Bab 31 : Belum Bisa Menerima Hadirnya

1156 Kata
Akram mendengkus kesal begitu menuruni anak tangga. Selain memikirkan Nasha, sikap Mia yang terlalu apa adanya di depannya juga membuat Akram kelabakan. Gadis itu meski sudah dijelaskan diawal bahwa ia tak menginginkan pernikahan, tetap saja tidak peka. Sikapnya yang baru dua hari tinggal bersama sudah kelihatan menyebalkan. Akram tak nyaman. Mobil yang tadi dibawa olehnya dari rumah Dania ia buka bagasinya. Seharusnya tidak perlu ada insiden bolak-balik seperti ini andai saja istrinya tidak ceroboh. Akram meraih satu koper berukuran sedang yang rupanya masih berada di sana. Seingatnya, sudah ada yang membawa ke lantai dua apa mungkin hanya halusinasinya saja. Gegas Akram meraih koper itu seraya menutup rapat bagasi mobilnya. “Permisi!” seru seseorang dari luar pagar. Akram menoleh. Sekilas dari celah gerbang ia melihat laki-laki berjaket warna hijau khas layanan antar. “Ya, Pak?” “Benar dengan Mas Akram?” Akram mengangguk. “Iya.” “Pesan makanan, Mas?” Akram menggeleng. Ia bahkan tidak kenal aplikasi seperti itu. “Eh, yang bener, Mas.” “Iya, Pak. Saya tidak pesan.” “Sebentar.” Bapak berjaket hijau itu pun mengecek ulang ponselnya. “Oh, udah dibayar, Mas. Memang sengaja dipesankan khusus katanya,” ujarnya sambil tersenyum. “Begitu?” “Iya.” “Dari siapa ya, Pak kalau boleh tau?” “Bu Sufi, Mas.” Akram mengangguk. Kalau begini, ia tidak bisa menolak. Sudah pasti makanan yang diantar diperuntukan untuk putri kesayangannya. “Makasih, ya, Mas,” ucap Bapak berjaket hijau tadi. “Eh, saya yang makasih, Pak. Makasih sudah diantar.” “Ya. Mari ....” Akram menutup kembali pintu gerbang. Ia baru sadar, rumah bergaya modern ini tidak ada penjaganya, tidak ada yang membantu mengurus juga. Mutlak ia hanya berdua saja dengan Miana Agya. Akram melangkah pelan sambil membawa makanan itu. Tak lupa dengan koper milik istrinya. “Ngapain?” tanya Akram begitu sampai di dalam. “Biar saya bantu,” ujar Mia. Gadis itu meraih bungkusan yang dibawa Akram. “Aku kira udah mandi. Belum?” “Saya nunggu koper,” sahut Mia enteng. Ia melangkah menuju dapur. “Tadi ibu telpon, memang mau antar makanan. Saya lupa bilang.” Akram tercengang. Rupanya memang disengaja. “Kamu nggak bisa masak?” Pergerakan Mia terhenti. Ia yang sedang menuangkan makanan itu ke piring tak langsung menjawab. “Sampai harus pesan? Tadi juga udah makan di tempat Kak Dania, kan?” Mia kembali melanjutkan gerakannya. Menuangkan dua menu itu dengan hati-hati. “Bisa.” “Kalau bisa ngapain pesan?” Mia meraih sendok. Sudah waktu makan malam. Sementara ia dan suami belum memulainya. Ya, memang sudah makan di tempat Kak Dania tapi itu saat masih siang. Sudah lebih dari delapan jam. “Takutnya nggak enak,” sahut Mia. Ia melipat kertas mika pembungkus makanan itu. Membawanya ke arah cucian piring di mana sebuah tempat sampah kecil berada di bawahnya. “Bakmi goreng?” tanya Akram setelah mendekat. “Cobain dulu aja. Lumayan bisa menahan lapar sampai nanti waktu lail.” “Kamu aja. Aku mau mandi dulu.” Akram berbalik. Ia memilih pergi meninggalkan dapur dengan dua piring bakmi goreng di atasnya. Yang pasti makan malam bersama tak akan pernah ada dalam kamus Akram. Mia menghela napas. Memang begini dan harus seperti ini. Ia ikut meninggalkan area dapur dan membawanya seorang diri ke lantai dua. Pedih. Seharusnya setelah menikah ia memiliki orang yang bisa membantunya. Tidak seperti ini. *** Di lain tempat, Dania terduduk seorang diri. Ia yang tidak mungkin bisa mengakrabkan diri dengan Pram saat mereke hanya berdua memilih memandangi langit malam. Pesan dari Danang tentang apa yang dilakukan Akram bersama Nasha cukup mengusiknya. Sungguh, ia tak pernah menyangka jika adiknya akan seperti itu. Sebelum menjadi masalah besar, harus ada solusi. “Ya dikasih hadiah bulan madu. Kali aja mereka lebih akrab,” seloroh Danang saat mereka bercakap di telepon. Dania tahu bagaimana Akram menyayangi Nasha. Bahkan, dulu beberapa kali Nasha diajak saat mereka jalan-jalan keluar kota. Akram menyembunyikan hubungan dengan gadis itu karena yakin tak akan mendapat restu. Sama seperti dirinya yang tak berani mengakui cinta yang ia miliki. Memilih menerima perintah orangtua yang sejatinya tak membuatnya bahagia.  Dania terus memikirkannya. Ia ingin adiknya tak mengalami hal yang sama. Dania meraih ponsel di sisi kanannya. Segera menghubungi Delia untuk mengatur saran yang diberikan Danang. “Ya, Kak?” “Kamu ada waktu longgar nggak?” “Kenapa, Kak?” “Pesenin hotel deket parang tritis atau menganti, Del.” “Buat apa? Mau liburan?” tanya Delia dari sambungan itu. “Buat adik kita.” “Akram? Ngapain ke sana?” “Kamu kok ya nggak paham-paham, Del.” “Apanya yang nggak paham?” Dania menghela napas. Adik keduanya ini memang sedikit unik. “Buat bulan madu, Del. Hadiah dari kita.” “What!? Honeymoon?” “Nggak. Honey sweet,” geram Delia. “Aku serius, Kak.” “Dari tadi Kakak nggak?” Terdengar kekehan Delia di sana. “Oke, deh. Kira-kira mau yang gimana hotelnya?” “Terserah kamu, Del. Kamu lebih paham. Kakak mana ngerti.” “Ah iya, nggak pernah ke hotel ya,” celetuk Delia. “Kakak tutup, ya.” “Cieeee nggak pernah diajak sama suami.” “Udahan, Del. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Sambungan diputus oleh Dania. Ia menilik kembali layar ponselnya. Bersiap untuk mengetik balasan pesan untuk seseorang. Namun, ia menyadari jika ternyata suaminya ada di belakangnya. “Nggak usah ikut campur, sesuatu yang dipaksakan itu tidak baik,” ujar Pram. “Mas ....” “Terlalu memaksakan namanya. Buat apa Dania? Ujungnya kaya kita.” Dania terdiam. Ia tahu Pram akan mendesaknya dari sisi itu. Dania memilih membuang muka. “Kalau Danang sudah siap menikahimu bilang aja. Aku siap ke pengadilan.” “Mas!” pekik Dania. “Kamu kaget? Masih mau berpura-pura?” “Aku nggak pernah ada niatan buat seperti itu. Mas Danang juga nggak ada niat buat deketin aku lagi, Mas.” Pram mendekat. Sebenarnya ia malas berdebat dengan Dania, tapi sesekali perlu melakukannya. Sejak awal rumah tangga ini tidak ia harapkan. Sama persis dengan kisah Mia dan Akram. “Aku tau kalian masih intens berkomunikasi. Aku paham cuma dia yang bisa bikin kamu nyaman. Tunggu sebentar lagi, ya. Sampai semuanya siap.” Dania meradang. Pram selalu menuduhnya. Selalu menganggap kedekatannya dengan Danang memicu masalah. Padahal, jauh sebelum ini ia lebih dulu mengetahui tentang keburukan suaminya. “Kenapa diam? Biasanya kamu menyangkal?” Dania berdiri. Sudah cukup selalu diperlakukan tidak baik oleh suaminya. Ia sejatinya sudah tidak sanggupp, tapi terus mempertahankannya demi nama baik keluarga. Ia juga tidak mungkin mengabaikan Malka yang menjadi buah hati mereka. “Terserah Mas aja. Atur sesukanya,” tukas Dania seraya meninggalkan ruangan itu. Pram terdiam. Tak berusaha menanggapi lagi. Ia mengembuskan napas panjang. Kalau bukan karena beberapa alasan ia sudah pasti akan pergi dan tak tinggal bersama dengan orang yang tidak ia cinta. Perjodohan ini sejatinya menyiksa diri, tapi mereka tetap harus berpura sampai batas yang belum mereka tentukan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN