Setelah pulang dari tempat Dania, sikap Akram tetap sama. Ia tak banyak berkata dengan istrinya. Akram justru lebih fokus memikirkan Nasha. Perempuan yang kembali mematahkan hatinya.
Akram tak peduli. Ia memilih dapur rumah berlantai dua itu sebagai persinggahan. Selepas hujan itu, udara yang tadinya sejuk kembali terasa gersang. Ia butuh air dingin untuk melepaskan dahaganya. Akram membuka kulkas di dapur itu.Tangan Akram terulur mengambil satu botol minuman dingin berperasa. Akram membuka tutup botol minuman itu seraya meneguknya.
Nasha terus memenuhi kepalanya. Nasha bertahta dengan begitu jemawa. Membuat Akram tak bisa menafikkan cinta yang ia punya untuk gadis itu.
“Arghhhh,” desis Akram. Ia dengan jelas melihat ekspresi wajah Hilmi yang merasa menang karena kembali berhasil membawa Nasha. Bukan lawan yang sebanding memang, ditambah lagi dengan status perkawinan yang ia miliki.
Akram mengacak rambutnya. Sungguh, menjalani kehidupan seperti ini akan terasa sulit dari awal hingga akhir. Akram tak punya ide sama sekali. Setelah ini apa yang harus ia lakukan untuk menghindari istrinya. Ia tak punya pekerjaan dan mutlak menjadi pengangguran.
Sementara Mia tak berusaha seperti sebelumnya. Ia langsung menuju lantai dua. Kamar baru dengan kamar mandi dalam itu menjadi tempat yang ingin sekali ia sambangi. Seharian berada di luar, mengenakan baju berbahan crepe dengan tekstur seperti kerikil membuat kulitnya terasa risih. Mia ingin segera menggantinya. Mia terus berjalan. Mengabaikan suaminya yang membelokkan badan ke dapur. Ia tahu tak mungkin mereka akan saling bicara di saat saat seperti ini.
Pintu kamar itu Mia kunci rapat-rapat. Ia tak ingin Akram tiba-tiba masuk. Ia masih harus menjaga dirinya. Pelan, jilbab berukuran lebar itu Mia tanggalkan. Menampakkan dengan pasti rambut hitam legam yang ia miliki. Mia mendudukkan diri di depan cermin rias. Menyaksikan pantulan dirinya di sana.
“Kasihan sekali kamu,” lirihnya. Bulir-bulir bening membasahi pipi. Sejak tadi ia mengerti jika suaminya tak ingin ia ada.
***
“Kamu salah jatuh cinta, Mia. Dia bukan orang yang tepat,” ucap Nasha kala mereka bertemu di suatu waktu.
“Kenapa memangnya? Dia tampan menurutku.”
Nasha menyaksikan salah satu teman laki-lai satu sekolahnya yang menjadi perbincangan. Sejak pertama masa orientasi dimulai, sudah ramai pembahasan tentang siswa bernama Danial Akram. Yang paling heboh salah satunya adalah teman sebangkunya.
“Aku percaya dia tipe playboy yang nggak bakal setia. Lihat cara main bolanya aja kaya gitu,” ucap Nasha. Ia sudah lebih dulu paham tipe-tipe laki-laki dibandingkan Mia yang notabene jarang bergaul.
“Kan baru feeling, Sha. Salah?”
“Nggak sih, tapi nggak setuju pokoknya, lah. Nggak cocok,” ungkap Nasha.
Mia mendengkus sebal. Ini kali pertama ia ingin dekat dengan laki-laki. Kali pertama juga ia jatuh cinta. Namun, sudah langsung dijegal temannya.
“Ya udah nggak jadi.”
“Lagian mana boleh sama bapak kamu, Mia. Nggaka da kan pacar-pacaran,” ejek Nasha.
Mia tersenyum miris. Ya, mana bisa ia dekat dengan pria. Masuk sekolah negeri saja ia sudah harus memohon-mohon pada ayahnya. Ia tidak ingin menggantikan posisi siapa pun. Ia ingin menjadi diri sendiri sebagaimana yang ia inginkan. Namun, sulit sekali dilakukan.
“Yuk ke sana! Nanti diteriakin ama kakak osis,” ajak Nasha.
Mia mengangguk. Ia merapikan sebentar jilbabnya yang masih berukuran standar. Berlari kecil menuju tempat siswa siswi kelas satu dikumpulkan. Acara penerimaan tamu ambalan ini cukup mengesankan bagi Mia. Ia sudah mengenakan seragam pramuka sekolah menengah pertama dan bukan lagi menjadi anak SD yang sudah ditentukan jalan hidupnya oleh orangtuanya. Mia sekali itu saja merasa bahwa memiliki teman sangat menyenangkan.
Hingga satu minggu berselang ia harus merelakan masa-masa itu karena harus pindah ke pondok pesantren sesuai perintah ayahnya.
“Kenapa mendadak, Pak? Mia udah seneng di SMP negri,” protes Mia.
Agit menggeleng. Keputusannya memindahkan Mia ke pondok pesantren sudah sangat tepat. Ia tidak ingin nasib buruk juga dialami putrinya.
“Pokoknya nurut, Nduk. Demi kebaikan kamu.”
“Kenapa, Pak? Mia maunya di SMP negri aja.”
“Sudah bapak daftarkan. Sudah bapak bilang juga ke pihak sekolah kalau kamu keluar. Mulai hari ini kamu nggak perlu berangkat lagi.”
“Lah, iya kenapa? Alesannya apa, Pak?” Mia masih belum bisa terima. Ia ingin tetap berada di sekolah negri itu dan tidak belajar agama di pondok pesantren.
“Demi kebaikan kamu.”
Agit tak menjelaskan lebih lanjut saat itu. Ia hanya menginginkan yang terbaik untuk Miana Agya—putrinya.
Pertemuan saat penerimaan Tamu Ambalan itu, menjadi jumpa terakhirnya dengan Nasha. Ia tidak tahu menahu kabar tentang teman sebangkunya itu. Mia pergi tanpa meninggalkan jejak sama sekali.
***
Ketukan pintu dari luar memecahkan lamunan Mia. Ia yang baru saja mengingat tentang masa sekolahnya kembali tersadar.
“Ya?”
“Aku mau ambil baju. Bisa dibuka dulu?!” seru laki-laki yang seharusnya tidak perlu bertanya untuk sekadar masuk ke kamar mereka.
“Sebentar!” sahut Mia.
Meski bisa saja ia membuka pintu kamar itu dengan kondisinya yang tak mengenakan jilbab, Mia memilih tidak melakukannya. Setelah ditinggal di rumah kakak iparnya, ia semakin tahu bahwa Akram tak senang dengan perjodohan yang dilakukan keluarga mereka. Mia tahu, Akram tak menginginkan itu. Setelah merasa penampilannya cukup, Mia berjalan mendekat ke pintu kamar. Memutar kenopnya agar pintu itu bisa terbuka.
“Aku mau ambil tas,” tukas Akram. Seingatnya satu tasnya ada di dalam.
“Silakan.” Mia menggeser tubuhnya ke kiri. Mempersilakan suaminya masuk untuk mencari tas itu. “Tadi taruh di mana? Ingat, nggak?”
Akram tak menjawab. Ia menyapukan pandang dan terus menyusuri kamar yang cukup luas itu. Harusnya tas ranselnya tak berada jauh dengan koper milik Mia. Ia juga menurunkan itu dan meletakkan di kamar ini.
“Nggak kamu pindah?”
Mia menggeleng. Ia juga baru masuk, baru akan membersihkan diri. Tak ingat perihal tas mereka. “Apa kebawa bapak sam ibu lagi?”
Akram menghentikan pencariannya. Mana mungkin. Artinya mereka harus kembali ke rumah. Sementara hari sudah gelap.
“Coba kamu tanyakan.”
“Sebentar, Mas,” gegas Mia meraba sakunya. Merasa tadi menyimpan ponsel di sana. Namun, ia tak ada.
Akram menunggu. Ia juga perlu mengganti baju meski tadi sudah memakai yang tersimpan di lemari Malka. Ia berencana membersihkan diri lagi.
“Di mobil kayaknya, Mas. Tadi belum dibawa.”
Akram menghela napas. Ia membalikkan badan seraya beranjak keluar. Rupanya tak hanya sedikit bicara. Istrinya teledor juga. Mia merasa bersalah. Ia mengekor di belakang Akram. Menutup pintu kamar itu.
“Ngapain?”
“Ikut turun, Mas.”
“Nggak jadi bersih-bersih?”
“Ya?”
Akram mengamati sekilas penampilan Mia. Sejak tadi ia mengendus bau tak sedap di dekatnya. Ia sendiri sudah mandi di tempat Dania, berbeda dengan istrinya. Mia merasa risih saat diperhatikan Akram. Ia mengendus lengannya. Kemudian terjingkat. Senyum kecil terukir di wajah seputih s**u itu.
“Maaf.”
Akram menggeleng. Entah sebab apa ia merasa kesal. “Biar aku yang nyari koper sama tasnya.”