Galaksi Artha Dirgantara

2021 Kata
Bagi sebagian orang, pekatnya langit malam memiliki arti cukup kelam di balik keindahan hamparan bintang. Namun, tak sedikit pula dari mereka menjadi sang penikmat kegelapan malam, yang berhasil menghangatkan hati dalam dinginnya embusan angin. Apalagi, jika dilihat dari ketinggian 38000 ft. Tak hanya keindahan langit malam, gemerlap cahaya dari lampu-lampu rumah warga, dan lampu-lampu jalanan kota yang terlewati, seakan memberi warna lain dengan keindahan tak biasa. Membawa secercah harapan, membersamai ketenangan petang tak terelak. "Ngie, pesanan teh hangat untuk penumpang best seat 6A," ujar seorang pramugari bernametag Yara. Gadis bernama Pelangi itu segera bangkit dari posisinya, merapikan pakaian terlebih dahulu, sebelum akhirnya mengambil alih nampan, dan membawa pesanan tersebut dengan hati-hati menuju seat yang memesan. Namun, belum sempat tiba pada kursi yang dituju, matanya sedah lebih dulu membelalak, ketika melihat seseorang yang amat sangat begitu tidak asing sedang tersenyum lebar ke arahnya. "Kakek, ngapain di sini?" tanya Pelangi setengah berbisil, sembari menaruh gelas di atas meja kecil. Pria paruh baya itu tak melepas senyumannya, ketika melihat sang cucu tersayang. "Kakek lagi jalan-jalan. Sumpek di rumah sendirian." "Kek, jangan bikin gaduh, ya! Angie lagi kerja sekarang. Jangan sampai orang-orang tahu, status Kakek siapa dan Kakek adalah kakeknya Angie. Bisa gawat nantinya," balas Pelangi kembali berbisik. Pria paruh baya itu menepuk punggung tangan cucunya, kemudian berkata, "baik, Tuan Putri. Asal setelah penerbangan selesai, kamu pulang ke rumah Kakek, dan tidur di sana!" Karena tidak ingin dicurigai, Pelangi segera mengangguk cepat. "Selamat menikmati, Tuan!" ucapnya, kembali pada mode bekerja. Gadis cantik berseragam itupun bergegas kembali ke dapur membawa nampan kosong di tangan, sambil menarik napas secara perlahan untuk menetralisir detak jantungnya yang berdetak lebih cepag dari biasa. Sementara di dalam kokpit pesawat, sang pilot bersama dengan co-pilot terlihat begitu lebih santai mengendarai pesawat, sambil berbincang-bincang. “Entah ini kali keberapa, saya bisa menikmati indahnya langit malam dari ketinggian. Dan, entah kali keberapa pula, saya merasa bersyukur bisa melihat surga dunia yang tak semua orang bisa menikmatinya, tapi dengan mudah bisa saya nikmati, Capt,” ujar seorang co-pilot, yang duduk di kursi sisi kanan kokpit. Mata pria tampan berseragam putih yang duduk di balik kemudi khusus Kapten itu menatap dalam-dalam keindahan di depan sejauh mata memandang, membentang, bergemerlap, diikuti seulas senyum penuh arti tertampil dari kedua sudut bibir. “Ya, kamu benar. Melihat indahnya langit dari ketinggian, di tengah ketenangan hati, adalah sebuah obat dari kegundahan ketika tubuh mulai merasa lelah karena keadaan. Tapi, kita juga tidak boleh lupa, bahwa langit pun bisa saja menjadi musuh dan penyebab duka yang datang tanpa permisi.” “Kapten benar. Bahkan, langit yang indah pun terkadang bisa menjadi musuh, saat kuatnya takdir seseorang menenggelamkan takdir lain yang membersamai,” balas sang co-pilot. “Akan tetapi, walaupun saya tahu segala risikonya, saya tetap mengagumi keindahan langit dari ketinggian, bersama sang burung besi yang melaju dengan tenang.” Lanjutnya. Pria itu mengangguk. “Ya, dan karena alasan itu pula, saya bisa begitu menikmati pekerjaan ini. Apalagi, ditemani co-pilot pintar seperti kamu, yang secara tidak langsung telah memberikan ide-ide menarik untuk melanjutkan pekerjaan saya yang sempat tertunda cukup lama.” “Maksudnya, Capt?” tanya sang co-pilot dengan dahi berkerut, kebingungan. Namun sayang, pria tampan yang tengah duduk bersandar di balik kemudi pesawat itu, hanya menjawabnya dengan seringai penuh arti, kemudian berkata, “kamu gak perlu tahu. Cukup keluarkan semua kata-katamu seperti tadi, dan saya akan memberikan secara cuma-cuma nomor Angie, setelah kita landing di bandar udara Heathrow, nanti. Setuju?” Mendapat tawaran menjanjikan dari sang Kapten, jelas saja membuat sang co-pilot bernama Aratha itu menganggukkan kepala, menyetujui kesepakatan tersebut dengan suka hati. “Apa Kapten mengizinkan saya untuk bisa dekat dan lebih mengenal Mbak Angie?” tanyanya. Sembari memberikan seulas senyum penuh arti, pria dengan bar pangkat pilot empat gold pita itu menjawab, “jelas. Kamu boleh menghubungi Angie, atau saling berkirim pesan dengan sahabat saya. Tapi, ada syaratnya.” “Apa?” tanya Aratha, penasaran. “Angie bukan perempuan sembarangan. Dia tidak boleh disentuh oleh siapapun, kecuali saya. Tidak boleh berpegangan tangan, tidak boleh dibelai, tidak boleh dibuat baper oleh gombalan, tidak boleh disakiti, dan tidak untuk dimiliki. Hanya itu, sih, syaratnya. Mudah, kan?” jawab Galaksi, sembari memfokuskan pendengarannya pada suara dari seberang headphone pada telinga. Setelah mendengar sederet jawaban dari sang pilot, raut wajah Aratha seketika berubah skeptis, lalu menggelengkan kepala. “Jika itu syaratnya, lebih baik saya mundur sebelum maju untuk berjuang. Dinding pembatas yang melindunginya terlalu kuat dan tinggi. Sampai-sampai, untuk menghancurkannya saja saya tidak mampu, Kapten Gala.” Ya, sang kapten yang bernama Galaksi itu seketika tersenyum lebar penuh arti, alih-alih merasa bersalah kepada partner terbangnya malam ini. Jika dipikir-pikir, entah sudah kali keberapa ia mengatakan hal tersebut kepada para lelaki yang menurutnya tidak pantas untuk Pelangi–sahabatnya. Apalagi, saat melihat beberapa dari mereka memang memiliki niat untuk mengenal gadis itu lebih dekat. Bukan maksud bersikap over protective. Akan tetapi, Galaksi melakukan semua itu, semata-mata karena ingin memberikan yang terbaik untuk Pelangi—seseorang yang sudah dia anggap adiknya sendiri, sejak sepuluh tahun lalu. Setelah mendengarkan laporan kondisi cuaca dari kontrol lalu lintas udara untuk mengantisipasi terjadinya turbulensi, melalui headphone yang dikenakannya, Galaksi menjawab, “jadilah seperti awan. Mereka akan terus bergerak maju, walau gumpalan mega mendung belum selesai dengan rintik-nya. Tapi, jangan pernah coba-coba terpukau pada lengkungan pelangi, karena keindahannya hanya milik saya.” “Itu Mbak Angie, Capt. Bukan fenomena meteorologi yang disebabkan oleh refleksi, refraksi, dan difraksi cahaya dalam tetesan air yang menghasilkan spektrum cahaya yang muncul di langit!” sanggah Aratha dengan raut wajah datar, sembari memantau jalannya mesin dan panduan arah pada alat navigasi pesawat. “Loh, udah berubah ternyata. Saya kira, itu Pelangi yang saya kenal.” Galaksi menanggapi dengan guyonannya. “Whoa … pantes aja sahabat saya terlihat cantik. Ternyata, keindahan warna-warna yang terpancar usai hujan turun, dicuri Angie semua.” Lanjutnya, bergumam. Aratha hanya melirik sesaat, menyeringai tipis, kemudian menggelengkan kepala. “Jangan pernah memendam rasa, Capt. Karena mengakhiri tanpa sempat memulai itu, rasa sakitnya paling sukar untuk dihilangkan. Karena mengucapkan selamat tinggal tanpa adanya kata selamat datang, itu pedihnya luar biasa. Patah hati tanpa memiliki, terluka tanpa dia tahu bahwa kita mencintainya, adalah level tertinggi patahnya sebuah harapan,” ujar Aratha. “Saya menyayanginya hanya sebatas sahabat. Tidak lebih dari itu,” balas Galaksi. Aratha terkekeh pelan. “Tapi, mata Kapten mengatakan hal yang sebaliknya.” Pria tampan yang baru saja menenggak air mineral dalam botol seketika tersenyum penuh arti, sembari mengoperasikan beberapa tombol pada Flight Deck. “Nanti, jadi partner terbang saya lagi, ya? Biar saya hubungi operator untuk meminta pertukaran co-pilot. Gimana?” Galaksi berusaha mengalihkan topik pembicaraan. “Itu tidak bisa dilakukan, Capt. Lagipula, bukannya di jadwal penerbangan selanjutnya, partner Kapten … Pak Bryan?” tanya Aratha. Sang pilot mengangguk. “Tapi, berusaha demi kebaikan hati, sepertinya tidak masalah,” jawabnya sesuka hati. “Lalu, kenapa Kapten ingin kami bertukar tempat?” tanya Aratha lagi kebingungan. “Karena saya sedang membutuhkan inspirasi, bukan curhatan orang bucin yang baru patah hati. Jika dia menjadi partner terbang saya … saya rasa, saya akan mengalami mabuk perjalanan, Aratha,” jawab Galaksi dengan santainya. *** Galaksi Artha Dirgantara. Seorang lelaki tampan berusia 29 tahun, yang akrab disapa dengan panggilan Gala itu adalah seorang Pilot di maskapai penerbangan Aerglo Airlines. Sudah lebih dari tujuh tahun pria itu menekuni bidang pekerjaan ini. Tak heran, kurang lebih 6000 jam terbang sudah dikantongi olehnya, hingga pria itu sudah benar-benar sangat layak memilik bar pangkat empat gold pita pada bahunya. Dalam pandangan orang-orang yang tidak terlalu dekat dengan Galaksi … mereka akan mengira, dia adalah sosok lelaki gagah, berwibawa, santun, dan sopan, tetapi berprilaku sangat tegas. Namun, itu tidak berlaku bagi mereka-mereka yang sudah sangat mengenal sosoknya. Pria tampan itu bahkan sudah sangat terkenal sebagai pilot petakilan yang sangat humoris. Waktu yang dihabiskan selama penerbangan berlangsung, pun, akan terasa lebih asyik, jika kursi kiri dalam Flight Deck ditempati oleh lelaki itu. Karena terkadang, ketika Galaksi ke lavatory untuk buang air kecil, atau buang air besar, dan kendali pesawat diserahkan kepada co-pilot dan Flight Service Manager, setelahnya, pria itu akan memasuki dapur pesawat hanya untuk sekadar menikmati secangkir teh hangat sebagai pelepas lelah ketika tengah menjalani penerbangan jarak jauh, sembari berbincang singkat dengan beberapa awak kabin. Namun, di balik sikap konyolnya, Galaksi adalah type lelaki yang sangat pandai mencairkan suasana. Walau dalam keadaan tegang, ketika terjadi turbulensi yang cukup parah sekalipun, pria tampan itu masih bisa menyikapi dengan kepala dingin, dan memberi arahan dengan cara menyenangkan, agar para penumpang pesawat, juga awak kabin bisa lebih tenang menghadapi kejadian tak terduga yang biasa terjadi ketika keadaan cuaca di atas tiba-tiba berubah ekstrim. Ya … sehebat itu sosok Galaksi di mata para rekan kerja. Hingga beberapa di antara mereka terkagum-kagum dibuatnya. Tetapi, semua itu tidak berlaku di mata keempat sahabat lelaki yang satu profesi dengannya. Apalagi, Pelangi. Gadis berparas cantik yang berprofesi sebagai pramugari di Aerglo Airlines. Walau harus ia akui, jika Galaksi adalah seorang pilot yang hebat dan sangat bersahaja kepada semua orang, namun tetap saja, Galaksi adalah lelaki paling menyebalkan yang selalu ikut campur dalam urusan pribadinya. Terlebih, jika itu berurusan dengan seorang pria. Tak jarang, salah satu di antara dua sahabat itu memilih mogok bicara, jika sebelumnya terjadi perdebatan yang dirasa tidak begitu penting bagi segelintir orang. Dan, ya … saat ini pun hal itu terjadi, bahkan hingga mereka selesai dengan pekerjaan masing-masing. “Kapten, ke mana tujuan anda setelah tugas menjadi pilot selesai?” tanya Pelangi dengan sangat sopan, sembari menyeimbangkan langkah kakinya dengan langkah kaki Galaksi yang tengah berjalan di garbarata. *** (Garbarata adalah jembatan yang berdinding dan beratap yang menghubungkan ruang tunggu penumpang ke pintu pesawat terbang untuk memudahkan penumpang masuk ke dalam dan keluar dari pesawat). Pria dengan raut wajah datar itu hanya melirik sesaat, lalu mendengkus pelan. “Gue mau pulang ke apartemen Tia, dan numpang tidur di sana,” jawabnya dengan sengaja, karena dia tahu betul, jika Pelangi sangat membenci Tia yang notabene adalah mantan kekasih Galaksi, juga wanita yang sempat beradu mulut dengannya, karena mengatai Pelangi sebagai perempuan kurang didikan yang gatal … perebut kekasih orang. Hanya mendengar namanya saja, membuat air muka gadis cantik itu seketika berubah kesal. Bukan karena merasa cemburu. Namun, Pelangi benar-benar masih menaruh dendam, usai pertikaian yang pernah terjadi. “Tayi lu datangin! Di mana-mana, tayi, tuh, disiram. Lu malah didatangin. Closet, lu?” tanya Pelangi dengan umpatannya yang terkesan blak-blak-an. Mendengar bahasa sarkas yang dikatakan oleh sang sahabat, Galaksi seketika menghentikan langkah kakinya, menaruh koper di sisi kanan, lalu menempelkan jari telunjuknya pada bibir Pelangi, sembari menatap gadis di sampingnya itu dengan tatapan tajam. “Mulut lu minta di laundry kayanya, biar gak kotor!” “Mulut gue gak bakalan kotor, kalau orang yang lagi kita bahas bukan limbah pabrik!” balas Pelangi. “Ringan banget lu mengumpat orang,” tukas Galaksi lagi, terheran-heran. “u*****n gue gak bakalan seringan ini, kalau orang yang lagi kita bahas bukan beban negara! Udah jadi limbah pabrik, beban negara, polusi udara pula. Lengkap banget, tuh, si kotoran!” Lagi-lagi, Pelangi melontarkan bahasa sarkasnya. Gadis itu benar-benar tidak bisa menahan mulutnya untuk tidak berkata kasar, jika itu soal Tia. Untuk menyebutkan namanya saja, rasanya … sangat tidak sudi! “Heh, batu planet! Makin menjadi-jadi lu, ya! Gue bilangin Mama, lu bakalan habis diceramahin,” ancam Galaksi. Pelangi mendengkus. “Ha! Yang ada, Tante Windu malah kasih dukungan penuh sama gue. Karena beliau paling tahu, apa yang gue rasain, dan sesakit apa hati gue gara-gara mantan tercinta lo itu.” Karena tidak ingin memperpanjang perdebatan, dan memancing kekesalan Pelangi lebih jauh lagi, Galaksi pun hanya menanggapi ocehan gadis itu dengan mengacak puncak kepalanya gemas, hingga tatanan rambut Pelangi sedikit berantakan. “Mau gue anter pulang ke mana? Rumah Lita, atau apartemen lu?” tanya Galaksi mengalihkan topik pembicaraan. Bukannya menjawab, gadis cantik yang sudah terpancing emosinya itu justru mendelik tajam pada sang sahabat, kemudian menarik kembali gagang koper miliknya, berjalan lebih dulu meninggalkan Galaksi sendirian. “Jangan cari gue! Gue mau balik ke rumah Febri, dan terima lamaran dia!” teriaknya tanpa berniat menoleh ke belakang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN