukkan kedigdayaan terhadap orang orang yang telah merendahkannya.
Dua tahun bukan waktu yang sebentar, selama itu Jason telah menerima hinaan. Namun pria itu tetap sabar, entah apa yang membuatnya bisa bersikap demikian.
"Yang kamu katakan tidak salah, tapi aku mau mereka mengetahui tentang diriku dari orang lain, bukan diriku sendiri. Biarkan mereka menyaksikan betapa bersinarnya bintang yang telah mereka abaikan." Jason memutar pen di tangannya, mengeluarkan ekspresi aneh yang membuat Robin bergidik ngeri.
Sementara itu di kediaman keluarga Wijaya, beberapa orang tengah berkumpul, sepertinya mereka membahas masalah pertemuan dengan perusahaan JR Group yang tentunya akan membawa dampak positif jika benar benar terlaksana.
"Nanti siang, akan ada pertemuan dengan perusahaan JR group. Septian, kamu adalah lulusan universitas terbaik. Aku harap kamu bersama dengan Renata bisa meyakinkan CEO Robin untuk menyerahkan proyek pulau pribadi ini kepada perusahaan Wijaya." Sekar Wijaya, wanita tua kepala keluarga Wijaya itu sudah hidup hampir delapan puluh tahun.
Setelah kematian tuan Wijaya, Sekar memimpin keluarga Wijaya. Meski tidak bisa membawa perubahan signifikan, itu membuat keluarga Wijaya bertahan sebagai keluarga tingkat kedua.
"Ibu, Septian memang mempunyai kemampuan. Tapi apakah Renata dapat diandalkan, bukankah lebih baik mengirim Tomi?" Tantri - putri tertua Sekar Wijaya, memiliki dua orang anak, satu putra dan satu putri.
Tomi merupakan anak pertamanya, saat ini menjadi supervisor di perusahaan Wijaya. Sedang anak keduanya bernama Silfi, sepantaran Renata, tapi tidak begitu berkompeten dalam bekerja, hanya bisa berbelanja.
"Benar ibu, Renata masih terlalu muda untuk mengurus masalah serius seperti ini, aku khawatir dia akan merasa gugup atau sejenisnya." Irwan, suami Tantri mencoba mendukung kalimat istrinya, menyodorkan putra mereka.
Danu serta Nanda, orang tua Septian hanya diam menyaksikan kakak tertua mereka mencoba menggeser posisi Renata, selama posisi anak mereka aman, mereka tidak akan bertindak.
Berbeda dengan Darwis dan juga Laras, Renata akan di singkirkan, bagaimana mereka bisa duduk diam hanya menyaksikan.
"Ibu, meski Renata masih muda, itu tidak menjamin dia tidak mampu. Itu sudah terbukti dengan posisi yang dia tempati sekarang, dia adalah seorang manager." Laras menyenggol Darwis, tapi suaminya itu masih diam di tempatnya.
Sekar memejamkan mata untuk sesaat, kepala keluarga Wijaya berusia senja tersebut menghela nafas rendah.
"Renata, apakah kamu yakin dapat melakukannya?" Sambil menoleh ke arah Renata, Sekar berkata dengan suara tegas.
Renata agak ragu hendak menjawab, bagaimana pun itu adalah perusahaan JR group, perusahaan terbesar di Kota Levanya.
"Nenek, aku akan berusaha." Renata tidak mau memaku harapan terlalu tinggi, bukan dia tidak yakin, hanya saja dia menghindari kekecewaan yang terlalu besar.
"Renata, jika kamu tidak yakin kami bisa mundur. Biar aku dan sepupu yang melakukannya." Tomi melirik sinis, mengeluarkan pandangan mencibir.
"Aku akan melakukannya, apapun itu caranya." Renata meninggikan suaranya memaksa Tomi untuk menutup mulut seketika.
Hem...
"Jika kamu bermalam dengan CEO Robin, mungkin dia akan dengan mudah memberikan kontrak proyek pulau pribadi itu kepada keluarga Wijaya." Tomi mendengus sambil berkata.
"Tomi, kamu jangan keterlaluan!" Renata berdiri, tanpa sengaja tangannya menggebrak meja dengan lantang.
"Cukup!" Sekar berkata singkat, tapi itu sudah cukup untuk membuat suasana menjadi tenang kembali.
"Renata, aku dengar kamu sudah bercerai dengan suami tak bergunamu itu. Tidak ada salahnya menjalin hubungan dengan CEO Robin, dia merupakan seorang pria muda mapan dan memiliki kekuasaan. Keluarga Wijaya pasti akan berkembang jika hal ini terlaksana."
Sekar berkata sambil menyeruput teh yang ada di dekatnya.
Renata yang mendengar perkataan neneknya, diam mematung. Bagaimana bisa neneknya berkata demikian, bukanlah itu berarti secara tidak langsung menyuruhnya untuk menjual tubuh kepada perusahaan JR group?
"Aku masih ada laporan yang harus dikerjakan." Renata berdiri, pergi meninggalkan ruangan yang terasa sesak, mengekang dirinya bagai boneka.
Beberapa saat kemudian, Laras menyusul.
"Nak, menurut kabar CEO Robin masih lajang, tidak ada salahnya untuk mendekatinya. Kalian sama sama tidak memiliki pasangan, selain itu dengan parasmu yang menawan siapa uang tidak terbuai?"
Laras berdiri di hadapan Renata, mencoba meyakinkan Renata atas pemikirannya.
Sementara Renata menatap ibunya tak percaya.
Apakah benar wanita di hadapannya itu adalah ibu kandungnya? Bagaimana bisa seorang ibu menjerumuskan anaknya untuk melakukan perbuatan seperti itu.
Renata benar benar frustrasi, dia meninggalkan Laras tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.