BAB 5. Rencana Yang Gagal.

1905 Kata
"Bisa nggak ponsel kamu itu jangan di pegang Sabrina? Tiap aku telpon kamu pasti selalu dia yang angkat. Aku aja nggak boleh kan buka-buka ponsel kamu.” Perkataan Lisa semalam masih terngiang-ngiang di kepala Adrian. Seharian ini dia bahkan tidak fokus bekerja. Lalu beberapa menit kemudian sabrina masuk sambil membawa berkas pekerjaan. “Kemarin kamu angkat telpon istri saya?” Adrian bertanya. Saat itu Adrian sedang presentasi dan ponselnya dia taruh di meja. Kemudian dia terlibat pembicaraan secara pribadi dengan rekan bisnisnya sehingga dia tidak tahu jika Lisa menelpon. Adrian ingin segera menyelsaikan pekerjaanya malam itu karena dia tahu dia tidak menepati janjinya untuk pulang pukul tujuh malam. “Bu lisa ngadu sama bapak?” Sabrina balik bertanya. “Ngadu? Ya jelas dia mau tahu dong kenapa ponsel suaminya bisa di pegang oleh wanita lain. Tolong ya Sabrina, ada notif apapun di ponsel saya, kamu jangan ikut campur apalagi menyentuhnya. Saya juga punya privasi.” Ujar Adrian kesal. Semalam Adrian bukan hanya di amuk oleh Lisa, tapi perempuan itu sampai berteriak ingin menggugat Adrian Cerai. Demi Tuhan, kata Cerai adalah hal yang tidak akan pernah ada dalam Rumah Tangga Adrian. Laki-laki itu sudah bersumpah. Membayangkan tidak hidup bersama Lisa saja, Adrian rasanya tidak mampu sekalipun belakangan ini dia sering berseteru dengan istrinya itu. “Itu Cuma masalah sepele kan Yan? Lagian aku angkat telponnya juga buat bantu ngejelasin ke istri kamu kalau kamu sedang dalam pekerjaan penting. Kenapa sih hal kaya gini aja di besar-besarkan?” Jawab Sabrina membuat Adrian mendesah kesal. “sepele kamu bilang? Saya berantem sama istri saya gara-gara kamu angkat telponnya kamu bilang spele. Ini udah dua kali yah sabrina! Waktu itu istri saya juga telponmkamu karena anak saya sakit kamu juga nggak ngomong apapun sama saya kan? Kalau anak saya kenapa-napa kamu mau tanggungjawab?” Ucap Adrian lagi mulai kesal. “Aku juga kalau suami aku masih hidup nggak akan kerja sama kamu kaya gini? Kamu pikir aku mau kerja kaya gini Yan? Apa aku pernah membesar-besarkan masalah padahal suami aku meninggal juga gara-gara kamu? kenapa cuma masalah sepele kaya gini aja kamu semarah ini sih? seharusnya yang kamu kasih pengertian itu istri kamu dong.” Sabrina mulai menangis dan kalau sudah seperti ini Adrian hanya bisa mendesah. Suami Sabrina memang meninggal karena kesalahan Adrian, dan untuk alasan itulah perempuan itu berada di perusahaan Adrian. Kebetulan juga Lina harus cuti hamil dan tidak tahu apakah dia akan kembali bekerja atau tidak. Selain itu Sabrina juga bekerja dengan baik, Adrian bahkan bisa mendapatkan kesempatan-kesempatan berharga berkat kepintaran Sabrina berkomunikasi saat meeting dengan orang-orang penting. “Saya tidak memperbesar masalah. Saya hanya memperingatkan kamu untuk tahu batasan mana privasi atau enggak. Tolong jangan membuat masalahku semakin banyak.” Balas Adrian lagi. Sabrina masih menangis dan suasana seperti ini selalu membuat Adrian serba salah. “Jadi menurut kamu aku membuat masalah kamu semakin banyak? Seharusnya yang kamu kasih pengertian itu istri kamu, jangan maunya di ngertiin doang dong. Kamu kan kerja juga buat dia. Kenapa aku yang di salahin sih Yan? Padahal aku bantuin kamu buat kasih pengertian ke dia loh.” Sabrina masih terus melanjutkan perdebatan ini. “Ya sudah-ya sudah, nanti saya akan memberi istri saya pengertian. Tapi kamu juga jangan sentuh ponsel saya lagi. Tolong Sabrina!” Balas Adrian sudah lelah. Jika di lanjutkan maka akan panjang. Sabrina adalah orang yang pandai sekali berbicara dan sepanjang apapun mereka berdebat adrian pasti akan selalu di posisi salah. “Letakkan saja laporannya, silahkan kamu keluar. Tidak perlu pesankan makan siang karena siang ini saya ingin makan siang di rumah mumpung lagi tidak ada kesibukan.” Tambah Adrian lagi. Mendengar kalimat itu raut wajah Sabrina berubah kesal tapi adrian sedang tidak melihatnya. “Ya sudah. Ini yang perlu di tanda-tangani dan ini yang perlu di tinjau lagi.” Ucap Sabrina kemudian keluar dari ruangan itu dengan kesal. Adrian meraih ponselnya hendak menghubungi Lisa bahwa dia akan makan siang di rumah tapi kemudian niat itu dia urungkan. Sebaiknya dia tiba-tiba pulang saja nanti dan mengajak Lisa makan di luar bersama putra mereka. Belakangan ini Adrian terlalu sibuk dan hampir tidak pernah mengajak lisa jalan-jalan. Mungkin karena alasan itulah Lisa menjadi mudah marah. Adrian bertekad ingin memperbaiki keadaanya rumah tangganya yang kacau karena ketidak adaanya komunikasi itu. Ketika laki-laki itu sedang fokus pada pekerjaan di tablet miliknya, pintu di ketuk tiga kali dan Dika masuk. Adik iparnya ini habis melakukan perjalanan bisnis ke luar kota dan hari ini jadwalnya pulang. “Gimana? Lancar/” Adrian bertanya. “Lancar kok mas, bulan depan udah mulai pembangunan.” Jawab Dika selalu memuaskan. Dika adalah anak yang pintar, teliti, rapih dan pekerjaannya tidak pernah mengecewakan. “Oke bagus. Habis ini langsung pulang?” “Iya mas, udah kangen banget sama anak aku.” Jawaban Dika seketika membuat Adrian langsung menatapnya tajam. “Anak kamu? Saiapa?” Tanyanya sinis. “Regarta lah siapa lagi. Anak aku yang lucu dan menggemaskan.” Balas Dika menyebalkan. “Ini laporannya mas, aku pulang dulu udah kangen banget soalnya.” Tambah Dika lagi kemudian langsung berdiri dan berbalik hendak meninggalkan Adrian yang raut wajahnya kesal sekali. “Dia anak gue Dik! Enak aja lo ngaku-ngaku. Bikin sensdiri sana cari istri sialan!” Adrian nyaris berteriak tapi dika hanya melambaikan tangan saja tanpa menoleh dengan senyuman geli tercetak jelas di bibirnya. Dika kemudian mengangguk sopan pada Sabrina yang kebetulan saat itu hendak masuk ke ruangan Adrian sehingga dia mendengar pembahasan dua laki-laki itu. “Ini reakapan yang bapak minta tadi.” Ucap Sabrina sambil meletakkan berkas itu di meja adrian. Laki-laki itu mengangguk saja kemudian mengambil berkas itu tapi Sabrina rupanya masih berdiri di hadapannya. “Iya terimakasih aku akan cek lagi.” Ucap Adrian sedikit bingung karena Sabrina belum keluar dari ruangannya. “Aku minta maaf karena tadi pagi ternyata aku udah pesen makan siang dan aku lupa batalin jadi udah di jalan mau dianter ke sini.” Ucap sabrina dengan nada menyesal. Adrian mendesah. “Ya sudah kamu kasih ke orang lain aja bagian saya.” Ucap Adrian santai. “Tapi itu makanan kesukaan kamu yang kemarin kamu bilang ingin makan itu.” Ucap Sabrina lagi. “Nggak papa kok, saya bisa makan itu lain waktu. Siang ini soalnya saya benar-benar harus pulang.” Jawab Adrian lagi. Sabrina mengangguk saja, kemudian berpamitan keluar dengan raut wajah kesal yang tentu saja tidak di sadari oleh Adrian. Setelah berkutat dengan pekerjaan yang sengaja dia percepat, akhirnya telah tiba jam makan siang. Laki-laki itu tersenyum, sambil berharap Lisa mau memaafkannya dan keadaan mereka labih baik lagi. Adrian mengambil jasnya, dan beranjak dari kursinya kemudian berjalan keluar dengan senyuman lebar. Akhirnya hari-hari sibuknya sedikit melonggar sehingga dia bisa menikmati waktunya bersama Lisa. Tapi ketika Adrian keluar, meja Sabrina tampak ramai. Kemudian salah satu karyawan di sana menoleh ke arah adrian dengan raut wajah sedikit panik. “Sabrina kelihatannya sakit pak, dia mimisan dan sekarang nggak bisa di tanya apa-apa.” Ucap karyawan itu membuat Adrian mempercepat langkahnya untuk menghampiri. “sabrina? Sab!” Adrian berusaha memanggilnya tapi Sabrina tidak berreaksi. Dari hidungnya juga mengalir darah segar. “Tolong bantu bawakan barang-barangnya, biar saya antar ke Rumah Sakit.” Ucap Adrian kemudian menggendongnya menuju parkiran. “Santi tolong Handle dulu pekerjaan sabrina yah? Kemungkinan dia harus istirahat dulu. Mungkin dia kelelahan karena belakangan ini lembur terus.” Pesan Adrian pada pegawainya dan setelah itu Adrian melajukkan mobilnya menuju rumah sakit. Untungnya tidak ada sesuatu yang parah. Dokter mengataklan bahwa Sabrina hanya kelelahan saja, dan darah di hidunya bukan sesuatu yang parah. Kemungkinan sabrina terpentok sesuatu mungkin karena mengantuk sehingga berdarah. “Adrian?” Sabrina membuka mata dan menemukan Adrian duduk di sampingnya. “Syukurlah kamu nggak papa, tadi kamu pingsan.” Ucap Adrian. “Besok nggak usah masuk kerja aja, kamu kecapean kayaknya. Istirahat dulu aja lagipula dua hari kedepan kita santai kerjaanya.” Tambah Adrian lagi. “Maaf malah ngerepotin.” Ucap wanita itu dengan nada lemah. “Nggak papa kok lagian kamu kecapean juga gara-gara belakangan ini lembur terus. Saya juga salah di sini. Setelah baikan kamu pulang sendiri naik Taxy yah? Saya udah pesen Taxynya tadi dan udah minta tolong perawat juga buat bantu kamu pulang. Saya nggak bisa anterin soalnya ini aja udah hampir lewat jam makan siang.” Ujar Adrian hendak beranjak. Tapi tangannya di tahan oleh sabrina. “Kamu kan tahu kalau aku trauma naik kendaraan umum gara-gara kejadian itu Yan, Taxy kan juga kendaraan umum. Kamu tega biarin aku pulang sambil ketakutan?” Sabrina memohon. Adrian mendesah lelah, serba salah. Dia ingin segera pulang tapi tidak tega juga membiarkan sabrina pulang sendirian. “Ya sudah aku anterin, abis itu aku balik ke kantor.” Putus Adrian akhirnya. “Maaf kamu nggak jadi makan siang.” Ucap Sabrina dengan nada menyesal. “Nggak papa nanti makan di kantor aja.” Balas Adrian lagi, kemudian membantu Sabrina untuk bangun dan duduk di kursi roda. *** Jarak rumah Sabrina dengan Rumah Sakit tidak terlalu jauh. Lima belas menit perjalanan mereka sampai di rumah kecil yang selalu terlihat rapih dan bersih itu. Menurut adrian rumah sekertarisnya ini memang menggambarkan kepribadian wanita itu yang juga selalu rapih dan bersih. “Loh Adrian, sabrina kamu kenapa?” Melati, ibu dari Sabrina menyambut kedatangan mereka sambil ikut membantu memapah Sabrina. “Tadi pingsan tante, kayaknya kecapean deh.” Adrian yang menjawab. “Iya kalau malem juga masih mikirin kerjaan aja sih udah di rumah padahal.” Ungkap Melati membuat Adrian mengangguk tidak enak. “Mama udah masak kan/” Sabrina bertanya. “Udah kebetulan baru mateng.” Jawab Melati. “Makan siang di sini aja sekalian yuk Yan? Jadi nanti kamu tinggal balik kantor aja.” Ucap Sabrina menawarkan. “Kayaknya nggak usah deh, nanti makan di kantor aja.” Tolak Adrian halus. Sejujurnya laki-laki itu merasa kurang nyaman berada di rumah ini karena ditinggali perempuan dua-duanya dan juga sama-sama janda. “Nggak papa sekalian aja, nanti jadi nggak perlu nyari makan lagi kan?” Melati ikut membujuk. “Tapi jam makan siang udah mau abis Tan, nanti Adrian telat.” Ucap laki-laki itu masih berusaha menolak. “Kamu kan yang punya perusahaan, telat dikit juga nggak papa kan? Lagian tante udah masak loh/ apa nggak doyan yah masakan tante?” Balas Melati lagi. Adrian bimbang di buatnya. “Ya sudah deh tan, boleh kalau nggak ngerepotin.” Jawab laki-laki itu akhirnya. Tidak enak jika terus menolak karena Melati sudah membujuknya sedemikian rupa. “Nggak dong, masa makan siang doang ngerepotin sih.” Ucap Melati antusias. Mereka kemudian mendudukkan Sabrina di meja makan dan Adrian ikut duduk di sana. “Saya bisa ambil sendiri kok Sab. Ucap Adrian ketika Sabrina sedang mengambilkan makanan untuknya. “Nggak papa orang Cuma ambilin doang kok. Lagian aku tahu semua apa yang kamu suka dan apa yang enggak kan?” balas Sabrina. Adrian kembali mengangguk saja. Setelah itu mereka makan siang bersama sambil sesekali di selingi obrolan. Sabrina juga sudah terlihat lebih baik setelah makan. Dan setelah itu Adrian buru-buru berpamitan untuk pulang kembali ke kantor. Lagi-lagi rencananya untuk berbaikan dengan Lisa harus terhambat. Adrian mendesah frustasi, sepertinya semesta sedang mempermainkannya sekarang. Tapi untungnya tadi adrian belum menelpon Lisa untuk pulang. Jika tadi dia sudah memberitahu Lisa akan pulang untuk makan siang, bisa jadi bencana lagi nantinya. Adrian sedikit bersyukur karena sekalipun rencananya gagal kali ini tapi setidaknya tidak menambah lagi masalahnya. Sungguh dia tidak ingin terus-terusan bertengkar dengan Lisa, tapi keadaan seperti selalu saja membuat keduanya menjadi salah paham. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN