Adrian duduk diam di sofa setelah selesai di ceramahi oleh Imel perihal menuduh Lisa mengadu. Laki-laki itu mendesah lelah dan dari tempatnya suara tangisan Lisa masih terdengar samar-samar. Dia tadinya tidak bermaksud menuduh lisa dia hanya ingin memberi pengertian pada istrinya itu bahwa alasan kenapa Sabrina selalu menjemputnya adalah karena untuk menghemat waktu agar pekerjaanya cepat selesai. Tapi dia tidak sadar bahwa sekalipun nadanya lembut, kalimat yang dia pilih terkesan menyudutkan dan menuduh Lisa.
Adrian menyesal, dia tidak menyangka akhirnya akan terjadi perkelahian lagi dengan istrinya padahal dia tidak bermaksud demikian. Dan jujur saja mendengar istrinya menangis sambil terus mendiamkan Regarta karena ikut menangis juga semakin membuat Adrian merasa bersalah.
“Mama nggak suka sama sekertaris kamu itu, kalau kamu terus pertahanin dia, percaya deh sama mamah. Kamu akan kehilangan Lisa.” Ucap Imel lagi sembari membuatkan bubur untuk Regarta. “Kamu jadi lupa sama keluarga semenjak dia jadi sekertaris kamu Adrian! Kenapa dia cantik iyah? Rapih? Lisa juga kalau nggak kamu nikahin dan nggak ada anak kaya dia lebih cantik.”
“Mah, Adrian sibuk bukan karena kaya yang mama tuduhkan itu. Adrian kerja, buat Lisa juga kan?” adrian yang terus mendengar Imel mengonmel akhirnya bersuara lagi. Tapi itu kesalahan besar, karena semakin di lawan Imel akan semakin menyebalkan.
“Buat apa kerja kalau keluarga di lupain, buat apa Adrian? Nggak usah cari-cari alesan kamu kerja demi keluarga kalau anak kamu sakit aja yang nganterin ke dokter orang lain.” Jawab Imel lagi. Adrian mendesah. Sejak tadi ponselnya terus berdering karena memang pekerjaanya hari ini belum selesai. Satu jam lagi seharusnya dia ada janji Meeting dengan Client yang penting. Tapi jika dia memaksa untuk tetap pergi sudah bisa dia pastikan ibunya akan semakin mengamuk. “Bisa-bisanya kamu yang salah malah nyalahin Lisa. Otak kamu pinter nggak ada gunanya kalau buat bedain mana yang salah sama mana yang bener aja nggak bisa. Jangan kamu pikir mama nggak tahu yang apa yang kamu lakukan selama ini.” Imel terus saja mengomel. Membuat Adrian ingin berteriak frustasi.
“Iya udah Adrian salah, puas? Nanti Adrian minta maaf sama Lisa kalau Regarta udah tidur.” Ucapnya sambil mendesah frustasi.
“Kaya gitu kalimat penyesalan kamu Adrian? Dikasih apa sih kamu sama si uler itu sampai kamu kaya gini? Jangan kamu pikir mama nggak tahu yah kamu selama ini ke kondangan aja ngajaknya si uler itu. Kamu lama-lama keterlaluan Adrian.”
“Mah, Lisa kan jagain Regarta di rumah. Kalau Rian ajak ke kondangan nanti repot. Belum capek juga karena jaraknya kadang jauh-jauh. Regarta juga masih kecil.” Adrian lagi-lagi berusaha membela diri.
“Itu alasan yang di kasih sama si uler itu? Klise Adrian! Itu akal-akalan dia aja buat bikin kamu jauh dari istri kamu. Bisa-bisanya mikir kaya gitu aja otak kamu nggak nyampai.”
“Namanya Sabrina mah, nggak enak kalau sampai di denger orangnya mamah panggil dia uler.” Desah Adrian lelah.
“Kalau dia bukan uler ngapain dia gatel sama kamu? Jadi perempuan kok nggak ada harga dirinya. Suami orang kok di pepetin, kaya nggak ada laki lain aja. Nggak laku dia? Murahan sih. Kamu kalau belain dia terus, dia datang ke sini mamah jambak rambutnya yang kaya perempuan nggak bener itu”Ucap Imel kesal sekali. Imel curiga selama ini ada yang Adrian sembunyikan darinya yang membuat laki-laki itu berubah tidak berkutik seperti ini. Imel bahkan sampai tidak habis pikir, bisa-bisanya Adrian sampai tega menyalahkan Lisa padahal Lisa sudah banyak berkorban selama ini.
“Yaudah, Adrian ngaku salah mah. Nanti Adrian minta maaf sama Lisa.” Ucap laki-laki itu berusaha mengakhiri perdebatan sesi kedua ini. Karena sebelumnya juga dia sudah di ceramahi panjang kali lebar oleh Imel.
“Jangan sampai nyesel Adrian, kalau kaya gini terus Lisa juga nggak akan tahan sama kamu. Mamah kalau jadi Lisa juga udah minta cerai. Ngapain pertahanin pernikahan sendirian. Capek sama makan hati doang.” Imel masih mengomel kemudian berjalan melewati putranya yang sedang tertunduk lesu itu menuju kamar cucu dan menantunya.
***
Lisa menghapus air matanya yang terus mengalir. Tubuhnya lelah sekali dan kepalanya sakit. Dia juga kurang tidur karena Regarta sakit. Dia hanya menginginkan sedikit ketenangan. Bisa-bisanya Adrian malah menduduhnya mengadu kepada mama Imel tentang kedatangan Sbarina ke rumah yang terlalu sering. Bagi Lisa hal itu terlihat seperti suaminya sedang membela wanita lain dan menyalahkannya. Ditambah lagi ucapan mama Imel tadi yang terdengar hingga kamarnya mengenai menemani kondangan. Jika sudah seperti ini masih bisakah dia mempercayakan seluruh hidupnya dan Regarta pada adrian. Laki-laki itu berubah, suaminya sudah tidak sama lagi seperti dulu ketika dia berpikir bahwa seluruh dunianya adalah Adrian.
“Sini Regartanya mama gendong sambil mama suapin. Kamu istirahat aja dulu sebentar. Malam ini mama nginep yah?” Ucap Imel lembut. Dia merasa bersalah pada menantunya yang lemah lembut dan baik hati ini.
“Nggak papa kok mah, Lisa bisa. Di butik lagi sibuk banget kan? Nggak papa tinggalin aja mah. Lisa juga udah mendingan kok.” Ucap wanita itu lembut, kemudian mengambil mangkuk berisi bubur di tangan mertuanya, menaruhnya di meja dan membenarkan gendongannya. Stelah itu Lisa berdiai hendak menyuapi putranya.
“Mamah nggak tega ninggalin kamu.” Balas Imel sembari mengusap kepala Regarta lembut.
“Nggak papa kok mah, ada bi Wati juga kan yang bantuin?” Ucap Lisa tetap tidak mau merepotkan ibu mertuanya itu. Dia tahu keadaan butik dan bisnis mama mertuanya itu sedang sibuk sekali.
“Beneran nggak papa kalau mama tinggal?”
“Nggak papa mah, Lisa udah sehat kok. Rega juga udah nggak panas lagi yah sayang? Anak bunda pinter yah sayang?” Jawab lisa sembari mengajak putranya sedikit berbicara. Regarta tersenyum dan membuat Lisa ikut tersenyum juga. Setidaknya, putranya yang tampan ini masih bisa sedikit menghiburnya dengan senyumannya yang manis itu.
“Ya sudah kalau nggak papa, tapi nanti kamu kabarin mamah yah kalau ada apa-apa.” Ucap Imel diangguki Lisa sambil tersenyum.
“Mamah ati-ati yah di jalan?”
“Iya sayang, pokoknya kamu apa-apa bilang sama Wati aja jangan kecapean.” Ucap imel lagi sebelum benar-benar berpamitan pergi.
“Iya mah.” Jawab Lisa. Setelah itu mama mertuanya itu pergi dan Lisa kembali sendirian. Air matanya kembali jatuh dan Lisa buru-buru menghapusnya. Dia memilih untuk menyuapi putranya sembari mengajaknya sedikit bicara. Untungnya Regarta sudah mau makan dan sudah mau tertawa juga, tidak serewel semalam. Membuat Lisa mendesah lega. Apalagi panasnya juga sudah turun.
“Mau Wati ambilkan minum buk?” Ucap Wati yang sengaj datang untuk menengok keadaan Lisa karena dia ikut mendengar perkelahian tadi.
“Nggak usah bik, nnanti aja. Tolong bawa mangkuk bekas makan Regarta aja Bik.” Jawab Lisa lembut. Wati mengangguk kemudian mengambil mangkuk itu dan pergi.
“Regarta ngantuk yah? Matanya merem-merem gitu sih? Mau bobok?” Ucap Lisa gemas. “Yaudah bobok aja nggak papa, nanti di elapnya pas bangun tidur aja. Udah ngantuk banget yah anak bunda?” Lisa kemudian menimang putranya itu sambil menepuk-nepuk pantatnya pelan. Benar saja, Regarta langsung memejamkan matanya. Bayi tampan ini jika tidak sedang sakit sebenarnya sangat penurut dan tidak pernah menyusahkan. Kecuali kebiasaan mengompolnya di jal tiga pagi dan sudah pasti menangis. Tapi biasanya Dika yang akan mengganti popoknya.
Kemudian Adrian masuk pelan-pelan membuat Lisa menoleh sehingga mata mereka bertemu. Lisa langsung mengalihkan pandangannya menuju ke laur jendela lagi. Masih enggan berbicara dengan suaminya ini karena lukanya belum kering, hatinya masih sakit.
“Aku salah, aku minta maaf. Sungguh aku nggak bermaksud nyalahin kamu tadi. Aku Cuma mau memperjelas alasan aku kenapa Sa—”
“Jangan sebut namanya di depan aku, kalau tetep kamu sebut kamu keluar aja. Aku capek banget males berantem terus.” Potong Lisa cepat. Adrian terdiam sesaat.
“Iyah, aku minta maaf udah bikin kamu nangis tadi. Aku nggak bermaksud kaya gitu.” Ucap Adrian mengalah. Lisa diam saja, tapi kemudian dia juga malas berdebat lagi karena sudah terlalu lelah.
“Sayang, aku beneran minta maaf.”
“Yaudah.” Balas Lisa akhirnya. Adrian kemudian mendekat ke arah istrinya menjadi berada di sebelahnya sehingga dia vbisa melihat putranya tertidur dalam gendongan Lisa.
“Panasnya udah turun/” Laki-laki itu bertanya.
“Udah. Udah nggak rewel juga.”
“Syukurlah kalau gitu. Di suruh ke dokter lagi nggak kemarin?” Tanya Adrian lagi.
“Klau udah sembuh enggak di suruh ke dokter lagi. Tapi minggu depan jadwal imunisasi Regarta, kamu bisa anterin kan?”
“Iya bisa kok, kabarain aku lagi takut aku lupa.” Ucap Adrian dan Lisa mengangguk saja.
“Kalau mau ganti baju, baju kamu kemarin udah sempet aku beresin di lemari kok.” Lisa memberitahu karena suaminya masih terlihat memakai kemeja kerjanya. Adrian diam sesaat membuat Lisa menoleh.
“Sebenernya aku ada meeting setengah jam lagi, Meeting kali ini bener-bener nggak bisa aku batalin sayang. Soalnya orang penting banget.” Ucap Adrian hati-hati. Emosi Lisa naik lagi, tapi dia sudah lelah untuk berdebat.
“Yasudah pergi aja sana.” Ucap perempuan itu tanpa menoleh.
“Aku pulang sebelum jam tujuh malam kok.” Ucap Adrian lagi, Ada perasaan tidak enak karena melihat Lisa tidak mau menoleh ke arahnya ketika dia mulai membicarakan ini, tapi adrian benar-benar tidak bisa membatalkan janji temu kali ini.
“Ya.” Jawab Lisa lagi enggan menanggapi terlalu panjang.
“Kalau gitu aku pergi dulu yah sayang, beneran janji pulang sebelum jam tujuh malam.”
“Iya.” Jawab Lisa lagi dan setelah itu Adrian benar-benar pergi. Sungguh Lisa tidak ingin kehilangan kepercayaanya pada adrian, tapi adrian terus-terusan seperti ini, terus-terusan menjadikannya nomor dua. Hubungan Adrian dengan Sabrina memang belum terbukti, tapi dengan pekerjaan saja Lisa kalah, mungkin dia juga akan kalah dengan perempuan lain itu. Apalagi dia lebih sexy darinya. Tanpa permisi, air mata Lisa kembali terjatuh. Wanita itu menepuk pelan dadanya, berharap rasa sesak di sana sedikit menghilang. Kemudian membawa Regarta menuju box bayinya dan menidurkannya disana. Setelah itu Lisa mengambil handuk dan pakaian kemudian memanggil Wati untuk menjaga Regarta karena dia hendak mandi.
Rupanya mandi cukup membantu moodnya yang berantakan. Setelah itu dia keluar kamar dan membuat teh hangat untuk menenangkan dirinya. Ponselnya berdering dan ada nama dika di sana.
“Halo Dik, Assalamu’alaikum.” Lisa menjawab.
“Wa’alaikum salam mbak, besok Dika pulang. Mbak Lisa mau dibawain apa?” tanya laki-laki itu manis seperti biasanya.
“Nggak usah Dik, yang penting kamu pulang aja dengan selamat. Oh iya reka katanya mamah Imel yang mau jemput nanti jadi kamu nggak usah ke sana.” Jawab Lisa lembut.
“Oke deh kalau gitu, Btw Regarta sehat kan mbak?”
“Kemarin habis sakit Dik, tapi sekarang udah mendingan kok. Udah mbak bawa ke dokter juga. Kamu cepet pulang yah? Dia kayaknya kangen sama kamu.” Ucap Lisa lagi. Belakangan ini memang Regarta lebih sering bersama Dika dibanding Adrian. Entah dibawa ke kantor oleh Dika atau di gendong-gendong di rumah. Dan jujur saja hal itu cukup membantu Lisa karena Dika orang yang sangat sabar menghadapi keponakannya yang sedang aktif-aktifnya itu.
“Iya mbak, Dika langsung pulang kok. Mbak Lisa juga jaga kesehatan jangan sampai sakit.” Pesan anak itu sebelum mengakhiri sambungan telpon mereka.
Lisa termenung di tempatnya sembari menapat putaran air di cangkir tehnya. Beberapa minggu ini terasa begitu berat untunya. Terutama tentang Adrian. Lisa sangat lelah, dan kepalanya juga terasa penuh karena banyak sekali yang dia pikirkan. Tapi Lisa bukan jenis wanita yang mudah untuk jujur mengatakan apa yang ada di pikirannya. Karena itulah semua menjadi semakin berat karena dia menyimpannya seorang diri.
Setelah menghabiskan tehnya dan tubuhnya menjadi sedikit relaxs, Lisa kembali melangkah menuju kamar Regarta dan menyuruh Wati keluar karena dia ingin tidur sebentar. Tubuh dan mentalnya lelah sekali, karena itu dia ingin istirahat.
Lisa kemudian terbangun karena Regarta bangun dan menangis. Wanita itu menepuk kembali pntat Regarta hingga bayi menggemaskan itu kembali tertidur. Lisa meregangkan tubuhnya kemudian mengikat rambut dan menoleh ke arah jam dinding. Sudah pukul sembilan malam. Wanita itu kemudian keluar karena dia ketiduran dan ingin memastikan kalau Wati sudah menyiapkan makan malam untuk suaminya.
Ketika Lisa keluar, wati terlihat sedang di depan televisi karena pekerjaan memang sudah selesai semua. “Bapak tadi di siapkan makan malamnya kan Bik? Aku ketiduran soalnya.” Lisa bertanya/ wati terdiam sesaat, sedikit tidak tega mengatakan bahwa suami majikannya itu belum pulang hingga sekarang.
“Bik aku lagi nanya loh?” Ulang Lisa lagi dengan perasaan yang mulai tidak enak melihat reaksi ARTnya itu.
“Bapak belum pulang buk.” Jawab Wati singkat, padat dan menusuk tepat di hati Lisa. Adrian berbohong lagi. Suaminya mulai mengikis kepercayaanya lagi. Lisa mengangguk saja kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi suaminya itu.
“Hallo.” Yang menjawab lagi-lagi Sabrina.
“Kemana suamiku?” Tanya Lisa tanpa basa-basi.
“Adrian masih meeting karena negosiasinya memang cukup alot. Mau nyuruh pulang? Jangan egis dong jadi istri, dia juga kerja keras gini demi lo. Lagian setahu gue Adrian nggak suka di tekan kaya gini deh sama orang, lo nggak takut nanti dai cerain lo kalau lo kaya gini terus? Saran aja sih mendingan lo ngalah deh.” Balas Sabrina. Nada dan kalimatnya jika berbicara dengan Lisa memang seburuk ini, karena itu Lisa sangat yakin perempuan ini menyukai suaminya.
“Nggak butuh saran kamu. Mana suamiku aku mau bicara.” Ucap Lisa lagi.
“Nanti dia juga pulang, lo ribet banget sih.” Ucap Sabrina lagi. Lisa menarik napas dalam kemudian menghembuskannya.
“Saya nggak ada urusannya sama kamu, jadi tolong berikan telponnya ke Adrian!” Lisa masih berusaha sabar.
“Dibilangin Adriannya masih Meeting lo budeg atau apa sih? Udah yah, lo ganggu soalnya.” Blas Sabrina kemudian memutus sambungan telpon mereka. Rasanya kesabaran Lisa mau habis sekarang juga. Tapi dia juga tidak tahu dimana tempat Adrian meeting. Karena kenyataanya, sekertaris suaminya itu jauh lebih tahu segala hal tentang Adrian termasuk rahasia-rahasianya yang tidak dia beritahu pada Lisa.
“Masuk aja terus tidur Bik, nggak papa aku sendirian di sini. Mau nunggu Adrian dulu.” Ucap Lisa karena Wati terlihat sudah mengantuk.
“Ibu nggak papa saya tinggal tidur/”
“Nggak papa kok.” Balas Lisa dengan senyuman. Wati kemudian mengangguk dan berpamitan lalu menuju kekamarnya.
Lisa duduk seorang diri di ruang makan, ditemani segelas air putih dengan perasaan yang hancur lebur. Sebelumnya dia sudah menyiapkan makan malam untuk suaminya di meja makan. Satu jam, dua jam, tiga jam berlalu dan Adrian belum juga pulang. Tepat pukul dua belas lebih sepuluh menit terdengar ada suara mobil masuk ke rumah. Lisa mendesah, air matanya menetes tapi dia buru-buru menghapusnya.
Laki-laki itu kemudian masuk dan menghentikan langkahnya melihat istrinya sedang duduk menunggunya. “Maaf tadi ternyata aku nggak bisa pulang cep—”
“Terserah kamu aja, aku capek banget. Makanan udah aku siapain.” Jawab wanita itu lelah kemudian beranjak menuju kamar putranya.
“Sayang aku bener-bener minta maaf.” Adrian memohon tapi Lisa diam saja dan terus berjalan menuju kamar putranya. Kepercayaanya pada Adrian sudah hampir habis.
***