Bab 32 : Hadiah dari Kakak

1109 Kata
Lewat tengah malam Akram terbangun. Setelah memaksakan diri menahan rasa lapar, ia tak sanggup lagi. Akram yang memilih tidur di sofa lantai satu bergegas menuju dapur. Ya, saat ini hanya dua ruang itu yang sering ia sambangi. Ia tak berminat menilik ke ruang lain di rumah yang cukup besar itu. sebelum mandi dan memilih menonton televisi, Akram ingat betul ada satu piring bakmi goreng. Akram membuka tudung saji itu. Ia cukup terkejut karena masih utuh dua-duanya. Mia tidak makan? Pikirnya. Akram menggeleng. Tak boleh ia memikirkan gadis itu. Akram pun meraih sendok yang berada tak jauh dari sisi piring seraya mengenyakkan diri di kursi. “Bismillah,” ucapnya. Makan dalam kesunyian rupanya membuat Akram bisa mendengar dengan jelas apa yang ia kunyah. Bahkan terdengar lebih nyaring dari biasanya. Suapan pertama Akram berusaha mencecap rasa bakmi goreng dingin itu. Cukup enak. Akram mengangguk kecil. Suapan kedua diselingi dengan menatap ke sekeliling. Rasanya menjadi biasa saja. Akram mengunyah dengan pelan. Pikirannya berkelana. Rumah ini sudah dilengkapi segala fasilitas. Ia tak perlu memikirkan banyak hal lagi. Namun, tetap saja ia tidak nyaman. Hidup berpangku tangan bukan gayanya. Sejak dulu meski terlahir sebagai bungsu, ia terbiasa bekerja keras. Sekarang, saat semua serba ada ia justru bingung harus menjalankannya seperti apa. Akram mendesah. Suapan ketiga benar-benar membuatnya tak berselera. Setelah ini apa yang harus ia lakukan? Drrrrt .... drrtt .... drrrttt .... Sontak Akram meraihnya. “Ada apa, Kak?” “Assalamualaikum ....” “Waalaikumsalam. Ada apa, Kak?” “Cie sewot amat. Kakak ngganggu, ya?” tanya Delia dari sambungan telepon. Sudah larut dan tetap saja menghubungi. “Ada apa, Kak telpon malam-malam?” “Maaf, maaf. Kakak nggak bermaksud ganggu momen pengantin baru, kok. Gimana? Ketagihan, nggak?” Delia selalu seperti itu. Bercanda sesuka hatinya. “Aku matiin, Kak?” “Heh! Anak kencur. Orang lagi ngomong malah matiin. Kamu kenapa jadi begitu? Biasanya injih, injih kalau sama Kakak.” “Akram lagi makan, Kak.” “Oh, makan jam segini? Ah, pasti kelaperan, ya. Berapa ronde emang?” “Apaan sih, Kak!” teriak Akram. “Busyeettttt. Ya udah cek WA kakak gih, dari tadi juga nggak dibales-bales,” ujar Delia. Sebal. “Kakak WA?” “Nggak! Pakai SMS!” “Yeee malah kakak yang sewot.” “Buruan dicek terus mau yang mana. Dua-duanya oke soalnya.” “Oke apanya? Akram belum liat, Kak.” “Makanya diliat. Buruan gih, sekalian nanti tanya Mia.” “Mia?” “Ya, iya, Mia. Masa Nasha!” “Kak!” “Yo, yow wes. Kakak tutup ya,tapi buruan itu dibalas.” “Iya.” Sambungan diakhiri oleh Delia. Akram pun membuka aplikasi WA miliknya. “Astagfirulloh, ini apaan?” pekik Akram. Ia tak mengira kakaknya akan sejauh itu. “Ya?” Akram mendongak. Rupanya Mia sudah berdiri di dekat pembatas dapur dan ruang televisi. Gadis itu tak sengaja mendengar ucapan Akram. “Kamu nguping?” Mia menggeleng. Ia baru saja datang. Tidak tahu apa-apa. Mia pun berjalan mendekat ke area dapur. “Mau ngapain?” tanya Akram saat Mia mengabaikannya. Mia tak menjawab. Ia terus berjalan. Tangannya terulur ke atas membuka etalase. Ada stok beberapa makanan cepat saji di sana. “Kamu mau makan?” tanya Akram begitu melihat tangan Mia menggenggam salah satu bungkus mie instan. Mia mengangguk. “Kenapa nggak makan ini aja?” “Nggak apa-apa,” sahut Mia. Akram terdiam. Mengapa sikap gadis ini berbeda lagi. Berubah secepat itu? Akram mengamati pergerakan Mia dari belakang. Mia cuek saja. Ia tahu suaminya memerhatikannya. Namun, ia malas membahasnya. Perutnya sudah meronta. Ia tak tahan jika tidak makan. Sementara bakmi goreng, ia kurang suka. Mia menunggu dengan sabar mie dalam cup itu matang. Berkuah dengan aroma soto akan mengembalikan moodnya. Akram tak lagi penasaran. Ia memilih melanjutkan makan malam yang tertunda itu. kembali ia menilik pesan WA dari kakaknya. [Kak Del : Mau yang view langsung pantai atau yang di kota? Cus pilih buat bikin ponakanku] Dua buah foto hotel  di area salah satu pantai di Yogyakarta dikirimkan Delia. Lengkap dengan beberapa fasilitas. Tak lupa Delia menyelipkan satu foto yang sedikit unik. Akram meggeleng. Dengan cepat ia mengetikan balasan. [Akram : Nggak usah.] *** Mia menghela napas berat. Begitu Akram selesai makan, ia baru bisa duduk di kursi makan. Sejak tadi ia tak nyaman karena Akram tak mengajaknya. Ya, bakmi goreng ini memang pesanan ibunya. Dan seharusnya sang ibu paham betul kalau ia tak suka. Mia lebih suka sesuatu yang berkuah. “Harus bisa ngikutin selera suami, Nduk. Kalau bisa malah kamu yang memasakannya,” ujar Sufi saat Mia berusaha menghubungi. “Iya, Bu. Tapi ini tanpa persiapan. Mana Mia tau.” “Itu tadi Ibu tanya sama mertua kamu. Ya coba kamu tanya-tanya kesukannya biar paham.” “Namanya juga baru dua hari, Bu.” “Pelan-pelan, ya, Nduk.” “Iya.” “Gimana rumahnya? Suka?” Mia menatap ke seisi kamar. Suka? Apakah ia suka? “Suka, Bu,” jawab Mia. Bohong. “Besok pagi pulang sini nggak apa-apa, Nduk. Ambil beberapa perlengkapan. Apa mau ibu yang kesitu?” “Nggak usah, Bu. Biar kami saja.”  Kami. Satu kata ganti yang seharusnya tidak Mia gunakan. Faktanya tidak ada kami di rumah ini. Yang ada hanya dia sendiri dan Akram sendiri juga. Mia mengucap basmallah sebelum memulai menyantap mie instan berkuah itu. Ia cukup lelah dan tak tahu harus bagaimana menjalani hari selanjutnya. *** Fajar mulai menyingsing. Meski sempat terbangun karena lapar, Mia tidak terlambat untuk melakukan tugasnya sebagai hamba. Dua rakaat sebelum subuh yang bahkan keutamaannya lebih besar dari seisi dunia tetap bisa ia jalankan. Biasanya jika di rumah gendong, Mia akan mendengar ayahnya mengisi kajian. Sedikit saja sekitar sepuluh menit setelah mereka salat berjemaah. Namun, kali ini ia tidak bisa. Dulu ia kira rutinitas itu akan ia gantikan bersama sang suami. Nyatanya, jauh berbeda. Mia bangkit dari posisi bersimpuhnya. Ia meraih barang berharga yang tak pernah ketinggalan berada di dalam tasnya. Hanya benda itu yang mampu membuatnya hidup dengan tenang. Selama ini tanpanya sudah pasti ia akan menjadi sebuah tulang yang dibalut daging. Tak ada arti sama sekali. Pelan Mia membuka lembar demi lembarnya. Mengawali dengan bacaan bismillah yang kemudian dilanjutkan dengan ayat-ayat di dalamnya. Mungkin nanti aktivitasnya akan dipenuhi dengan kegiatan mengaji. Mengingat sang suami tak pernah mau ia dekati. Di luar kamar, Akram bisa mendengar. Bagaimana lantunan kalimat suci itu begitu merdu. Seharusnya ia tergerak. Seharusnya ia bersyukur mendapat pasangan yang dekat dengan penciptanya. Namun, hati manusia tak pernah bisa ditakar isinya. Tak terukur dengan pasti. Ia masih belum bisa menerima kehadiran Mia. Ia tahu betul sosok Nasha tak tergantikan. Akram berbalik. Harapannya hari ini jauh lebih bisa ia jalani dibandingkan kemarin. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN